BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial selalu melakukan hubungan dengan manusia lainnya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun immateriil. Dari sekian banyak hubungan yang dilakukan antar individu itu, salah satu berupa perjanjian yang diatur dan diberi akibat oleh hukum. Perjanjian, merupakan salah satu hubungan hukum yang kerap kali dilakukan dalam pergaulan hidup di dalam masyarakat. Hampir segala kegiatan dan hubungan yang dilakukan antara orang yang satu dengan yang lain dalam masyarakat adalah berupa perjanjian. Hukum kontrak dikenal ada tiga asas yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan yakni asas konsensualisme (the principle of consensualism), sedangkan asas kekuatan mengikatnya kontrak (the principle of the binding force of contract), dan asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contarct) sedangkan yang dianut dalam Indonesia
sistem hukum perjanjian
ada lah asas “Konsensual”, artinya
(ada) sejak tercapainya kata sepakat
di
perjanjian itu sudah terjadi
antara para pihak. Dengan kata lain
perjanjian itu sudah dan mengikat serta mempunyai akibat hukum sejak saat 1
tercapai kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Jadi
1
Abdulkadir, M uhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, Hlm. 85
1
yang m enjadi ukuran untuk menentukan telah terjadinya suatu perjanjian yang dilakukan oleh para pihak itu ialah adanya kata sepakat, bukan ukuranukuran yang lain. Berdasarkan asas konsensual tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu dapat dilakukan secara lisan dan dapat pula dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akte, jika dikehendaki sebagai alat bukti.
2
Dengan demikian, perjanjian yang dibuat menurut sistem hukum
perjanjian di Indonesia tidak harus tertulis, kecuali perjanjian-perjanjian tertentu yang memang diwajibkan oleh undang-undang untuk dalam bentuk tertulis misalnya perjanjian hibah, perjanjian perdamaian dan sebagainya. Namun
untuk
perjanjian-perjanjian
lainnya,
misalnya
jual-beli,
sewa
menyewa, tukar-menukar, pemberian kuasa, dan lain-lainnya bisa dibuat secara lisan bisa juga dalam bentuk tulisan. Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian,
3
yang sering disebut dengan asas kebebasan berkontrak. asas
kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentuka n isi kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan, a kan tetapi dalam perkembangannya terutama dalam kegiatan bisnis, pada umumnya perjanjian dilakukan secara tertulis, yang tentunya dimaksudkan untuk dijadikan alat bukti bilamana dikemudian hari terjadi suatu permasalahan yang berkenaan
2
Ibid. M ariam Darus Badrulzaman, 1983, KUH Perdata- Buku III- Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, Hlm. 113 3
2
dengan perjanjian yang bersangkutan. Bahkan bukan itu saja, tapi pada umumnya dalam dunia bisnis banyak sekali perjanjian yang dibuat secara tertulis yang isinya ditetapkan secara baku. D ikenal istilah perjanjian baku atau standar kontrak. Perjanjian baku tersebut dalam praktik tidak hanya digunakan
oleh
perusahaan-perusahaan
besar
saja,
tapi
perusahaan-
perusahaan kecil kecilpun menggunakannya seperti bengkel, perusahaan laundry dan sebagainya. Berangkat dari hal tersebut, berarti dewasa ini ada kecenderun gan makin banyaknya perjanjian dalam transaksi bisnis yang dilakukan bukan berdasarkan adanya negosiasi atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi, tapi dibuat secara baku dan isinya te lah disiapkan dalam bentuk formulir oleh salah satu pihak, utamanya pihak produsen atau pengusaha. Pihak konsumen tinggal menerima atau menolak isi perjanjian baku tersebut, hampir-hampir tidak ada kebebasan bagi konsumen dalam menentukan isi perjanjian/formulir tersebut. Lebih-lebih bilamana tidak ada pilihan hubungan hukum yang lain lagi kecuali yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Perjanjian
baku
secara
