BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyebab terbesar kematian anak di seluruh dunia. Sebanyak 1,4 juta anak atau sekitar 18% anak < 5 tahun setiap tahun meninggal akibat pneumonia di seluruh dunia. Kejadian tersebut melebihi dari penyakit AIDS, malaria dan TBC jika dikelompokkan (WHO, 2012). Menurut The United Nations Children's Fund (UNICEF) pneumonia menyumbang hampir seperlima kematian anak di dunia dan ± 2 juta anak balita meninggal setiap tahun, mayoritas terjadi di negara Afrika dan Asia Tenggara (UNICEF, 2004). Singh (2005) mengemukakan sebagian besar negara-negara di Afrika dan Asia mempunyai 2-10 kali lebih banyak anak dengan pneumonia (7-40/100 per tahun) dibandingkan negara Amerika serikat. Oleh sebab itu pneumonia juga disebut pembunuh anak nomor 1 (the number one killer of children). Di negara berkembang pneumonia merupakan penyakit terabaikan (the neglegted disease) atau terlupakan (the forgotten disease). Banyak anak meninggal karena pneumonia, namun sangat sedikit perhatian yang diberikan terhadap masalah tersebut (Depkes.R.I, 2010). Kurangnya perhatian tersebut disebabkan gejala pasti pneumonia anak tidak mudah diketahui sehingga diperlukan kecermatan petugas kesehatan dalam mendeteksinya. World Health Organization (WHO) memperkirakan di negara berkembang kejadian pneumonia anak-balita sebesar 151,8 juta kasus pneumonia per tahun, sekitar 8,7% (13,1 juta) diantaranya pneumonia berat. Di dunia terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan kejadian pneumonia paling tinggi anak-balita sebesar 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus diseluruh dunia. Lebih dari separo terjadi pada 6 negara, yaitu: India 43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria sebesar 6 juta kasus, mencakup 44% populasi anak balita di dunia pertahun (Depkes.R.I, 2010). Di negara berkembang termasuk Indonesia dari tahun ketahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi dan anak balita. Dari 1
2
data profil kesehatan Indonesia tahun 2011 jumlah kematian balita karena pneumonia sebanyak 609 balita dari 480.033 kasus. Angka tersebut sangat besar, sehingga perlu menjadi perhatian semua pihak. Pneumonia juga selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama dan berkontribusi tinggi terhadap angka kematian balita di Indonesia (Depkes.R.I, 2010). Kematian yang disebabkan pneumonia merupakan peringkat teratas kematian pasien di fasilitas kesehatan (Depkes.R.I, 2012). Di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) kasus pneumonia sebanyak 1.925 kasus dengan jumlah meninggal 6 balita. Hal tersebut termasuk tinggi dengan angka keseluruhan 45 balita (Depkes.R.I, 2012). Di Kabupaten Aceh Besar kasus pneumonia tahun 2011 sebanyak 48 kasus pneumonia berat dan meningkat tahun 2012 menjadi 54 kasus. Menurut data profil kesehatan tahun 2010 angka cakupan penemuan pneumonia Indonesia mencapai 23% kemudian menurun menjadi 20,59% tahun 2011, masih jauh dari target pemerintah, yaitu 83%. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam penemuan pneumonia hanya 4,39% (Depkes.R.I, 2012). Sedangkan di Kabupaten Aceh Besar jumlah perkiraan penderita pneumonia 3.264 balita, data perkiraan pneumonia diperoleh 10% jumlah balita di wilayah puskesmas masing-masing sesuai rumus dari Kepmenkes Nomor: 828/MENKES/ SK/IX/2008. Untuk penderita pneumonia ditemukan dan ditangani hanya 61 balita, maka cakupan pneumonia 1,87% (Dinkes, 2011). Masih tingginya angka pneumonia dan kurangnya penemuan penderita menyebabkan keterlambatan dalam penanganan pneumonia dan banyak orang tua tidak memperhatikan anak yang pernafasan cepat sebagai pneumonia (Bappeda, 2005). Dari sisi status kesakitan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan diare merupakan penyebab tertinggi kesakitan anak balita di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Berdasarkan data dari Indonesian Demographic Health Survey (IDHS) tahun 2008, sekitar 35,4% anak menderita batuk dalam dua minggu terakhir dan 39,1% mengalami demam.
