1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa Rasulullah SAW, tidak ada sumber hukum selain al-Qur‟an dan al-Sunnah. Menurut sebagian ulama, kata al-Qur‟an adalah bentuk masdar dari qara'a – yaqra'u – qira'atan, qur'anan.1 Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT.
ُإِ َّى َعلَ ٌٍَْا َج ْو َعهُ َوقُزْ َءاًَه "Sesungguhnya kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya." (QS. Al-Qiyamah [75] : 17).2 Al-Qur‟an secara harfiah berarti “bacaan sempurna”.3 Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi mengenai al-Qur'an. Misalnya menurut Muhammad Shubhi Shalih, yaitu
المكتوب فى المصاحف,َالكلم المعجز المنزل على النبي صلى هللا عليه و سلم المنقول الينا بالتواتر المتعبد بتلوته "Kalam yang mu'jiz (dapat melemahkan orang yang menentangnya) yang diturunkan kepada Nabi (Muhammad) SAW yang tertulis dalam mushaf yang
1
Muhammad Chirzin, al-Qur'an dan Ûlûmul Qur'an (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 1, Muhammad Ibn Mukarram Ibn Mansûr, Lisân al-„Arâb (Juz. I; Beirut: Dâr Al-Kutub Al„Ilmiyah, 2003), hlm. 158 dan Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hlm. 1102. 2 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma, 2009), hlm. 577. 3 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an (Bandung : Mizan, 1997), hlm, 3.
2
disampaikan (kepada kita) secara mutawatir4 dan membacanya dianggap ibadah."5 Al-Qur‟an merupakan kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran islam yang pertama dan utama dalam syariat islam. Di dalam al-Qur‟an masih banyak pokok-pokok yang bersifat umum bagi hukum-hukum syariat, tanpa pemaparan rincian keseluruhannya dan pencabangannya, karena al-Qur‟an merupakan petunjuk bagi umat manusia di setiap masa dan zaman sehingga seharusnya al-Qur‟an memerlukan penjelasan terhadap pokok-pokok yang masih bersifat umum. Oleh karena itu, al-Qur‟an sangat membutuhkan peranan sunnah Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an, dan begitu pula sunnah sangat membutuhkan terhadap al-Qur'an. Sunnah menurut bahasa yaitu السيرة المتبعةyang berarti suatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk.6 Menurut alJurjanî dalam kitab al-Ta„rifat Sunnah yaitu,
.الطريقة مرضية كانت او غير مرضية والعادة "Jalan yang diridhai atau tidak diridhai dan (berarti pula) kebiasaan.”7 Pengertian Sunnah secara bahasa ini sejalan dengan hadits Nabi riwayat Jarîr Ibn „Abdullah bahwa Rasulullah bersabda :
4
Yang berangsur-angsur. Athaillah, Sejarah al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 14. 6 Abdul majid, „Ulûmul Hadîts (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 5. 7 Idri, Studi Hadîts (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 1. 5
3
من سن في اْلسلم سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ول ينقص من أجورهم شيء ومن سن في اْلسلم سنة سيِّئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر .من عمل بها ول ينقص من أوزارهم شيء "Barang siapa menjalani (memberi contoh) dalam islam dengan jalan (contoh) yang baik kemudian orang-orang sesudahnya mengamalkannya, maka ditentukan baginya pahala sebagaimana pahala orang-orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikit pun dari pahala mereka itu. Barang siapa menjalani (memberi contoh) dalam islam dengan jalan (contoh) yang buruk kemudian orang-orang sesudahnya mengamalkannya, maka ditentukan baginya dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa mereka itu.8 Sunnah yang dimaksud oleh ulama Muhadditsin9 yaitu sinonim dengan pengertian hadits menurut mayoritas. Meskipun diantara mereka ada yang membedakan diantara keduanya, sehingga berpendapat bahwa hadits adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasul SAW, sedang Sunnah adalah sesuatu yang memiliki dasar amalan dari masa awal islam.10 Oleh karena itu, maka hadits adalah,
ُصلَى هللا َعلٍَ ِه َو َسلن َو اَ ْف َعالُهُ َواَحْ َىالُه َ ُاَ ْق َىالُه “Segala ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi SAW.”11 Termasuk ke dalam “keadaan Beliau”, segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti kelahirannya, tempatnya dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diangkat sebagai Rasul maupun sesudahnya. Sebagian ulama seperti al-Thibî berpendapat, “Hadits itu meliputi sabda Nabi SAW, meliputi 8
Muslim Ibn al-Hajjâj, Shahîh Muslîm, terj. Ma„mur Daud (Juz. II; Jakarta: Widjaya, 1993), hlm. 465. 9 Ahli/pakar hadits. 10 Muhammad Ajjaj al-Khathîb, Ushûl Hadîts, terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 7. 11 Hasbi al-Shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 5.
