BAB. I PENDAHULUAN Latar Belakang
Jagung merupakan komoditas penting kedua dalam ekonomi tanaman pangan di Indonesia setelah padi/beras. Akan tetapi dengan berkembang pesatnya industri peternakan, dimana jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan, diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan benih. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan (Kasryno et al., 2007). Dengan semakin meningkatnya krisis energi, manfaat jagung semakin luas yaitu sebagai salah satu komoditas pertanian sumber bioetanol yang menyebabkan lahan-lahan pertanian komoditas tertentu seperti kedelai di Amerika beralih fungsi menjadi lahan pertanaman jagung. Oleh karena itu jagung sebagai komoditas multifungsi mempunyai prospek yang sangat baik, sekarang dan di masa datang. Salah satu kendala dalam teknologi peningkatan produksi selama ini adalah penggunaan kultivar dengan potensi hasil yang masih rendah. Oleh sebab itu, salah satu upaya untuk mengurangi impor adalah penggunaan kultivar hibrida yang berpotensi hasil tinggi. Dalam proses pembentukan kultivar hibrida yang memiliki heterosis tinggi, pemilihan tetua sangat menentukan dan secara konvensional memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit (Subandi, 1998). Di dalam program pemuliaan hibrida tanaman ada tiga tahapan penting yang secara rutin dilakukan oleh pemulia yaitu: membentuk populasi tanaman sesuai karakter yang diinginkan, mengevaluasi dan menyeleksi individu superior, dan melakukan rekombinasi dari individu superior untuk menghasilkan populasi baru untuk siklus selanjutnya serta peningkatan hasil (Allard, 1960; Poehlman, 1987; Simmonds, 1979). Metode klasik tersebut telah menghasilkan kemajuan genetik yang penting pada jagung.
Kontribusi pemuliaan konvensional atau pemuliaan dengan penanda atau marka fenotipik murni dalam meningkatkan potensi hasil telah didokumentasikan dengan memisahkan kemajuan genetik murni dari lingkungan serta mengamati dan menganalisis dampak perubahannya dalam jangka panjang terhadap potensi hasil dan toleransinya terhadap tekanan dari jagung hibrida komersial. Duvick (1984) mengemukakan bahwa sejak tahun 1930 sampai tahun 1980, potensi genetik hibrida di AS meningkat 92 kg/ha/tahun. Metode pemuliaan berbasis marka fenotipik telah memberikan hasil yang impresif. Dahlan et al. (1996) telah membentuk pola heterotik antara dua pasangan populasi, yaitu pasangan Malang Sintetik (MS) J1 dengan J2 versi umur dalam, dan pasangan MS K1 dengan K2 versi umur genjah.
Prosedur seleksi yang digunakan ialah “Modifikasi Seleksi Berulang
Berbalasan” dimana satu daur seleksi terdiri dari 4 musim tanam yakni : pembentukan galur S1, pembentukan silang puncak galur S1 menggunakan penguji populasi pasangannya, evaluasi silang puncak, dan rekomendasi galur-galur terpilih. Pengaruh langsung akibat satu daur seleksi berulang berbalasan pada pasangan populasi J1 dan J2 serta pasangan K1 dan K2 yaitu berupa peningkatan hasil silang populasi J1 x J2 dan K1 x K2; serta kenaikan heterosis. Pengaruh tidak langsung yaitu berupa peningkatan hasil pada keempat populasi K1, K2, J1 dan J2. Hibrida silang tiga-jalur yang diperoleh dari seleksi berulang berbalasan J1 dan J2, memberikan hasil biji 32% di atas hasil silang tunggal populasi asal J1CO x J2CO. Pasangan populasi MS.J1 dengan J2 dan K1 dengan K2 memiliki peluang untuk memperoleh hibirida jagung berdaya hasil tinggi di Indonesia. Namun dengan berubahnya fungsi utama jagung sebagai konsumsi pangan dan benih ke arah industri seperti pakan, bahan makanan atau sebagai salah satu sumber bahan baku bioetanol, hal tersebut belum menjamin bahwa kemajuan genetik secara historis tersebut dapat dipertahankan hanya dengan menggunakan marka fenotipik. Fakta telah mulai muncul bahwa peningkatan hasil pada tanaman sereal utama, seperti jagung, mulai menurun pada beberapa negara (Pingali, 2001). Oleh sebab itu, untuk memastikan bahwa peningkatan produktivitas akan bisa mengimbangi permintaan yang meningkat untuk bahan konsumsi dan bahan baku industri, berbagai alat bantu dibutuhkan. Dalam proses seleksi tetua hibrida, tidak mungkin untuk menilai semua 2
