1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian terpenting di dalam kehidupan. Kualitas pendidikan suatu bangsa mempengaruhi kemajuan bangsa tersebut. Pendidikan dapat menumbuhkembangkan sumber daya manusia yang handal dan mempunyai keahlian serta keterampilan sehingga dapat mempercepat pembangunan bangsa Indonesia. Tanpa pendidikan, suatu bangsa tidak dapat mengalami perubahan dan kemajuan. Oleh karena itu, pendidikan harus dipersiapkan sebagai bekal kehidupan di masa yang akan datang. Masalah pendidikan erat kaitannya dengan masalah pembelajaran. Pembelajaran merupakan salah satu unsur dalam pelaksanaan pendidikan sehingga kualitas pendidikan erat hubungannya dengan kualitas pembelajaran. Upaya-upaya guru dalam memberdayakan berbagai variabel pembelajaran merupakan hal penting dalam keberhasilan siswa untuk mencapai tujuan yang direncanakan. Pada kurikulum tahun 2006 yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Permendiknas No 22, 23 dan 24 tahun 2006), memuat Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI), yang mana baik SKL maupun SI mengutamakan kompetensi siswa. Sesuai dengan tuntutan kurikulum KTSP tersebut yaitu guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran dituntut mempunyai kemampuan mengelola dan mengembangkan bahan ajar sebagai salah satu sumber belajar. Hal ini diperkuat dengan peraturan pemerintah nomor 19 tahun
2005
pasal
20,
diisyaratkan
bahwa
guru
diharapkan
mampu
2
mengembangkan materi pembelajaran, yang kemudian dipertegas melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses yang antara lain diharapkan guru dapat mengembangkan bahan ajar sebagai salah satu sumber belajar. Guru dituntut kreatif dalam mengembangkan bahan ajar yang menarik dan beragam serta memilih suatu model atau pendekatan pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk aktif dan berpartisipasi dalam pembelajaran. Pengembangan bahan ajar merupakan tanggung jawab guru di sekolah, karena dengan kreativitas guru dalam mengembangkan bahan ajar akan menghasilkan kegiatan pembelajaran yang bermakna. Guru sebagai salah satu komponen dalam proses pembelajaran merupakan pemegang peranan yang sangat penting. Guru bukan hanya sekedar penyampai materi saja tetapi lebih dari itu guru dapat dikatakan sebagai desainer pembelajaran. Gurulah yang mengarahkan bagaimana proses pembelajaran itu dilaksanakan sehingga diharapkan guru dapat membuat suatu pembelajaran menjadi lebih efektif dan menarik sehingga bahan pelajaran yang disampaikan akan membuat siswa merasa senang dan merasa perlu untuk mempelajari materi tersebut dengan kata lain siswa mempunyai respon positif terhadap pelajaran yang disampaikan. Untuk menciptakan pembelajaran yang menarik, guru diberi tuntutan dalam mempersiapkan desain pembelajaran yang meliputi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), bahan ajar (Lembar Aktivitas Siswa (LAS), buku ajar dan lain-lain). Bahan ajar merupakan komponen terpenting yang harus dipersiapkan guru sebelum melaksanakan proses kegiatan pembelajaran di dalam kelas selain
3
komponen-komponen
lain
yang
dapat
menentukan
keberhasilan
dalam
pembelajaran. National Center for Vocational Education Research Ltd/National Center for Competency Based Training (Bandono, 2009) bahan ajar adalah segala bentuk bahan
yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam
melaksanakan
kegiatan
belajar
mengajar
di
kelas.
