BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian Terdapat berbagai definisi mengenai perikatan dan perjanjian yang dapat kita temukan pada berbagai literatur, karena para sarjana hukum Indonesia memiliki perbedaan pendapat mengenai definisi dari perikatan dan perjanjian tersebut. Dalam membahas hukum perjanjian terdapat istilah yang berasal dari bahasa belanda, yaitu verbintenis dan overeenkomst, maupun istilah yang berasal dari bahasa inggris, yaitu contract dan agreement. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat kita temukan ketentuan yang mengatur mengenai pengertian dari perjanjian, yaitu pada Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sedangkan mengenai perikatan, berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata dapat dikatakan bahwa sumber dari perikatan adalah perjanjian dan undangundang. Jadi dapat penulis katakan bahwa perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan, atau dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Selanjutnya untuk dapat lebih memahami mengenai istilah perikatan dan perjanjian, dapat kita lihat dari beberapa pendapat para sarjana hukum Indonesia. Adapun pendapat tersebut antara lain :
19
a. R. Subekti memberikan pengertian dari perikatan adalah sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kemudian pengertian dari perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.1 b. Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang lain karena perbuatan peristiwa atau keadaan.2 Selanjutnya beliau memberikan pengertian dari perjanjian adalah adalah sebagai suatu persetujuan antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.3 c. R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.4 d. R. Wiryono Prodjodikoro mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal
1
R. Subekti. 1985. Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Intermassa. Hlm. 1. Abdul Kadir Muhammad. 1982. Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni. Hlm. 6. 3 Abdulkadir Muhammad. 1992. Hukum Perikatan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 78. 4 R.M. Sudikno Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Liberty. Hlm. 97. 2
20
atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian.5 e. R. Setiawan mengartikan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.6 Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, menurut penulis perjanjian adalah perbuatan hukum yang dilakukan antara sedikitnya dua pihak yang telah sepakat untuk saling mengikatkan diri atas sesuatu hal tertentu yang kemudian menimbulkan suatu hak dan kewajiban yang hanya berlaku bagi pihakpihak tersebut dalam jangka waktu tertentu. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa unsur-unsur perjanjian yaitu : 1. adanya minimal dua pihak 2. adanya persetujuan antara pihak-pihak 3. adanya prestasi yang akan dilangsungkan 4. adanya syarat teretentu sebagai isi dari perjanjian. Perjanjian juga dapat diartikan sebagai “perbuatan”, yaitu perbuatan hukum (perbuatan yang mempunyai akibat hukum). Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi itu meliputi perbuatan-perbuatan yaitu menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu. 7
5
R. Wiryono Prodjodikoro. 1987. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Cet. VIII. Bandung : Sumur. Hlm. 7. 6 R. Setiawan. 1979. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung : Bina Cipta. Hlm. 49. 7 http://legalakses.com/perjanjian/ (diunduh pada 6 Juli 2012)
21
2. Subjek Perjanjian Yang dimaksud dengan subjek perjanjian ialah pihak-pihak yang terkait dengan suatu perjanjian. Perjanjian sedikitnya melibatkan dua pihak yang saling memberikan kesepakatan mereka. Subjek perjanjian dapat berupa manusia pribadi (orang perseorangan) maupun dalam bentuk badan hukum. Subjek perjanjian harus mampu dalam melakukan perbuatan hukum seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Subjek perjanjian dapat dalam kedudukan sebagai debitur ataupun kreditur. Pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebut debitur, sedangkan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban itu disebut kreditur. Suatu badan hukum, sebagai subjek perjanjian, dalam segala perbuatan hukumnya akan mengikat badan hukum itu sebagai sebuah entitas legal (legal entity). Meskipun perbuatan badan hukum itu diwakili pemimpinnya, namun perbuatan itu tidak mengikat pemimpin badan hukum tersebut secara perorangan, melainkan mewakili badan hukum sebagai legal entity.8 3. Asas-Asas Hukum Perjanjian Menurut R.M. sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.9 Adapun asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:10 a. Asas Konsensualisme
8
http://legalakses.com/perjanjian/ (diunduh pada 6 Juli 2012) R.M. Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. Hlm. 102. 10 Mariam Darus Badrulzaman. 1991. Perjanjian Kredit Bank. Cet. V. Bandung : PT Citra Aditya. Hlm. 42. 9
22
Asas ini berkaitan erat dengan saat lahirnya suatu perjanjian. Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir seketika saat telah tercapainya suatu kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai unsur-unsur pokoknya. Berkaitan dengan hal ini, R. Subekti berpendapat bahwa asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya consensus. 11 Jadi dapat disimpulkan bahwa asas konsensualisme (berarti kesepakatan / consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalnya syarat untuk harus tertulis.12 b. Asas Kepercayaan Pihak yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. 11
R. Subekti. Op. Cit. hal 5. http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/12/08/asas-asas-perjanjian/ (diunduh pada 6 Juli 2012) 12
23
c. Asas Kekuatan Mengikat Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
pada asas
kepercayaan, di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Kekuatan mengikat ini adalah sebagai undang-undang hanya bagi para pihak yang membuat perjanjian saja. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatuhan, dan kebiasaan. d. Asas Persamaan Hak Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, dan mengharuskan para pihak untuk menghormati satu sama lain, walaupun terdapat perbedaan dalam hal kepercayaan, kekuasaan, jabatan,dan lain-lain. e. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki para pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Meskipun memiliki hak dan kewajiban yang berbeda namun kedudukan para pihak, dalam hal ini adalah debitur dan kreditur, adalah seimbang. f. Asas Moral Seseorang yang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral), yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah
24
berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya. g. Asas Kepatutan Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
Diharapkan
pelaksanan perjanjian tidak melanggar
kepatutan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak. h. Asas Kebiasaan Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang telah diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang diikuti. i. Asas Kepastian Hukum Pasal
1338
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata,
menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib menaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana menaati undang-undang. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para
25
pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum (secara pasti memiliki perlindungan hukum).13 4. Syarat Sahnya Perjanjian Syarat sahnya perjanjian adalah syarat-syarat agar perjanjian itu sah dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Suatu perjanjian adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang, sehingga keberadaan perjanjian tersebut diakui oleh hukum. Syarat sahnya perjanjian dapat kita lihat dalam Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata14, yaitu : a. Ada sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kata sepakat berarti adanya titik temu diantara para pihak mengenai
kepentingan-kepentingan
yang
berbeda.