tradisional
suatu
perjanjian
terjadi
berlandaskan asas kebebasan berkontrak dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan kedua belah pihak beru saha untuk mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui suatu proses negoisasi di antara mereka. namun di dalam praktek perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir perbuatan -perbuatan
3
hukum sejenis yang selalu terjadi secara berulang-ulang dan teratur yang melibatkan banyak orang menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian terlebih dahulu, dan kemudian dibakukan dan seterusnya dicetak dalam jumlah banyak sehingga mudah menyediakannya setiap saat jika 4
masyarakat membutuhkannya . Formulir-formulir yang berisi klausula baku tersebut diberlakukan kepada semua konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pelaku usaha yang bersangkutan dalam pokok atau obyek perjanjian yang sama. Adapun beberapa contoh mengenai penggunaan perjanjian baku di dalam berbagai transaksi adalah polis asuransi, perjanjian jual-beli mobil, Perjanjian credit card, transaksi-transaksi perbankan seperti perjanjian rekening koran dan perjanjian kredit bank, perjanjian jual-beli rumah dari perusahaan real estate, perjanjian sewa dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. M asalah pembuatan perjanjian secara baku dalam kehidupan kita maupun di dunia bisnis sudah lazim sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga terjadi di negara-negara lain. Berdasarkan hasil penelitian M enurut F.A.J.Gras,
5
perjanjian baku ditemui dalam masyarakat
modern yang mempergunakan perencanaan dalam mengatur hidupnya. M asyarakat modern tidak lagi merupakan kumpulan individu, melainkan merupakan
kumpulan
ikatan
kerjasama
(organisasi).
Perjanjian
baku
4
M ariam Darus Badrulzaman, 1980, Perjanjian Baku (standar), perkembangannya di Indonesia, M edan: Universitas Sumatera Utara. Hlm. 6 5 F.A.J. Gras, standaardcontracten, een Prechtssociologische Analyse, Kluwer Deventer, 1979, hal.8 dst.Dari M ariam Darus Badrulzaman, “Perlindungan TerhadapKonsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku”,Simposium aspek-aspek hukum M asalah PerlindunganKonsumen, (Jakarta: Binacipta, 1986),H lm.67.
4
merupakan rasionalisasi hubungan hokum yang terjadi dalam masyarakat demikian, dan lazimnya dibuat oleh organisasi perusah aan dengan harapan agar apa yang dikehendaki terwujud. Demikian pandangan beliau yang menjelaskan lahirnya perjanjian baku dari sudut sosiologi hukum. Berkaitan
dengan
keberadaan
perjanjian
baku
tersebut,
ada
sementara orang berpendapat hadirnya perjanjian baku dalam kegiatan bisnis modern dewasa ini adalah merupakan suatu hal yang wajar. Dengan penggunaan perjanjian baku ini, maka pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam penggunaan biaya, tenaga dan waktu. Jika dilihat dari segi praktis dan efisiensi memang demikian adanya. Namun jika dilihat dari aspek yuridis terutama yang berkenaan hak-hak dan kewajiban serta tanggung jawab para pihak,
terutama
pihak
konsumen
maka
terlihat
nyata
hal
tersebut
menimbulkan permasalahan hukum yang memerlukan pemecahan secara hukum. Dianutnya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian dan keadaan sosial ekonomis serta tuntutan dari dunia bisnis yang selalu menginginkan sesuatu yang serba praktis dan ef isien, memungkinkan pihak pelaku usaha menggunakan perjanjian yang berbentuk tertulis dan dibuat suatu bentuk formulir yang sifatnya baku, yang dikenal dengan istilah perjanjian baku atau kontrak baku atau standar kontrak. Perjanjian baku merupakan merupakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis yang telah digandakan berupa formulir-formulir, yang isinya telah distandarisasikan atau dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang menawarkan (dalam hal ini pelaku usaha), serta ditawarkan secara
5
massal, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dim iliki kosumen.
