1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Al-Qur’a>n al-Karim adalah kalam Tuhan semesta alam yang diturunkan malaikat Jibril kepada penutup para Nabi dan Rasul, yaitu Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk (bida>yah) bagi seluruh umat manusia. Kitab suci itu datang sebagai mukjizat yang kekal yang dipergunakan Islam untuk menentang orangorang Arab, yang tidak mampu menandingi kemukjizatan yang dikandungnya, baik dari segi susunan kata, gaya bahasa maupun dalam keindahan-keindahan sh>ari’a>t, filsafat, ilmu pengetahuan, maupun perumpamaan-perumpamaan yang dikandungnya.1 Al- Qur’a>n merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah. Ajaran dan hukum-hukumnya saling berkaitan erat, antara sebagian dengan sebagian yang lain sehingga menyerupai rangkaian anggota tubuh manusia. Sebagian anggota tubuh itu mempengaruhi sebagian anggota tubuh yang lain, dan satu bagian tubuh tersebut tidak dapat dipisahkan dari bagian yang lainnya. Maka akidah memberi suplai energi kepada ibadah, dan ibadah memberi suplai energi kepada akhlaq. Dan ketiga hal ini memberikan suplay energinya kepada bidang-bidang praktis dan amalan agama kepada manusia.2 Keindahan bahasa, kedalaman makna, keluhuran nilai, dan keragaman tema di dalam al- Qur’a>n membuat pesan- pesan Muhammad Isma’i>l Ibra>hi>m, Al-Qur’a>n wa I’ja>zuh al-‘Ilmi (Kairo: Da>r al-Fikr al‘Arabi>, t. t.), 12. 2 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’a>n dan Assunnah Refrensi Tertinggi Umat Islam (Jakarta: Robbani Press,1997), 24. 1
1
2
yang terkandung di dalamnya tak akan pernah kering untuk terus dikaji, diteliti, dan diperdalam. Oleh karena itu, upaya menghadirkan pesan-pesan Al- Qur’a>n merupakan proses yang tidak pernah berakhir selama manusia hidup di dunia ini.3 Al-Qur’a>n adalah kitab terlengkap sepanjang masa yang berisi bermacam jawaban dari bermacam-macam persoalan umat baik di masa dahulu maupun masa kini. Selain itu, banyak kandungan dalam al-Qur’a>n yang mengandung pimpinan kepada umat manusia tentang ilmu pergaulan hidup (sociology), ilmu penghidupan dan cara mencari penghidupan (economi), ilmu pendidikan atau ilmu cara mendidik (paedagogie), ilmu tata Negara atau pemerintahan Negara (politic) dan juga ilmu ketentaraan atau ilmu peperangan.4 Ayat-ayat mutasyabihat banyak terdapat dalam al-Qur’a>n dan berbagai macam pula pendapat tentang menafsirinya. Mutasya>bih secara bahasa berarti
tasya>buh, yakni apabila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. 5 Namun yang dimaksud disini mutasya>bihah yang berarti ayat-ayat yang maksudnya hanya diketahui Allah, mengandung banyak wajah, dan memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.6 Mutasyabihat banyak macamnya, salah satu kajian menarik tentang ayat mutasyabihat ialah tentang antropomorfisme, yakni tentang sifat-sifat jasmani bagi Allah. Mengenai ayat-ayat mutasyabihat yang terkait dengan sifat Allah (mutasya>bih al-s}ifat) mucul dua madzhab yakni maz}hab
salaf (aliran yang muncul terlebih dahulu) yang menyerahkan makna ayat mutasyabihat kepada Allah dan maz}hab khalaf (aliran yang muncul belakangan) Departemen agama RI, Mukaddimah Al-Qur’>an dan Tafsirnya. Munawwar Kholil, Al-Qur’a>n dari Masa ke Masa (Semarang; CV. Ramadhani, tt.), 75. 5 Manna’ Khalil al-Qattan, Maba>hi>th fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, terj. Mudzakir AS. (Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 2002), 304. 6 Ibid., 306. 3 4