Pertemuan
kepentingan yang berbeda akan mencapai titik keseimbangan dalam perjanjian.15 Selanjutnya kesepakatan dinyatakan tidak ada bila terdapat
suatu
unsur
penipuan,
kesalahan,
paksaan,
dan
penyalahgunaan keadaan. b. Ada kecakapan untuk membuat suatu perikatan Setiap orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada dasarnya orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap untuk melakukn perbuatan hukum. Pada Pasal 1330
13
http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/12/08/asas-asas-perjanjian/ (diunduh pada 6 Juli 2012) 14 Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni. Hlm. 26. 15 http://legalakses.com/perjanjian/ (diunduh pada 6 Juli 2012)
26
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah : 1) Orang-orang yang belum dewasa 2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. c. Ada suatu hal tertentu Suatu hal tertentu berarti obyek perjanjian harus terang dan jelas, dapat ditentukan baik jenis maupun jumlahnya.16 Artinya dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan. d.
Ada suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal berarti obyek yang diperjanjikan bukanlah obyek yang terlarang. Suatu sebab yang tidak halal meliputi perbuatan melanggar hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan melanggar ketertiban umum, hal ini dapat dilihat pada Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”.
16
ibid
27
Jadi berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan bahwa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan antara para pihak yang akan mengadakan perjanjian, harus dilakukan oleh yang cakap secara hukum, harus mempunyai obyek tertentu, dan karena suatu sebab yang halal. Syarat yang pertama dan kedua tersebut berkaitan dengan subyek perjanjian, dan kemudian disebut sebagai syarat subyektif. Sedangkan syarat ketiga dan keempat berkaitan dengan obyek perjanjian, dan kemudian disebut sebagai syarat obyektif. Suatu perjanjian yang tidak terpenuhi syarat-syarat subyektifnya maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya bahwa selama tidak ada pembatalan dari salah satu pihak maka perjanjian tersebut terus berlaku. Sedangkan jika tidak terpenuhinya syarat-syarat obyektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Jadi tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian itu di muka hakim karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. 5. Prestasi, Wanprestasi, dan Akibatnya Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa wujud prestasi adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, serta tidak berbuat sesuatu. Prestasi itu sendiri merupakan seperangkat hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari adanya perjanjian. 1. Memberikan Sesuatu, istilah ini dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:
28
a. Penyerahan kekuasaan atas barang yang menjadi obyek perjanjian b. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian 2. Berbuat Sesuatu, yang dimaksud dengan berbuat sesuatu adalah melakukan sesuatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 3. Tidak Berbuat Sesuatu, yang dimaksud dengan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Dalam pelaksanaan perjanjian, apabila para pihak telah menjalankan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan permasalahan. Namun jika ada salah satu pihak yang tidak melakukan apa yang dijanjikannya, baik karena kealpaannya atau kesengajaannya, maka ia dikatakan wanprestasi. Menurut kamus hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera jani, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Wanprestasi juga dapat diartikan sebagai pelanggaran atau kegagalan untuk melaksanakan ketentuan kontrak atau perjanjian yang mengikat secara hukum.17 Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi apabila tidak bersedia melaksanakan atau menolak untuk memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian. Wanprestasi yang dilakukan pihak debitur dalam perjanjian dapat berupa : 18 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan 17 18
kamusbisnis.com (diunduh pada 2 Juli 2012) R. Subekti. 1985. Aneka Perjanjian. Bandung :Alumni. Hlm. 45.
29
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Terdapat dua kemungkinan yang menjadi alasan tidak terpenuhinya prestasi oleh debitur, yaitu:19 1. Karena keadaan debitur, baik secara sengaja ataupun karena kelalaiannya. 2. Karena keadaan memaksa (force majeure), terjadi hal-hal yang diluar kemampuan debitur, jadi tidak ada unsur kesengajaan debitur dalam hal ini. Akibat hukum dari adanya debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut:20 1. Debitur diharuskan membayar penggantian kerugian (berupa biaya, rugi, bunga) yang telah diderita oleh kreditur. Hal ini berdasarkan pada Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Memenuhi perjanjian apabila masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian biaya kerugian dan bunga. Hal ini berdasarkan pada Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 6. Berakhirnya Perjanjian Suatu perjanjian akan berakhir jika tujuan perjanjian itu telah tercapai, dimana masing-masing pihak telah saling memenuhi prestasi yang diperlukan sebagaimana yang telah dikehendaki bersama-sama dalam perjanjian yang telah 19 20
Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. Hlm. 102. Loc.cit hal 24
30
dibuat oleh para pihak tersebut. Namun, suatu perjanjian dapat juga berakhir karena hal-hal sebagai berikut: 21 a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, suatu perjanjian berlaku dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati para pihak b. Dengan persetujuan para pihak, suatu perjanjian dapat berakhir jika para pihak yang membuat perjanjian tersebut menyetujuinya c. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian d. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan tersebut akan berakhir e. Pernyataan penghentian persetujuan (pada persetujuan yang bersifat sementara), misalnya persetujuan kerja dan persetujuan sewamenyewa f. Persetujuan hapus karena putusan hakim
B.
