1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti mahluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan anarkhi tanpa aturan. Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat. Berdasarkan rasa saling meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu saling terikat.1 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat az|-Z|a>riyat ayat: 49. ∩⊆∪ tβρã©.x‹s? ÷/ä3ª=yès9 È÷y`÷ρy— $oΨø)n=yz >óx« Èe≅à2 ÏΒuρ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”2
“
1
Abd. Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003) ,
2
Departemen Agama , Al Qur’ an dan Terjemaahnya, (Jakarta: CV Penerbit J-ART, 2005),
46. 523.
1
2
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuanya dirumuskan dalam wujud aturan-aturan hukum perkawinan. Hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya kesejahteran karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan perseorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarga. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai terperinci. Ada beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia melaksanakan tugasnya mengabdi kepada Allah SWT.3 Perkawinan dianggap sah menurut hukum Islam, apabila telah memenuhi rukun perkawinan meliputi: 1.
calon suami dan istri
2.
wali dari pihak calon perempuan.
3.
dua orang saksi.
4.
Sighat akad nikah.4
3
Abd. Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, 47.
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 61.
3
Rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sahnya atau tidak sahnya suatu perkawinan. Rukun adalah unsur yang melekat pada perbuatan hukum (misalnya akad perkawinan), baik dari segi para subjek hukum maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum (akad nikah) ketika perbuatan hukum itu berlangsung. Bahwa rukun berfungsi menentukan sah atau batalnya perbuatan hukum. Suatu perbuatan hukum dianggap sah jika terpenuhi seluruh rukunnya, dan perbuatan itu dinyatakan tidak sah jika tidak terpenuhi salah satu atau lebih atau semua rukunnya.5 Kaum wanita membutuhkan wali karena biasanya kaum wanita kurang berpengalaman dalam peristiwa-peristiwa praktis sehari-hari, tanpa wali besar kemungkinan meraka akan terlibat dalam keterikatan yang penuh instrik dan justru bertentangan dengan kehendaknya sendiri. Jika dalam perkawinan itu, hak sepenuhnya berada ditangan seorang wanita, maka besar kemungkinan dalam menentukan keputusan ia kurang menimbang masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan itu. Karena itu, beberapa ulama ahli hukum berpandangan bahwa kaum wanita membutuhkan wali justru untuk melindungi integritas moralnya serta menciptakan perkawinan yang berhasil.6 Oleh karena itu perkawinan yang dilangsungkan tanpa adanya wali, maka hukumnya tidak sah, secara hukum Islam. Hal ini sesuai dengan pasal 19
5
Neng Djubaidah, Pencatatan Pernikahan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan pertama, 2010), 90. 6
Hammudah Abd Al’Ati, Keluarga Muslim , (Surabaya: PT Bina Ilmu), 100.
4
dan 20 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak akan menikahkannya. Sedangkan pasal 20 (ayat 1 ) yang bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum yakni: 1. beragama Islam 2. berakal 3. dan baligh (ayat 2) wali nikah terdiri dari: 1. wali nasab 2. dan wali hakim.7 Perwalian dalam pernikahan adalah kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, demi kemaslahatannya sendiri. Namun keberadaan wali dalam pernikahan memberi nuansa bermacam-macam pendapat di kalangan para ulama yang menyimpulkan bahwa wali nikah akan menjadi syarat sahnya atau tidak suatu perkawinan. Sekarang ini sering terjadi bahwa sebagian masyarakat Indonesia khususnya generasi muda Islam melakukan pernikahanya tanpa wali. Memang banyak faktor yang menjadi penyebabnya nikah yang tidak dihadiri oleh wali nasab.
7
Kompilasi Hukum Islam, (Jogjakarta: Graha Pustaka), 144.