6
Dengan demikian perjanjian baku itu isinya dibuat secara sepihak oleh salah satu pihak yang mengadakan perjanjian ialah biasanya
pihak yang
mempunyai kekuatan ekonomis dan psikologis yang lebih kuat dari pihak lainnya. Dalam dunia perdagangan atau bisnis pihak yang membuat perjanjian baku itu adalah pihak pengusaha (produsen ) yang pada um umnya memiliki kekuatan ekonomis yang lebih besar daripada konsumen. Sehingga tidak mustahil jika isi klausula baku kerapkali dapat merugikan pihak konsumen. Klausula-klausula baku yang ada dalam perjanjian baku pada umumnya dilakukan secara sepihak oleh pengusaha, maka tidak mustahil kerap kali klausula-klausula baku banyak memuat hak-hak pelaku usaha dan kewajiban-kewajiban konsumen, bahkan tidak jarang pula dalam klausulaklausula baku itu berisi pengalihan tanggung jawab yang seharusnya menjadi tanggung jawab pelaku usaha dialihkan menjadi tanggung jawab pihak konsumen. Kalusula-klausula yang isinya mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen itu dikenal dengan istilah klausula Eksonerasi (exoneration clause/exem ption cluse). Gambaran tersebut diatas menunjukkan bahwa munculnya perjanjian baku atau perjanjian standar dalam lalu linta s hukum dilandasi oleh kebutuhan akan pelayanan yang efisien dan efektif terhadap kegiatan bisnis atau transaksional. Oleh karena itu karakter utama dari perjanjian baku adalah 6
Johannes Gunawan 2003, “ Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia dan Perdagangan Bebas, Dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas M enelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam M elaksanakan Perdagangan Bebas, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 118
6
pelayanan yang cepat terhadap kegiatan bisnis atau transaksional yang frekwensinya tinggi namun tetap dapat memberikan kekuatan serta kepastian hukum. Secara ekonomis pembuatan perjanjian baku dimaksudkan untuk menunjang peningkatan efektifitas dan effisiensi serta kelancaran kegiatan dalam dunia bisnis, namun jika dilihat secara huku m khususnya dalam aspek hukum perjanjian, pembuatan perjanjian baku nampaknya tidak sejalan dengan asas kesepakatan dalam perjanjian. Kecuali itu perjanjian baku sangat berpotensi untuk merugikan pihak konsumen yang menjadi pihak dalam perjanjian baku tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan antara lain adalah apa yang menjadi dasar hukum keberadaan perjanjian baku, dengan kata lain apakah keberadaan perjanjian baku ada sangkut pautnya dengan asas kebebasan berkontrak yang dikenal dalam hukum perjanjian Indonesia. Selain itu pertanyaan dan permasalahan yang akan muncul sehubungan dengan penggunaan perjanjian baku dalam transaksi bisnis antara pengusaha dengan konsumen adalah apakah dengan digunakannya perjanjian baku da pat merugikan kepentingan pihak konsumen. Hal ini perlu dipertanyakan atau dipermasalahkan karena perjanjian baku tersebut pada umumnya dibuat oleh pelaku usaha yang tentunya diatur sedemikian rupa agar dapat menguntungkan dirinya yang sekaligus dapat merugikan pihak konsumen.
7
Lahirnya
Undang-undang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan K onsumen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap K onsumen dari tindakkan-tindakan yang dilakukan oleh produsen yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Sa lah satu ketentuan dalam undang-undang yang memberikan perlindungan kepada konsumenlah ketentuan yang berkenaan dengan larangan bagi pelaku usaha untuk membuat kalusula-klausula tertentu dalam formulir perjanjian baku yang dibuat oleh pelaku usaha. Namun demikian yang menjadi pertanyaan ialah apakah ketentuan-ketentuan
yang
diatur
dalam
Undang-undang
Perlindungan
Konsumen tersebvut dapat berpengaruh terhadap eksistensi perjanjian baku yang sudah menjamu dalam kegiatan bisnis modern. M engenai ketentuan pencantuman klausula baku dalam UndangUndang N omor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (selanjutnya di sebut U UPK) di atur mengenai beberapa larangan untuk mencantumkan klausala baku pada setiap dokumen
membuat atau
dan/atau perjanjian,
antara lain; (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. b. c.
d.
M enyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; M enyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen; M enyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang di bayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; M enyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
8
e.
M engatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. M emberi hak kepada pelaku usaha mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jula beli jasa; g. M enyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. M enyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentang dengan undang-undang ini. Ahmadi M iru mengatankan bahwa, praktek pembuatan klausula baku yang sekarang bertentangan dengan pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut sudah berlangsung sejak lama, sehingga ketentuan pasal 18 ayat (1) g tersebut tentu saja dimaksudkan untuk melarang praktik pembuatan klausula semacam itu. Hanya saja, jika tidak ada kemungkinan pengecualian larangan tersebut dapat di pastikan bahwa penjual jasa tertentu, terutama Bank tidak akan mematuhi tidak akan mematuhi ketentuan tersebut atau kalaupun bank mematuhinya, maka dalam kondisi tertentu bank tersebut akan bangkrut.
7
Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak yang kedudukannya lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul -betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Hal
7
Ahmadi M iru, Larangan Penggunaan Klausula Baku tertentu dalam perjanjian antara Konsumen dan pelaku usaha, JURNAL HUKUM . NO. 17 VOL. 8. JUNI 2001, UII, Yogyakarta Hlm. 116
9
yang demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentuka n klausula-klusula tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.
8
Permasalahan tersebut muncul karena undang-undang tersebut telah kurang lebih 13 (tiga belas) tahun berlaku, namun perjanjian baku tetap ada dan bahkan tidak sedikit yang isinya bertentangan dengan ketentuan hukum yang diatur dalam U ndang-Undang Perlindungan K onsumen. Padahal Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah secara tegas member i sanksi terhadap pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan K onsumen tersebut. Selain itu pula, kendatipun Undang-Undang Perlindungan Konsumen (U UPK) menyatakan bahwa. Klausula-klausula baku yang melanggar larangan-larangan tersebut di atas berakibat batal dem i hukum, namun sejak lahir dan berlakunya UUPK (Undang-U ndang Perlindungan Konsumen) tersebut
hingga kini tidak sedikit
perjanjian baku yang melanggar ketentuan tersebut, namun tetap mengikat para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang sudah dikemukakan oleh penulis di atas , penulis tertarik untuk meneliti dengan judul “TINJA UAN YURID IS
MENGENAI
KETERKAITAN
A SAS
KEBEBASAN
8
Ahmadi M iru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Hlm 114
10
BERKONTRAK DENGAN PERJANJIAN BAKU DALAM PERSPEKTIF PERLINDU NGAN KONSUMEN”
B. Rumusan Masalah Setelah kita lihat dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana keterkaitan asas kebebasan berkontrak dengan keberadaan perjanjian baku? b. Bagaimana keberadaan Perjanjian Baku ditinjau dari aspek perlindungan konsumen? C. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, materi dan permasalahan pokok yang akan saya teliti ini belum pernah diteliti oleh pihak lain. Walaupun ada beberapa penelitian yang secara umum membahas tentang perjanjian baku namun pembahasannya tidak sepenuhnya sama denga n pokok permasalahan yang akan dite liti ini. Demikian pula adanya tesis atau karya tulis yang di teliti oleh: 1. ASPEK
HUKUM
PERJAN JIAN
PEMBUATAN
KREDIT
BANK
KONTRAK OLEH
BAKU
NOTARIS
DI
AKTA KOTA
9
YOGYAKARTA dengan rumusan masalah :
9
I Kadek Hadi Parwata, 2013, Aspek Hukum Pembuatan Kontrak Baku Akta Perjanjian Kredit Bank Oleh Notaris Di Kota Yogyakarta , Tesis, Program Pasca Sarjana M agister Kenotariatan Fakultan Hukum Unive rsitas Gadjah M ada.