Perjanjian Kredit
1. Kredit 1.1.Pengertian Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu “Credere” yang artinya percaya.22 Dengan demikian, seseorang yang telah memperoleh kredit pada dasarnya telah memperoleh kepercayaan. Apabila dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa bank/kreditur, percaya meminjamkan uang
21 22
R. Setiawan. Op. Cit. Hlm.69. Mariam Darus Badrulzaman. Op. Cit.Hlm.23.
31
kepada nasabah/debitur, karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan.23 Jika dilihat dari sudut ekonomi, kredit diartikan sebagai penundaan pembayaran, karena pengembalian atas penerimaan uang dan atau suatu barang tidak dilakukan bersamaan pada saat menerimanya, melainkan pada masa tertentu yang akan datang.24 Dalam praktek sehari-hari pengertian kredit berkembang lebih luas, yaitu kredit adalah kemampuan melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayaran yang akan dilakukan dan ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang telah disepakati.25 Dari kedua pengertian kredit tersebut, dapat dilihat bahwa pada dasarnya kredit adalah suatu janji pembayaran terhadap sesuatu hal yang disepakati untuk dilakukan pada suatu waktu tertentu yang akan datang. Secara
yuridis,
Pasal
1
angka
11
Undang-Undang
Perbankan
mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa istilah kredit memiliki arti yang khusus, yaitu meminjamkan “uang”.
23
Adrian Sutedi. 2006. Impilikasi Hak Tanggungan Terhadap Pemberian Kredit oleh Bank dan Penyelesaian Kredit Bermasalah. Jakarta : BP. Cipta Jaya. Hlm. 16. 24 Ibid. Hlm. 17. 25 Teguh Pudjo Mulyono. 1996. Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil. Yogyakarta : BPFE.
32
1.2.Unsur Kredit Dalam suatu kredit yang dberikan terdapat unsur-unsur kredit, yaitu : 26 a. Kepercayaan Adalah suatu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya akan benar-benar diterimanya kembali di masa tertentu yang akan datang. b. Waktu Bahwa antara pemberian prestasi dan pengembaliannya dibatasi oleh suatu masa atau waktu tertentu. Dalam unsur ini terkandung pengertian mengenai nilai uang, bahwa uang di masa sekarang adalah lebih bernilai daripada uang di masa yang akan datang, sehingga pengembaliannya harus dibatasi oleh suatu waktu tertentu. c. Degree of Risk Adanya pemberian kredit dengan memberikan suatu tingkatan resiko. Resiko timbul bagi kreditur karena prestasi telah lepas kepada orang lain. Semakin panjang jangka waktu suatu kredit maka semakin besar resikonya tidak tertagih, demikian pula sebaliknya. d. Prestasi Adalah yang diberikan, yaitu suatu prestasi yang dapat berupa barang, jasa, atau uang. Dalam perkembangan perkreditan, yang dimaksud dengan prestasi dalam pemberian kredit adalah uang. 26
M. Sinungan. 1995. Dasar-Dasar dan Teknik Manajemen Kredit. Jakarta : Bina Aksara. Hlm. 3-4.
33
1.3.Dasar-Dasar Pemberian Kredit Dalam penyaluran kredit tidak pernah terlepas dari adanya resiko kredit, yaitu resiko kerugian yang disebabkan oleh ketidakmampuan dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya.27 Untuk menghindari resiko kredit tersebut maka pihak bank perlu untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan dana kredit. Di Indonesia sendiri masalah prinsip kehati-hatian ini sudah diatur dalam UndangUndang Perbankan. Hal ini dapat dilihat dari : Pasal 2 : “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Pasal 29 ayat (2) : “Bank wajib memelihara kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”. Pasal 29 ayat (3) : “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”.
27
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Risiko_kredit (diunduh pada 4 Juni 2012)
34
Yang menjadi salah satu dasar dalam pemberian kredit adalah prinsip 6C’s Analysis, yaitu :28 1) Character, adalah keadaan watak dari nasabah, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Kegunaan dari penilaian terhadap karakter ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana kemauan nasabah untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. 2) Capital, adalah jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki oleh calon nasabah. Modal sendiri diperlukan bank sebagai alat kesungguhan dan tanggung jawab nasabah dalam menjalankan usahanya karena ikut menanggung resiko terhadap gagalnya usaha. 3) Capacity, adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan. Kegunaan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana calon nasabah mampu untuk mengembalikan atau melunasi utang-utangnya secara tepat waktu dari usahanya. 4) Collateral, adalah barang-barang yang diserahkan nasabah sebagai agunan terhadap kredit yang diterimanya. 5) Condition of economy, yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat yang kemungkinannya mempengaruhi kelancaran usaha calon debitur.