5
Menurut hukum perkawinan Islam yang berlaku di masyarakat Indonesia kedudukan wali sangat penting sehingga akad perkawinan yang dilangsungkan tanpa adanya wali tidak sah, dianggap batal. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW:
ﹶﻻ ﹺﻧ ﹶﻜﺎﺡ ﹺﺇﱠﻟﺎ ﹺﺑ َﻮِﻟ ﱢﻲ َﻭ َﺷﺎ ِﻫ ِﺪﻱ: ﷲ َﻋ ﹾﻠﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﱠﻠ َﻢ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ُ ﺻﱠﻠﻰ ﺍ َ ﷲ َﻋْﻨ َﻬﺎ َﻋ ﹺﻦ ﺍ ﻟﱠﻨﹺﺒ ﱠﻲ ُ ﺿ َﻲ ﺍ ِ ﺸ ﹶﺔ َﺭ َ َﻋ ْﻦ َﻋﺎ ِﺋ (َﻋ ْﺪ ﹴﻝ )ﺭﻭﺍﻩ ﺃﲪﺪ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻰ
“ Dari Aisyah r.a., Nabi SAW., beliau bersabda, tidak sah nikah, melainkan
dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (H.R.Ahmad dan Baihaqi)8
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Misalnya wali nikah dari pihak calon mempelai wanita tidak dapat menjadi wali dikarenakan tidak memenuhi syarat dalam perkawinan apa yang telah
di
jelaskan dalam buku-buku fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, diantaranya yaitu tidak beragama Islam. Hal ini berdalil dari firman Allah SWT dalam surat Ali‘Imra>n ayat 28. >óx« ’Îû «!$# š∅ÏΒ }§øŠn=sù šÏ9≡sŒ ö≅yèøtƒ tΒuρ ( tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# Èβρߊ ÏΒ u!$uŠÏ9÷ρr& tÍÏ≈s3ø9$# tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$# É‹Ï‚−Gtƒ ω
“ Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” 9 8
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Edisi Lengkap Fiqih Mazhab Syafi’I buku 2, Muamalah, Munakahat, Jianayah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 270. 9
54.
Departemen Agama, Al Qur’ an dan Terjemaahnya, (Jakarta: CV Penerbit J-ART, 2005),
6
Tidak diperbolehkan bagi orang kafir menjadi wali nikah bagi putrinya yang telah menjadi seorang (muallaf) wanita muslimah yang hendak menikah. Sebaliknya seorang muslim juga tidak diperbolehkan menjadi wali bagi wanita kafir, baik ia berstatus sebagai ayah maupun lainya. Karena orang kafir adalah wali bagi wanita kafir.
10
Dalil yang menjadi landasan ini adalah firman Allah
SWT surat at-Taubah ayat 71.
Ç 4 <Ù÷èt/ â!$uŠÏ9÷ρr& öΝßγàÒ÷èt/ àM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$#uρ tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ “ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain”.11 Demikian juga dengan firman-nya dalam surat yang lain ×Î7Ÿ2 ׊$|¡sùuρ ÇÚö‘F{$# †Îû ×πuΖ÷GÏù ä3s? çνθè=yèøs? ωÎ) 4 CÙ÷èt/ â!$uŠÏ9÷ρr& öΝåκÝÕ÷èt/ (#ρãxx. tÏ%©!$#uρ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai Para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS Al-Alfal:73).12 Namun Ibnu Wahab menentang pendapat tersebut, dimana ia mengatakan” seorang muslim dapat menjadi wali bagi putrinya yang kafir di
dalam pernikahanya dengan laki-laki muslim maupun kafir. 13 10
M. Abdul Goffar, Fiqih Wanita, (Jakarta Timur, Pustaka Al Kausar), 410.
11
Departemen Agama, Al Qur’ an dan Terjemaahnya, (Jakarta: CV Penerbit J-ART, 2005),
12
Ibid, 187.