3
Estimasi IDHS (2008) terhadap anak pneumonia sekitar 40-43%. Berdasarkan data Demographic Health Survey (DHS) tahun 2012 provinsi NAD menunjukkan bahwa 88,2% balita berobat di fasilitas kesehatan dengan gejala ISPA. Dari data yang tersedia diketahui kurang dari 20% anak-anak dengan pneumonia direkomendasikan menerima antibiotik dan intervensi pengobatan yang efektif untuk mengurangi pneumonia tapi hanya sedikit mencapai sasaran. Hal ini disebabkan karena overlapping diagnosis sehingga antibiotik yang diberikan tidak tepat (UNICEF and WHO, 2006). Upaya yang dilakukan untuk menemukan dan menurunkan angka kesakitan balita karena pneumonia diantaranya melalui pendekatan MTBS di unit pelayanan kesehatan dasar puskesmas dan juga melalui imunisasi. Keberhasilan dalam tatalaksana balita dengan pneumonia melalui pendekatan MTBS didukung sumber daya manusia (SDM) dari petugas kesehatan, pendanaan, sarana dan prasarana, meliputi tersedianya obat-obatan dan alat bantu frekuensi pernafasan. Sumber daya manusia yang terlibat program penanganan pneumonia melalui pendekatan MTBS meliputi petugas kesehatan yang memberikan tatalaksana pneumonia pada balita diunit-unit pelayanan kesehatan, pengelola program puskesmas dikabupaten, propinsi dan pusat serta kader kesehatan. Di Kabupaten Aceh Besar yang terlibat dalam program penatalaksanaan pneumonia balita adalah dokter, perawat dan bidan diunit pelayanan rawat jalan puskesmas. Pelatihan MTBS secara menyeluruh dilakukan selama 11 hari efektif tanpa sesi malam dengan metode kelas 60% dan praktek klinis 40%. WHO memperkenalkan konsep pendekatan MTBS sebagai strategi upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi dan anak balita dinegara-negara berkembang. Manajemen terpadu balita sakit (MTBS) dalam menangani balita sakit menggunakan suatu algoritme. Program ini dapat mengklasifikasi penyakitpenyakit yang diderita secara tepat, mendeteksi penyakit yang diderita balita sakit, melakukan rujukan secara tepat bila diperlukan, melakukan penilaian status gizi dan memberikan imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu, bagi ibu balita yang diberikan konseling mengenai tata cara memberikan obat kepada
4
balita dirumah, pemberian nasihat mengenai makanan yang seharusnya diberikan dan memberitahu kapan harus kembali atau segera kembali untuk mendapat pelayanan tindak lanjut MTBS merupakan paket komprehensif yang meliputi aspek preventif, promotif, kuratif maupun rehabilitatif (WHO, 2003) Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan MTBS dengan meningkatkan penemuan dini balita dengan pneumonia, didukung sumber daya manusia. Dalam hal ini petugas puskesmas yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak khususnya MTBS. Pelaksanaan Program MTBS terintegrasi dengan program-program kesehatan dasar lainnya, maka perlu dilakukan peningkatan manajemen sumber daya manusia dan sarana serta prasarana yang baik dalam mendeteksi dini pneumonia pada anak sehingga dapat segera diobati sebelum menjadi parah dan jika sudah berat dapat segera ditindak lanjuti. Di Kabupaten Aceh Besar banyak bidan telah melakukan pelatihan MTBS, tapi masih banyak balita tidak terdeteksi dini pneumonia hingga menjadi berat. Hal ini menjadi suatu permasalahan yang harus diatasi bersama dengan mencari akar permasalahannya dan cara penyelesaiannya. Bank Dunia, 1993 melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare, campak malaria, kurang gizi, yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut. Evaluasi adalah suatu pemeriksaan terhadap pelaksanaan suatu program yang
telah
dilakukan
dan
akan
digunakan
untuk
meramalkan
dan
memperhitungkan dan mengendalikan pelaksanaan program ke depannya agar jauh lebih baik. Evaluasi ialah suatu usaha untuk mengukur dan mencari sumber nilai secara objektif dari pencapaian hasil-hasil yang direncanakan sebelumnya, dimana hasil evaluasi tersebut dimaksudkan menjadi umpan balik untuk perencanaan yang akan dilakukan di depan (Tayibnapis and Farida, 2000). Dalam hal ini menitik beratkan kajian evaluasi dari segi manajemen, dimana evaluasi merupakan salah satu fungsi atau unsur manajemen, tujuannya untuk perbaikan fungsi atau sosial manajemen lainnya, yaitu perencanaan.