28
http://arsasi.wordpress.com/2008/09/21/analisa-kredit-6c/ (diunduh pada 14 Juni 2012)
35
6) Constraints, adalah batasan atau hambatan yang tidak memungkinkan suatu bisnis untuk dilaksanakan pada tempat tertentu, misalnya pendirian suatu usaha pompa bensin yang disekitarnya terdapat bengkel las atau pembakaran batu bara. 1.4.Jenis Kredit Terdapat banyak jenis kredit yang diberikan oleh bank umum dan bank perkreditan rakyat maupun lembaga keuangan lainnya untuk masyarakat, diantaranya yaitu : 29 1. Dilihat dari segi tujuan penggunaannya a. Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi daripada usahanya.
Kredit investasi Adalah kredit yang diberikan untuk pengadaan barang modal maupun jasa yang dimaksudkan untuk menghasilkan suatu barang atau jasa bagi usaha yang bersangkutan
Kredit modal kerja Adalah kredit yang diberikan untuk membiayai kebutuhan usaha, termasuk guna menutupi biaya produksi dalam rangka peningkatan produksi atau penjualan.
29
http://infoperbankan.blogspot.com/2011/04/jenis-jenis-kredit.html (diunduh pada 9 Juli 2012)
36
b. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orangperorangan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi secara pribadi. 2. Dilihat dari segi jangka waktu a. Kredit jangka pendek, yaitu suatu kredit yang diberikan dengan tidak melebihi jangka waktu 1 tahun. b. Kredit jangka menengah, yaitu suatu kredit yang diberikan dengan jangka waktu 1 tahun hingga 3 tahun. c. Kredit jangka panjang, yaitu suatu kredit yang diberikan dengan janga waktu lebih dari 3 tahun. 3. Dilihat dari segi jaminan a. Kredit dengan agunan, yaitu suatu kredit yang diberikan dengan adanya jaminan utama dan jaminan tambahan (agunan) b. Kredit tanpa agunan, yaitu suatu kredit yang diberikan tanpa diperlukan adanya jaminan tambahan (agunan).
2. Perjanjian Kredit 2.1.Pengertian Perjanjian Kredit Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit, agar dapat mengikat bagi para pihak tersebut. Hal ini berdasarkan pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan “perjanjian adalah suatu
37
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dari perjanjian tersebut timbul suatu hubungan hukum antara para pihak pem-buatnya yang dinamakan perikatan. Di dalam perikatan tersebut pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut sesuatu disebut kreditur sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut debitur. Perjanjian kredit yang dibuat oleh debitur dan kreditur akan melahirkan hubungan hutang piutang, dimana debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.30 Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kredit adalah perjanjian pemberian kredit antara pemberi kredit dan penerima kredit. 2.2.Bentuk Perjanjian Kredit Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Perbankan, disebutkan “Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis”, berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian kredit dibuat dalam bentuk tertulis. Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya mempergunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Perjanjian baku adalah perjanjian yang materinya ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh kreditur (bank) dengan syarat-syarat yang dibakukan dan ditawarkan kepada 30
http://legalbanking.wordpress.com (diunduh pada 9 Juli 2012)
38
masyarakat untuk digunakan secara masal atau individual, jika debitur telah membubuhkan tanda-tangannya diatas formulir perjanjian baku, berarti debitur tersebut sudah menyetujui isi perjanjian baku itu.31 Dalam prakteknya terdapat dua bentuk perjanjian kredit, yaitu :32 1. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan. Artinya perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya hanya dibuat diantara mereka (kreditur dan debitur) tanpa notaris. Namun pada prakteknya, perjanjian kredit ini disiapkan dan dibuat sendiri oleh pihak bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Dibuat sendiri artinya, ketentuan mengeni perjanjian kredit tersebut ditentukan sendiri oleh pihak kreditur. 2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris. Pihak yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh kreditur kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. 2.3.Perjanjian Kredit dilihat dari Segi Jaminan Berikut ini adalah dua jenis perjanjian kredit, apabila dilihat dari disertakan atau tidaknya suatu jaminan tambahan (agunan) di dalam suatu perjanjian kredit, yaitu: 2. Perjanjian Kredit Tanpa Jaminan Tambahan (Agunan)
31
Mariam Darus Badrulzaman. Op. Cit. Hlm. 146. http://www.duniakontraktor.com/perjanjian-kredit-dan-permasalahannya/.html (diunduh pada 9 Juli 2012) 32
39
Perjanjian kredit tanpa jaminan tambahan (agunan) ini pada dasarnya tetap memerlukan suatu jaminan, yang berupa itikad baik debitur. Perjanjian ini biasanya diadakan dengan debitur yang memiliki usaha, sehingga kreditur memiliki keyakinan atas debitur tersebut dengan melihat dari prospek usaha milik debitur. 3. Perjanjian Kredit dengan Jaminan Perjanjian kredit ini memiliki jaminan yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat non kebendaan. Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Selain jaminan kebendaan, jaminan lain yang dapat diterima sebagai jaminan kredit adalah jaminan non kebendaan, yaitu Penanggungan. Sesuai Pasal 1820 KUH Perdata Penanggungan adalah suatu persetujuan pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk membayar utang debitur bila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Jaminan penanggungan biasanya diberikan dalam bentuk jaminan perorangan serta jaminan perusahaan. Jaminan perorangan atau perusahaan diberikan oleh seseorang atau perusahaan untuk menjamin hutang pihak ketiga. Jaminan perorangan atau jaminan perusahaan ini biasanya hanya merupakan jaminan tambahan dari jaminan pokok, artinya selain jaminan ini bank biasanya meminta jaminan lainnya. Demikian pula dalam melakukan eksekusi, bank akan mendahulukan jaminan pokok dulu sebagai pelunasan hutang, apabila ternyata masih
40
belum cukup barulah bank melakukan eksekusi terhadap jaminan perorangan atau perusahaan.
