AplikasiLitbang Jurnal teknologi Pertanian DNA untuk Vol. 35 akselerasi No. 4 Desember program 2016: pemuliaan 155-166 .... (I Made Tasma)
DOI: 10.21082/jp3.v35n4.2016.p155-166 155
APLIKASI TEKNOLOGI DNA UNTUK AKSELERASI PROGRAM PEMULIAAN KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP HAMA DAN PENYAKIT UTAMA Application of DNA Technology to Accelerate Breeding Program for Disease and Insect Pest Resistance of Cacao I Made Tasma Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111, Indonesia Telp. (0251) 8337975, 8339793, Faks. (0251) 8338820 E-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima: 9 Mei 2016; Direvisi: 29 September 2016; Disetujui: 10 Oktober 2016
ABSTRAK Salah satu kendala utama dalam budi daya kakao ialah serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit utama kakao adalah penggerek buah kakao (PBK), busuk buah kakao (BBK), vascular streak dieback (VSD), dan cacao mirids (Helopeltis spp.). Kegiatan pemuliaan tanaman kakao secara konvensional berjalan lambat dan perlu waktu panjang. Untuk menghasilkan satu varietas unggul diperlukan waktu 1520 tahun. Aplikasi teknologi DNA (genomika melalui pemuliaan berbantuan marka dan rekayasa genetik) dapat mempercepat program pemuliaan tanaman kakao. Tulisan ini mengulas teknologi DNA yang tersedia saat ini dan potensi aplikasinya untuk mempercepat pemuliaan kakao tahan hama dan penyakit. Penemuan marka DNA dan gen/quantitative trait loci (QTL) kakao berkembang cukup pesat. Banyak gen dan QTL karakter penting telah diidentifikasi yang terkait ketahanan hama dan penyakit serta produktivitas tanaman. Teknologi genomika dan pemanfaatan teknik marker-assisted selection (MAS) juga telah diaplikasikan untuk pemuliaan kakao termasuk untuk karakter ketahanan terhadap hama dan penyakit. Teknologi rekayasa genetik telah diteliti untuk menganalisis potensi pemanfaatannya dalam perbaikan bahan tanam kakao. Dengan berkembangnya teknologi genomika modern, penemuan gen/ QTL unggul dapat dipercepat, lebih efisien dan komprehensif untuk mempercepat perakitan varietas unggul kakao tahan hama dan penyakit. Teknologi DNA khususnya MAS dan pemuliaan berbasis data genom siap diaplikasikan untuk mendukung program perbaikan ketahanan tanaman kakao terhadap hama dan penyakit utama dalam rangka peningkatan produktivitas dan mutu kakao nasional. Kata kunci: Kakao, ketahanan hama dan penyakit, genomika, marka DNA, transformasi genetik, pemuliaan berbasis marka
ABSTRACT One of the main constraints on cacao cultivation is disease and insect pest attacks causing significant yield loss. The main insect pests and diseases on cacao plantation are cacao pod borer, cacao
fruit rot, vascular streak dieback and cacao mirids (Helopeltis spp.). Conventional breeding method to obtain new cacao clones resistant to insect pests and diseases is a slow process. It may take 1520 years to obtain a new superior clone. Applying DNA technology should expedite cacao breeding program. The article described the application of DNA technology currently available to expedite cacao breeding program for disease and insect resistance. Many genes and quantitative trait loci (QTLs) of important traits have been discovered related to cacao plant productivity and yield quality, disease and insect pest resistance traits. Modern genomic technologies as well as DNA marker have also been applied in cacao breeding program. Genetic transformation technology has been explored its application for cacao improvement. With the development of modern genomic technology, important gene/QTL discoveries would be faster to accelerate insect pest and disease resistant cultivar development. All these new DNA technologies have been assessed their potential applications for coping important pest and disease and for yield improvement. DNA technologies, mainly MAS and genomic-data based breeding technologies are ready to be applied to support breeding programs for main pest and disease resistance to enhance Indonesian cacao productivity and quality. Keywords: Cacao, disease and insect resistance, genomics, DNA markers, genetic transformation, marker-assisted breeding
PENDAHULUAN
K
akao (Theobroma cacao) merupakan tanaman perkebunan penting di Indonesia yang menyediakan jutaan lapangan kerja, sumber pendapatan petani, dan sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara. Indonesia merupakan negara penghasil kakao ketiga terbesar di dunia setelah Gana dan Pantai Gading dengan produksi 740.500 ton biji kakao per tahun yang mengisi sekitar 16% pangsa pasar kakao dunia (FAOSTAT 2012). Sekitar 90% perkebunan kakao di Indonesia dilakukan oleh petani kecil (Karmawati et al. 2010). Sentra produksi kakao di Indonesia berada di Sulawesi yang mencakup
156 sekitar 64% area kakao nasional (Ditjenbun 2010) dan area kakao lainnya (36%) menyebar di pulau-pulau lainnya. Hama dan penyakit merupakan salah satu kendala utama dalam budi daya kakao di Indonesia. Hama dan penyakit utama kakao yaitu penggerek buah kakao (PBK), busuk buah kakao (BBK), penyakit vascular streak dieback (VSD), dan cacao mirids (Helopeltis spp). Kehilangan hasil per tahun akibat serangan hama dan penyakit mencapai 3040% (Siswanto dan Karmawati 2011). Biaya pengendalian hama dan penyakit dapat mencapai 40% dari total biaya produksi (Sulistyowati et al. 2003). Ini menunjukkan bahwa pengendalian hama dan penyakit merupakan komponen produksi yang sangat penting pada pertanaman kakao di Indonesia. Salah satu metode yang murah dan aman untuk mengendalikan hama dan penyakit kakao adalah menggunakan varietas tahan hama dan penyakit. Oleh karena itu, varietas unggul baru kakao perlu dirakit dengan menggunakan metode pemuliaan yang sistematis dan terprogram dengan baik. Sumber-sumber gen ketahanan harus tersedia pada koleksi plasma nutfah kakao. Metode pemuliaan modern perlu diterapkan secara tunggal atau kombinasi beberapa metode untuk memperoleh varietas unggul kakao terbaik. Metode pemuliaan konvensional telah diterapkan dengan hasil yang cukup baik untuk memperoleh varietas kakao tahan hama dan penyakit. Namun, pemuliaan kakao secara konvensional memerlukan lahan luas dan waktu lama, bisa 10–15 tahun untuk menyelesaikan satu siklus pemuliaan. Kendala lain dalam aplikasi pemuliaan konvensional adalah hanya sebagian kecil koleksi sumber daya genetik (SDG) yang dapat digunakan dalam program pemuliaan, walaupun tersedia keragaman yang luas pada koleksi SDG kakao. Keterbatasan ini memperlambat proses pemuliaan tanaman kakao tahan hama dan penyakit. Tujuan penulisan ini ialah untuk menyampaikan status teknologi DNA dan potensinya untuk digunakan dalam pemuliaan kakao tahan hama dan penyakit melalui teknik marker-assisted breeding (MAS) atau seleksi genomika dan teknologi rekayasa genetik. Informasi yang disajikan mencakup perkembangan teknologi DNA (genomika, marka DNA, dan rekayasa genetik) yang meliputi informasi genetik, pengembangan dan aplikasi teknologi marka, transformasi genetik dan genomika modern, serta perspektif pemuliaan kakao tahan hama dan penyakit utama di Indonesia.