Bahan
yang
dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Adapun fungsi bahan ajar adalah adalah sebagai motivasi dalam proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dengan materi pembelajaran yang kontekstual agar siswa dapat melaksanakan tugas belajar secara optimal Anonim (Ababil, 2012). Sedangkan menurut Furqon (Ababil, 2012) bahan ajar berfungsi sebagai berikut: (1) Pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan/dilatihkan kepada siswanya; (2) Pedoman bagi Siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari/dikuasainya; (3) Alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran; (4) Membantu guru dalam kegiatan belajar mengajar, (5) Membantu siswa dalam proses belajar; (6) Sebagai perlengkapan pembelajaran untuk mencapai tujuan pelajaran; (7) Untuk menciptakan lingkungan/suasana balajar yang kondusif. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahan ajar adalah bahanbahan atau materi kegiatan pembelajaran yang disusun secara sistematis yang digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Bahan ajar merupakan sesuatu yang harus diperhatikan sebagai bagian pokok yang berhubungan dengan materi pembelajaran. Bahan ajar hendaknya tidak hanya memberikan materi secara instan, tetapi mampu menggiring siswa kepada kemampuan untuk mengerti konsep yang dipelajari sehingga belajar siswa menjadi lebih bermakna. Bahan ajar yang diawali dengan menghadapkan siswa pada masalah kontekstual dapat
4
membuat siswa merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah kontekstual tersebut. Dalam mengembangkan bahan ajar sudah selayaknya merupakan kemampuan yang harus terus menerus ditingkatkan oleh setiap guru. Jika seorang guru tidak memiliki kemampuan mengembangkan bahan ajar yang bervariasi maka guru akan terjebak pada situasi pembelajaran yang monoton dan cenderung membosankan bagi siswa. Berdasarkan hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum (Balitbang, 2007), diantaranya guru masih sulit menjabarkan Standar Kompetensi (SK)/Kompetensi Dasar (KD) menjadi materi pokok dan bahan ajar, pembelajaran di kelas hanya berdasarkan materi pada buku pegangan, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar masih konvensional dengan metode kurang bervariasi. Kebiasaan menggunakan buku pegangan mata pelajaran matematika mengakibatkan guru mengalami kesulitan atau tidak terbiasa menyusun materi dan bahan ajar sendiri. Selain itu, berdasarkan pengamatan yang diperoleh ditempat penelitian guru kurang mempersiapkan perangkat pembelajaran meliputi Lembar Aktivitas Siswa (LAS) dan buku pegangan
guru,
maupun
desain
pembelajaran
yang
menarik
sehingga
pembelajaran yang berlangsung kurang efektif dan cenderung bersifat pembelajaran biasa (konvensional). Padahal tuntunan KTSP menghendaki kemampuan guru menjabarkan SK dan KD menjadi materi pokok dan bahan ajar, artinya guru diharapkan kreatif memilih dan menyusun materi berdasarkan SK dan KD yang relevan. Haggarty dan Keynes (Muchayat, 2011) menjelaskan bahwa dalam rangka memperbaiki pengajaran dan pembelajaran metematika di kelas diperlukan usaha untuk
5
memperbaiki pemahaman guru, siswa, bahan yang digunakan untuk pembelajaran dan interaksi antara mereka. Supaya proses pembelajaran mencapai tujuan pembelajaran, disamping perlu adanya pemilihan pendekatan pembelajaran yang sesuai, juga diperlukan adanya pengembangan perangkat pembelajaran yang sesuai pula dengan pendekatan dan metode pembelajaran yang digunakan. Dalam pengembangan perangkat pembelajaran, penyusunan bahan ajar matematika hendaknya berdasarkan pembelajaran yang dapat memudahkan siswa dalam memahami materi matematika. Siswa akan lebih memahami materi matematika apabila melakukan aktivitas atau kegiatan dalam pembelajaran. Dengan demikian, penyediaan buku yang selain sesuai dengan kemampuan dan potensi siswa, juga harus sesuai dengan tujuan kurikulum yang berlaku. Dalam kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) pembelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (5) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (6) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
6
Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika di atas siswa dituntut memiliki
kemampuan
diantaranya
kemampuan
komunikasi
matematika.