C.
Kredit Tanpa Agunan Bermasalah
1. Kredit Tanpa Agunan Pada Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 2 Februari 1991 menyebutkan “Jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.” Sedangkan pada Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Perbankan menyebutkan “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa agunan sebagai jaminan tambahan adalah suatu hal yang dapat dibedakan dari jaminan utama dimana berupa suatu keyakinan dari kreditur atas debiturnya, sedangkan jaminan tambahan pada umumnya berwujud fisik misalnya rumah, tanah, mobil, surat berharga, dan lain-lain. Pada dasarnya suatu kredit membutuhkan agunan sebagai alat pengaman apabila kredit yang diberikan kepada debitur menjadi macet dan gagal dalam pengembalian kredit sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya. Agunan merupakan salah satu unsur pemberian kredit yang digunakan sebagai alternatif dalam pembayaran kredit apabila debitur tidak melakukan kewajibannya. Kredit tanpa agunan merupakan salah satu jenis kredit yang diberikan oleh bank, yang tidak memerlukan jaminan tambahan, namun tetap memerlukan
41
jaminan utama yang berupa “keyakinan” bank atas “itikad baik” nasabah debitur untuk melunasi hutangnya sesuai perjanjian. Mengenai ketiadaan agunan dalam kredit ini, maka pihak bank sebagai kreditur tentu memiliki penilaian lain yang menjadi dasar dalam memberikan kredit terhadap debiturnya. Pada umumnya, bank menjadikan kepemilikan suatu usaha sebagai syarat utama dalam penyaluran kredit tanpa agunan. Jadi sebagai jaminannya adalah keyakinan bank atas itikad baik serta prospek kelayakan usaha yang dimiliki calon debitur. 2. Kredit Bermasalah Kredit bermasalah adalah kondisi dimana debitur mengingkari janji mereka membayar bunga dan/atau kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran, sedangkan istilah kredit macet umumnya muncul setelah pihak debitur macet dan gagal melakukan pelunasan kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam kredit bermasalah dapat dikatakan bahwa pihak debitur melakukan wanprestasi, karena pembayaran atau pelunasan kredit yang bermasalah berarti tidak sesuai atau sejalan dengan perjanjian kredit yang telah dibuat sebelumnya oleh para pihak. Bentuk wanprestasi dari pihak debitur adalah :33 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, dalam hal ini debitur tidak bersedia melakukan pembayaran kredit 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan, misalnya melakukan pembayaran dengan nominal yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan
33
Adrian Sutedi. Op. Cit. Hlm. 154.
42
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat, debitur melakukan pembayaran kredit tetapi terlambat tidak sesuai pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Dalam rangka menghindari resiko dalam penyaluran kredit, pihak bank sebagai kreditur menerapkan prinsip kehati-hatian yang salah satunya adalah dengan dilakukan melalui kegiatan analisis kredit yang berperan sebagai saringan pertama untuk menangkal munculnya kredit bermasalah.34 Namun, sepandai apapun analis kredit dalam menganalisis permohonan kredit, kemungkinan kredit tersebut menjadi macet pasti ada, hal ini disebabkan oleh 2 unsur sebagai berikut:35 1. Dari pihak perbankan Artinya, dalam melakukan analisisnya pihak analis kurang teliti sehingga apa yang seharusnya terjadi tidak diprediksi sebelumnya. Dapat juga terjadi karena analisisnya dilakukan secara subjektif. 2. Dari pihak nasabah a. Adanya unsur kesengajaan, dalam hal ini nasabah sengaja untuk tidak bermaksud melakukan kewajibannya kepada bank, jadi dapat dikatakan tidak adanya kemauan untuk membayar. b. Adanya unsur tidak sengaja, dalam hal ini debitur mau membayar tapi tidak mampu.
34
Siswanto Sutojo. Op. Cit. Hlm. 95. infoperbankan.blogspot.com/2011/04/teknik-penyelesaian-kredit-macet.html?m=1 (diunduh pada 10 Juli 2012) 35
43
Pada umumnya, suatu kredit akan berkembang menjadi kredit bermasalah ataupun menjadi kredit macet tidak terjadi dengan begitu saja, hal tersebut sebenarnya dapat diketahui oleh pihak bank jika memperhatikan berbagai hal dari debitur kreditnya. Berbagai gejala awal kredit bermasalah diantaranya yaitu :
Adanya penyimpangan dari ketentuan perjanjian kredit
Adanya penurunan kondisi keuangan debitur
Adanya perubahan sikap dari debitur, yang menjadi tidak kooperatif terhadap pihak bank
Adanya permasalahan pribadi, yang kemungkinan mengganggu kelancaran usaha debitur
Di
dalam
Surat
Keputusan
Direksi
Bank
Indonesia
Nomor
:
30/267/KEP/DIR jo Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 30/16/UPPB tanggal 27 Febuari 1998 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor :7/2/PBI/2005, Pasal 12 ayat (3) tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, ditetapkan secara tegas penggolongan kualitas kredit, yaitu36 : 1. Lancar (pass), apabila memenuhi kriteria : a) Pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat waktu, dan b) Memiliki mutasi rekening yang aktif, atau c) Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral). 2. Dalam perhatian khusus (special mention), apabila memenuhi kriteria :
36
Mudhofar, August. 2008. “Penanganan Kredit Bermasalah pada PT. Bank Jateng Cabang Utama, Pemuda, Semarang Setelah Piutang Bank Daerah Bukan Lagi Piutang Negara”. Tesis: Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro Semarang. hal 48.