GENOM DAN GENETIKA TANAMAN KAKAO Kakao termasuk tanaman tahunan berkayu, berasal dari hutan basah Amazon di Amerika Selatan. Biji kakao merupakan komponen utama dalam industri coklat atau produk turunannya. Kakao dibudidayakan di negaranegara beriklim tropis basah termasuk Indonesia. Di negara berkembang, kakao ditanam oleh petani dengan
J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166
skala kecil. Tiga negara penghasil kakao terbesar berturutturut Gana, Pantai Gading, dan Indonesia. T. cacao termasuk tanaman diploid dengan 10 kromosom (2n = 2x = 20). Ukuran genom kakao relatif kecil, sangat mirip dengan ukuran genom padi, yang diperkirakan berkisar 390–415 Mb (Figueira et al. 1992; Couch et al. 1993). T. cacao adalah anggota ordo Malvales yang sekelompok dengan tanaman penting penghasil serat yaitu kapas. Kakao dan kapas merupakan anggota dari Eurosids II, kelompok tanaman yang di dalamnya ada Brassicales, yang memasukkan tanaman model Arabidopsis thaliana sebagai anggotanya (Soltis et al. 2002). Kedekatan kekerabatan genetik genom tanaman kakao dengan genom A. thaliana memfasilitasi kemajuan penelitian genom tanaman kakao, termasuk penyelesaian peta sekuen genom rujukan (reference genome sequence map) tanaman kakao yang diperoleh dari dua genotipe kakao, Criollo (Argout et al. 2011) dan Matina 16 (Motamayor et al. 2013). Keragaman genetik spesies T. cacao telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Namun varietas unggul komersial yang tersedia untuk petani saat ini, termasuk petani kakao Indonesia, dirakit menggunakan pangkalan materi genetik dengan keragaman genetik yang sempit. Genotipe kakao yang dibudidayakan di dunia dikelompokkan menjadi tiga jenis populasi, yaitu Forastero, Trinitario, dan Criollo (Motamayor et al. 2002; Motamayor et al. 2008). Genotipe Forastero berasal dari lembah Amazon (Amerika Selatan), sangat beragam secara genetik dan sangat kaya dengan gen dan QTL untuk ketahanan terhadap hama dan penyakit, hasil dan komponen hasil, dan secara terbatas juga memiliki gen atau QTL yang menentukan mutu biji kakao. Genotipe Criollo berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Utara (Meksiko), umumnya memiliki karakteristik kuat pada kualitas biji tinggi dengan cita rasa yang baik, tetapi genotipe ini umumnya peka terhadap hama dan penyakit. Tipe populasi yang ketiga, Trinitario merupakan hasil silangan alami antara kedua populasi sebelumnya, Criollo dan Trinitario. Di samping ketiga populasi tersebut, ada beberapa subpopulasi di dalam ketiga populasi utama tersebut. Namun, hasil analisis molekuler menunjukkan bahwa sebetulnya terdapat 10 populasi kakao di dunia, bukan tiga populasi seperti dilaporkan sebelumnya berdasarkan analisis fenotipe (Motamayor et al. 2008). Persilangan antarspesies dari genus T. cacao tidak mudah dilakukan. Melalui usaha keras, persilangan antarspesies tersebut baru berhasil pada T. cacao dengan T. grandiflorum (Martinson 1966; Ahnert dan Pires 2000). Tingkat penyerbukan silang tanaman kakao berkisar 18– 66%, tetapi inkompatibilitas penyerbukan sendiri mencapai 100% (Vello 1971; Ahnert dan Pires 2000). Spesies T. cacao menunjukkan sistem seksual inkompatibilitas yang tinggi yang dikendalikan oleh lokus S dengan gen-gen pemodifikasi (Cope 1962). Sistem inkompatibilitas pada kakao membatasi produksi benih dan menyulitkan pembuatan jenis-jenis persilangan. Pada
Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma)
beberapa program pemuliaan dan studi genetik, masalah inkompatibilitas ini biasanya dipecahkan dengan pencampuran polen kakao dengan satu genus tanaman yang berkerabat dekat dengan kakao (Herrania) (Cope 1962; Vello 1971).
TANTANGAN PEMULIAAN KAKAO DENGAN TEKNIK KONVENSIONAL Sebagai tanaman tahunan berkayu, dalam pemuliaan kakao secara konvensional, pelaksanaan uji daya hasil sangat mahal dan memerlukan waktu 5–8 tahun untuk menyelesaikannya (Irizarry dan Rivera 2002). Seperti telah dilaporkan sebelumnya, banyak genotipe kakao memiliki sistem inkompatibilitas penyerbukan sendiri yang menyulitkan dalam pembentukan populasi F2 untuk uji segregasi gen pengendali karakter maupun untuk pemetaan genetik karakter target. Mengingat lamanya waktu dan luasnya area yang diperlukan dalam penelitian pemuliaan konvensional, pemeliharaan hasil penelitian sering terganggu oleh perubahan politik dan program. Varietas kakao yang tersedia dan ditanam petani umumnya adalah varietas hibrida campuran yang diperbanyak di kebun benih. Asal-usul genetik dan jenis genotipe biasanya tidak jelas atau tidak diketahui (Hunter 1990). Karakter ketahanan hama dan penyakit pada kakao umumnya dikendalikan oleh banyak gen (multigenik), yang mengakibatkan penemuan individu gen yang bertanggung jawab terhadap fenotipe ketahanan hampir tidak memungkinkan dengan menggunakan teknik konvensional (Pires et al. 1996). Perkembangan teknologi pemuliaan kakao modern pada dekade terakhir, yang dikenal dengan teknik seleksi berbasis marka (markerassisted selection, MAS) diharapkan dapat memecahkan masalah ini. Teknologi ini diinisiasi dengan pengembangan marka molekuler yang berpautan dengan fenotipe target, dalam hal ini karakter ketahanan hama dan penyakit tanaman (Lande 1992). Marka DNA yang berpautan dengan karakter target kemudian digunakan pada proses praseleksi genotipe tanaman untuk diuji ketahanannya terhadap penyakit atau untuk pemuliaan sebelum fenotipe penyakit benar-benar diekspresikan. Sebagai contoh, dengan mengidentifikasi marka molekuler yang berpautan dengan karakter ketahanan busuk buah kakao (BBK) pemulia dapat mengidentifikasi materi genetik tahan BBK untuk program pemuliaan ketahanan penyakit BBK pada level pembibitan, tanpa harus menunggu tanaman berbuah untuk menguji fenotipe ketahanan tanaman terhadap BBK. Dengan demikian, metode MAS akan mempersingkat siklus pemuliaan tanaman untuk memilih genotipe kakao yang membawa karakter ketahanan terhadap BBK. Salah satu contoh aplikasi marka DNA untuk ketahanan terhadap penyakit pada kakao adalah pemanfaatan marka DNA yang
157
berpautan dengan QTL untuk penyakit witch’s broom (WB), frosty pod (FP), dan BBK yang digunakan untuk MAS (Risterucci et al. 2003; Araújo et al. 2008). Dengan demikian, penting untuk mengembangkan marka molekuler polimorfiks yang berpautan dengan gen-gen atau QTL pengendali karakter ketahanan hama dan penyakit. Selain pengembangan jenis-jenis marka DNA umum seperti SSR, RAPD, AFLP, dan SSR, juga dikembangkan marka jenis lain, yaitu marka molekuler menggunakan pendekatan gen kandidat (Gentzbittel et al. 1998). Akhirakhir ini, marka single nucleotide polymorphism (SNP) menjadi sangat populer karena berbagai keunggulannya dibandingkan dengan jenis marka yang telah diaplikasikan sebelumnya (Tasma 2014; Thomson 2014; Livingstone et al. 2015). Marka SNP jumlahnya hampir tidak terbatas pada genom tanaman, sangat mudah diautomatisasi untuk membuat sistem genotyping kapasitas tinggi yang mengakselerasi penemuan gen dan pelabelan QTL secara cepat untuk mempersingkat program pemuliaan kakao tahan hama dan penyakit (Tasma 2014; 2015). Berkembangnya teknologi marka DNA baru yang menggunakan berbagai tingkatan teknologi genomika dapat memecahkan masalah lambatnya proses pemuliaan kakao dengan teknik pemuliaan konvensional. Penggunaan teknik MAS, dengan demikian, dapat memotong siklus pemuliaan kakao menjadi setidaknya setengah dari siklus pemuliaan kakao dengan teknik pemuliaan konvensional. Teknologi DNA mempercepat seleksi individu genotipe tanaman kakao yang membawa gen atau QTL target pengendali karakter ketahanan hama dan penyakit untuk digunakan dalam program pemuliaan perakitan varietas kakao.
HAMA DAN PENYAKIT UTAMA KAKAO DI INDONESIA Penyakit utama pada tanaman kakao di Indonesia adalah penyakit busuk buah kakao (BBK) yang disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora dan P. megakarya, dan penyakit vascular streak dieback (VSD) yang disebabkan oleh jamur Oncobasidium theobromae. Hama penting kakao adalah penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella (Famili Gracillariidae: Ordo Lepidoptera), dan cacao mirids Helopeltis spp. (Famili Miridae: Ordo Hemiptera) (Tabel 1). Di negara penghasil kakao yang lain ditemukan juga penyakit penting, tetapi bukan penyakit utama di Indonesia, yakni frosty pod/ monila pod rot yang disebabkan oleh jamur Moniliophthora roreri, penyakit witch's broom yang disebabkan oleh Crinipellis permiciosa dan swelling of the root and stems yang disebabkan oleh swollen shoot virus (Tabel 1). BBK adalah penyakit penting pada kakao, khususnya di negara-negara tropis. Penyakit ini disebabkan oleh lima
158
J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166
spesies Phytophthora: P. palmivora (Butl.), P. citrophthora (R.E.Smith and E.H. Smith), P. capsici, P. megasperma (Drechsler), dan P. megakarya (Brasier and Griffin). Penyakit ini menyerang daun, batang, ujung batang, bunga, dan buah kakao dengan berbagai tingkat kematangan. Buah yang belum matang paling peka terhadap serangan penyakit ini dengan serangan paling parah di antara tingkat kematangan buah (Gambar 1A). Kerusakan buah terberat biasanya terjadi dua bulan sebelum buah matang (Ramlan 2010). BBK telah lama dilaporkan sebagai penyakit jamur paling serius pada pertanaman kakao di Indonesia yang dapat menyebabkan penurunan hasil hingga 50% (Siswanto dan Karmawati 2011; Rubiyo dan Amaria 2013). Pengendalian penyakit
Tabel 1. Penyakit dan hama utama tanaman kakao petani dan organisme penyebabnya. Hama/penyakit
Organisme penyebab
Penyakit jamur Busuk buah kakao (black pod) Frosty pod (monila pod rot) 1 Witch's broom1 Vascular streak dieback (VSD)
Phytophthora palmivora Phytophthora megakarya Moniliophthora roreri Crinipellis permiciosa Onchobasidium theobromae
Penyakit virus Swelling of the root and stems
Swollen shoot virus
H ama Penggerek polong (pod borer) Cocoa mirids
Conopomorpha cramerella Helopeltis sp.
