BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Promosi Kesehatan dan Peran Pendidikan Kesehatan
Menurut Green (Notoatmodjo, 2007), promosi kesehatan adalah segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik, dan organisasi, yang direncanakan untuk memudahkan perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan. Green juga mengemukakan bahwa perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu : 1. Faktor predisposisi
(predisposising
factors),
yang meliputi
pengetahuan dan sikap seseorang. 2. Faktor pemungkin (enabling factors), yang meliputi sarana, prasarana, dan fasilitas yang mendukung terjadinya perubahan perilaku. 3.
Faktor penguat (reinforcing factors) merupakan faktor penguat bagi seseorang untuk mengubah perilaku seperti tokoh masyarakat, undang-undang, peraturan-peraturan dan surat keputusan.
8
Menurut Lawrence Green (1984), promosi kesehatan adalah segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik, dan organisasi yang dirancang untuk memudahkan perubahan perilaku dan lingkungan yang baik bagi kesehatan.
Pada dasarnya tujuan utama promosi kesehatan adalah untuk mencapai 3 hal, yaitu : 1) Peningkatan pengetahuan atau sikap masyarakat 2) Peningkatan perilaku masyarakat 3) Peningkatan status kesehatan masyarakat
Menurut Lawrence Green (1990) dalam buku Promosi Kesehatan Notoatmodjo (2007) tujuan promosi kesehatan terdiri dari 3 tingkatan, yaitu : 1) Tujuan Program Merupakan pernyataan tentang apa yang akan dicapai dalam periode waktu tertentu yang berhubungan dengan status kesehatan. 2) Tujuan Pendidikan Merupakan deskripsi perilaku yang akan dicapai untuk mengatasi masalah kesehatan yang ada.
9
3) Tujuan Perilaku Merupakan pendidikan atau pembelajaran yang harus tercapai (perilaku yang diinginkan). Oleh sebab itu tujuan perilaku berhubungan dengan pengetahuan dan sikap.
2.1.1. Strategi Promosi Kesehatan
Berdasarkan rumusan WHO (1994), dalam Notoatmodjo (2007), strategi promosi kesehatan secara global terdiri dari tiga hal, yaitu :
1)
Advokasi (advocacy)
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain, agar orang lain tersebut membantu atau mendukung terhadap tujuan yang akan dicapai. Dalam konteks promosi kesehatan, advokasi adalah pendekatan kepada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan di berbagai sektor, dan di berbagai tingkat, sehingga para pejabat tersebut dapat mendukung program kesehatan yang kita inginkan.
2)
Dukungan sosial (social supporrt)
Strategi dukungan sosial adalah suatu kegiatan untuk mencari dukungan sosial melalui tokoh-tokoh formal maupun informal. Tujuan utama kegiatan ini adalah agar tokoh masyarakat sebagai penghubung antara sektor kesehatan sebagai pelaksana program kesehatan dengan masyarakat penerima program kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan sosial antara lain pelatihan-pelatihan para tokoh
10
masyarakat,
seminar,
lokakarya,
bimbingan
kepada
tokoh
masyarakat dan sebagainya.
3)
Pemberdayaan masyarakat (empowerment)
Pemberdayaan merupakan strategi promosi kesehatan yang ditujukan
kepada
masyarakat
langsung.
Tujuan
utama
pemberdayaan adalah mewujudkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan untuk diri mereka sendiri. Bentuk kegiatan ini antara lain penyuluhan kesehatan, keorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam bentuk koperasi, pelatihan-pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga (Notoatmodjo, 2007).
2.1.2. Ruang Lingkup Promosi Kesehatan
Ruang lingkup promosi kesehatan berdasarkan aspek pelayanan kesehatan menurut Notoatmodjo (2007), meliputi :
a)
Promosi kesehatan pada tingkat promotif. Sasaran promosi kesehatan pada tingkat pelayanan promotif adalah pada kelompok orang sehat, dengan tujuan agar mereka mampu meningkatkan kesehatannya.
b)
Promosi kesehatan pada tingkat preventif. Sasaran promosi kesehatan pada tingkat ini selain pada orang yang sehat juga bagi kelompok yang beresiko. Misalnya, ibu hamil, para
11
perokok, para pekerja seks, keturunan diabetes dan sebagainya. Tujuan utama dari promosi kesehatan pada tingkat ini adalah untuk mencegah kelompok-kelompok tersebut agar tidak jatuh sakit (primary prevention).
c)
Promosi kesehatan pada tingkat kuratif.