4
perkataan, perbuatan dan taqrîr sahabat, termasuk pula perkataan, perbuatan dan taqrîr tabi„in.”12 Hadits Nabi merupakan sumber ajaran islam disamping al-Qur‟an. Orang yang menolak hadits sebagai salah satu sumber ajaran islam berarti orang itu telah menolak petunjuk yang diberikan oleh al-Qur‟an, karena Nabi Muhammad SAW telah memberi petunjuk agar berita-berita tersebut dikonfirmasikan dengan alQur‟an. Apabila berita itu sesuai dengan al-Qur‟an berarti berita berasal dari Nabi, dan apabila ternyata berita itu bertentangan dengan al-Qur‟an berarti berita itu tidak berasal dari Nabi. Hal itu dapat dibuktikan sebagai berikut, 1. Kata Tibyan (penjelasan) yang termuat dalam surat an-Nahl [16] ayat 89, menurut al-Syâfi‟i mencakup beberapa segi pengertian, yakni: a.
Ayat al-Qur‟an menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, misalnya kewajiban shalat, dalam hal ini hadits Nabi menjelaskan teknis pelaksanaannya.
b.
Nabi menetapkan ketentuan yang dalam al-Qur‟an ketentuan itu tidak dikemukakan secara tegas, ketentuan dalam hadits tersebut wajib ditaati. Sebab Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menaati Nabi.
c.
Allah mewajibkan kepada hambanya untuk melakukan ijtihad.13
Jadi berdasarkan surat an-Nahl ayat 98 tersebut, hadits Nabi merupakan sumber penjelasan ketentuan agama islam. Ayat dimaksud sama sekali tidak menolak keberadaan hadits Nabi bahkan ayat itu telah memberikan kedudukan 12
Ibid, hlm. 5. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 91. 13
5
yang sangat penting terhadap hadits Nabi. Sebab ada bagian ketentuan agama termuat penjelasannya dalam hadits Nabi dan tidak termuat secara tegas dalam alQuran.14 2. Surat al-Hasr [59] ayat 7
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا واتقوا هللا إن هللا شديد العقاب “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukumannya”15 Kalangan ulama ada yang menyatakan, bahwa ayat ini berstatus umum untuk semua perintah dan larangan yang dikemukakan oleh Nabi. Maksudnya, segala apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad wajib dilaksanakan dan segala larangannya wajib dijauhi. Akan tetapi disisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadits dan al-Qur‟an dari segi redaksi dan cara penyampaiannya atau penerimaannya. Dari segi redaksi diyakini bila al-Qur‟an disusun langsung oleh Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibrîl, sekaligus al-Qur‟an ini menjadi mukjizat yang abadi bagi kerasulan Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan bahasa arab, baik dari segi lafal maupun maknanya. Hal ini berbeda dengan hadits yang biasanya disampaikan dari orang perorang sehingga besar kemungkinan ucapan satu orang berbeda dengan ucapan orang yang lainnya. Hal ini berbeda pula ketika terdapat
14 15
Ibid, hlm. 92. Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 546.