1
Penyakit ini umumnya menyerang pertanaman kakao di Amerika dan bukan penyakit serius di Asia. Sumber: World Cocoa Foundation (http://www. chocolateand cocoa.org/library/ disease/default.asp); Siswanto dan Karmawati (2011; 2012); Rubiyo dan Amaria (2013).
A
BBK selama ini dilakukan dengan menggunakan varietas tahan Sca6 dan Sca12, mengurangi kelembapan kebun, menjaga sanitasi kebun, dan mengaplikasikan fungisida nabati dan fungisida kimiawi secara periodik (Siswanto dan Karmawati 2011; Rubiyo dan Amaria 2013). Penyakit penting kedua pada tanaman kakao di Indonesia adalah vascular streak dieback (VSD). Penyakit ini menyerang hampir semua tingkat pertumbuhan tanaman kakao, dari bibit sampai tanaman dewasa dan berbuah matang (Gambar 1C). Penyebaran penyakit ini terjadi melalui spora yang diterbangkan oleh angin. Spora kemudian berkecambah pada daun kakao dan hifa jamur tumbuh di dalam jaringan pembuluh kayu (xylem). Pertumbuhan jamur menyumbat jaringan pembuluh kayu yang menyebabkan daun gugur (Gambar 1C). Kerugian ekonomi akibat penyakit ini bervariasi antara 360% (Siswanto dan Karmawati 2011). Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan menggunakan varietas toleran karena belum tersedia varietas kakao yang tahan penyakit VSD, memelihara sanitasi kebun, dan mengaplikasikan fungisida kimiawi secara reguler (Harni 2013). Hama penggerek buah kakao (PBK) dilaporkan telah menyerang pertanaman kakao di seluruh Indonesia. Hama ini menyerang buah muda maupun buah matang (Gambar 2A) yang menyebabkan kehilangan hasil lebih dari 80% dan sekali pertanaman kakao terserang hama tersebut akan sangat sulit mengendalikan hama tersebut (Sulistyowati et al. 2003; Susilo et al. 2007; Karmawati et al. 2010). Serangan hama PBK mengakibatkan penurunan kualitas biji kakao (Lim 1992; Anshary 2003). Pengendalian hama PBK dilakukan dengan menjaga kelembapan kebun melalui pemangkasan secara reguler tanaman kakao dan pohon peneduh, menjaga sanitasi kebun, memanfaatkan musuh alami, dan penyemprotan insektisida nabati dan insektisida kimia (Siswanto dan Karmawati 2012).
B
C
Gambar 1. Gejala beberapa penyakit utama tanaman kakao: (A) busuk buah kakao (Rubiyo dan Amaria 2013); (B) frosty pod rot (Saunders 2002); (C) vascular streak dieback (Harni 2013): (a) dan (b) noktah pada pangkal daun (ciri utama penyakit VSD), (c) nekrotik pada daun, (d) ranting mati.
159
Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma)
Hama penting lain pada tanaman kakao ialah Helopeltis spp. (Famili Miridae: Ordo Hemiptera). Ada beberapa spesies Helopeltis di antaranya H. antonii, H. theivora, dan H. claviver (Karmawati et al. 2010). Stadia hama yang merusak tanaman kakao ialah nimfa (serangga muda) dan imago. Hama menyerang buah kakao muda dengan memasukkan stilet ke dalam buah kakao untuk menyerap cairan buah. Stilet juga melepaskan toksin ke dalam buah kakao yang menyebabkan kerusakan di sekitar tempat pemasukan stilet (Gambar 2B). Hama ini juga menyerang ujung batang (shoot) dan daun muda. Hama ini dapat menurunkan hasil 5060% (Karmawati et al. 2010). Pengendalian hama ini dilakukan dengan cara yang mirip dengan pengendalian hama PBK (Karmawati et al. 2010; Siswanto dan Karmawati 2012). Pemuliaan ketahanan terhadap penyakit BBK telah dilaksanakan sejak lama di banyak lembaga penelitian kakao di dunia, termasuk Indonesia. Ketahanan terhadap BBK menurun secara genetik dengan heritabilitas sempit dan heritabilitas luas berturut-turut 0,33 dan 0,51 (Iwaro et al. 2005). Sumber gen ketahanan BBK sudah diidentifikasi dan 208 aksesi kakao juga telah diidentifikasi dan terdaftar di pangkalan data ICGD dengan tingkatan ketahanan yang bervariasi. Untuk tujuan pemuliaan tanaman, metode inokulasi leaf disk telah dikembangkan dan digunakan untuk menyaring genotipe kakao dalam jumlah besar pada level bibit (Crouzillat et al. 2000). Teknik inokulasi patogen BBK secara langsung ke buah kakao juga telah digunakan untuk seleksi pada tahapan akhir (advanced selections). Seleksi untuk ketahanan BBK cukup berhasil, kecuali untuk patogen P. megakarya, yang menyerang tanaman kakao dan menyebabkan kehilangan hasil berat di Afrika Barat.
a
PENGEMBANGAN MARKA DNA UNTUK PEMULIAAN KAKAO Pengembangan marka molekuler sangat penting untuk analisis sidik jari, analisis keragaman genetik, konstruksi peta pautan genetik, dan pemetaan karakter kuantitatif (quantitative trait loci, QTLs) karakter target pemuliaan. Untuk itu, perlu mengidentifikasi populasi pemetaan yang sudah ada atau mengembangkan populasi baru melalui persilangan menggunakan tetua terpilih yang memungkinkan identifikasi lokasi QTL untuk karakter yang terkait dengan ketahanan penyakit dan hama utama, kualitas biji, dan produktivitas. Tujuan akhirnya adalah mengaplikasikan teknik marka molekuler pada program pemuliaan kakao untuk mempercepat pembentukan varietas kakao unggul tahan hama dan penyakit penting. Pada awal pengembangan marka molekuler, hanya tersedia marka DNA dalam jumlah sangat terbatas, yang meliputi marka RAPD, RFLP, AFLP, dan simple sequence repeat (SSR) yang dikembangkan oleh berbagai lembaga penelitian kakao di dunia. Sebanyak 320 marka SSR telah dikembangkan oleh Centre de Coopération Internationale en Recherche Agronomique pour le Développement (CIRAD), Prancis dan USDA-ARS SHRS Miami, Amerika Serikat (Lanaud et al. 1999; Pugh et al. 2004; Brown et al. 2005). Nama marka, sekuen primer, suhu penempelan primer, dan tipe pengulangan SSR telah tersedia pada website USDA/ARS Miami. Selanjutnya dikembangkan marka SSR berdasarkan expressed sequence tags (ESTs), marka berdasarkan gen kandidat dan resistance gene homologues dari nucleotide binding site/leucine rich repeat (NBS/ LRR), dan marka berdasarkan gen faktor transkripsi WRKY (Borrone et al. 2004; 2007).
b
A
B
Gambar 2. Gejala serangan hama utama kakao (Siswanto dan Karmawati 2012): (A) penggerek buah kakao (PBK): (a) keragaan buah terserang PBK dari luar, warna buah tidak merata; (b) keragaan buah terserang PBK yang dibelah; (B) gejala serangan Helopeltis spp.
