Antologi puisi tadarus dan pahlawan dan tikus karya A. Mustofa bisri (tinjauan kritik sosial, nilai religius, dan nilai pendidikan)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh: Abdul Jalil S.840209101
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Puisi adalah keindahan dan kehikmahan. Puisi mampu
memberikan kesenangan atau
hiburan kepada pembaca. Puisi juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka membentuk pandangan hidupnya. Sebagaimana yang disampaikan Marjorie Boulton (1979:5) bahwa pengalaman berharga pertama dari puisi yang sangat pribadi adalah menyimpannya hanya untuk diri sendiri, sebagai awal mencintai diri sendiri atau pengalaman diri tentang agama. Selanjutnya Aminuddin (1987: 197) menyebutkan bahwa pada awal pertumbuhannya, puisi sangat erat hubungannya dengan filsafat dan agama. Bahkan dalam konteks religi dan kontemplasi (Islam), tentunya telah disepakati bahwa kitab suci Alquran teruntai dalam rangkaian puisi yang indah. Begitu pula dengan renungan para pujangga Jawa, seperti Ki Ranggawarsita yang mengungkapkan bait-bait syairnya tersusun dalam bentuk tembang. Di dalamnya tentu banyak unsur hikmah dan manfaat dalam mengembangkan filsafat hidup dengan berbagai masalah yang sangat kompleks. Kompleksitas itu terjadi karena sebagai kreasi seni puisi dapat mengangkat bahan penciptaannya dari kompleksitas masalah kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada dan mungkin ada. Perkembangan puisi Indonesia tidak bisa lepas dengan peran serta penyair dari pesantren atau yang kebetulan berstatus kiai. Dari tahun ke tahun, puisi-puisi yang dilahirkan para ’penyair santri’ ini turut mewarnai dan bahkan memperkaya blantika sastra di tanah air. Sebutan untuk ’penyair sastri’ yang mungkin belum tepat. Akan tetapi, dalam tulisan ini tidak akan dibahas istilah penyair maupun sastra pesantren, sastra sufi, sastra Islam ataupun sastra dakwah. Meskipun dapat pula disayangkan bahwa kuantitas mereka masih dapat dihitung dengan jari, sebut saja A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Abdul Hadi W. M., Abdul Wachid B. S., Hamid Jabbar, generasi yang lebih
muda seperti, Emha Ainun Nadjib, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, dan Afrisal Malna. Senada dengan hal itu, dikatakan oleh Aning Ayu Kusumawati (2009: 17-18) bahwa karyakarya penyair santri tersebut telah banyak mengisi kepustakaan sastra dan Islam pada khususnya. Selain tema-tema kerohanian, keagamaan dan kesufian yang sangat dalam dan intelektual sifatnya, juga menyumbangkan banyak karya di bidang kemasyarakatan, politik, pemerintahan, dan juga seni. Karya-karya mereka berupa prosa (cerita pendek, novel, esai) dan puisi yang kaya akan renungan dan imajinasi. Hal ini tidak meninggalkan salah satu fungsi dari pesantren, selain sebagai tempat untuk ngangsu kaweruh dinul Islam, juga sebagai agen perubahan dan kontrol sosial. Seperti yang pernah disuarakan oleh Alm. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahwa pesantren itu merupakan subkultur tersendiri dalam masyarakat. Konsekuensi logis dari sistem pesantren tersebut bisa lebih bebas menyuarakan ketimpangan-ketimpangan sosial yang disebabkan oleh pemerintah, institusi, dan unsur lainnya. Pada dasarnya, puisi juga juga mampu menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang masalah hakikat kehidupan, hakikat manusia, kematian, dan religius (ketuhanan). Dengan kata lain, masalah-masalah tersebut juga memiliki nilai pendidikan yang bermanfaat dan membawa hikmah. Penyair Indonesia yang menuangkan gagasan keindahan dan kehikmahan di antaranya adalah A. Mustofa Bisri. A. Mustofa Bisri adalah seorang ulama dan seorang penyair. Maka dia memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Pandangan dunianya adalah pandangan-dunia seorang ulama sekaligus seorang penyair. Jamal D. Rahman (2004: 11) dalam esainya “Kesadaran Sosial-Keagamaan Ulama-Penyair” mengatakan bahwa seorang ulama memandang dunia dari sudut pandang agama; pandangan- dunianya merefleksikan kesadaran religiusnya. Sementara, seorang penyair memandang dunia dari intuisi kepenyairannya; pandangandunianya merefleksikan bangunan intuitifnya.