6
hadits yang mengandung penyandaran Rasulullah SAW kepada Allah SWT, maka disebut dengan hadits qudsi atau hadits Ilahi. Jadi, hadits qudsi ialah :
كل قول أضافه الرسول صلى هللا عليه وسلم إلى هللا عز وجل “Segala perkataan yang disandarkan Rasul SAW kepada Allah SWT.”16 Kata qudsi sekalipun berarti suci hanya merupakan sifat bagi hadits, sandaran hadits kepada Tuhan tidak menunjukan kualitas hadits. Oleh karena itu, tidak semua hadits qudsi shahîh17 tetapi ada juga yang hasan18 dan dha„îf.19 Tergantung persyaratan periwayatan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan.20 Menurut Hamiduddin dalam kitab Fawâ„idul „Amîr, perbedaan antara alQur‟an dan hadits qudsi itu ada 6 macam : 1. Al-Qur‟an memiliki sifat mu‟jiz (melemahkan pihak lawan yang akan menandinginya), berbeda dengan hadits qudsi. 2. Ibadah shalat tidak sah tanpa diiringi dengan bacaan al-Qur‟an, berbeda dengan hadits qudsi. 3. Orang yang mengingkari al-Qur‟an statusnya berubah menjadi kafir, namun tidak demikian halnya dengan orang yang mengingkari hadits qudsi. 4. Turunnya wahyu al-Qur‟an selalu disertai dengan keberadaan Jibril as yang menjadi mediator antara Nabi dengan Allah SWT, berbeda dengan hadits qudsi. 5. Lafaz atau redaksi al-Qur‟an berasal dari Allah SWT. Berbeda dengan hadits qudsi yang redaksi lafaznya berasal dari pihak Nabi SAW.
16
Abdul Majid Khon, op.cit, hlm. 11. Hadits Shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil melalui periwayatan orang yang „adl lagi dhâbit dari orang yang „adl lagi dhâbit (pula) sampai ujungnya, tidak syâdz dan tidak mu‟allal (terkena illat). 18 Hadits Hasan adalah hadits yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang „adl yang lebih rendah ke-dhâbit-annya tanpa syâdz dan tanpa illat. 19 Hadits dha„îf adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan. 20 Abdul Majid Khon, op.cit, hlm. 11. 17
7
6. Mushaf al-Qur‟an hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang tidak berhadats, berbeda dengan kitab kumpulan hadits qudsi yang boleh disentuh sewaktu-waktu sekalipun dalam keadaan ber-hadats.21 Dalam mengkaji hadits qudsi, penulis memfokuskannya kepada kitab AlBa„tsu Wa Al-Nusyûr karya imâm al-Bayhaqî. Kitab ini merupakan sebuah kitab yang berisi tentang hadits-hadits seputar hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain. Adanya penelitian khusus terhadap hadits-hadits qudsi yang terdapat dalam kitab Al-Ba„tsu Wa Al-Nusyûr karya imâm al-Bayhaqî, penelitian ini dimaksudkan untuk menghindari dari kesalahpahaman terhadap kualitas hadits qudsi dan dari pemakaian dalil-dalil hadits yang tidak dapat di pertanggung jawabkan sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT dengan lafal Nabi Muhammad SAW. Sekalipun hadits tersebut merupakan hadits qudsi yang disandarkan kepada Allah SWT, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan jika hadits qudsi itu berderajat dha‟îf. Oleh karena itu untuk mengetahui kualitas suatu hadits maka harus dilakukan penelitian terhadap sanad dan matan haditsnya. Dari pernyataan-pernyataan di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam tentang hadits qudsi. Terutama hadits qudsi yang terdapat pada kitab al-Ba„tsu Wa al-Nusyûr karya Imam al-Bayhaqî yang sudah di-tahqîq oleh Syaykh „Âmir Ahmad Haydar. Berkenaan dengan itu, dalam penelitian ini penulis mengambil judul : “KUALITAS HADITS QUDSI DALAM KITAB AL-BA‟TSU WA AL-NUSYÛR KARYA AL-BAYHAQΔ
21
Team Daar Al-Bazz, Syarh Hadîts Qudsi, terj. Wawan Djunaedi Soffandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 9.
8
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti, yaitu : 1.
Bagaimana kualitas perawi, sanad dan matan hadits qudsi pada kitab alBa„tsu Wa al-Nusyûr ?
2.