Kemampuan komunikasi matematis (mathematical communication) dalam pembelajaran sangat penting untuk diperhatikan karena melalui komunikasi matematis baik lisan maupun tulisan dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Cockroft (Shadiq, 2004:19) menyatakan bahwa: ”We believe that all these perceptions of the usefulness of mathematics arise from the fact that mathematics provides a means of communication which is powerful, concise, and unambiguous.” Pernyataan ini menunjukkan tentang perlunya siswa belajar matematika dengan alasan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, teliti dan tidak membingungkan. National Council Teaching Mathematics (NCTM, 2000) komunikasi adalah bagian esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Sehingga dengan komunikasi matematis seseorang akan dapat mengungkapkan gagasan, temuan atau bahkan perasaan siswa terhadap orang lain. Selanjutnya Greenes dan Sculman (Dewi, 2008:42) mengatakan bahwa komunikasi matematika penting bagi siswa untuk merumuskan konsep dan strategi matematika, modal keberhasilan
bagi
siswa
untuk
pendekatan
dan
penyelesaian
dalam
mengeksplorasi dan investigasi matematika, dan wadah untuk berkomunikasi dengan temannya, mengumpulkan informasi, berbagi pikiran dan penemuan, evaluasi dan mempertajam ide untuk meyakinkan orang lain. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa memegang peran penting dan perlu ditingkatkan di dalam pembelajaran. Namun fakta dilapangan menunjukkan bahwa kemampuan
7
komunikasi matematis siswa jarang mendapat perhatian. Guru lebih berusaha agar siswa mampu menjawab soal dengan benar tanpa meminta alasan atas jawaban siswa, ataupun meminta siswa untuk mengkomunikasikan pemikiran, ide dan gagasannya. Rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa terungkap dalam penelitian Suryadi (Saragih, 2007) yang menemukan bahwa siswa kelas 2 SMP di kota dan kabupaten Bandung mengalami kesulitan mengajukan argumentasi serta menemukan pola dan pengajuan bentuk umumnya. Diperkuat oleh Ansari (2009:62) dalam hasil observasi lapangan yang dilakukan terhadap siswa kelas X di beberapa SMA Negeri di NAD menunjukkan bahwa rata-rata siswa kurang terampil dalam berkomunikasi untuk menyampaikan informasi, seperti menyampaikan ide, mengajukan pertanyaan dan menanggapi pertanyaan atau pendapat orang lain. Rendahnya komunikasi matematis siswa terlihat dari studi pendahuluan yang peneliti lakukan (28 November 2012) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa di kelas VII SMP Negeri 29 Medan. Adapun soal tes yang diberikan sebagai berikut: Gambar pemandangan diwarnai oleh Ade dan Fany. Ade mewarnai 5
2 8
nya.
Sedangkan fany mewarnai 8 nya. Berapa bagian gambar pemandangan itu yang belum diwarnai Ade dan Fany? Perlihatkan cara menghitungnya! Sumber soal: Ansari (2009:99) Adapun alternatif jawaban dari permasalahan yang diberikan yaitu:
Gambar 1.1. Alternatif Jawaban Soal Komunikasi
8
Hasil kerja siswa dapat dilihat dari jawaban salah seorang siswa pada gambar di bawah ini:
Siswa kurang memahami maksud soal. Siswa tidak dapat menyatakan ide matematika dalam bentuk gambar. Siswa hanya sebagian kecil dapat menuliskan ide matematika ke dalam argumen sendiri
Gambar 1.2. Jawaban Siswa Soal Komunikasi Dari masalah di atas hasilnya menunjukkan bahwa siswa masih belum mampu dalam mengkomunikasikan maksud dari soal yang diberikan, siswa cenderung menjawab soal dengan langsung menggunakan perhitungan tanpa memunculkan ide atau gagasan dalam bentuk gambar, akibatnya siswa banyak salah dalam menyelesaikan soal. Siswa yang mengikuti tes adalah 35 orang, terlihat bahwa 8 siswa benar dalam menyatakan ide matematikanya dalam bentuk gambar namun sebagian sulit mengemukakan ide matematikanya secara tulisan, 22 siswa sulit memahami maksud soal, mengemukakan ide matematikanya secara tertulis dan tidak membuat gambar/ilustrasi bentuk pecahan yang disajikan dalam soal, sehingga jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan masalah dalam soal. Ini menunjukkan adanya suatu masalah komunikasi matematis di dalam diri siswa. Hal ini juga diperkuat dari hasil laporan TIMSS (Suryadi, 2000) menyebutkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam komunikasi matematika sangat jauh di bawah negara-negara lain. Sebagai contoh permasalahan