Sasaran promosi kesehatan pada tingkat ini adalah para penderita penyakit, terutama yang menderita penyakit kronis seperti asma, diabetes mellitus, tuberculosis, hipertensi dan sebagainya. Tujuan dari promosi kesehatan pada tingkat ini agar kelompok ini mampu mencegah penyakit tersebut tidak menjadi lebih parah (secondary prevention).
d)
Promosi kesehatan pada tingkat rehabilitatif.
Sasaran pokok pada promosi kesehatan tingkat ini adalah pada kelompok penderita atau pasien yang baru sembuh dari suatu penyakit. Tujuan utama promosi kesehatan pada tingkat ini adalah mengurangi kecacatan seminimal mungkin. Dengan kata lain, promosi kesehatan pada tahap ini adalah pemulihan dan mencegah kecacatan akibat dari suatu penyakit (tertiary prevention) (Notoatmodjo, 2007).
12
2.1.3. Pendidikan Kesehatan
Kesehatan merupakan kegiatan
interaksi berbagai faktor, baik
faktor internal (dari dalam diri manusia) maupun faktor eksternal (di luar diri manusia). Faktor dari dalam ini terdiri dari faktor fisik dan psikis. Faktor eksternal terjadi pada berbagai faktor, antara lain sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Menurut Bloom (1974) dalam buku Notoatmodjo secara umum faktor yang mempengaruhi kesehatan terbagi menjadi 4 bagian: 1. Lingkungan yang terdapat sosial, fisik, politik, dan ekonomi serta berbagai macam budaya didalamnya 2. Perilaku 3. Pelayanan kesehatan, serta 4. Hereditas (keturunan).
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dalam kehidupan bermasyarakat mencakup 4 faktor hal utama di atas. Oleh karena itu dibutuhkan berbagai faktor faktor lain di luar jangkauan medis untuk menghasilkan kesehatan secara baik, yakni intervensi faktor lingkungan,
perilaku,
pelayanan
kesehatan,
dan
hereditas.
Pendidikan kesehatan merupakan bentuk intervensi terutama terhadap faktor perilaku. Namun demikian, ketiga faktor yang lainnya (lingkungan, pelayanan kesehatan, dan hereditas) juga memerlukan intervensi pendidikan kesehatan.
13
2.2.
Metode dan Media Promosi Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2007) dalam bukunya promosi kesehatan dan ilmu perilaku promosi kesehatan, terdapat beberapa metode pendidikan dan media promosi kesehatan yang biasa digunakan antara lain : 1. Metode pendidikan individual, merupakan metode pendidikan yang
bersifat
perorangan
diantaranya:
bimbingan
atau
penyuluhan, dan wawancara 2. Metode pendidikan kelompok, dalam metode ini harus diingat bahwa
jumlah
populasi
yang
akan
ditujukan
haruslah
dipertimbangkan. Untuk itu dapat dibagi menjadi kelompok besar dan kelompok kecil serta kelompok massa. Apabila peserta lebih dari 15 orang maka dapat dimaksudkan kelompok besar, dimana dapat menggunakan metode ceramah dan seminar. Sedangkan disebut kelompok kecil apabila jumlah kurang dari 15 orang dapat menggunakan metode diskusi kelompok, curah pendapat, bola salju, kelompok kecil, serta memainkan peran. Apabila menggunakan metode pendidikan massa ditujukan kepada masyarakat ataupun khalayak yang luas dapat berupa ceramah umum, pesawat televisi, radio, tulisantulisan majalah atau koran, dan lain sebagainya.
14
Selanjutnya dalam media yang digunakan menurut Notoatmodjo (2007) terdapat 3 macam media, antara lain : 1). Media bantu lihat (visual) yang berguna dalam menstimulasi indra mata pada waktu terjadinya proses pendidikan. Dimana media bantu lihat ini dibagi menjadi 2 yaitu
media yang
diproyeksikan misalnya slide, film, film strip dan sebagainya, sedangkan media yang tidak diproyeksikan misalnya peta, buku, leaflet, bagan dan lain sebagainya. 2). Media bantu dengar (audio) dimana merangsang indra pendengaran sewaktu terdapat proses penyampaian, misalnya radio, piring hitam, pita suara 3). Media lihat-dengar seperti televisi, video cassete dan lain sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Levie & Lentz (1982) menjelaskan bahwa terdapat empat fungsi yang didapatkan dari media visual, diantaranya fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris. Fungsi
atensi
sendiri
dimaksudkan
untuk
menarik
dan
mengarahkan siswa untuk berkonsentrasi terhadap isi pelajaran yang berhubungan dengan makna visual yang ditampilkan atau dapat berupa teks pelajaran. Fungsi afektif berhubungan dengan tingkat kenyamanan siswa dalam membaca atau melihat gambar yang sedang dibaca dimana dari teks dan gambar tersebut dapat menggugah rasa emosi dan sifat siswa misalnya informasi yang menyangkut sosial dan ras. Fungsi kognitif media visual terlihat
15
dari temuan-temuan penelitian yang menggungkapkan bahwa lambang visual atau gambar mempelancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar. Sedangkan pada fungsi audio menurut Hamdani (2011) merupakan suatu proses penyampaian pesan yang hanya didapat melalui pendengaran
yang dapat merangsang proses
pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan dari para siswa untuk memperoleh bahan ajar (Hamdani, 2011).