44
a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum melampaui 90 (Sembilan puluh) hari, atau b) Kadang-kadang terjadi cerukan, atau c) Mutasi rekening relatif aktif, atau d) Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan, atau e) Didukung oleh pinjaman baru. 3. Kurang lancar (substandard), apabila memenuhi kriteria : a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 (Sembilan puluh) hari, atau b) Terjadi cerukan, atau c) Frekuensi rekening relatif rendah, atau d) Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 (Sembilan puluh) hari, atau e) Terjadi indikasi masalah keuangan debitur, atau f) Dokumentasi pinjaman lemah. 4. Diragukan (doubtful), apabila memenuhi kriteria : a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari, atau b) Terjadi cerukan yang bersifat permanen, atau c) Terjadi wanprestasi lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari, atau d) Terjadi kapitalisasi bunga, atau
45
e) Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan. 5. Macet (loss), apabila memenuhi kriteria : a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, atau b) Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau c) Dari segi hukum kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. 3. Antisipasi Kredit Bermasalah Untuk menghindari adanya resiko dari tiap kredit yang diberikannya, maka pihak bank perlu untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan dana kredit, yang salah satunya adalah dengan dilakukan melalui kegiatan penyidikan dan analisis kredit, termasuk dilakukannya BI-Checking. Pengertian mengenai penyidikan37 dan analisis kredit adalah sebagai berikut :38 a. Penyidikan Kredit Yang dimaksud dengan penyidikan (investigasi) kredit adalah pekerjaan yang meliputi : 1. Wawancara dengan pemohon kredit atau debitur
37
Dalam studi hukum, penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sedangkan yang dimaksud dengan istilah penyidikan dalam skripsi ini adalah kegiatan penyidikan yang berkaitan dengan kredit perbankan (studi ekonomi). 38 Thomas Suyatno… [et al.]. 1995 Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 70.
46
2. Pengumpulan data yang berhubungan dengan permohonan kredit yang diajukan nasabah, baik data intern bank maupun data ekstern. Dalam hal ini termasuk informasi antarbank dan pemeriksaan pada daftar-daftar hitam dan daftar-daftar kredit macet 3. Pemeriksaan / penyidikan atas kebenaran dan kewajiban mengenai hal-hal yang dikemukakan nasabah dan informasi lainnya yang diperoleh 4. Penyusunan laporan seperlunya mengenai hasil penyidikkan yang telah dilaksanakan b. Analisis Kredit Yang dimaksud dengan analisis kredit adalah pekerjaan yang meliputi: 1. Mempersiapkan pekerjaan-pekerjaan penguraian dari segala aspek, baik
keuangan
maupun
nonkeuangan
untuk
mengetahui
kemungkinan dapat/tidak dapat dipertimbangan suatu permohonan kredit 2. Menyusun laporan analisis yang diperlukan, yang berisi penguraian dan kesimpulan serta penyajian alternatif-alternatif sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan pimpinan dari permohonan kredit nasabah. Untuk mendapatkan suatu keyakinan atas debiturnya, maka pihak bank sebagai kreditur juga perlu untuk mengetahui sejarah peminjaman calon debiturnya. Di Indonesia informasi mengenai nasabah dapat diperoleh melalui sistem informasi kredit yang dimiliki Bank Indonesia, dengan cara dilakukan BI-
47
Checking. Dapat dikatakan bahwa BI-Checking adalah termasuk dalam salah satu kegiatan penyidikan, yaitu berupa pengumpulan data mengenai informasi antarbank dan pemeriksaan pada daftar-daftar hitam dan daftar-daftar kredit macet. Yang dimaksud dengan BI-Checking itu sendiri adalah suatu proses pengecekan yang dilakukan oleh lembaga keuangan baik bank maupun non bank, melalui suatu sistem yang disebut dengan Sistem Informasi Debitur (SID) yang dikelola oleh Bank Indonesia. Hasil output atau keluaran yang diperoleh dari pengecekan disebut Informasi Debitur Individual (IDI). Di dalam IDI dapat diketahui
hal-hal
yang
berkaitan
dengan
kondisi
pembayaran
debitur,
digambarkan dengan informasi hari tunggakan dan kualitas kredit. Dengan adanya BI-Checking bagi lembaga keuangan diharapkan dapat membantu proses persetujuan kredit serta menjadi alat untuk pelaksanaan manajemen resiko kredit.39 Jadi singkatnya, dengan melakukan BI-Checking, dapat diketahui mengenai laporan dari semua orang yang mempunyai pinjaman di bank, baik itu bank umum, bank perkreditan rakyat, leasing (karena leasing berkerjasama dengan bank), contohnya seperti pinjaman kredit pemilikan rumah, pinjaman motor di leasing, kartu kredit, kredit tanpa agunan, dan lain sebagainya. Pada suatu bank, yang dapat meminta atau melakukan BI-Checking adalah hanya karyawan yang bertugas atau bertanggung-jawab pada bagian kredit.