9
matematika yang menyangkut kemampuan komunikasi matematis, siswa Indonesia yang berhasil menjawab benar hanya 5% dan jauh dibawah negara seperti Singapura, Korea dan Taiwan yang mencapai lebih dari 50%. Pada dasarnya rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa serta kurangnya keterlibatan (respon) siswa dalam proses pembelajaran tidak terlepas dari cara guru menyampaikan materi dan perangkat pembelajaran yang digunakan belum memadai. Arends (Trianto, 2011:7) mengatakan bahwa: “Guru menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah tapi jarang mengajarkan bagaimana siswa seharusnya
menyelesaikan
masalah”.
Wahyudin
(Napitupulu,
2008:26)
mengatakan pada umumnya para guru matematika hampir selalu menggunakan metode ceramah dan ekspositori. Wahyudin lebih lanjut mengatakan dalam penyampaian pengertian, defenisi, rumus, atau teorema para guru matematika seringkali tidak pernah mengajak anak untuk mencoba menganalisis secara mendalam tentang obyek tersebut sehingga anak kurang mantap menguasainya. Hal ini diperkuat oleh laporan Shadiq (Napitupulu, 2008:26) yang menyatakan penekanan pembelajaran di Indonesia lebih banyak pada penguasaan keterampilan dasar (basic skills), namun sedikit atau sama sekali tidak ada penekanan untuk konteks matematika sehari-hari, berkomunikasi secara matematik, dan bernalar secara matematik. Dengan kata lain, guru tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika yang akan menjadi milik siswa. Dengan kondisi yang demikian, kemampuan komunikasi matematis siswa kurang berkembang sehingga proses penyelesaian jawaban siswa terhadap permasalahan yang diajukan oleh gurupun tidak bervariasi. Ansari (2009:2) menegaskan bahwa merosotnya pemahaman
10
matematik siswa di kelas antara lain karena: (a) dalam mengajar guru sering mencontohkan pada siswa bagaimana menyelesaikan soal; (b) siswa belajar dengan cara mendengar dan menonton guru melakukan matematik, kemudian guru mencoba memecahkannya sendiri; (c) pada saat mengajar matematika, guru langsung menjelaskan topik yang akan dipelajari, dilanjutkan dengan pemberian contoh, dan soal untuk latihan. Pembelajaran seperti pola di atas adalah pembelajaran konvensional, pembelajaran yang didominasi oleh guru, lebih menekankan pada latihan mengerjakan soal dengan mengulang prosedur, menggunakan rumus atau algoritma tertentu, tidak mendukung pada keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam memecahkan masalah dan kurangnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran seperti ini menimbulkan konsekuensi yang berdampak negatif kepada siswa. Pertama, siswa kurang aktif dan pola pembelajaran ini kurang menanamkan pemahaman konsep sehingga kurang mengundang sikap kritis Sumarmo (Ansari, 2009:3). Kedua, jika siswa diberi soal yang beda dengan soal latihan, mereka kebingungan karena tidak tahu harus memulai dari mana mereka bekerja Metters ( Ansari, 2009:3). Proses pembelajaran adalah suatu proses interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa dalam satuan pembelajaran. Sullivan (Ansari, 2009:3) mengatakan bahwa: Peran dan tugas guru sekarang adalah memberi kesempatan belajar maksimal pada siswa dengan jalan (1) melibatkannya secara aktif dalam eksplorasi matematika; (2) mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang telah ada pada mereka; (3) mendorong agar mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai strategi; (4) mendorong agar berani mengambil resiko dalam menyelesaikan soal; (5) memberi kebebasan berkomunikasi untuk menjelaskan idenya dan mendengar ide temannya.