Semakin banyak pancaindra yang digunakan, semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan alat peraga dimaksudkan mengerahkan indera sebanyak mungkin pada suatu objek sehingga memudahkan
pemahaman.
Menurut
penelitian
para
ahli,
pancaindera yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke otak adalah mata (kurang lebih 75% - 87%), sedangkan 13% - 25% pengetahuan manusia diperoleh atau disalurkan melalui indra lainnya (Heri, 2009). Perpaduan saluran informasi melalui mata 75% dan telinga 13% akan memberikan rangsangan yang cukup baik sehingga dapat memberikan hasil yang optimal (Kapti, 2010).
2.3.
Metode Ceramah
Metode ceramah adalah cara menyampaikan sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan lisan kepada siswa atau khalayak ramai
16
(Armai, 2002). Adapun menurut Usman yang dimaksud dengan metode ceramah adalah teknik penyampaian pesan pengajaran yang sudah lazim disampaikan oleh para guru di sekolah. Ceramah diartikan sebagai suatu cara penyampaian bahan secara lisan oleh guru bilamana diperlukan (Usman, 2002). Menurut Cuban (1993) dalam buku Yamin (2013) menyebutkan bahwa metode ceramah merupakan metode yang paling banyak dikritik dari seluruh metode pembelajaran yang digunakann namun justru terus menjadi metode yang sering digunakan. Hal ini dikarenakan metode ceramah dapat melakukan hal-hal berikut ini: 1. Membantu penerima informasi atau peserta didik memperoleh informasi yang sulit diperoleh dengan cara-cara lain dimana jika peserta didik tersebut mempelajari suatu materi akan memakan waktu hingga berjam-jam lamanya. 2. Membantu penerima informasi dalam memadukan informasi dengan sumber-sumber yang berbeda. 3. Ketika waktu perencanaan terbatas untuk menyusun konten, ceramah justru menghemat waktu dan tenaga. 4. Ceramah dapat bersifat fleksibel dan hampir dapat dilakukan pada semua bidang. 5. Metode ceramah relatif sederhana dibandingkan dengan metodemetode lainnya.
17
Metode ini sudah lama sekali digunakan, hal ini dikarenakan adanya beberapa keunggulan, diantaranya : 1. Pembicara dapat menguasai seluruh kelas Pembicara dapat menguasai kelas dikarenakan pembicara dapat menentukan arah yang ditetapkannya dan dapat menentukan sendiri apa yang akan dibicarakannya. 2. Organisasi kelas sederhana Persiapan mudah dilakukan dikarenakan pembicara hanya menyampaikan materi yang akan disampaikan, sedangkan audience hanya perlu mendengarkan atau mencatat. Namun, disisi lain metode ini terdapat kelemahan, diantaranya: 1. Pembicara sukar mengetahui sampai dimana pengetahuan para audience yang mendengarkan 2. Para audience sering kali memberikan pengertian lain yang dimaksudkan pembicara (Suryosubroto, 2002). 2.4. Media Leaflet
Leaflet adalah selembaran kertas yang berisi tulisan dengan kalimatkalimat yang singkat, padat, mudah dimengerti dan gambar-gambar yang sederhana. Ada beberapa yang disajikan secara berlipat. Leaflet digunakan untuk memberikan keterangan singkat tentang suatu masalah, misalnya deskripsi pengolahan air di tingkat rumah tangga, gambaran tentang diare dan penecegahannya, dan lain-lain. Leaflet
18
dapat diberikan atau disebarkan pada saat pertemuan-pertemuan dilakukan seperti pertemuan posyandu, kunjungan rumah, dan lain-lain. Leaflet dapat dibuat sendiri dengan perbanyakan sederhana di tempat cetak seperti di photo-copy (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004). Leaflet merupakan media penyampaian informasi atau pesan melalui lembaran yang dilipat dengan ukuran relatif kecil. Penyebarannya dilakukan dengan cara dibagi‐bagikan (Pujiriyanto, 2005). Kegunaan dan keunggulan dari media leaflet adalah (Ewles & Simnett, 1944): 1. Pembaca dapat mempelajari informasi yang diberikan secara mandiri. 2. Pembaca dapat melihat isinya pada saat santai. 3. Informasi dapat dibagikan kepada keluarga dan teman. 4. Dapat
memberikan
detail
yang
tidak
memungkinkan
disampaikan secara lisan. 5. Sederhana dan dapat sangat murah 6. Pembaca dan pendidik dapat menggunakanya bersama-sama untuk mempelajari informasi yang rumit. Penggunaan leaflet juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain (Ewles & Simnett, 1944): 1. Leaflet profesional sangat mahal 2. Leaflet tidak tahan lama dan mudah hilang.