199. 13
M. Abdul Goffar, Fiqih Wanita, 410.
7
Seorang wali dapat mewakilkan atau memberi kuasa kepada orang lain untuk menikahkanya. Penunjukkan orang yang ada di bawah perwaliannya. Penyerahan (penunjukan) suatu urusan pribadi kepada orang lain, untuk atas namanya diistilahkan dengan taukil atau pelimpahan kuasa, sedangkan taukil atau pelimpahan kuasa bermakna proses, cara perbuatan (memindahkan) suatu wewenang. Bahwa jika nikah yang berhak menjadi wali adalah non muslim, maka menurut jumhur fuqaha’ proses akad nikahnya dapat dilakukan oleh wali nasab (dari pihak keluarga) yang muslim atau bisa menjadi wali (urutan wali antar madzab tidak sama, tetapi yang asasi adalah ayah, kakek, ke atas, saudara kandung, saudara seayah dan paman, saudara ayah), jika tidak ditemukan saudara yang muslim maka yang berhak menjadi wali adalah hakim, dalam hal ini adalah Penghulu. Sedangkan menurut fuqaha’ Hanafi untuk sahnya pernikahan memang tidak diharuskan keberadaan wali. Jadi andai walinya non muslim, maka calon mempelai wanita dapat melakukan penunjukkan siapa saja dapat mewakilinya. Bahkan secara ekstrim, wanita tersebut dapat menikahkan dirinya sendiri. Tetapi secara fiqih moral nikah tanpa izin wali dikatagorikan sebagai tindakan yang tidak baik bahkan tercela apabila tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk itu.14 Sesorang yang baru masuk Islam tentu karena mendapat hidayah dari Allah SWT, baik melalui perkawinan seperti seorang istri mengikuti agama suaminya yang beragama Islam atau sebaliknya seorang suami yang mengikuti istrinya yang beragama Islam. Hal ini terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama di Kecamatan Negara Kabupaten Jembarana Bali, sering terjadi kasus perkawianan wanita muallaf penunjukkan wali nikahnya dilimpahkan kepada hakim dan ada juga yang melakukan penunjukkan wali 14
Ahmad Zahro, Fiqih Kontemporer, (UNIPDU Press, 2012), 116-117.
8
nikahnya dilimpahkan kepada seorang ustad. Hal ini Sering kali terjadi perkawinan antara seorang pria muslim dan seorang wanita muallaf yang tidak dihadiri oleh wali nasab dari pihak mempelai wanita yang statusnya seorang
muallaf tersebut. Ketidak hadiran wali nasab tersebut bukan karena yang bersangkutan tidak menyetujui dilangsungkanya perkawinan putrinya itu atau karena bertempat tinggal diluar negeri atau di luar daerah sehingga sulit menghadiri perkawinan tersebut dapat berlangsung, tetapi dikarenakan wali nasab dari mempelai wanita muallaf tersebut, tidak boleh menjadi wali nikah dikarena non muslim, untuk anaknya yang telah beragama Islam. Sedangkan keabsahan status perkawinan bagi wanita muallaf
yang
melakukan penunjukkan wali nikahnya itu dilimpahkan kepada hakim dan ada juga yang dilimpahkan kepada seorang ustad, yang telah membimbingnya masuk Islam. Bahwa pada dasarnya seorang wanita yang tidak mempunyai wali nasab, wali yang lebih berhak untuk menjadi wali nikah bagi seorang Muallaf tersebut adalah hakim, bukan ustad. Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Meteri Agama Republik Indonesia No. 30 Tahun 2005 tentang wali hakim. Menegaskan bahwa wali Hakim lah yang lebih berhak sebagai walinya. Banyak dalil dari mayoritas ahli fiqih menyebutkan bahwa: “ wanita tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri, maupun untuk orang lain, akan tetapi, ia harus dinikahkan oleh walinya atau dengan menghadirkan seorang wali yang
9
mewakilkan. Apabila dilangsungkan tidak dengan wali atau wali yang tidak berhak, maka perkawinanya tidak sah.15 Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan kebanyakan para ulama berpendapat bahwa nikah tidak sah dengan dilaksanakan oleh wanita sendiri atau wakilnya. Abu Tsaur berpendapat bahwa nikah itu sah apabila diizinkan oleh walinya dan bathal apabila walinya tidak mengizinkanya.16Ini adalah suatu adab Islam yang umum yang oleh karenanya syara’ telah membolehkan wanita mewakilkan mengenai urusanya itu kepada orang lain yang melaksanakan dalam majelis pria, maka itu merupakan suatu rukhs}ah (keringanan) yang tidak mesti kalau ia meninggalkannya dan melaksanakan seorang diri, lalu di hukumi batal Mengacu pada hadist di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pernikahan yang tidak ada walinya, maka walinya adalah Sultan sesuai dengan hadist di bawah ini.