11
Silver dan Smith (Ansari, 2009:4) mengutarakan pula bahwa tugas guru adalah: (1) melibatkan siswa dalam setiap tugas matematika; (2) mengatur aktivitas intelektual siswa dalam kelas seperti diskusi dan komunikasi; (3) membantu siswa memahami ide matematika dan memonitor pemahaman mereka. Menyikapi permasalahan yang timbul dalam proses pembelajaran matematika di sekolah, terutama yang berkaitan dengan pentingnya komunikasi matematis siswa perlu dicari solusi pendekatan pembelajaran yang dapat mengakomodasi peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa terhadap matematika. Dalam menumbuhkembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa diperlukan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang mampu menumbuhkan komunikasi matematis siswa yang bertolak pada pembelajaran konstruktivisme. Pembelajaran konstruktivisme menunjang keterlibatan siswa, pembelajaran yang membuat siswa aktif dan melibatkan siswa dalam lingkungan sekitar yang sifatnya realistik atau nyata. Menurut Riyanto (2010:144) tujuan pembelajaran konstruktivisme ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata yang mendorong sibelajar untuk berfikir dan berfikir ulang lalu mendemonstrasikannya. Upaya belajar adalah segala aktivitas siswa untuk meningkatkan kemampuannya yang telah dimiliki maupun meningkatkan kemampuan baru, baik kemampuan dalam aspek pengetahuan, sikap, maupun keterampilan (Sanjaya, 2011:242). Menurut Joyce (2011:14) Sikap konstruktivis adalah bahwa pengetahuan tidak sekedar ditransmisikan oleh guru atau orang tua, tetapi mau tidak mau harus dibangun sendiri oleh siswa agar mereka dapat merespons informasi dalam
12
lingkungan pendidikan. Pembelajaran konstruktivisme menempatkan siswa pada peranan utama dalam proses belajar (student centered). Peranan guru lebih bersifat fasilitator dan memiliki kewajiban dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu, guru dituntut untuk selalu berinovasi dalam melaksanakan proses pembelajaran. Inovasi guru tersebut misalnya dalam hal pemilihan pendekatan pembelajaran. Salah
satu
strategi
pembelajaran
yang
menggunakan
prinsip
konstruktivisme ialah Pendekatan Matematika Realistik (PMR). PMR sejalan dengan prinsip konstruktivisme yang berfokus pada aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. PMR sangat tepat dan menguntungkan bagi siswa dikarenakan PMR menggunakan masalah kontekstual sebagai titik awal (starting point) pembelajaran, kemudian siswa melakukan matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Pendekatan ini menuntut keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Dengan PMR, siswa mempelajari ide-ide dan konsep-konsep matematika melalui permasalahan kontekstual yang berkaitan dengan lingkungan siswa atau mengacu pada situasi masalah yang nyata dalam pikiran siswa sehingga
siswa
dapat
mengkonstruksi
sendiri
pengetahuan
matematika,
menyelesaikan masalah menurut idenya dan dapat mengkomunikasikannya. Hal ini sejalan dengan Kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) yang menekankan penggunaan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem) dalam memulai kegiatan pembelajaran matematika. Selanjutnya, secara bertahap siswa dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika. Penerapan PMR memberikan harapan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
13
Turmudi (Tim MKPBM, 2001:131) pembelajaran matematika berdasarkan pendekatan realistik telah mengubah sikap siswa menjadi lebih tertarik terhadap matematika dan pada umumnya siswa menyenangi matematika dengan pendekatan pembelajaran yang diberikan dengan alasan cara belajarnya berbeda dari
biasanya,
pertanyaan-pertanyaannya
menantang,
adanya
pertanyaan-
pertanyaan tambahan sehingga menambah wawasan, lebih mudah mempelajarinya karena
persoalannya
menyangkut
kehidupan
sehari-hari.