19
3. Materi yang diproduksi massal dirancang untuk sasaran yang bersifat umum, sehingga kemungkinan tidak cocok untuk semua orang. 4. Dapat diabaikan jika tidak didukung dengan keaktifan dari pendidik untuk melibatkan responden dalam membaca dan menggunakan materi dari leaflet. Kustiono (2000) berpendapat bahwa dalam memilih media mencakup 4 syarat, yaitu: kemudahan memperolehnya, kemudahan dalam menggunakan, dapat digunakan berulang kali dan dalam situasi yang berlainan, fleksibel.
2.5.
Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar
menjawab
pertanyaan.
Pada
dasarnya
pengetahuan
merupakan hasil tahu dari manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan dari manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang baik lewat indra maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau bersangkutan dengan masalah kejiwaan (Notoatmodjo, 2010).
Menurut
Bloom,
1968
(dalam
buku
Notoatmodjo,
2007)
pengetahuan yang tercakup dalam area kognitif ini mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
20
1. Tahu (know)
Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu bahan yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang bersifat khusus dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan lain sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami
dapat
diartikan
sebagai
kemampuan
untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menjelaskan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham
menjelaskan,
terhadap
objek
menyebutkan
atau
materi
contoh,
harus
dapat
menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan apa yang telah didapatkan dari materi sebelumnya. Aplikasi dapat diartikan sebagai sarana/aplikasi atau penggunaan hukum-
21
hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain yang masih berhubungan dengan materi.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu lingkup organisasi, dan masih ada kaitannya dengan satu sama lain. Kemampuan analisa
sudah terlihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis
menunjuk
menghubungkan
kepada
bagian-bagian
suatu di
kemampuan dalam
suatu
untuk bentuk
keseluruhan yang baru. Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun fomulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan sudah didapat (Notoatmodjo, 2007).
6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu dilandaskan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
22
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Lawrence (1980) dalam Notoatmojo (2007) sikap ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor. Faktor predisposisi (predisposing factor) meliputi faktor-faktor dasar, misalnya: pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan lain sebagainya
yang terdapat
dalam diri
individu
maupun
masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors) meliputi lingkungan
fisik
seperti
umur,
status
sosial
ekonomi,
pendidikan, sumber daya atau potensi masyarakat. Faktor pendorong (reinforcing factor) meliputi sikap dan sikap dari orang sekitar individu. Misalnya: sikap orang tua, suami, tokoh masyarakat bahkan petugas kesehatan.
2.6.
Pengertian Belajar dan Hasil Belajar
Selanjutnya untuk memahami pengertian tentang belajar berikut dikemukakan beberapa pengertian belajar diantaranya menurut Slameto (2003) dalam bukunya belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya menjelaskan bahwa belajar adalah suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Trianto (2010) belajar dapat dimaksudkan sebagai dari yang belum tahu menjadi tahu, dari yang belum paham menjadi
23
paham, dari mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru serta dapat bermanfaat bagi lingkungan maupun individu itu sendiri. Menurut Sudjana (2004), hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya.
2.7. Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Untuk mendapatkan proses belajar yang optimal dibutuhkan berbagai macam faktor terhadap hasil belajar tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar secara umum menurut Slameto (2003) pada garis besarnya meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa faktor jasmaniah, psikologis dan kelelelahan. Faktor jasmaniah mencakup faktor kesehatan dan kecacatan tubuh, kemudian faktor psikologis yang termasuk intelegensi, minat, motivasi, perhatian, bakat, kematangan dan kesiapan. Sedangkan dari faktor eksternal dapat melalui 3 faktor diantaranya faktor keluarga, faktor lingkungan pendidikan, dan faktor masyarakat. Faktor keluarga dapat melalui dari cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan. Faktor lingkungan belajar dapat berupa relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, waktu sekolah, keadaan gedung dan lain sebagainya, sedangkan faktor masyarakat dapat berupa bentuk kehidupan bermasyarakat dan teman bermain.