ﺡ ِﺍﱠﻟﺎ ﹺﺑ َﻮِﻟ ﱟﻲ َ ﹶﻻﹺﻧ ﹶﻜﺎ: ﷲ َﻋ ﹶﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳ ﱠﻠ َﻢ ُ ﺻ ﱠﻠﻰ ﺍ َ ﷲ ِ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ َﺭ ُﺳ ْﻮ ﹸﻝ ﺍ: ﷲ َﻋ ْﻨ ُﻬ َﻤﺎ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ُ ﺿ َﻲ ﺍ ِ ﺱ َﺭ َﻋ ْﻦ ﺍْﺑ ﹺﻦ َﻋﱠﺒﺎ ﹴ (ُﻣ ْﺮ ِﺷ ٍﺪ ﺁﻭ ُﺳ ﹾﻠ ﹶﻄﺎ ﹰﻥ ) ﺭﻭﺍﻩ ﻟﻄﱪﺍﱏ
“Dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata, Rasulullah SAW., bersabda, tidak sah nikah,
melainkan dengan wali yang cerdas atau Sultan”. (H.R. Tabrani).17
Adapun yang di maksud Sultan ialah mereka yang memegang kekuasaan kewalian, bahwa Pemerintah Indonesia, mengenal masalah keagamaan 15
Syeh Hasan Ayub, Fiqih Keluarga Terjemaah, M. Abdul Ghofar, 48.
16
Syekh, Mahmud Syaltout, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang 1993), 114- 122. 17
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Edisi Lengkap Fiqih Mazhab Syafi’I Buku 2, Muamalah, Munakahat, Jinayah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007 ), 271.
10
khususnya dalam perkawinan sudah diserahkan kepada Kementrian
Agama
membawahi Kemeng Tingkat I, Tingkat II hingga ke Kantor Urusan Agama (KUA), sejalan dengan sebuah tanggung jawab dalam Inpres No. I tentang Kompilasi Hukum Islam. Untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang sah atau tidaknya pernikahan yang dilangsungkan oleh wali hakim, maka MUI provinsi DKI Jakarta memfatwakan tentang pengangkatan wali hakim sebagai berikut:18 1.
Bahwa pernikahan yang sah menurut syariah Islam, adalah pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan syariat Islam dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih; Bahwa suatu pernikahan harus dihadiri oleh wali dan kedua orang saksi laki-laki yang adil, jika yang memungkinkan yang menjadi wali pernikahan adalah wali nasab. Jika wali nasab menolak untuk menikahkan anak gadisnya dengan laki-laki yang kafa’ah atau tidak bisa menghadiri pernikahan karena bertempat tinggal di luar negeri atau luar daerah atau karena sebab lain, maka untuk mempermudah dan memperlancar pelaksanaan pernikahan, mempelai wanita dapat menunjuk wali hakim dari kalangan pengawai Kantor Urusan Agama. Hal ini didasarkan pada hadist shahih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Aisyah RA. Sebagai berikut:
2. 3.