160 Peta genetik marka molekuler kakao pertama dikonstruksi pada tahun 1995 yang mengandung 193 marka (Lanaud et al. 1995). Selanjutnya, dihasilkan peta genetik dengan jumlah marka yang jauh lebih banyak, yakni 1.259 marka SSR dan SNP yang menyebar pada sepuluh kromosom kakao (Crouzillat et al. 1996; Lanaud et al. 2004). Saat ini dengan diselesaikannya peta sekuen genom rujukan kakao yang berasal dari dua genotipe kakao yaitu Criollo (Argout et al. 2011) dan Matina 16 (Motamayor et al. 2013), banyak sekali tambahan marka DNA yang dikembangkan berdasarkan data resekuen dari genotipe kakao di dunia, di antaranya marka SSR dan marka DNA masa kini, di antaranya single nucleotide polymorphisms (SNPs) dan insertion and deletion (Indel). Marka SNP menjadi sangat populer akhir-akhir ini karena memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan marka DNA sebelumnya (Thomson 2014; Tasma 2014; 2015). Jumlah SNP hampir tidak terbatas dalam genom tanaman, mempunyai dua alel (biallelic) yang membuat sistem skoring SNP menjadi lebih simpel. SNP yang diidentifikasi di suatu laboratorium dapat digabungkan dengan SNP yang diidentifikasi di laboratorium lainnya. Pengujian SNP juga mudah dan dapat diautomisasi dan disusun menjadi chip marka SNP kapasitas tinggi (high throughput SNP chip) untuk membuat sistem genotyping berkapasitas tinggi (Livingstone et al. 2015; Tasma 2015). Konsorsium peneliti kakao dunia telah mengembangkan SNP chip kakao yang mengandung 6.000 marka SNP (6KCacao SNP chip) (Livingstone et al. 2015). SNP chip tersebut sangat bermanfaat untuk genotyping dan pemetaan marka DNA dan gen pada kakao. Di samping itu, marka SNP termasuk SNP chip kapasitas tinggi sudah digunakan untuk studi komparatif genom, konstruksi peta genetik consensus, pemuliaan berbantuan marka, dan penentuan off-types pada koleksi klon kakao (Kuhn et al. 2012; Livingstone et al. 2012). Di Indonesia, teknologi marka molekuler pada kakao sudah banyak diaplikasikan pada dekade terakhir, terutama untuk studi sidik jari dan keragaman genetik koleksi plasma nutfah kakao. Sebagai contoh, Susilo et al. (2011) melaporkan analisis keragaman genetik kakao mulia dari Jawa (Java-fine cacao type) menggunakan marka SSR. Studi keragaman genetik lainnya dan analisis penentuan tetua (parentage) dari genotipe-genotipe kakao hasil seleksi petani di Sulawesi Selatan juga telah dipelajari menggunakan marka mikrosatelit (Dinarti et al. 2015). Analisis genotyping dengan marka SSR juga telah dilakukan pada aksesi kakao dari Sulawesi Tengah (Suwastika et al. 2015). Aksesi kakao dari Sulawesi Tenggara juga telah dianalisis sidik jari dan tingkat kekerabatan genetiknya menggunakan marka SSR (Rubiyo et al. 2015). Ajijah et al. (2016) melaporkan tingkat keragaman genetik menggunakan marka SSR pada variasi somaklonal kakao yang dihasilkan dari teknologi somatik embriogenesis (SE), untuk mengetahui tingkat keragaman variasi somaklonal bibit kakao hasil SE.
J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166
Resekuensing genom lima varietas unggul kakao Indonesia telah dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), yang mengidentifikasi lebih dari 2,6 juta variasi genom (SNP dan Indel) (Tasma 2015; Tasma et al. 2016) yang merupakan sumber daya pemuliaan bernilai tinggi untuk percepatan program pemuliaan kakao. Sebagian kecil dari variasi genom yang diidentifikasi tersebut (13,18%) berada pada protein coding region (exon) yang merupakan sumber gen unggul untuk mendukung program percepatan perakitan varietas unggul kakao. Dengan didukung sumber daya pemuliaan yang baik tersebut, teknologi MAS untuk percepatan pemuliaan tanaman kakao tahan terhadap hama dan penyakit penting sudah siap untuk diaplikasikan di Indonesia. Demikian juga untuk karakter penting lainnya, misalnya produktivitas dan mutu biji. Aplikasi teknologi MAS dalam program pemuliaan kakao diharapkan akan meningkatkan daya saing produk kakao nasional di pasar global.
MARKA DNA UNTUK PROGRAM PEMULIAAN KETAHANAN KAKAO TERHADAP HAMA DAN PENYAKIT Pemuliaan kakao melalui metode konvensional berjalan lambat dan umumnya menggunakan pangkalan genetik (genetic base) yang sangat sempit. Efisiensi pemuliaan untuk karakter kuantitatif maupun kualitatif dapat ditingkatkan jika dapat diperoleh marka molekuler yang berpautan dengan karakter-karakter target pemuliaan. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengembangkan marka molekuler untuk pemuliaan kakao. Sebagai contoh, pada tahun 1999 Amerika Serikat menginisiasi sebuah proyek untuk peningkatan ketahanan tanaman kakao terhadap hama dan penyakit melalui aplikasi teknik molekuler genetika modern dengan program pemuliaan berbantuan marka (marker assisted selection, MAS) untuk mempercepat program pemuliaan kakao (Lanaud et al. 1999; Clement et al. 2003). Proyek ini juga ditujukan untuk mengidentifikasi sumber-sumber gen ketahanan baru pada berbagai koleksi SDG kakao di dunia. QTL beberapa karakter agronomi penting telah diidentifikasi, di antaranya QTL untuk ketahanan penyakit BBK dan witch’s broom, diameter batang, komponen hasil, dan karakter penting lain seperti ukuran buah dan ukuran biji kakao (Lanaud et al. 1996; Clement et al. 2003; Risterucci et al. 2003; Araújo et al. 2008). Lebih dari 320 marka mikrosatelit dan 50 gen kandidat digunakan untuk memetakan karakter ketahanan penyakit witch’s broom, frosty pod, dan BBK. Marka DNA yang berpautan dengan QTL untuk penyakit witch’s broom dan frosty pod telah digunakan untuk MAS (Risterucci et al. 2003; Araújo et al. 2008) (Tabel 2). Sebuah QTL mayor yang bertanggung jawab terhadap lebih dari 35% variasi fenotipe untuk karakter ketahanan witch’s broom telah diidentifikasi menggunakan 197 marka AFLP dan RAPD pada populasi
161
Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma)
F2 ICS-1 x Sca6 (Queiroz et al. 2003). Dengan menggunakan populasi yang masih berkerabat dekat dengan jumlah progeni lebih banyak dan marka DNA lebih banyak dan memperkayanya dengan marka SSR dan marka gen kandidat, Brown et al. (2005) mengidentifikasi dua QTL mayor untuk karakter ketahanan witch’s broom. QTL untuk karakter diameter batang juga dapat diidentifikasi. Studi QTL yang mirip dengan studi Brown et al. (2005) telah dilakukan untuk beberapa karakter penting lainnya, termasuk karakter ketahanan penyakit penting kakao (Figueira dan Alemanno 2005). QTL mayor yang dihasilkan dari studi ini berpotensi digunakan dalam seleksi genotipe kakao yang memiliki ketahanan terhadap penyakit witch’s broom dan pemuliaan dengan bantuan marka (marker-assisted breeding). Banyak studi telah dilakukan untuk memetakan QTL karakter ketahanan kakao terhadap penyakit BBK (Tabel 2). Setidaknya 65 QTL yang mengendalikan karakter ketahanan BBK telah diidentifikasi yang berlokasi pada linkage group (LG) 1, LG2, LG4, LG5, LG8, dan LG10 (Brown et al. 2007; Lanaud et al. 2009), tetapi hanya 13 QTL yang sesuai dengan peta QTL konsensus, yaitu QTL yang berlokasi pada LG1, LG2, LG4, dan LG5. Pemuliaan untuk ketahanan terhadap penyakit witch’s broom telah dimulai pada tahun 1950-an dengan menggunakan kultivar Scavina (SCA), SCA6, dan SCA12 sebagai tetua donor sumber gen tahan witch’s broom (Johnson et al. 2003). Marka DNA dari expressed sequence tag (EST) telah dikembangkan khususnya terkait gen ketahanan terhadap penyakit witch’s broom (Lima et al. 2010). Di Indonesia, SCA6 dan SCA12 juga dilaporkan tahan terhadap penyakit BBK yang disebabkan oleh P. palmivora dan juga terhadap hama PBK (Rubiyo dan Amaria 2013; Rubiyo, komunikasi pribadi). Kedua genotipe tersebut telah digunakan sebagai tetua donor gen ketahanan BBK dan PBK untuk membentuk populasi F1 untuk perakitan varietas hibrida F1 maupun pemetaan
gen/QTL ketahanan terhadap penyakit BBK dan hama PBK menggunakan marka molekuler (Tasma et al. 2015; 2016).
KEMAJUAN TEKNOLOGI TRANSFORMASI GENETIK UNTUK PERBAIKAN KETAHANAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT Di Indonesia, teknologi somatik embriogenesis (SE) pada kakao telah digunakan dalam skala cukup luas untuk perbanyakan bahan tanaman. Bibit hasil SE ini telah digunakan dalam perluasan pertanaman kakao, antara lain melalui Gerakan Nasional (Gernas) Penanaman Kakao. Perbanyakan kakao dengan teknik SE dengan demikian telah banyak dan umum dilakukan (Maxinova et al. 2005; Ajijah et al. 2016). Teknologi SE terbaru dilaporkan oleh Ajijah et al. (2016) yang menunjukkan bahwa penggunaan media DKW yang diperkaya dengan kinetin dan 2,4-D efektif menginduksi SE pada kakao. Teknologi SE sangat penting dalam pengembangan tanaman kakao transgenik tahan terhadap hama dan penyakit penting dengan mengintroduksikan gen ketahanan ke dalam genom kakao. Regenerasi tanaman melalui teknik in vitro termasuk metode SE merupakan fondasi dalam penelitian transformasi genetik untuk berbagai spesies tanaman termasuk kakao. Penggunaan teknik Agrobacterium tumefaciens pada transformasi genetik genom kakao yang mampu menghasilkan tanaman kakao utuh telah berhasil dilakukan oleh Maximova et al. (2003). Dengan menggunakan marka dari gen penghasil protein dengan fluorescent hijau untuk mengidentifikasi somatik embrio transgenik, peneliti menghasilkan serial tanaman transgenik yang dapat tumbuh menjadi tanaman dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman kakao
Tabel 2. QTL yang telah dipetakan terkait karakter ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit utama. Populasi P7 x UF273 P12 x Catongo (Catongo x P12) x Catongo ICS39 x CAB208 UPA402 x UF676 17-3/1 x 36-3/1 Populasi tipe Trinitario (Sca6 x H) x IFC1 IMC57 x Catongo (SCA6 x H) x C1 (P7 x ICS100) x C1 (P7 x ICS95) x C1 1
Jenis populasi
Ukuran populasi
Karakter yang dipetakan 1
Metode pemetaan QTL2
F1 F1 BC F1 F1 F1 Koleksi SDG F1 F1 F1 F1 F1
256 055 131 168 114 345 150 151 155 179 173 183
BBK, FRP BBK BBK WB BBK BBK BBK BBK BBK BBK BBK BBK
SIM, MQM SIM SIM, ANOVA SIM SIM SIM ANOVA MQM SIM SIM SIM SIM
BBK = busuk buah kakao; FRP = frosty pod rot; WB = witch’s broom. ANOVA = analysis of variance.