Bagaimana kualitas hadits qudsi yang terdapat pada kitab al-Ba„tsu Wa alNusyûr ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui kualitas perawi, sanad dan matan hadits qudsi pada kitab al-Ba„tsu Wa al-Nusyûr.
2. Untuk mengetahui kualitas hadits qudsi yang terdapat pada kitab al-Ba„tsu Wa al-Nusyûr. D. Kegunaan Penelitian 1.
Teoritis : a.
Penelitian ini dilakukan guna menambah khazanah pengetahuan tentang „ulûm al-hadîts.
b.
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kualitas hadits qudsi, khususnya yang terdapat pada kitab al-Ba„tsu Wa al-Nusyûr.
2.
Praktis : a.
Penelitian ini diharapkan dapat memunculkan minat para pembaca untuk mendalami kembali ilmu ushûl hadîts.
9
b.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dorongan moral kepada para pembaca agar terus menggali ilmu-ilmu tentang hadits. Sehingga dapat digunakan dalam memahami makna suatu hadits serta dalam mengetahui kualitas hadits.
E. Kerangka Pemikiran Kedudukan hadits dalam islam sebagai sumber hukum. Para ulama juga telah menyepakati dasar hukum islam adalah al-Qur‟an dan hadits. Dari segi dasar islam, hadits menjadi dasar hukum islam (tasyri‟iyah) kedua setelah al-Qur‟an. Maka orang yang menolak hadits sebagai salah satu sumber ajaran islam berarti orang itu telah menolak petunjuk yang diberikan oleh al-Qur‟an, karena Nabi Muhammad
SAW
telah
memberi
petunjuk
agar
berita-berita
tersebut
dikonfirmasikan dengan al-Qur‟an. Apabila berita itu sesuai dengan al-Qur‟an berarti berita berasal dari Nabi, dan apabila ternyata berita itu bertentangan dengan al-Qur‟an berarti berita itu tidak berasal dari Nabi. Sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi, maka pengertian hadits yaitu:
ُصلَى هللا َعلٍَ ِه َو َسلن َو اَ ْف َعالُهُ َواَحْ َىالُه َ ُاَ ْق َىالُه “Segala ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi SAW”.22 Pada pengertian hadits diatas, dapat diketahui bila Rasulullah menjadi sandaran utama pada setiap periwayatan haditsnya, hadits semacam ini dikatakan pula dengan istilah Hadits Nabawi. Sedangkan hadits yang disandarkannya kepada Allah SWT dengan redaksi yang disusun oleh Rasulullah SAW disebut Hadits Qudsi. Jadi pengertian hadits qudsi, yaitu: 22
Hasbi ash-Shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, op.cit. hlm. 5.
10
ار ِة ًَ ْف ِس ِه َ َص ْل َع ْن ِه ْي َذلِكَ ْال َوعٌَى بِ ِعب َ ًَِها أَ ْخبَ َز هللاُ ًَبٍَِّهُ بِاْ ِإل ْلهَ ِام أَوْ بِ ْال َوٌ َِام فَأ َ ْخبَ َز الٌَّب “Sesuatu yang dikhabarkan Allah Ta„âla kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata Beliau sendiri”.23 Hadits qudsi tak jauh berbeda dengan hadits-hadits yang lainnya, sandaran hadits kepada Tuhan tidak menunjukan kualitas hadits. Oleh karena itu, tidak semua hadits qudsi shahîh, tetapi ada juga yang hasan bahkan dha‟îf. Hal ini tergantung dari persyaratan periwayatan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan. Pada penelitian mengenai hadits qudsi ini, penulis memfokuskannya pada kitab kitab al-Ba„tsu Wa al-Nusyûr karya Imam al-Bayhaqî. Kitab al-Ba„tsu Wa al-Nusyûr yang berarti hari kiamat ini mencangkup 609 hadits dengan kualitas yang berbeda-beda. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut dari ke-609 hadits ini, penulis menemukan 16 buah hadits qudsi. Enam belas (16) hadits qudsi yang sudah ditemukan kemudian ditentukan kualitas haditsnya, untuk menentukan kualitas hadits qudsi, seperti shahîh, hasan dan dha‟îf. Maka sangat diperlukan metodologi kritik hadits. Dalam literatur Arab, kata naqd digunakan dengan arti kritik. Sedangkan dalam al-Qur‟an dan hadits, tidak ditemukan kata naqd dengan arti kritik, Karena al-Qur‟an menggunakan kata yamîz (bentuk mudhâri‟ dari mâza) untuk maksud ini, yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain. 24 tetapi istilah ini
23 24
Fatchur Rahman, Ikhtishâr Mushthalah Hadîts (Bandung: al-Ma‟arif, 1987), hlm. 50. Lihat al-Qur‟an surat Ali „Imrân : 179.