ﺖ ﹺﺑ َﻐ ْﻴ ﹺﺮ ِﺍ ﹾﺫ ِﻥ َﻭِﻟﱢﻴ َﻬﺎ ﹶﻓﹺﻨ ﹶﻜﺎ ُﺣ َﻬﺎ ْ ﺤ َ ﷲ َﻋ ﹶﻠﻴ ِﻪ َﻭ َﺳ ﱠﻠ َﻢ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﹶﺍﱡﻳ َﻤﺎ ِﺍ ْﻣ َﺮﹶﺍ ٍﺓ َﻧ ﹶﻜ ُ ﺸ ﹶﺔ ﹶﺍ ﱠﻥ َﺭ ُﺳﻮ ﹶﻝ ﺍ َ َﻋ ْﻦ َﻋﺎ ِﺋ ﺠ ُﺮﻭﺍ َ ﺤ ﱠﻞ ِﻣ ْﻦ ﹶﻓ ْﺮ ﹺﺟ َﻬﺎ ﹶﻓﹺﺈ ِﻥ ﺍ ْﺷَﺘ َ َﺑﺎ ِﻃﻞﹲ ﹶﻓﹺﻨ ﹶﻜﺎ ُﺣ َﻬﺎ َﺑﺎ ِﻃﻞﹲ ﹶﻓﹺﺈ ﹾﻥ َﺩ َﺧ ﹶﻞ ﹺﺑ َﻬﺎ ﹶﻓ ﹶﻠ َﻬﺎ ﺍﹾﻟ َﻤ ْﻬ ُﺮ ﹺﺑ َﻤﺎ ﺍ ْﺳَﺘ (ﺴ ﹾﻠ ﹶﻄﺎ ﹸﻥ َﻭِﻟ ﱡﻲ َﻣ ْﻦ ﹶﻟﺎ َﻭِﻟ َﻲ ﹶﻟ ُﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮ ﻣﺬﻱ ﹶﻓﺎﻟ ﱡ
“Setiap wanita yang melangsungkan perkawinan tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal, batal, batal. Jika suami telah menggaulinya, maka ia berhak memperoleh mahar. Jika para wali berselisih (bertengkar), maka pemerintah adalah menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” 18
Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia, (Jakarta: PT Al Mawardin Rima, 2003).
11
4.
Jika wali hakim dari kalangan Pengawai Kantor Urusan Agama (KUA) yang ditunjuk oleh pemerintah mempersulit pelaksanaan pernikahan atau menuntut honor yang memberatkan orang yang hendak melangsungkan pernikahan, atau memperlambat pelaksanaan tugasnya melebihi batas waktu yang wajar sehingga menimbulkan kegelisahan bagi orang yang bersangkutan, maka mempelai wanita boleh menunjuk Wali Muhakkam dari tokoh masyarakat atau ulama setempat. 5. Sepanjang masih ada wali hakim dari kalangan pengawai Kantor Urusan Agama (KUA) yang ditunjuk oleh pemerintah, maka mempelai wanita tidak boleh wali muhakkam dari tokoh masyarakat atau ulama setempat. Sebab jika hal itu diperbolehkan, maka akan terbuka pintu terjadinya perkawinan di bawah tangan yamg tidak tercatat, sehingga mengakibatkan kesulitan perlindungan hukum bagi kedua mempelai dan anak-anak keturunan meraka.
Selanjutnya ditindak lanjuti dengan peraturan Menteri Agama No 11 Tahun 2007 tentang pencatatan nikah pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) yang berbunyi” untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat mewakilkan kepada
PPN, penghulu, pembantu PPN, atau orang lain yang memenuhi syarat”. ” Kepala KUA kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon isteri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi syarat,berhalangan atau adhal.” Dari deskripsi permasalahan di atas dan karena ada kejanggalan atas
penunjukkan wali nikah bagi seorang wanita muallaf, penunjukkan wali nikah
muallaf tersebut tidak semua perkawinan muallaf dilimpahkan kepada hakim tetapi ada juga yang dilimpahkan kepada seorang ustad
yang telah
menuntunnya masuk Islam. Sehingga penulis bergerak untuk mengadakan kajian yang lebih mendalam tentang pertimbangan hukum Islam yang digunakan oleh
muallaf tersebut, sehingga penunjukkan wali nikah dilimpahkan kepada seorang ustad. Oleh karena itu munculah pemikiran penulis untuk meneliti “ Kasus
12
Penunjukkan Wali Nikah Dalam Perkawinan Muallaf
Di KUA Negara
Kabupaten Jembrana Bali (Analisis Hukum Islam).”