2
Referensi Brown et al. (2007) Crouzillat et al. (2000) Crouzillat et al. (1996) Figueira et al. (2006) Lanaud et al. (1999) Lanaud et al. (2004) Pugh (2005) Risterucci et al. (2003) Motilal et al. (2000) Akaza et al. (2016) Akaza et al. (2016) Akaza et al. (2016)
SIM = single interval mapping; MQM = multiple QTL mapping;
162 transgenik tersebut sama dengan tanaman tanpa ditransformasi. Tanaman transgenik yang ditanam sampai dewasa tersebut dan gen yang ditransformasi (transgene) ternyata juga diturunkan secara stabil melalui benih generasi berikutnya. Teknik transformasi ini telah digunakan untuk mendemonstrasikan fungsi gen chitinase untuk pertahanan tanaman terhadap serangan patogen jamur Colletotrichum gloeosporoides (Maximova et al. 2006). Delapan tanaman kakao transgenik independen telah diperoleh dari penelitian ini dan gen diekspresikan dengan tingkat ekspresi yang bervariasi pada delapan tanaman transgenik tersebut. Tingkat aktivitas protein endochitinase meningkat sampai enam kali pada tanaman transgenik dibandingkan dengan tanaman kakao nontransgenik (Maximova et al. 2006). Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pembentukan tanaman transgenik kakao tahan terhadap penyakit cukup menjanjikan. Namun, aplikasinya pada program pemuliaan tanaman masih perlu dilihat lagi karena masih hangatnya kontroversi penggunaan produk rekayasa genetika (GMO), khususnya untuk bahan pangan dan pakan. Banyak tantangan yang dihadapi para peneliti pemulia kakao untuk mengembangkan tanaman transgenik yang mengekspresikan gen-gen target untuk ketahanan hama dan penyakit. Kondisi yang berbeda dapat terjadi pada kelapa sawit dan jarak pagar yang produknya bisa diarahkan untuk tujuan nonpangan, yaitu sebagai bahan baku pembuatan biodisel (Tasma 2016a; 2016b). Dengan demikian, pengembangan tanaman transgenik pada dua komoditas terakhir, khususnya untuk jarak pagar, lebih menjanjikan dalam jangka pendek dibandingkan pada kakao karena produk akhirnya sebagai bahan baku produk nonpangan.
APLIKASI GENOMIKA MODERN UNTUK PERCEPATAN PENEMUAN GEN DAN QTL UNTUK PEMULIAAN KAKAO Pengembangan marka berkapasitas tinggi (high throughput marker development) telah dilakukan dengan resekuensing lima varietas kakao Indonesia (ICCRI2, ICCRI3, ICRRI4, SUL2, dan ICS13) dengan menggunakan teknologi next generation sequencing (NGS) HiSeq (Tasma et al. 2015; 2016). Sekuen genom tersebut telah dipetakan dengan sekuen genom rujukan kakao varietas Criollo (Argout et al. 2011). Sebanyak 2.326.088 SNP dan 362.081 insersi dan delesi (Indel) telah diidentifikasi melalui penelitian ini (Tabel 3). Rata-rata ditemukan satu varian DNA (SNP atau Indel) dari setiap 121 nukleotida sekuen genom kakao. Kebanyakan varian DNA yang diidentifikasi berada di luar gen. Hanya 347.907 SNP dan Indel (13,18%) yang berada dalam protein coding region (exon). Di antara variasi DNA yang ada pada exon, 188.949 SNP menyebabkan mutasi missense (mutasi yang mengubah komposisi asam amino) dan 1.535 SNP menyebabkan mutasi nonsense
J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166
Tabel 3. Variasi SNP dan Indel yang dideteksi dari hasil penjajaran data resekuen genom total lima varietas kakao Indonesia dengan sekuen genom rujukan kakao varietas Criollo. Tipe variasi DNA yang dihasilkan Jumlah total varian DNA SNP Indel SNP berlokasi pada gen Pada intron Pada ekson Synonymous Nonsynonymous Indel pada gen Pada intron Pada ekson
Jumlah variasi DNA yang dihasilkan
2,326,088 362,081 509,599 347,907 108,720 214,068 212,827 6,299
Sumber: Tasma et al. (2015; 2016).
(mutasi yang menghasilkan stop codon). Variasi DNA ini merupakan sumber daya pemuliaan yang bernilai sangat tinggi untuk penemuan gen dan pengembangan marka yang mendukung program pemuliaan kakao nasional. Jutaan SNP yang diidentifikasi pada penelitian ini, setelah diverifikasi dapat digunakan untuk sintesis sistem genotyping kapasitas tinggi (high throughput genotyping system) seperti SNP chip kakao densitas tinggi. Dari studi ini juga ditemukan 54 SNP yang spesifik untuk varietas ICCRI 02 dan Criollo, keduanya diklasifikasikan sebagai kakao mulia (“fine”, high quality cacao type), yaitu tipe kakao dengan biji yang memiliki flavor kualitas tinggi (Gambar 3). Beberapa dari varian SNP ini mungkin mengkode gen yang mengendalikan kualitas biji kakao yang tentunya dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas biji kakao lindak (“bulk”, lower quality type of cacao). Walaupun memiliki kualitas biji tinggi, kakao mulia umumnya peka terhadap serangan hama dan penyakit (Motamayor et al. 2002; 2008). Di antara 54 lokus SNP di atas, beberapa di antaranya mungkin mengkode kepekaan tanaman terhadap penyakit sebagai bentuk gen peka (knock-out mutation) dari gen ketahanan hama dan penyakit yang dapat menjadi jalan awal (starting point) untuk mengisolasi gen tahan wild type dari gen ketahanan target. Alternatif lainnya, yaitu mengisolasi gen-gen ketahanan penyakit maupun ketahanan hama dari 854 lokus SNP yang muncul pada kelima genotipe kakao (Gambar 3). Dua dari lima genotipe tersebut, yaitu SUL2 dan ICS13, termasuk kakao lindak yang umumnya tahan terhadap hama dan penyakit, produktivitasnya tinggi, namun mutu bijinya rendah (Motamayor et al. 2002; 2008). Kemungkinan lainnya, gen ketahanan diisolasi dari SNP lokus yang hanya muncul pada varietas kakao lindak SUL2 dan ICS13 yang dianalisis pada studi sebelumnya (Tasma et al. 2015; 2016).
Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma)
Gambar 3. SNP lokus yang berada pada exon yang dimiliki oleh dua genotipe kakao mulia (ICCRRI 02 dan Criollo) dan lokus SNP yang berada pada semua genotipe kakao yang dianalisis pada studi sebelumnya (Tasma et al. 2015; 2016).
SNP lokus yang ada pada exon, bersama dengan jutaan SNP lainnya, setelah diverifikasi dapat digunakan untuk mengkonstruksi SNP chip densitas tinggi untuk digunakan dalam genotyping kapasitas tinggi pada populasi maupun aksesi kakao. SNP chip ini mempercepat penemuan gen maupun QTL untuk karakter bernilai ekonomi tinggi, termasuk gen dan QTL yang mengendalikan karakter ketahanan tanaman kakao terhadap hama dan penyakit penting yang selanjutnya digunakan pada program pemuliaan kakao menggunakan teknik MAS. Akhir-akhir ini, konsorsium peneliti kakao telah mengembangkan SNP bead chip kakao yang mengandung 6.000 marka SNP (6KCacao SNP bead chip) (Livingstone et al. 2015). SNP chip ini sangat bermanfaat untuk genotyping dan pemetaan genetik karakter penting untuk diaplikasikan dalam program pemuliaan kakao.