3
yang menakwilkan ayat-ayat mutasya>bihat.7 Dan dalam perkembangannya muncullah aliran tengah yang berargumen jika ta’wil ayat mutasyabihat tersebut dekat dengan kaidah bahsa Arab maka takwilnya diterima, dan sebaliknya jika takwilnya jauh maka yang diambil ialah sikap tawaquf (tidak mengambil keputusan tentangnya).8 Dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa kali ayat-ayat mutasyabihat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah (mutasya>bih al-s}ifat) terutama sifat-sifat jasmani-Nya, salah satunya tentang wajhullah. Berbagai macam pendapat akan bolehnya menafsiri atau malah ada yang hanya berdiam saja karena berargumentasi bahwa ayat tersebut adalah rahasia Allah semata. Mengenai sifat-sifat Allah antara satu ulama dan yang lainnya berbeda pendapat, Ada tiga pendapat mengenai hal ini: (i) Ta’t}il, yakni orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah. Mereka menganggap sifat-sifat Allah dapat mengurangi keesaan-Nya. Inilah pendapat kaum muktazilah. (ii) Tasybi>h/tajsi>m, kebalikan dari ta’t}il dan inilah pendapat kaum antropormofis. (iii) Kaum yang mengambil jalan tengah, yakni dari para ahl al-Hadi>th yang menjadikan hadis sebagai pedoman mereka.9 Salah satu sifat Allah dalam Al-Qur’an ialah wajh. Bagi seorang manusia, wajah adalah bagian penting dan menjadi ciri paling khas manusia. Secara biologis, selain pipi, dahi, dagu, mata,hidung, mulut dan telinga juga menjadi
Subhi al-Shalih, Maba>hith fi ‘Ulu>m al-Qur’an (Beirut: Da>r al-‘Ilm al-Mala>yin, 1988),
7
281. Muhammad Abd. Al-‘Azhi>m al-Zarqani>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, 1998), 270. 9 Muhamad Abdul Halim, Memahami Al-Qur’a>n (Bandung: Penerjemah Marja’, 2002), 150. 8
4
bagian dari wajah. Ini berarti bahwa indera penglihatan, pendengaran,dan penciuman dan pengecapan terletak pada wajah, bersamaan dengan fungsi biologis seperti pernafasan dan pemasukan makanan, serta fungsi sosial dalam komunikasi verbal. Begitu juga penggunaan bahasa isyarat non verbal, wajah memainkan peran paling penting. Ekspresi wajah memperkuat pembicaraan.10 Mengenai ungkapan-ungkapan yang melibatkan tentang wajah Allah mufasir
yang
bermanhaj
Muktazilah
berpendapat
bahwa
wajah
Allah
mengandung arti Allah sendiri, bukan pada s}ifat maupun yang aspek yang lain. karena Allah tidak memiliki sifat yang dapat mengurangi keesaan-Nya, mengingat sudah lazim penggunaan kata “wajah” dengan maksud orang yang bersangkutan.11 Dalam konteks surat ar-Rahman ayat 26-28:
12
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?13
Lafadz wajh disini dapat dijabarkan bahwa wajah-Nya ada di mana-mana dan di setiap waktu, sedangkan semua yang lain musnah dalam waktu. Menakjubkan bahwa meskipun makna yang pasti bahwa yang kekal hanyalah
10
Ibid., 147-148. M. Abu Zahrah, Tari>kh al-Madza>hi>b al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Kutub, 1976), 186. 12 Al-Qur’a>n 55: 26-28. 13 Agus Hidayatullah dkk, al-Wasim Al-Qur’a>n Terjemah (Bekasi: Cipta Bagus Segara), 11
532.