24
Pendapat
lain
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keberhasilan belajar menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (2004) yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya faktor jasmaniah dan psikologi. Dalam faktor jasmaniah dapat didapatkan melalui faktor penglihatan, pendengaran, struktur tubuh dan sebagainya, sedangkan faktor psikologi dapat melalui faktor intelelektif yaitu faktor potensial dan kecakapan nyata. Pada faktor eksternal yang berperan yaitu faktor sosial, budaya, lingkungan fisik dan lingkungan spiritual.
2.8. Teori Proses Informasi
Teori kognisi menjelaskan tentang bagaimana proses mengetahui terjadi pada manusia. Ada beberapa model yang digunakan untuk menjelaskan proses mengetahui pada manusia. Model pemrosesan informasi membahas tentang peran operasi-operasi kognitif dalam pengolahan informasi (Hetherington & Parke, 1986).
1) Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik mengkaji makna dalam proses belajar sebagai perubahan yang terjadi pada tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respon (Asri Budiningsih, 2005). Thorndike (Asri Budiningsih, 2005) menjelaskan bahwa stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat
25
ditangkap melalui indra. Sedangkan respons yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan. Konsep teori behavioristik yang paling mendasar yaitu penetapan tujuan khusus pembelajaran. Diharapakan dengan tujuan tersebut dapat mengubah sikap peserta didik yang dapat diukur.
2) Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif sifatnya lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Aliran teori kognitif dipandang sebagai kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran kognitif belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan itu kembali (Baharudin & Nur Wahyuni, 2010).
3) Teori Belajar Konstruktivistik
Dalam teori ini menjelaskan belajar bukanlah sekedar menghafal akan tetapi, proses pembentukan secara konstruktif mengenai pengetahuan melalui pengalaman (Wina Sanjaya, 2008). Adapun menurut Asri Budiningsih (2005) mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan
26
ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari.
2.9. Psikologi Remaja
Batasan usia remaja berbeda beda sesuai dengan sosial budaya setempat. Menurut data dari World Health Organization (WHO) membagi remaja dalam 2 kurun waktu yaitu remaja awal 10-14 tahun, dan remaja akhir 15-20 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyimpulkan bahwa usia 15-24 tahun merupakan usia muda/youth (Sarwono, 2010). Berdasarkan data statistik yang didapatkan tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa dan 63 juta jiwa diantaranya adalah remaja yang berusia 10-24 tahun (BPS, 2010). Disamping jumlah yang sangat besar remaja juga memiliki masalah lain dimana terdapat masa transisi yang dialami remaja (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan Keluarga Berencana, 2010).
Beberapa penelitian perilaku seksual remaja menunjukkan bahwa perilaku seksual di seluruh Indonesia cukup memprihatinkan. Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2002-2003 menemukan bahwa remaja yang sudah berhubungan seksual pada usia 14-19 tahun adalah 34,7% dan laki-laki sebanyak 30,9%, untuk usia 20-24 tahun meningkat pada perempuan yaitu
27
48,6% dan laki-laki sebanyak 46,5%
(Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Perempuan dan Keluarga Berencana, 2010).
Dalam masa perkembangan sosial, seorang remaja mulai tergugah rasa sosial untuk ingin bergabung dengan anggota-anggota kelompok lain. Pergaulan yang dahulu terbatas dengan anggota keluarga, tetangga, dan teman-teman sekolah. Saat ini dia ingin meluaskan
pergaulannya
meninggalkan
rumah.
sehingga
Penggabungan
tidak
jarang
mereka
diri
dengan
anggota
kelompok yang lain sebenarnya merupakan usaha mencari nilainilai baru dan ingin berjuang mencapai nilai-nilai itu, sebab remaja mulai meragukan kewibawaan dan kebijaksanaan orang tua, norma-norma yang ada dan sebagainya (Mulyono, 1993).
Menurut Sarwono (2010), perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh remaja dapat menimbulkan berbagai hal yang negatif. Diantaranya dampak psikologis seperti marah, takut, cemas, rendah diri, perasaan bersalah, dan berdosa. Selain itu juga dapat terkena dampak sosial seperti dikucilkan, putus sekolah karena hamil, serta adanya perubahan peran menjadi seorang ibu.