PERSPEKTIF PROGRAM PEMULIAAN KAKAO TAHAN HAMA PENYAKIT Penelitian genomika kakao yang lebih intensif dengan mengaplikasikan teknologi genomika modern telah dimulai di Indonesia sejak lima tahun terakhir. Namun, pemanfaatan penelitian genomika secara keseluruhan telah dimulai jauh sebelum periode tersebut. Cukup banyak penelitian analisis sidik jari dan keragaman genetik yang dilakukan dengan menggunakan marka molekuler. Perkebunan komersial dan pemuliaan kakao di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1900-an sehingga cukup banyak koleksi SDG kakao yang tersedia, termasuk SDG kakao yang ada di kebun-kebun petani yang
163
merupakan genotipe spesifik lokasi yang dapat menjadi sumber keragaman untuk program pemuliaan ke depan. Program kolaborasi internasional di antara negara-negara penghasil kakao akan meningkatkan mobilitas pertukaran SDG kakao. Semua ini merupakan sumber daya penting untuk program pemuliaan kakao dalam menghadapi tantangan lingkungan yang semakin kompleks terlebih dengan munculnya fenomena baru seperti pemanasan global. Kondisi ini akan mengubah paradigma pemuliaan kakao ke depan yang memerlukan koleksi SDG kakao dengan keragaman genetik lebih luas untuk merakit varietas unggul kakao yang lebih baik dalam menghadapi tantangan lingkungan tersebut. Perkembangan hama dan penyakit kakao akan semakin dinamis dengan munculnya strain-strain baru hama atau patogen yang perlu diantisipasi melalui program pemuliaan yang tepat dan menerapkan teknologi modern, komprehensif dan lebih menjanjikan yang dapat mengatasi permasalahan dengan lebih cepat dan akurat. Keberhasilan program pemuliaan kakao ke depan, dengan demikian, sangat bergantung pada ketersediaan koleksi SDG kakao yang beragam secara genetik. Dengan berkembangnya teknologi sekuensing modern dan menurunnya biaya sekuensing, sekuensing genom total SDG kakao akan lebih terjangkau oleh lembaga penelitian, termasuk yang ada di negara berkembang seperti Indonesia (Varshney et al. 2009; Tasma 2015). Fenomena ini akan mengubah cara penanganan, karakterisasi, pemanfaatan, dan proteksi SDG kakao dari paradigma lama yang didasarkan pada karakter fenotipe ke paradigma baru yang berdasarkan pada data genomika. Metode sekuensing genom dapat menganalisis genotipe SDG kakao secara akurat, komprehensif, dan cepat dengan menggunakan analisis presisi tinggi. Teknologi genotyping SNP kapasitas tinggi mempercepat penemuan gen dan QTL pengendali karakter ekonomi penting pada kakao. Teknologi sekuensing modern bersama dengan metode genotyping SNP kapasitas tinggi, akan merevolusi metode pemuliaan dari seleksi berdasarkan fenotipe menjadi seleksi berdasarkan data genom yang jauh lebih efisien, efektif, berpresisi tinggi, dan komprehensif dalam pemanfaatan SDG kakao pada suatu program pemuliaan (Argout et al. 2011; Tasma 2015; Tasma 2016a; 2016b). Di Balitbangtan, pemuliaan kakao berbasis data genom telah dimulai sejak tahun 2010. Lima varietas kakao Indonesia telah diresekuen dengan NGS Hiseq dan dihasilkan 2.326.088 SNP dan 362.081 Indels. Secara ratarata ditemukan satu variasi DNA dari setiap 121 basa sekuen genom kakao. Sebagian besar variasi DNA tersebut berada di luar gen dan hanya 13,18% yang ada di daerah genom yang mengkode protein (exon) (Tasma et al. 2015; 2016). Data genomika ini merupakan sumber daya pemuliaan bernilai tinggi untuk pengembangan teknologi marka berkapasitas tinggi dalam rangka percepatan penemuan gen dan QTL unggul. Studi fungsional genomika perlu dilakukan sebagai tindak lanjut penemuan
164
J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166
penting ini untuk mengisolasi gen-gen dan QTL yang bernilai ekonomi tinggi, termasuk gen dan QTL yang mengendalikan ketahanan hama dan penyakit penting pada tanaman kakao. Salah satu penelitian yang sedang berlangsung di Balitbangtan adalah pelabelan gen dan QTL yang mengendalikan karakter ketahanan kakao terhadap penyakit BBK. Populasi pemetaan yang terdiri atas 167 progeni F1 telah dibuat dengan menyilangkan genotipe tahan Phytophthora, Sca12, dengan genotipe peka tetapi memiliki karakteristik agronomi unggul, DR1 (Tasma et al. 2015). Populasi ini akan di-genotype menggunakan teknik genotyping-by-sequencing (GBS). Phenotyping populasi F1 tersebut akan dilakukan menggunakan teknik leaf disk dan teknik inokulasi alami di lapangan. Analisis QTL dilakukan dengan program Tassel dan marka yang berpautan dengan karakter ketahanan penyakit BBK akan digunakan untuk menyeleksi genotipe kakao tahan BBK menggunakan teknik MAS untuk mendapatkan varietas unggul kakao tahan penyakit BBK. Varietas kakao tahan BBK yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkan produktivitas kakao nasional yang pada akhirnya akan berimplikasi dalam mendukung program ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional.
KESIMPULAN Marka DNA untuk analisis sidik jari DNA, keragaman genetik, dan pemetaan genetik sudah tersedia dan secara rutin digunakan untuk mendukung program pemuliaan kakao di seluruh dunia. Peta keterpautan genetik telah tersedia dan digunakan untuk pemetaan gen dan QTL bernilai ekonomi penting, termasuk QTL yang mengendalikan karakter ketahanan hama dan penyakit penting kakao. Dengan selesainya peta sekuen genom rujukan kakao, jutaan marka SNP, Indel, dan SSR telah tersedia di berbagai belahan dunia. Resekuensing lima varietas kakao Indonesia menghasilkan lebih dari 2,3 juta SNP, ratusan ribu Indel dan SSR yang dapat digunakan untuk percepatan program pemuliaan kakao nasional. Satu 6KSNP chip kakao yang mengandung 6.000 marka SNP telah tersedia untuk genotyping kapasitas tinggi yang akan mengakselerasi program pemuliaan kakao. Teknologi transformasi genetik dengan sistem A. tumefaciens telah dieksplorasi dan dapat diaplikasikan untuk pembentukan tanaman kakao transgenik tahan penyakit, walaupun pemanfaatan produk rekayasa genetika (PRG) masih menghadapi kontroversi, khususnya PRG untuk pangan dan pakan. Teknologi DNA (genomika, aplikasi marka DNA, dan teknologi rekayasa genetik) sangat potensial diaplikasikan di Indonesia. Teknologi MAS sudah siap diaplikasikan untuk mendukung perbaikan ketahanan kakao terhadap hama dan penyakit utama. Berkembangnya teknologi genomika modern akan
memudahkan penemuan gen dan QTL unggul dari koleksi SDG lokal untuk digunakan dalam program pemuliaan kakao nasional.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulisan artikel ulasan ini terkait dengan kegiatan penelitian dengan judul Analisis Genom dan Pemetaan Genetik Komoditas Pertanian Strategis yang didanai oleh DIPA BB Biogen tahun anggaran 20142016.
DAFTAR PUSTAKA Ahnert, D. and J.L. Pires. 2000. Use of the available genetic variability of cocoa in Brazil: State of the knowledge on mass production of genetically improved propagules of cocoa. Proc. Tech. Mtg. 1: 104113. Ajijah, N., R.S. Hartati, Rubiyo, D. Sukma and Sudarsono. 2016. Effective cacao somatic embryo regeneration on kinetin supplemented DKW medium and somaclonal variation assessment using SSRs markers. AGRIVITA 38(1): 8092. Akaza, M.J., A.B. Kouassi, D.S. Akaffou, O. Ouet, A.S.P. N’guetta and C. Lanaud. 2016. Mapping QTLs for black pod (Phytophthora palmivora) resistance in three hybrid progenies of cocoa (Theobroma cacao L.) using SSR markers. Int'l. J. Sci. Res. Publ. 6(1): 298311. Anshary, A. 2003. Potensi klon kakao tahan penggerek buah Conopomorpha cramerella dalam pengendalian hama terpadu. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor, 1718 September 2002. Araújo, I.S., G.A.S. Filho, M.G. Pereira, F.G. Faleiro, V.T. Queiroz, C.T. Guimarães, M.A. Moreira, E.G. Barros, R.C.R. Machado, L. Pires, R. Schnell and U.V. Lopes. 2008. Mapping of quantitative trait loci for butter content and hardness in cocoa beans (Theobroma cacao L.). Plant Mol. Biol. Reporter 27: 177183. Argout, X., J. Salse, J.M. Aury, M.J. Guiltinan, G. Droc, J. Gouzy, M. Allegre, C. Chaparro, T. Legavre, S.N. Maximova, M. Abrouk, F. Murat, O. Fouet, J. Poulain, M. Ruiz, Y. Roguet, M. RodierGoud, J.F. Barbosa-Neto, F. Sabot, D. Kudrna, J.S. Ammiraju, S.C. Schuster, J.E. Carlson, E. Sallet, T. Schiex, A. Dievart, M. Kramer, L. Gelley, Z. Shi, A. Bérard, C. Viot, M. Boccara, A.M. Risterucci, V. Guignon, X. Sabau, M.J. Axtell, Z. Ma, Y. Zhang, S. Brown, M. Bourge, W. Golser, X. Song, D. Clement, R. Rivallan, M. Tahi, J.M. Akaza, B. Pitollat, K. Gramacho, A. D’Hont, D. Brunel, D. Infante, I. Kebe, P. Costet, R. Wing, W.R. McCombie, E. Guiderdoni, F. Quetier, O. Panaud, P. Wincker, S. Bocs and C. Lanaud. 2011. The genome of Theobroma cacao. Nat. Genet. 43: 101108. Borrone, J.W., D.N. Kuhn and R.J. Schnell. 2004. Isolation, characterization, and development of WRKY genes as useful genetic markers in Theobroma cacao. Theor. Appl. Genet. 109: 495507. Borrone, J.W., J.S. Brown, D.N. Kuhn, J.C. Motamayor and R.J. Schnell. 2007. Microsatellite markers developed from Theobroma cacao L. expressed sequence tags. Mol. Ecol. Notes 7: 236239. Brown, J.S., D.N. Kuhn, U. Lopez and R.J. Schnell. 2005. Resistance gene mapping for witches’ broom disease in Theobroma cacao L. in an F2 population using SSR markers and candidate genes. J. Am. Soc. Horti. Sci. 130: 366373.