Selanjutnya
(Hasratuddin, 2002) hasil belajar siswa dengan pendekatan matematika realistik lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran matematika secara konvensional dalam pembelajaran matematika unit geometri. Begitu juga dengan (Fauzi, 2002) hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika realistik lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika secara konvensional. Selanjutnya Saragih (2007) menemukan bahwa kemampuan berpikir logis dan kemampuan komunikasi matematika siswa SMP yang diajarkan dengan PMR ternyata lebih baik dibandingkan siswa SMP yang diajarkan dengan pembelajaran matematika secara biasa. Untuk matematika
bisa realistik
menarapkan dengan
pembelajaran
baik,
maka
menggunakan
diperlukan
adanya
pendekatan perangkat
pembelajaran yang baik yang telah disusun sebelumnya oleh guru. Hal Ini sesuai dengan pendapat Suparno (1997) mengemukakan bahwa: “Sebelum guru mengajar (tahap persiapan) seorang guru diharapkan mempersiapkan bahan yang akan diajarkan, mempersiapkan alat-alat peraga/praktikum yang akan digunakan, mempersiapkan pertanyaan dan arahan untuk memancing siswa aktif belajar, mempelajari keadaan siswa, mengerti kelemahan siswa, serta mempelajari
14
pengetahuan awal siswa”, semuanya ini yang akan terurai pelaksanaanya di dalam perangkat pembelajaran. Berdasarkan
uraian
di
atas,
diharapkan
perangkat
pembelajaran
menggunakan pendekatan matematika realistik dapat menjadi alternatif dalam pembelajaran yang baik. Untuk melaksanakan pembelajaran matematika dengan menggunakan
pendekatan
matematika
realistik
diperlukan
perangkat
pembelajaran yang sesuai. Seiring dengan itu perangkat pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan matematika realistik belum banyak dikembangkan dan di tempat penelitian yang peneliti lakukan, belum tersedia perangkat pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan matematika realistik. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengembangkan suatu perangkat pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik di SMP dengan judul: “Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Menggunakan
Pendekatan
Matematika
Realistik
Untuk
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa”.
1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
yang
telah
dikemukakan,
diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut : 1. Guru mengalami kesulitan atau tidak terbiasa menyusun materi dan bahan ajar sendiri. 2. Guru kurang mempersiapkan perangkat pembelajaran matematika dengan baik sehingga pembelajaran belum efektif. 3. Kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah. 4. Kurangnya keterlibatan (respon) siswa dalam proses pembelajaran.
15
5. Pembelajaran kurang membangkitkan aktivitas
siswa, interaksi siswa, dan
konstruksi pengetahuan oleh siswa. 6. Pembelajaran yang berlangsung cenderung bersifat pembelajaran biasa (konvensional) dan belum menggunakan Pendekatan Matematika Realistik (PMR).
1.3. Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan di atas maka yang menjadi batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan perangkat pembelajaran matematika menggunakan pendekatan matematika realistik untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dibatasi pada Buku Pegangan Guru (BPG) dan Lembar Aktivitas Siswa (LAS). 2. Efektivitas perangkat pembelajaran yang dikembangkan menggunakan Pendekatan Matematika Realistik (PMR) untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis. 3. Respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik.