2.10. Pengertian HIV dan AIDS
1.
Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit
28
yang dapat menyerang tubuh manusia setelah sistem imunnya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan imunitas tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain itu, kebanyakan penderita AIDS sering sekali menderita keganasan khususnya sarkoma kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak (Djuanda , 2011).
2. Epidemiologi
Awal mula penyakit HIV-AIDS yang ditemukan oleh Gottlieb dkk. pada musim semi tahun 1981, CDC antara 1 juni 1981 sampai september 1982 menerima laporan sejmlah 593 kasus sarkoma kaposi, pneomonia pneumocystis carinii dan infeksi oportunistik lainnya yang membahayakan jiwa si penderita. Penderita pada umumnya berumur 15-60 tahun tanpa penyakit imunodefisiensi maupun mendapatkan jenis terapi obat imunosupresi. Sejumlah 41% atau 243 penderita telah meninggal dunia akibat HIV - AIDS . Jumlah penderita meningkat demikian cepat sehingga sampai bulan mei 1985 diperkirakan telah mencapai 12.000 kasus. Menurut laporan pada bulan September 1985, di United States kasus pnyakit ini sudah mencapai 13.000. Di Eropa peningkatan kasus juga sangat cepat. Pada akhir tahun 1984 di Perancis ditemukan 3 kasus baru per minggu. Di Jerman Barat dan Inggris angka ini 2 kasus tiap minggu, sedangkan di Swiss dan Belanda tiap minggu
29
ditemukan 1 kasus AIDS dan semakin hari terus berkembang (Djuanda, 2011).
Sedangkan di Indonesia, tercatat hinggga 30 September 2010 dari data Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan RI tentang situasi perkembangan HIV & AIDS di Indonesia, berdasarkan rata-rata jumlah kasus AIDS dilaporkan sebanyak 22.726 kasus, tersebar di 32 provinsi. Kasus tertinggi didominasi pada usia produktif yaitu 20-29 tahun, diikuti kelompok umur 30-39 tahun dan kelompok umur 40-49. Dari jumlah tersebut, 4250 diantaranya meninggal dunia. Penambahan kasus AIDS pada periode triwulan ketiga (JuliSeptember) tahun 2010 sebanyak 956 kasus yang dilaporkan dari 13 provinsi di Indonesia (Hutapea, 2011).
3. Patogenesis
Tubuh kita terdiri dari berbagai macam sel yang berfungsi untuk melindungi diri kita dalam melawan berbagai macam penyakit. Banyak bagian dari tubuh kita yang melindungi diri kita dan penyakit, antara lain kulit, mulut, saluran pernapasan, saluran kencing, usus dan aliran darah. Human Immunodeficiency Virus (HIV) harus memasuki tubuh kita lewat aliran darah agar dapat mengganggu kita. Apabila kita hanya bersentuhan dengan penderita HIV dan hanya mengenai kulitnya maka tubuh kita mempunyai perlidungan pertama dari luar yaitu kulit itu sendiri.
30
Namun apabila kulit tersebut mengalami luka, maka virus tersebut dapat memasuki aliran darah dan menginfeksi orang yang baru. Oleh karena itu jika terdapat air liur, darah, mani masuk kedalam mulut kita maka sebagian akan dibuang, akan tetapi jika terdapat luka luka kecil di sekitar mulut kita misalnya luka saat menyikat gigi maka virus tersebut dapat memasuki aliran darah dan menginfeksi orang yang baru (Hutapea , 2011).
Virus biasanya masuk ke dalam tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di mukosa rectum atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening disekitarnya. Virus kemudian menyebar melalui viremia yang disertai dengan sindrom dini akut berupa panas, mialgia, dan artralgia. Virus menginfeksi sel CD4+, makrofag dan sel dendritik dalam darah serta organ limfoid (Baratawidjaja, 2009 ; Rengganis , 2009).