5
wajah Allah yang memberikan kesan bahwa kesadaran pendengarannya bahwa wajah keagungan-Nya senantiasa mengawasi segala sesuatu yang pasti musnah, dan karena hanyalah Allah yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.14 Kaum Asy’ariyah yang menerima sifat-sifat Allah berpendapat bahwa Allah sungguh-sungguh memiliki wajah, bahwa wajah-Nya merupakan sebuah sifat yang bertalian dengan esensi-Nya, s}ifat dzat.15 Sesuai dengan pendapat ahl
al-Hadi>th yang dikutip Muhammad Abdul Halim yang menyatakan: “Kami tidak mempunyai pendapat apapun mengenai hal ini kecuali apa yang telah apa yang telah difirmankan oleh Allah Yang Maha Kuasa dan apa yang disabdakan Nabi (kesejahteraan semoga tercurah kepadanya). Karena itu kami katakan: Dia (Allah) betul-betul memiliki wajah, tanpa memberikan perinciannya.”
Menurut Muhammad Abdul Halim dalam bukunya Memahami Al-Qur’an, pendapat pendapat ahl al-Hadi>th Asy’ariyah diatas lebih meyakinkan dalam menerima ungkapan wajhullah sebagaimana adanya. Yakni dengan dengan meyakini bahwa wajah Allah memang merupakan salah satu dari sifat Allah, bukan dengan mengingkarinya tetapi hanya mengatakan bila> kayf (tanpa deskripsi tentang bagaiamana) dan memahaminya sebagai mengandung arti yang layak bagi keagungan-Nya.16 Musthafa al-Mara>ghi> merupakan salah satu murid Muhammad Abduh yang terkenal berpaham rasionalis dan selalu mengedepankan akal dalam setiap penafsirannya. Namun anehnya, ketika menafsirkan ayat 100 surat al-An’am dan ayat ke 91 surat al-Mu’minun al-Mara>ghi> mengakui adanya sifat-sifat Allah Muhamad Abdul Halim, Memahami Al-Qur’a>n, … 154. Ibn Furak, Kita>b Musyk>il Hadi>th (Hyderabad: 1943), 131. 16 Muhamad Abdul Halim, Memahami Al-Qur’a>n…, 157. 14 15
6
secara umum, namum ia tidak menegaskan apakah sifat-sifat Allah tersebut berada dalam zat-Nya atau di luar zat-Nya. Juga tidak menjelaskan apakah sifatsifat Allah tersebut qa>dim dan kekal sama seperti dzat-Nya atau tidak. Yang jelas, menurut al-Mara>ghi Tuhan itu suci dari segala sifat kekurangan yang menyebabkan kemandirian-Nya dalam penciptaan dan pengaturan menjadi hilang, karena tidak ada satupun yang sama dengan Tuhan.17 Mengenai permasalahan ru’yatullah al-Mara>ghi> kembali menggunakan rasionalnya. Menurutnya manusia tidak akan mampu melihat Tuhan dengan mata kepala di dunia ini, bukan membicarakan masalah ru’yatullah di akhirat. Ia mempercayai bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, meskipun tidak diketahui bagaimana caranya. Sebab hal itu termasuk bagian dari situasi hari kiamat yang hanya diketahui Allah.18 Memperhatikan hal-hal tersebut di atas dari berbagai sudut pemikiran alMara>ghi> yang tergolong mufasir bermadzhab Syafi’i-Asy’ariyah, namun juga terkadang bercorak rasional mengikuti Muhamad Abduh gurunya, maka menarik rasanya jika pemikiran tersebut diteliti dan dikaji lebih dalam lagi akan pendapatnya tentang sifat Allah yakni penafsiran seputar wajhullah pada ayat 2628 surat ar-Rahman.