1.4. Rumusan masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah yang dikemukakan maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah “bagaimana pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa”. Dari permasalahan tersebut dapat dirinci menjadi beberapa pertanyaan penelitian, yaitu sebagai berikut:
16
1. Bagaimana
efektivitas
perangkat
pembelajaran
yang
dikembangkan
menggunakan Pendekatan Matematika Realistik (PMR) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa? 2. Bagaimana peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa terhadap perangkat pembelajaran yang dikembangkan menggunakan Pendekatan Matematika Realistik (PMR)? 3. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan Pendekatan Matematika Realistik (PMR)?
1.5. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Adapun tujuan khusus penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui efektivitas perangkat pembelajaran yang dikembangkan menggunakan Pendekatan Matematika Realistik (PMR) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. 2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa terhadap
perangkat
pembelajaran
yang
dikembangkan
menggunakan
Pendekatan Matematika Realistik (PMR). 3. Untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan Pendekatan Matematika Realistik (PMR).
17
1.6. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini
diharapkan menghasilkan temuan-temuan yang
merupakan masukan berarti bagi pembaharuan kegiatan pembelajaran. Manfaat yang diperoleh sebagai berikut: 1. Bagi siswa, dengan pengembangan perangkat pembelajaran matematika menggunakan pendekatan matematika realistik diharapkan terbina sikap belajar yang positif dan kreatif serta dapat meningkatkan efektivitas matematika siswa dan sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan secara khusus memperbaiki hasil belajar matematika siswa. 2. Bagi guru, dapat memberikan informasi dalam menentukan alternatif pendekatan pembelajaran matematika. 3. Bagi kepala sekolah, bermanfaat sebagai bahan pertimbangan atau bahan rujukan untuk menerapkan perangkat pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, dalam meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada pelajaran matematika. 4. Bagi Peneliti, dapat menambah khasanah pengetahuan bagi diri sendiri, terutama mengenai perkembangan serta kebutuhan siswa, sehingga
dapat
diterapkan dalam proses pembelajaran yang sesungguhnya dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam pengembangan perangkat pembelajaran melalui pendekatan matematika realistik lebih lanjut ke tingkat yang lebih tinggi. 5. Sebagai bahan informasi dan perbandingan bagi pembaca maupun penulis lain yang berminat melakukan penelitian yang sejenis.
18
1.7. Definisi Operasional Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap variabel yang digunakan dalam penelitian, berikut dikemukakan definisi operasional dari masing-masing variabel tersebut: 1. Perangkat pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik (PMR) adalah sekumpulan sumber belajar yang memungkinkan guru dan siswa melakukan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu buku pegangan guru dan lembar aktivitas siswa. 2. Pendekatan
Matematika
Realistik
(PMR)
adalah
suatu
pendekatan
pembelajaran matematika yang memiliki karakteristik yaitu menggunakan masalah kontekstual, menggunakan model, menggunakan kontribusi siswa, interaktif dan adanya keterkaitan. 3. Kemampuan komunikasi matematis siswa adalah keahlian siswa secara tertulis menjawab masalah komunikasi siswa yang akan diukur melalui kemampuan siswa dalam: (1) menyatakan
ide matematika dalam bentuk gambar, (2)
menginterpresikan gambar ke dalam model matematika, (3) menuliskan ide matematika ke dalam argumen sendiri. 4. Efektivitas pembelajaran adalah seberapa besar ketercapaian rencana setelah menyelesaikan pembelajaran. Keefektifan pembelajaran ini ditentukan berdasarkan ketercapaian ketuntasan klasikal dan ketercapaian indikator. 5. Respon siswa terhadap pembelajaran adalah pendapat senang/tidak senang dan baru/tidak baru terhadap komponen pembelajaran yang dikembangkan, kesediaan siswa mengikuti pembelajaran dengan PMR pada kegiatan
19
berikutnya, pendapat siswa tentang kejelasan bahasa yang digunakan dan pendapat siswa tentang menarik/tidak penampilan (tulisan, ilustrasi, gambar, tata letak gambar) terhadap komponen yang dikembangkan.