Cara penularan utama biasanya melalui darah, cairan tubuh dan hubungan seksual. Virus HIV biasanya dapat ditemukan dalam kuantitas yang besar dalam cairan sperma dan darah, sedangkan dalam jumlah kecil biasanya terdapat dalam air liur dan air mata untuk kasus ini masih dapat ditemukan. Virus HIV menginfeksi sel imun terutama sel CD4 dan menimbulkan destruksi sel tersebut. HIV dapat laten dalam sel imun dan dapat aktif kembali sehingga dapat menimbulkan infeksi. Sistem imun dikuasai virus yang berproliferasi cepat diseluruh tubuh. Bila sel CD4 turun di bawah
31
100 mikroliter, kemungkinan keganasan meningkat. Adanya kemungkinan peningkatan terjadinya demensia pun dapat terjadi dengan bertambahnya virus di bagian otak (Djuanda , 2011).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) menyerang sistem imun dengan menyerbu dan menghancurkan jenis sel darah putih yang diberi julukan panglima imun tubuh yaitu sel T pembantu, atau sel CD4. Sel CD 4 memberi isyarat kepada sel imun yang lain jika terdapat antigen yang memasuki tubuh untuk diikat. Setelah diikat, sel CD4 memerintahkan sel T algojo (killer T cell), untuk memusnahkan antigen yang tadi, begitu seterusnya hingga kuman patogen menghilang dari tubuh sel host. Disini, terdapat permasalahan yang jelas dimana virus HIV ini dapat menyerang sel CD4 dan bahkan mengalahkannya. Itulah sebabnya mengapa HIV membuat tubuh menjadi sangat rentan dengan infeksi infeksi tubuh lainnya dan jenis kanker yang umumnya dapat dikendalikan. Jumlah sel CD4 normal dalam sirkulasi darah adalah sekitar 800 hingga 1200 per milimeter kubik darah. Pada tahun – tahun pertama serangan infeksi tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti, tetapi setelah mencapai 5 tahun, barulah sel CD 4 ini menurun jumlahnya bahkan hingga di bawah 200 per milimeter kubik darah dan barulah gejala klinis lainnya dapat terlihat (Hutapea , 2011).
32
4. Diagnosis
a. Antibodi microbial dalam pemeriksaan defesiensi imun Pemeriksaan antibody microbial dapat digunakan dalam diagnosis infeksi. Kemampuan untuk memproduksi antibodi merupakan cara paling sensitif untuk menemukan gangguan dalam produksi imunitas. Antibodi tersebut dapat ditemukan dengan pemeriksaan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (Djuanda, 2011). b. Western Blotting Uji ini digunakkan untuk dikonfirmasikan dari hasil positif ELISA. Tes ini biasanya dikombinasikan dengan pemeriksaan ELISA dengan tingkat keakuratan Western Blott ini mencapai 99,9% (Radji, 2010). c. Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR digunakkan dalam mendeteksi genetika virus yang terdapat di dalam sel. Bila terdapat potongan fragmen DNA dan RNA virus HIV maka mengindikasikan adanya penyakit HIV - AIDS (Radji, 2010). 2.11. Faktor - faktor yang mempengaruhi HIV – AIDS Nasronudin (2007) menyebutkan faktor risiko epidemiologis infeksi HIV yaitu perilaku yang berisiko tinggi terhadap melakukan seks bebas
33
dengan berganti ganti pasangan baik dengan cara anal maupun homoseksual. Di lain pihak penggunaan narkotika juga dapat mempengaruhi
faktor-faktor dari HIV - AIDS ini dikarenakan
pemakaian jarum yang berganti-ganti dan tidak steril. Selain itu juga faktor dari menerima transfusi darah yang terlalu berlebihan terhadap kebutuhan penyakit tertentu serta penggunaan jarum untuk memasang tato (Nasronudin, 2007).
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya faktor keyakinan, sarana-sarana fisik, sosial budaya, pengetahuan, sikap, keinginan, kehendak, keperluan, emosi, motivasi, reaksi, dan persepsi. Perubahan perilaku dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Contoh faktor internal yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku yaitu susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, dan keinginan (Ana, 2006). Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku yaitu
dukungan
internal
dari
keluarga,
besarnya
stimulus
perkembangan, dan pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Perubahan Perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang memengaruhi perilaku meliputi karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat keturunan (genetik), misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perilaku yakni lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini
34
merupakan faktor yang umum dalam mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).
2.12. Pencegahan resiko HIV-AIDS
Sudah lebih dari satu dekade ini sejak diketahuinya penyebab AIDS, berjuta – juta dolar telah dihabiskan ke dalam riset AIDS untuk menemukan vaksin terhadap infeksi HIV. Tetapi, obat untuk mengobati AIDS belum ditemukan. Zidovudine atau AZT, obat yang telah dipercaya selama ini masih memiliki kemampuan yang terbatas. Oleh karena itu pengobatan penyakit HIV/AIDS ini masih diprioritaskan pada pendekatan terbaik yaitu berupa pencegahan. Pencegahan AIDS diproritaskan melalui tiga cara utama yaitu: (1) kontak seksual, (2) penggunaan jarum suntik, dan (3) transfusi darah. Upaya yang sudah dilakukan dalam melakukan pencegahan HIV – AIDS yaitu dengan memastikan bahwa para pendonor darah tidak terinfeksi jenis virus yang mematikan ini. Dalam hal ini, telah dikatakan berhasil dalam menghilangkan kemungkinan infeksi melalui transfusi darah. Akan tetapi, upaya untuk mengurangi infeksi melalui hubungan seksual dan jarum suntik masih belum memberikan hasil yang meyakinkan (Hutapea, 2011).