Aplikasi teknologi DNA untuk akselerasi program pemuliaan .... (I Made Tasma)
Brown, J.S., W.P. Mora, E.J. Power, C. Krol, C.C. Martinez, J.C. Motamayor and R.J. Schnell. 2007. Mapping QTLs for resistance to frosty pod and black pod diseases and horticultural traits in Theobroma cacao L. Crop Sci. 47: 18511858. Clement, D., A.M. Risterucci, J.C. Motamayor, J. N’Goran and C. Lanaud. 2003. Mapping QTL for yield components, vigor, and resistance to Phytophthora palmivora in Theobroma cacao L. Genome 46: 204212. Cope, F.W. 1962. The mechanisms of pollen incompatibility in Theobroma cacao L. Heredity 17: 157182. Couch, J.A., H.A. Zintel and P.J. Fritz. 1993. The genome of the tropical tree Theobroma cacao L. Mol. Gen. Genet. 237: 123128. Crouzillat, D., E. Lercetau, V. Pe´tiard, J. Morera, H. Rodrý´guez, D. Walker, W. Phillips, C. Ronning, R. Schnell, J. Osei and P. Fritz. 1996. Theobroma cacao L: a genetic linkage map and quantitative trait loci analysis. Theor. Appl. Genet. 93: 205– 214. Crouzillat, D., W. Phillips, P. Fritz and V. Petiard. 2000. Quantitative trait loci analysis in Theobroma cacao using molecular markers. Inheritance of polygenic resistance to Phytophthora palmivora in two related cacao populations. Euphytica 114: 2336. Dinarti, D.A.W. Susilo, L.W. Meinhardt, K. Ji, L.A. Motilal, S. Mischke and D. Zhang. 2015. Genetic diversity and parentage in farmer selections of cacao from Southern Sulawesi, Indonesia revealed by microsatellite markers. Breeding Sci. 65: 438– 446. Ditjenbun. 2010. Peta penyebaran organisme pengganggu tumbuhan (OPT) utama tanaman kakao. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. FAOSTAT. 2012. Food and Agricultural commodities production. FAO Statistics Division: http: //faostat3.fao.org/home/ index.html. Figueira, A., J. Janick and P. Goldsbrough. 1992. Genome size and DNA polymorphism in Theobroma cacao. J. Am. Horti. Sci. 117: 673677. Figueira, A. and L. Alemanno. 2005. Theobroma cacao (Cacao). In: R.E. Litz (Ed.) Biotechnology of Fruit and Nut Crops. CAB International Biosciences, Wallingford, UK. pp 639669. Figueira, A., S. Paulo, B. Albuquerque and A.L. Gildemberg Jr. 2006. Genetic mapping and differential gene expression of Brazilian alternative resistance sources to witches’ broom (causal agent Crinipellis perniciosa). 15 th International Cocoa Research Conference, October 2006. Cocoa Producers, Alliance, San Jose, Costa Rica. 15 pp. Gentzbittel, L., S. Mouzeyar, S. Badaoui, E. Mestries, F. Vear, D.T. De Labrouhe and P. Nicolas. 1998. Cloning of molecular markers for disease resistance in sunflower, Helianthus annuus L. Theor. Appl. Genet. 96: 519–525. Harni, R. 2013. Vascular streak dieback, penyakit baru yang mematikan pada kakao. Info Perkebunan Agustus 2013. hlm. 31. Hunter, R.J. 1990. The status of cacao (Theobroma cacao, Sterculiaceae) in the western hemisphere. Econ. Bot. 44: 425– 439. Irizarry, H. and E. Rivera. 2002. Early yield of five cacao families at three locations in Puerto Rico. J. Agric. Univ. PR. 82: 163– 171. Iwaro, A.D., J.M. Thevenin, D.R. Butler and A.B. Eskes. 2005. Usefulness of the detached pod test for assessment of cacao resistance to Phytophthora pod rot. Eur. J. Plant Pathol. 113: 173–182. Johnson, E.S., C.B. O’Conner, T.N. Sreenivasan and R.J. Schnell. 2003. Population structure of the witches’ broom pathogen of cacao in Trinidad and Tobago. Abstract no. 126 E. In Proc. Intl. Cocoa Research Conf. 14. Cocoa Producers’ Alliance, Lagos, Nigeria. pp. 35–46.
165
Karmawati, E., Z. Mahmud, M. Syakir, J. Munarso, K. Ardana, dan Rubiyo. 2010. Budi Daya dan Pascapanen Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. 92 hlm. Kuhn, D.N., D. Livingstone and D. Main. 2012. Identification and mapping of conserved ortholog set (COS) II sequences of cacao and their conversion to SNP markers for marker-assisted selection in Theobroma cacao and comparative genomics studies. Tree Genet. Genomes 8: 97–111. Lanaud, C., A.M. Risterucci, A.K.J.N. Goram, D. Clement and M.H. Flament. 1995. A genetic linkage map of Theobroma cacao L. Theor. Appl. Genet. 91: 987–993. Lanaud, C., I. Kebe, A.M. Risterucci, D. Clement, J.K.A. N’Goran, L. Grivet, M. Tahi, C. Cilas, I. Pieretti, A.B. Eskes and D. Despreaux. 1996. Mapping quantitative trait loci (QTL) for resistance to Phytophthora palmivora in T. cacao. The 12 th International Cocoa Research Conference, Salvador, Bahia, Brazil. pp. 99–105. Lanaud, C., A.M. Risterucci, I. Pieretti, M. Falque, A. Bouet and P.J.L. Lagoda. 1999. Isolation and characterization of microsatellites in Theobroma cacao L. Mol. Ecol. 8: 2141– 2152. Lanaud, C., A.M. Risterucci, I. Pieretti, J.A.K. N’Goran and D. Fargeas. 2004. Characterization and genetic mapping of resistance and defence gene analogs in cocoa (Theobroma cacao L.). Mol. Breed. 13: 211–227. DOI: 10.1023/B: MOLB.0000022515.23880.1b. Lanaud, C., O. Fouet, D. Clément, M. Boccara, A.M. Risterucci, S. Surujdeo-Maharaj, T. Legavre and X. Argout. 2009. A metaQTL analysis of disease resistance traits of Theobroma cacao L. Mol. Breed. 24: 361–374. Lande, R. 1992. Marker-assisted selection in relation to traditional methods of plant breeding. In H.T. Stalker and J.P. Murphy (Eds.). Plant Breeding in the 1990’s. CAB International, Wallingford, UK. pp. 437–451. Lim, G.T. 1992. Biology, ecology and control of cocoa pod borer, Conopomorpha cramerella (Snellen). In: P.J. Keane and C.A.J. Putter (Eds.). Cocoa pest and disease management in Southest Asia and Autralasia. FAO Plant Production and Protection Paper. Lima, L.S., K.P. Gramacho, J.L. Pires, D. Clement, U.V. Lopes, N. Carels, A.S. Gesteira, F.A. Gaiotto, J.C.M. Cascardo and F. Micheli. 2010. Development characterization validation and mapping of SSRs derived from Theobroma cacao L.– Moniliophthora perniciosa interaction ESTs. Tree Genet. Genomes 6: 663–676. Livingstone, D.S., B. Freeman, J.C. Motamayor, R. Schnell, S. Royaert, J. Takrama, A.J. Meerow and D. Kuhn. 2012. Optimization of a SNP assay for genotyping Theobroma cacao under field conditions. Mol. Breed. 30: 33–52. Livingstone, D., S. Royaert, C. Stack, K. Mockaitis, G. May, A. Farmer, C. Saski, R. Schnell, D. Kuhn and J.C. Motamayor. 2015. Making a chocolate chip: development and evaluation of a 6K SNP array for Theobroma cacao. DNA Research Advanced Published on June 11, 2015, p.1–13. DOI: 10.1093/ dnares/dsv00. Martinson, V.A. 1966. Hybridization of cacao and Theobroma grandiflora. J. Hered. 57: 134–136. Maximova, S.N., C. Mller, G.A. de Mayolo and M.J. Guiltinan. 2003. Stable transformation of Theobroma cacao L. and influence of matrix attachment regions on GFP expression. Plant Cell Reporter 21: 872–883. Maximova, S.N., A. Young, S. Pishak, C. Miller, A. Traore and M.J. Guiltinan. 2005. Integrated system for propagation and transformation of Theobroma cacao L. In: S.M. Jain and P.K. Gupta (Eds.). Protocol for Somatic Embryogenesis and Genetic Transformation in Woody Plants. Springer, Berlin, Heidelberg, New York. pp. 209–229.