39
http://aniek-myworld.blogspot.com/2009/01/bi-checking-dan-sistem-informasi.html (diunduh pada 20 Juli 2012)
48
4. Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada umumnya dalam praktek penyelesaian kredit bermasalah baik kredit yang dengan maupun tanpa agunan, pihak bank sebagai kreditur pada awalnya melakukan berbagai upaya misalnya sebagai langkah pertama dan yang paling utama adalah dilakukan analisa ulang serta penagihan terhadap tiap debitur macetnya. Dengan dilakukannya analisa ulang oleh pihak bank terhadap kondisi debitur kreditnya, maka diharapkan dapat diketahui langkah selanjutnya yang perlu ditempuh oleh pihak bank dalam rangka upaya penyelesaian kredit bermasalah, akan menempuh upaya hukum atau upaya non hukum. Penagihan yang dilakukan oleh pihak bank terhadap debiturnya juga disertai dengan surat peringatan. Apabila ditemukan kesulitan-kesulitan dalam melakukan penagihan, maka dimungkinkan bagi kreditur untuk menggunakan jasa pihak lain sebagai penagih hutang kepada debitur macet. Yang dimaksud dengan jasa penagih hutang adalah suatu cara penagihan hutang atau pinjaman untuk memperoleh kembali pembayaran yang dilakukan oleh pihak kreditur kepada debitur yang dianggap wanprestasi.40 Jasa penagih hutang ini lebih dikenal dengan sebutan Debt Collector. Dalam menggunakan jasa Debt Collector tersebut, pihak bank harus tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang dialihdayakan kepada perusahaan
penyedia
jasa
dengan
memperhatikan
ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam PBI No.13/25/PBI/2011 tentang prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain.
40
Sri Laksmi Sukarsa. Op.Cit. Hlm. 2.
49
Terhadap kredit yang bermasalah sebaiknya dilakukan penyelamatan sehingga pihak bank tidak mengalami kerugian. Apabila upaya non hukum tersebut tidak berhasil, maka selanjutnya pihak bank dapat melakukan upaya melalui prosedur hukum dengan mengajukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi. Namun kebanyakan pihak bank pada umumnya akan terlebih dahulu menempuh upaya penyelamatan kredit secara kekeluargaan. Kredit bermasalah dapat diselesaikan melalui beberapa cara, tergantung dari kesulitan yang dihadapi debiturnya, yaitu: 1. Tindakan penyelamatan secara kekeluargaan (non litigasi), yaitu:41 a. Penjadwalan Kembali (Rescheduling) Adalah perubahan persyaratan kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran atau jangka waktunya. Keringanan yang diberikan dalam usaha ini yaitu : 1) Memperpanjang jangka waktu kredit; 2) Memperpanjang jangka waktu angsuran, misalnya semula angsuran ditetapkan 3 bulan kemudian menjadi 6 bulan; 3) Penurunan
jumlah
untuk
setiap
angsuran
yang
mengakibatkan perpanjangan jangka waktu kredit. b. Persyaratan Kembali (Reconditioning) Adanya perubahan sebagian atau keseluruhan syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan/atau persyaratan lain sepanjang menyangkut perubahan 41
C. Timon Yunianti Ananda. Op.Cit. Hlm. 115-117. Llihat juga Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000
50
maksimum saldo kredit. Dalam hal ini, bantuan yang diberikan adalah berupa keringanan atau perubahan persyaratan, antara lain : 1) Penundaan pembayaran bunga, yaitu bunga tetap dihitung, tetapi penagihan atau pembebanan kepada nasabah tidak dilaksanakan sampai nasabah mempunyai kesanggupan. Atas bunga yang terhutang tersebut tidak dikenakan bunga dan tidak menambah plafon kredit; 2) Penurunan suku bunga, yaitu dalam hal nasabah dinilai masih mampu membayar namun bunga yang dikenakan terlalu tinggi untuk tingkat aktivitas dan hasil usaha pada waktu itu; 3) Pembebasan bunga, yaitu dalam hal nasabah dinilai memang tidak sanggup membayar bunga karena usaha nasabah
hanya
mencapai
tingkat
kembali
pokok.
Pembebasan bunga ini dapat untuk sementara, selamanya, ataupun seluruh hutang bunga; 4) Pengkonversian kredit jangka pendek menjadi kredit jangka panjang dengan syarat yang lebih ringan. c. Penataan Kembali (Restructuring) Adalah
perubahan
syarat-syarat
kredit
yang
menyangkut
penambahan dana bank, konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang
51
disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali. Tindakan yang dapat diambil dalam rangka Restructuring adalah : 1) Kapitalisasi bunga Yaitu bunga dijadikan hutang pokok sehingga nasabah untuk waktu tertentu tidak perlu membayar bunga, tetapi nanti hutang pokoknya dapat melebihi plafon yang disetujui, ini berarti bhwa fasilitas kredit perlu ditingkatkan. Disamping itu, atas bunga tersebut dihitung bunga (bunga majemuk) yang pada dasarnya akan lebih memberatkan nasabah. 2) Tambahan kredit Apabila nasabah kekurangan modal kerja, demikian juga dalam hal investasi, baik perluasan maupun tambahan investasi. 3) Tambahan equaity Apabila tambahan kredit memberatkan debitur, sehubungan dengan
pembayaran
bunganya,
maka
perlu
dipertimbangkan tambahan modal sendiri yang berupa : a) Tambahan modal dari pihak bank dngan cara : (1) Penambahan atau penyetoran uang (fresh money) (2) Konversi hutang debitur, baik bunga, pokok, atau keduanya
52
b) Tambahan dari pemilik Kalau bentuk perusahaannya adalah Perseroan Terbatas (PT), maka tambahan modal ini dapat berasal dari pemegang saham maupun pemegang saham baru atau keduanya. d. Tindakan penyelamatan dapat juga merupakan kombinasi dari ketiga usaha yang telah disebutkan diatas. Upaya-upaya tersebut diatas dapat diterapkan dalam hal penyelesaian kredit bermasalah yang menggunakan agunan maupun kredit yang tidak menggunakan agunan, karena bila diperhatikan tidak ditemukan adanya ketentuan dalam tindakan penyelamatan tersebut yang berhubungan dengan keberadaan barang agunan. 2. Collateral liquidation Selanjutnya apabila usaha penyelesaian kredit bermasalah secara kekeluargaan
yaitu
rescheduling,
reconditioning,
restructuring
tersebut tidak berhasil, maka dalam hal perjanjian kredit dengan agunan pihak kreditur berhak melakukan Collateral liquidation atau pencairan agunan. Maksudnya adalah, bank sebagai kreditur memaksa untuk dilakukannya penjualan agunan yang telah diserahkan debitur kepada bank untuk penyelesaian kredit yang bermasalah. Collateral liquidation ini tidak berlaku dalam hal perjanjian kredit tanpa agunan.