koleksi inbrida. Salah satu alternatif adalah melakukan persilangan berdasarkan perbedaan genetik tetua dengan menggunakan marka molekuler (Arcade et al., 1996; Melchinger, 1999). Pabendon et al. (2002) melakukan karakterisasi marka molekuler berdasarkan kemiripan genetik pada sejumlah koleksi galur inbrida di Balitsereal. Hasil analisis gerombol menunjukkan MSJ1 dan J2 berada pada gerombol yang berbeda. Nilai jarak genetik J1 vs J2 cukup tinggi antara lain J2-R-144 vs J1-46 sebesar 0,80, J2-R-144 vs J1-19-1 sebesar 0,72. Dengan demikian, informasi daya gabung khusus konsisten dengan informasi nilai jarak genetik secara molekuler. Oleh sebab itu, penggerombolan galur-galur jagung ke dalam kelompok heterotik sebelum pengujian di lapangan akan memungkinkan bagi pemulia untuk mengurangi biaya dan waktu pengujian karena uji daya gabung umum (DGU) tidak perlu dilakukan lagi. Selain itu dapat menghindari terjadinya persilangan di dalam kelompok heterotik. Pemahaman aplikasi marka molekuler dalam pemuliaan tanaman memerlukan pemahaman yang detail mengenai metodologi pemuliaan tanaman (siklus waktu), genetika kuantitatif, dan statistik. Pengetahuan genetika kuantitatif dan statistik dibutuhkan untuk mengerti bagaimana kultivar terbaru dan hibrida dikembangkan sebagai dasar teori dari metodologi pemuliaan tanaman; desain, implementasi, dan interpretasi dalam eksperimen pemuliaan tanaman; dan kemampuan statistik dibutuhkan untuk mendeteksi perbedaan di antara kultivar dan hibrida. Supaya program menjadi sukses, ekonomi pengembangan kultivar harus dipertimbangkan secara berkelanjutan bersama dengan desain program pemuliaan. Dari sejumlah marka molekuler, marka mikrosatelit atau SSR (Simple Sequence Repeat) telah dikenal secara luas banyak memberikan harapan dalam studi keragaman genetik dan prediksi hibrida karena sesuai dengan pewarisan Mendel dan penampilannya yang kodominan, sehingga dapat mengidentifikasi genotipee homozigot dan heterozigot di dalam populasi. Selain itu, telah tersedia sejumlah besar set mikrosatelit yang dapat digunakan pada jagung, sebagian besar telah diidentifikasi berasosiasi dengan QTL (Quantitative Trait Loci) karakter hasil biji (Sibov et al., 2003). Marka DNA merupakan alat bantu yang lebih tegas dalam membedakan variasi di antara plasma nutfah tanaman, identifikasi genotipe dan studi hubungan kekerabatan 3
(Caetano Anolles, 1996). Reif et al. (2003) mempelajari hubungan antara heterosis dan jarak genetik berdasarkan 85 marka SSR dengan menyilangkan tujuh populasi jagung tropis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa marka SSR merupakan alat bantu yang potensial untuk mengelompokkan plasma nutfah berdasarkan tingkat kemiripan genetik. Selain itu marka SSR sebagai komplemen yang sangat penting untuk percobaan lapangan dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok yang mempunyai respon heterosis yang baik.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah marka molekuler (mikrosatelit) dapat dimanfaatkan sebagai alat prediksi awal dalam seleksi tetua potensial melalui informasi: •
Keragaman genetik, jarak genetik, kelompok heterotik, dan hasil analisis paket marka yang berbeda dengan menggunakan marka mikrosatelit.
•
Korelasi nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida F1 hasil silang uji (test cross).
•
Korelasi nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan hibrida F1 hasil silang dialel.
•
Potensi hasil (bobot biji) hibrida hasil persilangan antar tetua yang diseleksi berdasarkan nilai jarak genetik dengan menggunakan marka mikrosatelit.
Hipotesis •
Jarak genetik berbasis marka molekuler berkorelasi positif dengan penampilan fenotipik hibrida F1 hasil silang uji dan hasil silang dialel.
•
Penggunaan materi genetik hasil silang uji dan materi genetik hasil silang dialel memberikan informasi korelasi yang sama.
•
Hibrida potensial diperoleh dari pasangan tetua kelompok heterotik yang berbeda.