166 Maximova, S.N., J.P. Marelli, A. Young, S. Pishak, C. Miller, J.A. Verica, and M.J. Guiltinan. 2006. Over-expression of a cacao class I chitinase gene in Theobroma cacao L. enhances resistance against the pathogen Colletotrichum gloeosporoides. Planta 224: 740–749. Motamayor, J.C., A.M. Risterucci, A.P. Lopez, C.F. Ortiz, A. Moreno and C. Lanaud. 2002. Cacao domestication I: the origin of the cacao cultivated by the Mayas. Heredity 89: 380–386. Motamayor, J.C., P. Lachenaud, J.W.S. Mota, R. Loor, D.N. Kuhn, J.S. Brown and R.J. Schnell. 2008. Geographic and genetic population differentiation of the Amazonian chocolate tree (Theobroma cacao L). PLoS One 3: 1–8. Motamayor, J.C., K. Mockaitis, and J. Schmutz. 2013. The genome sequence of the most widely cultivated cacao type and its use to identify candidate genes regulating pod color. Genome Biol. 14: R53. Motilal, L.A., O. Sounigo, J.M. The´venin, A.M. Risterucci, I. Pierretti, J.L. Noyer and C. Lanaud. 2000. Theobroma cacao L: genome map and QTLs for Phytophthora palmivora resistance. Proceedings the 13 th International Cocoa Research Conference, 9–14 October 2000, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Cocoa Producers’ Alliance. pp 111–117. Pires, J.L., E.D. Monteiro, E.D.M.N. Luz, S.D.V.M. Silva, L.R.M. Pinto, A. Figueria, D.E. Ahnert and M.I.B. Brugnerotto. 1996. Cocoa breeding for witches’ broom resistance at CEPLAC, Bahia, Brazil. Proc Int Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement, 24–26 November 1996, Salvador, Brazil, pp. 67–71. Pugh, T., A.M. Fount, P. Brottier, M. Abouladze, C. Deletrez, B. Courtois, D. Clement, P. Larmande, J.A.K. N’Goran and C. Lanaud. 2004. A new cacao linkage map based on codominant markers: Development and integration of 201 new microsatellite markers. Theor. Appl. Genet. 108: 1151–1161. Pugh, T. 2005. Etude du de´se´quilibre de liaison chez le cacaoyer appartenant aux groupes Criollo/Trinitario. Application au marquage ge´ne´tique d’inte´reˆt pour la se´lection. The‘se Doctorat Ecole National Supe´rieur deAgriculture, Montpellier, France, p. 107. Queiroz, V.T., C.T. Guimaraes, D. Anhert, J. Schuster, R.T. Daher, M.G. Pereira, V.R.M. Miranda, L.L. Loguercio, E.G. Barros and M.A. Moreira. 2003. Identification of a major QTL in cocoa (Theobroma cacao L.) associated with resistance to witches’ broom disease. Plant Breed. 122: 268–272. Ramlan. 2010. Pengelolaan penyakit busuk buah kakao. Prosiding Seminar Ilmiah PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 2010. hlm. 380–387. Risterucci, A.M., L. Grivet, J.A. Ngoran, I. Pieretti, M.H. Flament and C. Lanaud. 2000. A high-density linkage map of Theobroma cacao L. Theor. Appl. Genet. 101: 948–955. Risterucci, A.M., D. Paulin, M. Ducamp, J.A.K. N’Goran and C. Lanaud. 2003. Identification of QTLs related to cocoa resistance to three species of Phytophthora. Theor. Appl. Genet. 108: 168–174. Rubiyo dan W. Amaria. 2013. Ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora Butl.). Perspektif 12(1): 23–36. Rubiyo, N.K. Izzah, I. Sulistiyorini and C. Tresniawati. 2015. Evaluation of genetic diversity in cacao collected from Kolaka, Southeast Sulawesi, using SSR markers. Indones. J. Agric. Sci. 16(2): 71–78. Saunders, J.A. 2002. The USDA program for Theobroma cacao: molecular genomics, disease resistance and IPM strategies. The Manufacturing Confectioner September 2002. pp. 109–119.
J. Litbang Pert. Vol. 35 No. 4 Desember 2016: 155-166
Siswanto dan E. Karmawati. 2011. Percepatan adopsi teknologi PHT kakao di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Perkebunan 201. hlm. 148–155. Siswanto dan E. Karmawati. 2012. Pengendalian hama utama kakao (Conopomorpha cramerella dan Helopeltis spp.) dengan pestisida nabati dan agens hayati. Perspektif 11 (2): 103-112. Soltis, D.E., P.S. Soltis, V.A. Albert, D.G. Oppenheimer, C.W. DePamphilis, H. Ma, M.W. Frohlich and G. Theissen. 2002. Missing links: the genetic architecture of flower and floral diversification. Trends Plant Sci. 7: 22–31. Sulistyowati, E., Y.D. Junianto, S. Sukamto, S. Wiryadiputra, L. Winarto, dan N. Primawati. 2003. Analisis status penelitian dan pengembangan PHT pada pertanaman kakao. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor, 17–18 September 2002. Susilo, A.W., W. Mangoendidjojo, dan Witjaksono. 2007. Hubungan karakteristik jaringan kulit buah beberapa klon kakao (Theobroma cacao L.) dengan sifat ketahanan terhadap hama penggerek buah kakao. Pelita Perkebunan 23: 159–175. Susilo, A.W., D. Zhang, L.A. Motilal, S. Mischke and L.W. Meinhardt. 2011. Assessing genetic diversity in Java fine-flavor cocoa (Theobroma cacao L.) germplasm by using single nucleotide polymorphism (SSR) markers. Trop. Agric. Deve. 55(2): 84–92. Suwastika, N., Muslimin, Rifka, N. Aisyah, Rahmansyah, Mutmainah, Y. Ishizaki, Z. Basri and T. Shiina. 2015. Genotyping based on SSR marker on local cacao (Theobroma cacao L.) from Central Sulawesi. Procedia Environ. Sci. 28: 88–91. Tasma, I.M. 2014. Single nucleotide polymorphism (SNP) sebagai marka DNA masa depan. Warta Biogen 10 (3): 7–10. Tasma, I.M. 2015. Pemanfaatan teknologi sekuensing genom untuk mempercepat program pemuliaan tanaman. J. Litbang Pertanian 34(4): 159–168. Tasma, I.M., H. Rijzaani, D. Satyawan, P. Lestari, D.W. Utami, I. Rosdianti, A.R. Purba, E. Mansyah, A. Sutanto, R. Kirana, Kusmana, A. Anggraeni, M. Pabendon and Rubiyo. 2015. Nextgene-based DNA marker development of several importance crop and animal species. Manuscript Presented at the 13 th SABRAO Congress and International Conference, 14–16 September 2015, IPB International Convention Center, Bogor, Indonesia. 8 pp. Tasma, I.M. 2016a. Pemanfaatan teknologi genomika dan transformasi genetik untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit. Perspektif 15 (1): 51–73. Tasma, I.M. 2016b. Tinjauan aspek bioteknologi untuk perbaikan bahan tanam jarak pagar sebagai tanaman penghasil bahan bakar nabati. Jurnal AgroBiogen (In Review). Tasma, I.M., D. Satyawan, H. Rijzaani, I. Rosdianti, P. Lestari and Rubiyo. 2016. Genomic variation of five Indonesian cacao (Theobroma cacao L.) varieties based on analysis using next generation sequencing. Indones. J. Agric. Sci. 17(2): 57–64. Thomson, M.K. 2014. High throughput SNP genotyping to accelerate plant breeding. Plant Breed. Biotechnol. 2(3): 195– 212. Varshney, R.K., S.N. Nayak, G.D. May and J.A. Jackson. 2009. Next-generation sequencing technologies and their implications for crop genetics and breeding. Trends in Biotechnol. 9: 522– 530. Vello, E. 1971. Observações sobre polinização do cacaueiro na Bahia. In: Proceedings of the 3 rd International Cocoa Research Conference. CRIG, Accra. pp. 565–575.