53
3. Upaya Hukum Selanjutnya, pihak bank sebagai kreditur berhak untuk menempuh upaya hukum. Cara ini biasanya dilakukan sebagai upaya terakhir jika berbagai upaya yang telah disebutkan diatas belum mencapai hasil yang maksimal bagi pihak bank. Namun upaya hukum dalam menyelesaikan permasalahan kredit di Indonesia jarang dilakukan karena membutuhkan biaya dan waktu yang cukup lama.
Pada
dasarnya penyelesaian kredit dapat ditempuh melalui : 1. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), bagi kredit macet yang menyangkut bank milik negara. 2. Proses litigasi di pengadilan, bagi kredit macet yang menyangkut bank swasta. 3. Arbitrase/perwasitan, apabila kedua cara tersebut diatas kurang menguntungkan karena faktor waktu dan biaya, oleh sebab itu kalangan perbankan dan pakar hukum mencoba menawarkan
penanganan
lembaga
arbitrase
untuk
penyelesaian kredit macet. Apabila pihak bank akan menyelesaikan kredit macet melalui proses pengadilan dengan mengajukan gugatan, maka akan berbeda dalam hal perjanjian kredit yang menggunakan agunan dengan perjanjian kredit yang tidak menggunakan agunan. Berikut ini adalah penjelasannya:
54
a. Kredit dengan Agunan Dalam hal penyelesaian melalui proses pengadilan, pihak bank dapat menggugat nasabah karena telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kredit yang telah disepakati ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam hal ini akan memproses gugatan tersebut dengan mempertimbangkan bukti dan sanggahan yang diajukan oleh kedua belah pihak. Apabila proses pemeriksaan selesai dilakukan, Pengadilan Negeri akan mengeluarkan putusan. Putusan tersebut pada umumnya dilaksanakan dengan sita eksekusi atas agunan yang diberikan untuk kepentingan pelunasan kredit.42 b. Kredit tanpa Agunan Pihak bank dapat menggugat nasabah karena telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kredit yang telah disepakati ke Pengadilan Negeri. Dalam hal perjanjian kredit yang tidak menggunakan agunan, maka kreditur berhak menagih debitur sampai pada harta kekayaannya. Yang menjadi dasarnya adalah Pasal 1131 KUHPerdata, yang menyatakan “Segala barangbarang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu”. Hal ini berarti seluruh harta kekayaan milik debitur akan menjadi jaminan
42
Iwanvictorleonardo.wordpress.com (diunduh pada 10 Juli 2012)
55
pelunasan atas hutang debitur kepada semua kreditur. Kekayaan debitur tersebut meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap, baik yang sudah ada pada saat perjanjian kredit dibuat maupun yang baru akan ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelah perjanjian kredit dibuat. Jadi jika debitur wanprestasi, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan milik debitur, merupakan sumber pelunasan bagi hutangnya. Berdasarkan pengalaman yang ada, penyelesaian melalui jalur hukum ini kurang diminati karena selain memakan waktu lama, yang sering terjadi nilainya jauh dibawah nilai yang diinginkan, sehingga tidak banyak yang melakukannya,43 walaupun sebenarnya di Indonesia terdapat asas umum yang mendasar di dalam penyelenggaraan peradilan, yaitu pada dasarnya mensyaratkan agar peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
43
Sri Laksmi Sukarsa. Op. Cit. Hlm. 3.
56
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat penulis berikan gambaran mengenai penyelesaian kredit bermasalah pada umumnya, sebagai berikut :
Kredit Bermasalah
Kredit dengan Agunan
Kredit Tanpa Agunan
Upaya Non Hukum
1.
2.
3.
Penjadwalan kembali (Rescheduling) Persyaratan kembali (Reconditioning) Penataan kembali (Restructuring)
Upaya Hukum
Mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas dasar wanprestasi, sebagai permohonan dilakukannya pembayaran atau pelunasan kredit oleh debitur, dapat berupa uang maupun barangbarang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada.
Upaya Non Hukum
1.
2.
3.
4.
Penjadwalan kembali (Rescheduling) Persyaratan kembali (Reconditioning) Penataan kembali (Restructuring) Likuidasi jaminan (Collateral liquidation)
Upaya Hukum
Mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas dasar wanprestasi, sebagai permohonan dilakukannya sita eksekusi atas agunan yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit.
57