4
Strategi Penelitian Penelitian melingkupi dua aspek: (1) mekanisme prebreeding dengan alat bantu marka SSR, (2) mekanisme breeding (pemuliaan) menggunakan metode silang uji dan metode dialel. Adapun strategi pemuliaan untuk mempercepat proses pembentukan hibrida heterosis tinggi dengan memanfaatkan marka mikrosatelit adalah dengan melihat nilai korelasi antara marka molekuler dalam hal ini marka mikrosatelit dan marka morfologi yaitu melalui penampilan fenotipik F1. Selama ini pembentukan varietas hibrida masih membutuhkan waktu selama lima sampai 10 tahun. Dari sejumlah besar koleksi inbrida yang telah tesedia dimana pembentukannya juga memakan waktu yang lama perlu diupayakan sehingga materimateri genetik tersebut lebih bermanfaat. Jika hanya mengandalkan marka morfologi maka eksploitasi heterosis secara maksimum tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu dalam penelitian ini tahapan-tahapan penelitian dilakukan dalam upaya untuk mendapatkan nilai korelasi sebagai penanda apakah marka molekuler efisien sebagai alat prediksi untuk menyeleksi tetua lebih awal tanpa harus menguji sejumlah besar
pasangan
persilangan untuk penentuan kandidat-kandidat tetua hibrida potensial. Sejumlah 34 koleksi inbrida nasional yang berasal dari beberapa sumber populasi yang berbeda dan telah berada pada generasi S4 sampai S8. Dari antara populasi ini akan diseleksi tetua hibrida berdasarkan nilai jarak genetik. Langkah awal adalah melihat keragaman genetik semua materi yang diuji melalui karakterisasi genotipik menggunakan 36 marka mikrosatelit, mengelompokkan materi tersebut berdasarkan kemiripan genetik. Visualisasi kelompok dalam konstruksi dendrogram akan memudahkan dalam menetapkan beberapa kelompok yang terbentuk. Dalam penelitian ini, kegiatan karakterisasi molekuler selain sebagai alat penyaring pertama sejumlah besar materi genetik, juga sekaligus sebagai sidikjari dari materi genetik yang diuji. Selain itu data biner yang diperoleh dilakukan iterasi data untuk mengetahui apakah ada peluang untuk melakukan pengurangan jumlah primer yang digunakan tanpa mempengaruhi akurasi data untuk melakukan seleksi tetua hibrida. Dari hasil karakterisasi, akan diperoleh nilai jarak genetik dalam bentuk matriks genetik untuk semua peluang persilangan. Nilai jarak genetik akan digunakan untuk memprediksi
5
inbrida yang akan dijadikan sebagai tetua dalam set persilangan melalui metode silang uji dan metode silang dialel. Metode silang uji menggunakan inbrida Mr4 dan Mr14 sebagai materi penguji. Sedangkan untuk persilangan dialel, tetua hibrida diseleksi berdasarkan nilai rata-rata jarak genetik dari semua peluang persilangan dalam matriks jarak genetik. Dari kedua metode persilangan tersebut, masing-masing set persilangan diperoleh F1 yang kemudian diuji di lapang untuk mendapatkan data penampilan fenotipik. Hasil tersebut kemudian dikorelasikan dengan nilai jarak genetik masingmasing pasangan tetua. Adapun tahapan kegiatan adalah sebagai berikut: 1. Analisis keragaman genetik inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit untuk mengetahui keragaman genetik antar inbrida, menetapkan kelompok heterotik berdasarkan konstruksi dendrogram dan
dibandingkan dengan data silsilah
(pedigree). 2. Simulasi analisis marka mikrosatelit untuk penduga heterosis pada populasi inbrida untuk melakukan simulasi paket marka dalam bentuk data biner melalui iterasi data biner, dan juga melalui analisis komponen utama (Principal Componen Analysis=PCA). 3. Analisis korelasi antara jarak genetik inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida F1 hasil silang uji melalui uji daya hasil genotipe F1 hasil silang uji dengan inbrida penguji Mr4 dan Mr14. Nilai jarak genetik akan dikorelasikan dengan penampilan fenotipik khususnya bobot biji untuk memperoleh nilai korelasi (r). Selain itu dapat diketahui apakah materi silang uji yang digunakan selama ini masih layak untuk digunakan sebagai materi penguji dalam pembentukan hibrida berdasarkan metode silang uji. 4. Analisis korelasi antara jarak inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida hasil silang dialel melalui uji daya hasil hibrida F1 hasil silang dialel yang dilakukan pada dua lokasi. Nilai jarak genetik juga akan dikorelasikan dengan penampilan fenotipik F1 khususnya bobot biji untuk memperoleh nilai korelasi (r). Selain itu diharapkan ada hibrida yang potensial sebagai kandidat hibrida potensial.
6
MATERI GENETIK INBRIDA
DATA PEDIGREE
KARAKTERISASI MOLEKULER • DATA KERAGAMAN GENETIK • DATA JARAK GENETIK
SILANG UJI (TEST CROSS) BERBASIS MARKA SSR
SILANG DIALEL BERBASIS MARKA SSR
ITERASI SET MARKA SSR
ANALISIS KORELASI JARAK GENETIK VS • BOBOT BIJI • DGK • HETEROSIS
ANALISIS KORELASI JARAK GENETIK VS BOBOT BIJI
HIBRIDA POTENSIAL
Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian
7