Ahmad Musthafa Al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1974), 205. Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir Al-Mara>ghi> (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), 169-170. 17 18
7
B. Identifikasi Masalah Untuk mengantisipasi segala bentuk interpretasi yang keliru terhadap maksud yang terkandung dalam judul penelitian ini, penulis menganggap perlu memberikan batasan terhadap permasalahan diatas. Uraian singkat pada latar belakang di atas, mengerucut pada pembahasan tentang penafsiran al-Mara>ghi> terhadap ayat-ayat yang berkaitan tentang wajhullah dalam kitab Tafsir Al-Mara>ghi> karangannya. Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa kelompok mu’tazilah adalah kelompok ta’thil, yakni tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah karena itu akan mengurangi keesaannya. Al-Mara>ghi> sebagai murid Muhammad Abduh dan sering mengutip pemikirannya, dan jika diteliti dari kitabnya juga memiliki pemahaman yang sama dengan Muhammad Abduh akan peniadaan sifat-sifat Allah. Kemudian untuk itu diangkatlah sebuah penelitian yang berkonsentrasi terhadap penafsiran lafadz wajhullah dalam surat ar-rahman ayat 26-28 menurut al-Mara>ghi> dalam kitab Tafsir Al-Mara>ghi>.
C. Rumusan Masalah Agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, maka perlu diformulasikan beberapa rumusan permaslahan pokok sebagai berikut: 1. Bagaimana penafsiran al-Mara>ghi> terhadap ayat 26-28 surat ar-Rahman tentang wajhullah? 2. Bagaimana konsep wajhullah dalam Al-Qur’an menurut al-Mara>ghi>?
8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya penelitian ini meliputi dua aspek yaitu: a. Mengetahui penafsiran al-Mara>ghi> terhadap ayat 26-28 surat arRahman tentang wajhullah. b. Mengetahui konsep wajhullah dalam Al-Qur’an menurut al-Mara>ghi>. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini meliputi beberapa hal yaitu: a. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberi sumbangsih wawasan khazanah keilmuan tafsir dan penelitian tentang penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang terkait dengan sifat Allah (mutasyabih al-shifat) khususnya tentang penafsiran wajhullah menurut salah satu mufasir yang terkadang menggunakan rasio dalam menafsirkan, yakni Musthafa al-Mara>ghi>. b. Secara praktis, penelitian ini dapat memperkaya cara pandang masyarakat muslim terhadap persoalan kalam (wajhullah) dengan menghadirkan beberapa pendapat atau pandangan dari mufasir secara seimbang dan komprehensif.
E. Telaah Pustaka Selama ini belum ditemukan karya tulis yang secara khusus mengkaji tentang penafsiran wajhullah menurut al-Mara>ghi> dalam Tafsir Al-Mara>ghi.
9
Hanya saja ada sebuah disertasi yang pernah membahas tentang pemikiran kalam al-Mara>ghi> secara umum. Beberapa karya penafsiran metode maudhu’i baik dalam bentuk buku maupun penelitian ilmiah juga belum ditemukan adanya pembahasan yang mirip dengan penelitian ini, adapun karya yang membahas tentang wajhullah, diantaranya adalah: 1.
Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir Al-Mara>ghi>
2.
karya Hasan Zaini ini merupakan desertasi pada program pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah. Desertasi ini membahas pemikiran kalam al-Mara>ghi> secara umum, al-Mara>ghi> adalah salah satu murid Muhamad Abduh yang terkenal dengan penggunaan
rasional
kecenderungan al-Mara>ghi>
yang lebih
banyak.