Menurut Everett dalam buku AIDS & PMS (Hutapea, 2011) menjelaskan bahwa dalam menghindarkan penularan HIV melalui dua cara, yaitu dengan hidup selibat (celibacy) atau abstinensi dan dengan memelihara hubungan monogami seumur hidup dengan seseorang yang
35
bebas infeksi HIV. Abstinensi merupakan berpantang menikmati semua atau sebagian kesenangan tertentu, termasuk kehidupan asmara dan seks. Kemudian dalam hubungan monogami seumur hidup, apabila seseorang dapat membatasi kehidupan seksnya dengan berhubungan hanya dengan seseorang pasangan yang bebas HIV selama hidupnya maka kemungkinan besar akan terhindar ancaman dari penularan HIV, kecuali jika terdapat faktor lain yang tidak disengaja, misalnya transfusi darah dan lain sebagainya seperti yang sudah disebutkan di atas (Hutapea, 2011).
36
2.13. Kerangka Teori
Siswa
Proses Penyerapan Informasi/Pengetahuan
Media Leaflet
Metode Ceramah
Teori belajar Visual
Faktor Intrinsik
Teori Audio
Faktor ekstrinsik
Pengetahuan
Gambar 1. Landasan Teori (Berdasarkan teori Notoatmodjo, Slameto, Levie dan Lentz, dan Hamdani).
Berdasarkan tinjauan pustaka yang sudah dipaparkan sebelumnya
promosi kesehatan adalah segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan organisasi, politik dan
37
ekonomi yang dirancang untuk memudahkan perubahan perilaku dan lingkungan yang baik bagi kesehatan. Promosi kesehatan dapat berupa intervensi, melalui berbagai metode dan media pendidikan kesehatan, salah satunya dapat melalui metode ceramah dan media leaflet (Notoatmodjo, 2007).
Dalam hal ini dengan menggunakan metode dan media pembelajaran membutuhkan proses belajar. Menurut Slameto (2003), belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dan interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003). Belajar dapat terdiri dari berbagai interaksi dari berbagai macam indra, diantaranya dengan melalui indra penglihatan (visual), pendengaran (audio), serta penglihatan dan pendengaran (audio-visual) (Notoatmodjo, 2007). Menurut Levie & Lentz (1982) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu (a) fungsi atensi, (b) fungsi afektif, (c) fungsi kognitif, dan (d) fungsi kompensatoris.
Sedangkan pada fungsi audio
merupakan suatu proses penyampaian pesan yang hanya didapat melalui pendengaran
yang dapat merangsang proses pikiran,
perasaan, perhatian dan kemampuan dari para siswa untuk memperoleh bahan ajar (Hamdani, 2011).
Untuk mendapatkan proses belajar yang optimal dibutuhkan berbagai macam faktor terhadap hasil belajar tersebut. Adapun
38
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar secara umum menurut Slameto (2003) pada garis besarnya meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa faktor jasmaniah, psikologis dan kelelelahan. Faktor jasmaniah mencakup faktor kesehatan dan kecacatan tubuh, kemudian faktor psikologis yang termasuk intelegensi, minat, motivasi, perhatian, bakat, kematangan dan kesiapan. Sedangkan dari faktor eksternal dapat melalui 3 faktor diantaranya faktor keluarga, faktor lingkungan pendidikan, dan faktor masyarakat. Faktor keluarga dapat melalui dari cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan. Faktor lingkungan belajar dapat berupa relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, waktu sekolah, keadaan gedung dan lain sebagainya, sedangkan faktor masyarakat dapat berupa bentuk kehidupan bermasyarakat dan teman bermain.
39
2.14. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Metode Penyampaian
Ceramah
Pengetahuan Akhir (posttest)
Leaflet
2.15. Hipotesis H0 :
Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara ceramah dan leaflet untuk meningkatkan pengetahuan tentang HIV-AIDS.
H1 :
Terdapat perbedaan efektivitas antara ceramah dan leaflet untuk meningkatkan pengetahuan tentang HIV-AIDS.