5
Untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan MTBS di puskesmas pada balita dalam penatalaksanaan pneumonia dapat dilakukan melalui evaluasi. Tujuan dari monitoring evaluasi pelaksanaan MTBS untuk mengetahui kendala yang timbul selama pelaksanaan MTBS terutama masalah identifikasi pneumonia pada anak yang merupakan ujung tombak pengobatan pneumonia. Evaluasi dapat dilakukan dengan melalui kuesioner dan observasi terhadap petugas kesehatan dalam hal ini perawat dan bidan yang bekerja di bagian MTBS dipuskesmas. Oleh karena itu peran petugas kesehatan masyarakat dalam mengenali dan melakukan intervensi maupun rujukan dapat menyelamatkan jiwa anak yang terkena pneumonia (Källander et al., 2006), maka penulis ingin melakukan evaluasi pelaksanaan MTBS oleh petugas kesehatan dalam penatalaksanaan pneumonia pada anak di Kabupaten Aceh Besar.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah ada perbedaan keterampilan tatalaksana pneumonia pada
petugas kesehatan yang telah dilatih dan belum dilatih
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diketahui keterampilan
bahwa pelatihan MTBS berguna untuk petugas
kesehatan
dalam
tatalaksana
meningkatkan
pneumonia
yang
komprehensif. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui gambaran keterampilan petugas MTBS dalam tatalaksana pneumonia pada balita. b. Teridentifikasi standar operasional prosedur tatalaksana pneumonia yang tidak dilakukan oleh petugas MTBS c. Membandingkan skor keterampilan tatalaksana pneumonia pada petugas MTBS yang terlatih dan tidak terlatih.
6
d. Diketahui faktor lain yang berhubungan dengan keterampilan petugas kesehatan dalam implementasi tatalaksana pneumonia pada balita di Kabupaten Aceh Besar.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis a sebagai masukan bagi pemegang kebijakan program MTBS juga sebagai bahan pertimbangan, evaluasi bagi dinas kesehatan Kabupaten Aceh Besar dalam meningkatkan kualitas tenaga kesehatan yang terampil dengan pelatihan manajemen terpadu balita sakit. b
Sebagai acuan data bagi perumus kebijakan dalam menentukan langkahlangkah strategi untuk meningkatkan pelayanan tatalaksana pneumonia yang komprehensif.