11
a. Bagaimana notaris menerapkan prinsip keseimbangan dalam suatu pembuatan kontrak baku akta perjanjian kredit notariil di kaitkan dengan kewenangan dan kewajiban jabatan notaris. b. Hal apa saja yang menjadi pertimbangan dalam membuat kontrak baku akta perjanjian kredit notariil bank yang di tenggarai menim bulkan bergaining position yang lebih menguntungkan pihak bank? c. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah bank yang berada pada kedudukan lemah akibat dari pembuatan kontrak baku akta perjanjian kredit notariil bank yangtidak seimbang. 2. PERLINDU NGAN
KONSUMEN
TERHAD AP
PENER APAN
KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN STANDAR D ANTARA PELANGGAN KARTU HALLO DENGAN PT. TELKOMSEL DI KOTA PADANG a.
10
dengan rumusan masalah:
Bagaimana keterkaitan rumusan klausula baku dengan perlindungan hukum bagi konsumen?
b.
Bagaimana Perlindungan Konsumen terhadap penerapan klausula baku
pada
perjanjian
standard
antara
Pelanggan
dengan
PT.Telkomsel? c. Bagaimana Kendala-kendala Perlindungan konsumen dengan adanya Klausula baku Perjanjian antara Pelanggan dengan PT Telk omsel?
10
Fira Rosanti, 2012, Perlindungan Konsumen Terhadap Penerapan Klausula Baku dalam Perjanjian Standard antara Pelanggan Kartu Hallo dengan PT. Telkomsel Di Kota Padang, Tesis, Program Pasca Sarjana M agister Kenotariatan Fakultan Hukum Universitas Gadjah M ada.
12
Sementara penelitian yang saya teliti dengan judul Tinjauan Yuridis M engenai Keterkaitan A sas Kebebasan Berkontrak dengan Perjanjian Baku Dalam Prespektif Hukum Perjanjian dengan rumusan masalah: a. Bagaimana keterkaitan asas kebebasan berkontrak denga n keberadaan perjanjian baku? b. Bagaimana keberadaan Perjanjian Baku ditinjau dari aspek perlindungan konsumen? Dalam hal ini dapat penulis tegaskan bahwa penelitian ini adalah bersifat orisinil, mandiri serta aktual dan belum pernah diteliti atau dipublikasikan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis :
1. Secara Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menjadi
bahan
masukan
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan mengenai Perjanjian Baku dan perlindungan konsumen, peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi mengenai pembuatan perjanjian baku yang berkaitan dengan asas ke bebasan berkontrak di tinjau dari perlindungan konsumen.
13
2. Secara Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan : a. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat dalam memahami keterkaitan asas kebebasan berkontrak dengan perjanjian baku di tinjau dari perlindungan konsumen b. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran atau wacana kepada pihakpihak yang seringkali ada kaitannya dengan penelitian ini atau pihak -pihak yang dalam praktik menghadapi permasalahan atau sengketa yang berkenaan dengan penggunaan perjanjian baku, maupun bagi masyarakat khusu snya para pelaku bisnis dalam memahami masalah keterkaitan asas perjanjian baku di tinjau dari perlindungan konsumen. c. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan DPR -RI dalam membuat suatu aturan khusus mengenai aturan pembuatan perjanjian baku yang dapat memberikan perlindungan bagi pihak konsumen. . E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan mendapat gambaran yang jelas tentang keterkaitan asas Kebebasan berkontrak dengan keberadaan perja njian baku. 2. Untuk mengetahui keberadaan Perjanijan baku di tinjau dari aspek perlindungan
konsumen.
14