Buku ini
meneliti
dalam sisi rasio dan bagaimana al-Mara>ghi>
mengaplikasikan pemikiran tersebut ke dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat kalam. Metode yang digunakan oleh Hasan Zaini dalam bukunya ini adalah metode komparatif (perbandingan), dengan membendingkan antara pemikiran alMara>ghi> dan pemikiran para teolog lain baik mu’tazilah, maturidiyah, maupun asy’ariyah lalu dibandingkan dengan pemikiran al-Mara>ghi>. Sedangkan teori yang dipakai dalam buku ini adalah teori ilmu kalam, dalam buku ini dijelaskan secara rinci mulai dari perbandingan pemikiran kalam mu’tazilah, maturidiyah, maupun asy’ariyah lalu dibandingkan dengan pemikiran al-Mara>ghi> melalui penafsirannya pada ayat-ayat kalam. Sistematika pembahasannya pun mengikuti
10
susunan corak pemikiran kalam dimulai dari kemampuan manusia, fungsi wahyu dan konsep iman, hingga sifat dan perbuatan Tuhan. Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa buku karangan Hasan Zaini tersebut membahas al-Mara>ghi> dari segi penafsirannya akan ayatayat tentang kalam dan mengaplikasikan pemikirannya dalam aliran teologi yang ditemukan kecenderungan penafsiran al-Mara>ghi> pada rasio dengan porsi lebih banyak seperti pemikiran gurunya Muhammad Abduh. Dengan penelitian yang dilakukan Hasan Zaini ditemukan bahwa dengan penggunaan rasio lebih banyak pemikiran al-Mara>ghi> termasuk pemikiran yang memiliki beberapa kemiripan dengan aliran mu’tazilah dan maturudiyah samarkand. Begitu juga dengan masalah sifat Allah, al-Mara>ghi> sama seperti mufasir-mufasir aliran mu’tazilah yang tidak menerima sifat bagi Allah dan cenderung menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat yang berkenaan dengan sifat (mutasyabihat al-shifat). Oleh karena itu, pada pembahasan penelitian selanjutnya akan dikaji secara khusus penafsiran Musthafa al-Mara>ghi> terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan mutasyabihat al-shifat, khususnya penafsiran wajhullah dalam surat ar-Rahman ayat 26-28.
F. Metode Penelitian 1. Model Penelitian Penelitian ini menggunakan model metode penelitian kualitatif, sebuah metode penelitian yang berlandaskan inkuiri naturalistik atau alamiah, perspektif
11
ke dalam dan interpretatif.19 Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan dari diri penulis terkait persoalan yang sedang diteliti, yaitu tentang indikasi adanya pemahaman terhadap penafsiran wajhullah dalam Al-Qur’an. Perspektif ke dalam merupakan sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semulanya didapatkan dari pembahasan umum yang pada penelitian ini berupa penyebutan kata wajhullah yang berarti wajah Allah, sedangkan interpretatif adalah penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan untuk mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat, atau pernyataan, dengan kata lain penerjemahan terhadap obyek bahasan, yang dalam penelitian ini berupa uraian al-Mara>ghi> dan beberapa mufasir tentang wajhullah dalam Al-Qur’an terutama ayat 26-28 surat ar-Rahman. 2. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang menggunakan jenis penelitian dengan metode library research (penelitian kepustakaan) serta kajiannya disajikan secara deskriptif analitis, oleh karena itu berbagai sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis baik berupa literatur berbahasa Indonesia, Inggris maupun Arab yang dimungkinkan mempunyai relevansi yang dapat mendukung penelitian ini. 3. Metode Penelitian Metode penelitian menggunakan metode konten analisis, yaitu penelitian yang bersifat menggambarkan dan menguraikan sesuatu hal menurut apa adanya atau karangan yang melukiskan sesuatu. Metode tersebut dapat digunakan untuk 19
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),
2.
12
memperoleh wacana tentang penafsiran lafadz wajhullah menurut al-Mara>ghi> dalam Al-Qur’an dengan metode tafsir tahlili. Analitis
(tahlili>),
adalah
penafsiran
ayat-ayat
Al-Quran
dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut20. Melalui metode tahlili>, biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Quran, ayat demi ayat, dan surat demi surat, sesuai dengan urutan di dalam mushshaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (al-muna>sabah), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya. Metode ini terbagi dalam dua bentuk, yaitu bentuk bi al-ma’tsu>r, yaitu penafsiran yang akan berjalan terus selama riwayat masih ada, kemudian dengan bi al-ra’yi, yaitu penafsiran yang akan berjalan terus dengan ada atau tidak ada riwayat.21 Pendeskripsian ini digunakan oleh penulis dalam memaparkan hasil datadata yang diperoleh dari literatur kepustakaan, baik literatur yang membahas tentang kajian seputar ilmu tafsir, serta hasil-hasil penafsiran al-Mara>ghi> maupun
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’a>n (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
20
1998), 31 21
Ibid, 55.