B. Indentifikasi dan batasan masalah Dari pemaparan yang ada pada latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: 1.
Yang melatar belakangi terjadinya kasus penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf di KUA Negara Kabupaten Jembrana Bali.
2.
Prosedur penunjukkan wali nikah kepada hakim dan ustad.
3.
Proses atau praktek penunjukkan wali nikah kepada hakim atau ustad.
4.
Keabsahan status perkawinannya wanita muallaf tanpa wali nasab. Sehubungan dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk
memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada masalah-masalah berikut ini: 1.
Latar belakang penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf di KUA Negara Kabupaten Jembrana Bali.
2.
Praktek penunjukkan wali nikah dalm perkawinan muallaf
3.
Kesesuaian praktek penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf di KUA Negara Kabupaten Jembrana Bali dengan ketentuan hukum Islam.
13
C. Rumusan Masalah Dalam kajian penulis hanya membatasi dua masalah, agar apa yang dikaji dapat terselesaikan secara tuntas dan praktis. Maka dari itu dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf di KUA Negara Kabupaten Jembrana Bali?
2.
Bagaimana analisis hukum Islam terhadap penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf di KUA Negara Kabupaten Jembrana Bali ?
D. Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan gambaran untuk mendapatkan data tentang topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi penelitian. Sejauh ini penelitian yang dilakukan penulis terhadap karya-karya ilmiah yang membahasanya mengenai perkawinan tanpa adanya wali nasab dilakukan, bahkan secara global pernah dikaji pada skripsi-skripsi sebelumya, tetapi yang membahas dalam masalah kasus penunjukkan wali nikah dalam perkawinan
muallaf tidak ada, pada skripsi-skripsi sebelumnya. Adapun penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan para peneliti antara lain:
14
1.
Nikah tanpa wali, yang ditulis oleh saudara Churriyah pada tahun 1995. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Churriyah ini dengan mengunakan kajian pustaka, membandingkan antara pendapat fuqaha yang satu dengan pendapat ulama lain antara lain: Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali berpendapat jika wanita baligh dan berakal sehat masih gadis, maka hak menikahkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak boleh menikahkan janda itu tanpa persetujuannya dan wanita tersebut tidak boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa restu sang wali, namun pengucapan akad nikah hak wali. Sementara itu Imam Hanafi mengatakan, bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat, boleh melakukan akad nikah sendiri baik dia perawan maupun sudah janda, tidak seorangpun yang mempunyai wewenang atas dirinya.19
2.
Analisis Hukum Islam terhadap penunjukkan wali Hakim yang dilakukan oleh kepala KUA Gayungan Surabaya. Alif Rusdiansyah skripsi tahun 2012. Masalah yang ada pada judul skripsi di atas wali yang enggan (adlal) menikahkan putrinya, karena tidak menyukai calon suaminya yang kurang mapan dalam hal pekerjaannya, lalu wali tersebut menantang
dengan
ucapan “ Buktikan kalau kamu bisa nikah tanpa Bapak.” Dan ucapan itu dilontarkan dihadapan keluarga besarnya. Mendengar ucapan sang Bapak wanita tersebut mendantangi Mudin, agar menikahkan dirinya, tetapi 19
Churriyah, Nikah Tanpa Wali, 1995.