11
tidak populer di kalangan mereka. Mereka menamakan ilmu yang berurusan dengan kritik hadits dengan sebutan al-Jarh Wa al-Ta„dîl. Ilmu al-Jarh Wa al-Ta„dîl yaitu:
ُ ٍىال الز َوا ِة ِه ْي َح ُ ال ِع ْل ُن ال ِّذي ٌَب َْح ْث قَبُىْ ِل ِر َواٌَاتِ ِه ْن أَوْ َر ِّدهَا ِ ْث فًِ أَح “Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.”25 Dalam penggunaannya, Ilmu al-Jarh Wa al-Ta„dîl sangat membutuhkan kitab-kitab Rijâl al-Hadîts, seperti Tadzhîb al-Tahdzîb al-Kamâl Fî Asmâ‟ alRijâl, Tahdzîb al-Kamâl Fî Asmâ‟ al-Rijâl, Mîzân al-I„tidâl Fî Naqd al-Rijâl dan lain-lain. Untuk mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya dan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya. Dengan metodologi kritik hadits, penulis memperoleh data tentang derajat atau tingkatan para perawi suatu hadits, sehingga setelah seluruh data terkumpul penulis dapat mengetahui apakah suatu hadits dapat diterima atau harus ditinggalkan. Karena sekalipun hadits tersebut merupakan hadits qudsi, tetap tidak menutup kemungkinan akan didapatkan rawi-rawi yang tidak terpercaya atau berderajat dha‟if, karena pada dasarnya hadits qudsi serupa dengan hadits-hadits pada umumnya hanya saja sumbernya yang berbeda yakni dari Allah SWT.
25
Ibid.
12
F. Langkah-langkah Penelitian Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan utuh, maka penulis telah menyusun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini dengan melalui beberapa tahapan, yaitu diantaranya sebagai berikut : 1.
Metode Penelitian Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode content analysis
(analisis isi), Alasan dari penggunaan metode ini adalah bahwa penelitian ini dilakukan terhadap teks-teks yang terdapat dalam sebuah kitab. 2.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif.
Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga macam, yaitu sumber data primer, sumber data sekunder dan sumber data tersier. a.
Data primer, yaitu sumber utama yang dijadikan objek kajian yakni kitab al-Ba„tsu Wa al-Nusyûr Karya Imam al-Bayhaqî.
b.
Data sekunder, yaitu sumber yang membantu atau pelengkap yang berfungsi dalam mengembangkan data yang dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan penelitian seperti kitab-kitab, buku-buku atau karya-karya lain yang berkaitan dan menunjang terhadap objek penelitian seperti kitab-kitab hadits : Kutub al-Sittah, Musnad Ahmad, Musnad Abû Ya‟la, Shahih Ibn Hibban serta kitab-kitab „Ulûm al-Hadits, kitab Rijâl alHadits dan lain sebagainya.
13
c.
Data tersier, yaitu sumber yang digunakan untuk mengetahui bagaimana mencerna informasi-informasi pada sumber sekunder dan primer agar lebih mudah dipahami, seperti Kamus al-Munawwir dan Lisân al-„Arâb.
3.
Teknik Pengumpulan Data Setelah menentukan sumber data dan jenis data, data-data tersebut
dihimpun dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan yang dimaksud disini yaitu proses mendayagunakan berbagai informasi yang didapat dari sumber data primer dan sekunder. 4.
Analisis Data Setelah data-data yang diperlukan terkumpul maka selanjutnya data-data
tersebut diolah dan dianalisa, kemudian disusun secara literature dan ditarik satu kesimpulan.