13
beberapa ulama terhadap lafadz wajhullah pada surat ar-Rahman ayat 26-28 dalam Al-Qur’an. 4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai data berupa catatan, buku, kitab, dan lain sebagainya, yang berhubungan dengan hal-hal atau variable terkait
penelitian
berdasarkan
konsep-konsep
kerangka
penulisan
yang
sebelumnya telah dipersiapkan. 5. Metode Analisis Data Semua data yang terkumpul, menggunakan metode konten analisis baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas data-data yang memuat penafsiran wajhullah pada surat ar-Rahman ayat 26-28 dalam Al-Qur’an dengan menggunakan metode penafsiran tahlili. 6. Sumber Data Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yaitu primer dan sekunder: Sumber primer adalah rujukan utama yang akan dipakai yaitu kitab suci Al-Quran dan terjemahannya serta Tafsir al-Mara>ghi karya Ahmad Musthafa alMara>ghi>. Sumber sekunder sebagai rujukan pelengkap, antara lain : a. Tafsi>r al-Muni>r karya Wahbah Zuhaily. b. Tafsi>r Fi Dzilalil Qur’an karya Sayyid Quthb.
14
c. Tafsi}r Fath al-Qadi>r, karya al-Syaukani d. Tafsi}r al-Kasha>f, karya al-Zamakhshari. e. Tafsi>r al-Mis}ba>h karya M. Quraish Shihab. f. Ru>h al-Ma’ani karya al-Alusi. g. Tafsir> al-Azhar karya Hamka. h. Tafsi>r ibn Katsi>r karya Ibn Katsir i. Tafsi>r Tanwi>rul Miqba>s min Tafsi>r Ibnu Abba>s, karya Ibn ‘Abbas. j. Al-Mufassi>r wal Mufasiru>n karya adz-Dzahabbi. k. Maba>hi>ts fi ‘Ulu>mil Qur’an karya Manna’ Khalil al-Qathan. l. Memahami Al-Qur’an karya Muhammad Abdul Halim. m. Metafisika Al-Qur’an karya Muhammad Husain Behesti. n. Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir Al-Mara>ghi> karya Hasan Zaini.
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulisan ini disusun atas lima bab sebagai berikut : 1. BAB I : Pendahuluan. Pada bab ini, lebih mencantumkan beberapa sub-judul sebagai pengantar bagi pembaca. Meliputi Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Judul, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian, Dan Sistematika Penulisan.
15
2. BAB II : Tafsir dan Tafsir Tahlili. Pada bab ini lebih di dominasi dengan teori-teori yang berkenaan dengan tafsir, pengertian tafsir dan tafsir tahlili beserta teori tafsir tahlili aplikatif. 3. BAB III : Data-data berupa biografi Ahmad Mustofa al-Mara>ghi>, mengupas sistematika dan pembahasan tafsir karangannya yaitu Tafsir Al-Mara>ghi>, serta kualifikasi keilmuan dan kelayakan Ahmad Mustofa al-Mara>ghi> menurut ulama-ulama. 4. BAB IV : berupa data utama yang berisi penafsiran terhadap surat ar-Rahman ayat 26-28 sekaligus analisa akan konsep wajhullah menurut al-Mara>ghi>. Pada bab ini berisi penafsiran atas ayat 26-28 surat ar-Rahman baik dari alMara>ghi> maupun bantuan pemikiran dari mufasir-mufasir lain yang memilki kualifikasi dan integeritas yang tinggi terhadap tafsir serta analisa akan konsep wajhullah menurut al-Mara>ghi> secara jelas dan luas. 5. BAB V : Penutup. Bab ini merupakan bagian penutup yang mengemukakan kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pokok permasalahan dan saran-saran.