15
Mudin itu menolak menjadi wali hakim karena terlihat jelas masih ada wali kandung, karena merasa kasihan dengan wanita tersebut, akhirnya mudin menyuruh wanita itu membuat surat keterangan untuk mengajukan permohonan kepada KUA Gayungan Surabaya, agar pihak KUA Gayungan penunjuk wali hakim untuk menikahkan kedua mempelai. Sehingga perkawinan tersebut berlangsung dengan adanya bantuan wali hakim.20 3. Perspektif hukum Islam terhadap penerapan pasal 23 Kompilasi Hukum Islam tentang peralihan wali nikah nasab ke wali hakim (studi kasus di KUA Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto) Husni Mubbarok skripsi tahun 2007.21 Masalah yang ada pada judul skripsi di atas kasus peralihan wali nikah dari wali nasab ke wali hakim KUA Mojosari terjadinya setelah adanya permohonan dari mempelai wanita untuk menikah dengan menggunakan wali hakim, dengan alasan ayahnya telah meninggal dunia, sedangkan wali nasab terdekatnya (paman) diakui bertempat tinggal sangat jauh. Pihak KUA mengabulkan permohonan tersebut, karena telah memenuhi prosedur yang berlaku dan dikuatkan oleh surat keterangan wali hakim dari Desa, setelah pihak KUA mengetahui adanya pelanggaran pihak
20
Alif Rusdiansyah, Analisis Hukum Islam terhadap penunjukkan wali Hakim yang dilakukan oleh kepala KUA Gayungan Surabaya, Skripsi, 2012. 21
Husni Mubbarok, Perspektif Hukum Islam Terhadap Penerapan Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam Tentang Peralihan Wali Nikah Nasab Ke Wali Hakim (Studi Kasus DI KUA Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto), skripsi, 2007.
16
KUA Mojosari memanggil wanita dan pamanya, setelah diketahuai bahwa ada perselisihan antar keduanya, pihak KUA menjelaskan bahwa pamannya dapat mengajukan pembatalan nikah, karena perkawinan itu dilakukan dengan menggunakan wali yang tidak berhak untuk menikahkannya. Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini bukan merupakan duplikasi atau tidak sama dengan skripsi atau penelitian yang sebelumnya.
E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai adalah: 1.
Untuk memahami penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf di KUA Negara Kabupaten Jembrana Bali.
2.
Untuk menganalisis kesesuaian kasus penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf di KUA Negara Kabupaten Jembrana Bali dengan ketentuan hukum Islam
F. Kegunaan Hasil Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian yang penulis lakukan ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
17
1.
Secara teoritis a) Sebagai sumbangan pemikiran dalam pengembangan pengetahuan di bidang hukum keluarga Islam. b) Dapat dimanfaatkan dalam pengembangan pengetahuan dibidang ilmu hukum Islam yang berkaitan dengan penunjukkan wali nikah terhadap perkawinan muallaf, khususnya yang berkaitan dengan wali nikah untuk seorang muallaf.
2.
Secara praktis a) Untuk memberikan masukan dan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah kasus penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf yang dilakukan oleh seorang hakim dan ustad. b) Sebagai pedoman dan dasar bagi penulis lain dalam mengkaji penelitian lagi yang lebih mendalam.
G. Definisi Operasional Untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah dalam penelitian ini, maka disini dijelaskan pengertian definisi variabel sesuai operasional sebagai berikut: Penunjukkan wali nikah
: Penyerahan atau melimpahkan kewenangan yang diberikan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wali nikah bagi seorang
18
wanita (muallaf ) yang tidak mempunyai orang tua yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Perkawinan muallaf
: Ikatan lahir batin antara seorang pria muslim dengan seorang wanita yang baru masuk Islam (muallaf) sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Hukum Islam
: Ketentuan-ketentuan hukum Islam hasil ijtihad para ulama fiqih dan sumbernya yaitu kitab Al Qur’an dan hadis, dan Kompilasi Hukum Islam.
Jembrana Bali
: Kabupaten dan Kota yang ada diprovinsi Bali terletak di belahan barat pulau Bali.
H. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam katagori penelitian lapangan (fied research). Oleh karena itu, data-data yang dikumpulkan berasal dari data lapangan sebagai objek penelitian.
2.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di KUA Negara Kabupaten Jembrana Bali.
19
3.