2. Manfaat Teoritis Agar dapat dijadikan masukan bagi peneliti yang lain dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada program MTBS terutama dalam penanganan dengan segera penyakit pneumonia pada balita. 3. Manfaat Bagi Penulis Bagi peneliti membuka wawasan dan pengetahuan serta memberikan pengalaman dalam menerapkan ilmu yang didapatkan selama pendidikan.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang MTBS sudah banyak dilakukan, karena program ini sudah lama digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 1997. Penelitian dilaksanakan terutama untuk memperbaiki mutu pelayanan program MTBS bagi petugas kesehatan disebabkan masih tingginya morbiditas dan mortalitas pada balita. Penelitian tentang evaluasi program MTBS yang pernah dilakukan antara lain: 1. Ahmed et al. (2010) melakukan penelitian tentang“National Implementation of integrated Manajement of childhood illness (IMCI): Policy constraints and Strategies”. Penelitian ini menjelaskan bahwa MTBS adalah strategi manajemen perawatan pediatrik yang tujuannya untuk meningkatkan
7
kesehatan dan kualitas layanan kesehatan pada balita. Namun banyak negara menghadapi pelatihan yang signifikan, masalah politik, keuangan, sistem kesehatan dalam mengimplementasi program MTBS, sehingga banyak negara belum banyak merasakan manfaatnya program MTBS. 2. Djoko and Mubasysyir (2005) telah melakukan penelitian tentang “Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit Di Kabupaten Pekalongan” menggunakan rancangan studi kasus dengan kerja lapangan. Hasil dari penelitian ini adanya kecenderungan peningkatan rasionalitas pengobatan dalam mengobati batuk, petugas kesehatan belum mampu mengklasifikasi kondisi anak dan membuat laporan seperti yang diharapkan. Disamping itu juga kurangnya pendidikan berkelanjutan dan pelatihan tenaga kesehatan baru. Kurangnya sosialisasi pelaksanaan praktik MTBS terhadap ibu menciptakan kesalahpahaman antara ibu dalam hal waktu yang diperlukan untuk perawatan anak mereka dan melakukan evaluasi yang lebih komprehensif. 3. Horwood et al. (2009a) melaksanakan penelitian tentang “An Evaluation of the Quality of IMCI Assessments among IMCI Trained Health Workers in South Africa”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana petugas kesehatan menerapkan MTBS dalam mengenali tanda-tanda pneumonia pada balita pada petugas kesehatan yang telah dilatih MTBS di Afrika Selatan. Dengan melakukan observasi dan diamati untuk konsultasi dengan anak sakit. Hasil dari penelitian ini diperoleh bahwa banyak petugas kesehatan belum menerapkan MTBS secara komprehensif, penilaian untuk anak yang perlu rujukan sering terlewatkan karena petugas tidak mengenali tanda bahaya pada anak. Pengawasan harus ditingkatkan untuk menjaga mutu pelayanan MTBS. 4. Huicho et al. (2008) melakukan penelitian tentang “How much does quality of child care vary between health workers with differing durations of training? An observational multicountry study”. Tujuan penelitian ini untuk menilai seberapa besar kualitas pelayanan tenaga kesehatan di tinjau dari lamanya pelatihan. Hasil dari penelitian diperoleh Proporsi anak dikelola dengan benar oleh tenaga kesehatan dengan durasi yang lebih lama pelatihan di Brasil adalah 57,8% (n = 43) dibandingkan 83,7% (n = 61) bagi mereka dengan
8
durasi yang lebih singkat pelatihan (p = 0,008 ), dan 23,1% (n = 47) dibandingkan 32,6% (n = 134) (p = 0,03) di Uganda. Di Tanzania, mereka dengan durasi yang lebih lama pelatihan tidak lebih baik daripada mereka dengan durasi yang lebih singkat dalam penilaian terpadu anak sakit (rata-rata indeks penilaian yang terintegrasi 0,94 [SD 0.15] vs 0,88 [0,13], p = 0,004). 5. Kallander et al. (2006) tentang “Can Community health workers and Caretakers recognise pneumonia in children? experiences fromWestern Uganda”.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan petugas kesehatan untuk mengindentifikasikan pneumonia pada anak dengan melihat gejala-gejala pneumonia dan Kabupaten Aceh Besar petugas kesehatan dalam menghitung dan mengklasifikasikan tingkat pernafasan anak rawat inap di Western Uganda. Hasil penelitian ini banyak petugas tidak dapat mengenali gejala-gejala pneumonia sehingga perlu dilatih penggunaan toolkit MTBS.
9
Tabel 1. Keaslian Penelitian Peneliti Judul penelitian Ahmed et al. (2010) “National implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI): Policy constraints and strategies”
Tujuan Penelitian Untuk melihat perkembangan pelaksanaan MTBS dan masalah yang dihadapi dalam implementasi MTBS
Djoko and Mubasysyir (2005) “Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit Di kabupaten Pekalongan”
Mempelajari kinerja MTBS, selama 3 tahun penerapan di Pekalongan dan untuk mengetahui apakah program ini baik dan dapat memecahkan masalah kesehatan anak
Horwood et al. (2009a) “An Evaluation of the Quality of IMCI Assessments among IMCI Trained Health Workers in South Africa “
Untuk mengevaluasi pelaksanaan MTBS di dua propinsi di Afrika Selatan untuk mengetahui peningkatan manajemen kasus penyakit umum dan serius pada tingkat pelayanan kesehatan primer.