Subjek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah penunjukkan ustad atau seorang kiyai sebagai wali nikah bagi perkawinan
muallaf di KUA Negara Kabupaten Jembrana Bali. 4.
Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari lapangan meliputi: a.
Sumber primer : Sumber primer penelitian ini meliputi: 1) Kepala KUA dan Pertugas KUA 2) Mempelai wanita muallaf yang telah melakukan penunjukkan memakai wali nikah seorang hakim dan ustad, 4 orang. 3) Mudin dan masyarakat setempat yang mengetahui permasalahan tentang permasalahan mempelai wanita muallaf yang mengunakan wali nikah seorang hakim dan ustad, 2 orang.
b.
Sumber sekunder 1) Dokumen (pribadi, atau
diri sendiri ) yang digunakan sebagai
dasar penunjukkan wali nikah dalam perkawinan seorang muallaf , dokumen tentang masuk Islam dan yang mencatat kasus penunjukkan wali nikah pada hari, tanggal dan tahun. Siapa yan
20
melakukan penunjukkan wali nikah kepada seorang ustad dalam perkawinan muallaf tersebut. 2) Dokumen publik yaitu dokumen yang disimpan di suatu lembaga, misalnnya yang berbentuk surat nikah yang dikeluarkan oleh pihak KUA. 5.
Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah: 1) Wawancara Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dalam kasus penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf. Wawancara adalah mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Adapun tujuan teknik wawancara untuk mendapatkan informasi tentang kasus penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf dan teknik ini ditujukan kepada Kepala KUA, ustad dan kiyai yang menjadi wali nikah dalam perkawinan muallaf, Mudin dan kedua mempelai. 2) Studi dokumen Pengumpulan dokumen, yang didapat berdasarkan arsip-arsip misalnya berupa berkas-berkas kasus perkawinan mualla yang ada dikantor KUA Negara Kabupaten Jembrana Bali.s
21
6.
Teknik Analisis Data Data yang telah berhasil dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif vertifikatif dengan pola pikir deduktif dan induktif. Deskriptif vertifikatif adalah salah satu jenis penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya, yang bertujuan untuk mengecek kebenaran hasil penelitian tersebut. Deduktif adalah
tulisan berpikir dengan yang bertitik tolak dari suatu
persoalan yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Induktif adalah tulisan berpikir suatu pengamatan terhadap persoalan yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
I. Sistematika Pembahasan Pembahasan dalam skripsi ini disusun secara sistematis menjadi untuk mempermudah pembahasan penelitian, dan demi mendapatkan beberapa bab yang masing-masing dibagi lagi menjadi sub-sub bab sebagai berikut: BAB I
:
Pendahuluan bab ini memuat bahasan tentang : latar belakang masalah, indentifikasi dan batasan masalah rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian yang meliputi data yang
22
dikumpulkan, sumber data, teknik analisis data dan diakhiri dengan sistematika pembahasan. BAB II
:
Landasan teori. Bab ini dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi pengertian muallaf dan wali menurut hukum Islam, macam-macam wali nikah, syarat-syarat wali, kedudukan wali nikah dalam hukum Islam, dan keabsahan wali nikah terhadap perkawinan muallaf.
BAB III
:
Hasil penelitian. Bab ini merupakan hasil penelitian dilapangan yang meliputi pembahasan tentang kondisi geografis, prosedur kasus penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf di Negara Kabupaten Jembarana Bali, dasar pertimbangan hukum yang digunakan dalam kasus penunjukkan wali nikah dalam perkawinan muallaf .
BAB IV
:
Analisis data. Bab ini merupakan analisis terhadap data yang dikemukakan pada lapangan mengenai kasus penunjukkan wali nikah dalam bab III yang meliputi prosedur kasus penunjukkan wali nikah dalam perkawinan dan dasar pertimbangan hukum yang digunakan dalam kasus penunjukkan wali nikah terhadap perkawinan muallaf yang terjadi di Negara Kabupaten Jembarana Bali.
BAB V
:
Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.