Metode Penelitian Mengulas literatur dampak dari pelaksanaan MTBS. Dengan jumlah 45 jurnal. Rancangan penelitian ini studi kasus kerja lapangan berlangsung bulan AgustusNovember 2004 Penelitian di 4 fasilitas pelayanan kesehatan primer di Pekalongan. Sampel: petugas kesehatan 4 fasilitas kesehatan tersebut Jenis penelitian observasional, rancangan cross sectional sampel penelitian 77 petugas kesehatan terlatih dan diamati 74 fasilitas kesehatan primer di Limpopo Africa Selatan.
Hasil Penelitian
Perbedaan
Banyak negara menghadapi pelatihan signifikan, masalah politik, keuangan, sistem kesehatan dalam dalam mengimplementasi program MTBS Peningkatan rasionalitas pengobatan dalam mengobati batuk, petugas kesehatan belum mampu mengklasifikasi kondisi anak dan membuat laporan yang diharapkan. Meningkatnya rasio pemakaian corimoksazol tahun 2001 0,83. Tahun 2003 menjadi 1,03. Empat puskesmas: pemakaian kotrimoksazol tidak rasional.
desain penelitian, variabel diteliti, dan lokasi penelitian
Petugas kesehatan menerapkan MTBS, tidak secara komprehensif. Selama pengamatan hanya 1 petugas berpedoman bagan MTBS 9 (12%) diamati petugas kesehatan memeriksa tanda bahaya umum setiap anak, dan 14 (18%) menilai semua gejala utama setiap anak. 51/109 (46,8%) anak klasifikasi berat diidentifikasi benar. Status gizi tidak diklasifikasikan dalam 567/1357 (47,5%) anak.
tujuan penelitian, dimana penelitian ini hanya mengevaluasi MTBS dan lokasi penelitian
desain penelitan dan lokasi penelitian.
10
Lanjutan Tabel 1. Peneliti Judul penelitian Huicho et al. (2008) “How much does quality of child care vary between health workers with differing durations of training?”
Källander et al. (2006). “Can community health workers and caretakers recognise pneumonia in children? Experiences from western Uganda”
Tujuan Penelitian Untuk menilai seberapa besar kualitas pelayanan tenaga kesehatan dari lamanya pelatihan.
Untuk mengetahui kemampuan kader kesehatan masyarakat untuk menilai pernafasan cepat pada anak umur 5 tahun dan di eksplorasi interpretasi gejala pneumonia.
Metode Penelitian Menganalisis data survei dari beberapa negara dilihat dari lamanya pelatihan. rancangan cross sectional sampel penelitian 285 tenaga kesehatan beberapa negara dengan durasi pelatihan lama dan singkat.
-Penelitian kualitatif dengan pengambilan data diskusi kelompok terfokus. -Sampel penelitian 96 kader kesehatan masyarakat di barat Uganda
Hasil Penelitian
Perbedaan
Proporsi anak dikelola dengan benar oleh tenaga kesehatan dengan durasi yang lebih lama pelatihan di Brasil adalah 57,8% (n = 43) dibandingkan 83,7% (n = 61) bagi mereka dengan durasi lebih singkat pelatihan (p = 0,008), dan 23,1% (n = 47) dibandingkan 32,6% (n = 134) (p = 0,03) di Uganda. Di Tanzania, durasi lebih lama pelatihan tidak lebih baik daripada mereka dengan durasi lebih singkat dalam penilaian terpadu anak sakit (ratarata indeks penilaian yang terintegrasi 0,94 [SD 0.15] vs 0,88 [0,13], p = 0,004).
Pada variabel penelitian dan lokasi penelitian.
Hasil didapatkan sensivitas klasifikasi kader kesehatan masyarakat adalah 75% dan spesifisitas 83% Ada konsistensi dalam penafsiran keparahan, penyebab dan pengobatan, sebagian besar terkait demam dan dirawat dengan anti malaria
Pada desain penelitian, analisa data, sampel penelitian dan lokasi penelitian