Kedua sudut pandang tersebut akan bertemu dalam satu titik, baik ulama maupun penyair berbicara tentang hal-hal yang sangat pribadi dan personal, yang sepintas tak ada hubungannya dengan apa pun selain dirinya sendiri; pada saat yang bersamaan keduanaya berbicara masalah sosial. Pada tingkat praktis, secara teguh melakukan ibadah yang sangat personal dan individual, dan pada saat yang sama melakukan layanan sosial keagamaan; sejurus dengan itu, seorang penyair menulis puisi sunyi, pada saat yang sama menulis puisi sosial yang hiruk-pikuk. Selanjutnya dikatakan oleh Jamal D. Rahman (2004: 12) dalam kajian yang sama, bahwa A. Mustofa Bisri adalah seorang ulama sekaligus seorang penyair. Keduanya, ulama dan penyair, dipilih semata-mata sebagai kategori dan strategi untuk membantu kita mendekati puisi-puisi A. Mustofa Bisri. Sudah tentu, kita bisa mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang penyair, tanpa mempedulikan sosok penulisnya sebagi seorang ulama. Namun, pendekatan seperti ini akan membuat puisinya tercerabut dari tanah kelahirannya, tanah yang bisa menjelaskan banyak hal tentang puisi-puisinya. Namun sebaliknya, mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang ulama, akan membuat kita meragukan kesungguhannya dalam mengeksplorasi bahasa. A. Mustofa Bisri yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Mus adalah representasi dari seorang kiai yang mangku (memiliki) pesantren, juga sebagai budayawan, sastrawan, perupa yang aktif menyuarakan kritik-kritik sosial lewat karya-karyanya, tak terkecuali lewat puisi-puisinya. Puisi-puisi Gus Mus tergolong puisi religius dan kental dengan kritik-kritik sosial. Ida Nurul Chasanah (2005: 4-5) mengatakan bahwa ciri khas dari puisi Gus Mus, antara lain terlihat pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan cukup wajar dan sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu sebenarnya terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive simplicity (kesederhanaan yang menipu). Hal ini juga diungkapkan oleh Umar Kayam dalam pengantarnya pada kumpulan puisi Tadarus (1983: v-viii) bahwa A. Mustofa Bisri bukan hanya ”penjaga dan pendamba kearifan” dan ”penjaga taman kata-kata”, melainkan ia sudah menggenggam kearifan dan keindahan kata-kata.
Ciri khas yang lain dari sajak-sajak A. Mustofa Bisri adalah penggunaan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes. Kehadiran A. Mustofa Bsiri (Gus Mus) menurut Jamal D. Rahman (2009: 30-31) dalam blantika sastra Indonesia memberikan angin segar, tidak saja bagi puisi Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia secara umum. Puisi-puisinya adalah suara kritis dari pedalaman pesantren, terdengar nyaring, keras, religius, namun juga jenaka. Pada 1980-an, kebanyakan puisi protes sosial bernada marah, seakan diucapkan dengan tangan mengepal dan mata mendelik. A. Mustofa Bisri muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras, namun dengan wajah tersenyum. Puisi-puisinya membuat kita geram, namun juga tersenyum. Meskipun berupa senyuman pahit. Di tahun 1980-an, rezim orde baru berada pada puncak kekuasaan otoriternya. Tidak mudah menyampaikan suara kritis apalagi ditujukan kepada pemerintah waktu itu. Suara kritis pasti ditindas bahkan dilibas. Dalam situasi itu, ada dua cara yang dilakukan orang untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Pertama, melakukan kritik keras dan lugas dengan risiko dilarang aparat keamanan untuk tampil dimana-mana. Kedua, melakukan kritik secara jenaka, terutama dengan cara menertawakan diri sendiri. Puisi-puisi A. Mustofa Bisri adalah suara kritis dengan cara kedua. Dapat pula dikatakan, bahwa puisi-puisi A. Mustofa Bisri bagaimanapun pertama-tama adalah karya seorang ulama. Dalam perspektif ini, hal-hal yang bersifat individual dan sosial merupakan satu-kesatuan, bukan saja karena individu merupakan anggota sosial, melainkan terutama karena individu harus mengekspresikan dan merefleksikan dirinya secara sosial. Maka ibadah yang paling personal pun harus memberikan dampak sosial secara konkret. Secara teknis keagamaan sering dikatakan, iman hendaklah diikuti oleh amal saleh, dan shalat sejatinya mencegah seseorang dari maksiat apa pun. Kerja keulamaan seorang A. Mustofa Bisri memberikan dasar pada isi puisi; kerja kepenyairannya memberikan bentuk dengan mengelaborasi isi puisi itu sendiri dalam bahasa.
Adanya muatan pesan yang sarat dengan kehikmahan sekaligus keunikan dalam pengungkapan bahasa dalam puisi-puisi A. Mustofa Bisri menjadi alasan khusus dalam penelitian ini. Utamanya tinjauan pada dimensi kritik sosial, nilai religius dan nilai pendidikan. Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian terhadap antologi puisi karya A. Mustofa Bisri yang berjudul Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dengan tinjauan pada dimensi kritik sosial, nilai religius, dan nilai pendidikan. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul penelitian ”Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Karya A. Mustofa Bisri (Tinjauan Kritik Sosial, Nilai Religius, dan Nilai Pendidikan)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri?
2.
Bagaimanakah nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri?
3.
Bagaimanakah nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan secara umum dan khusus, antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan kritik sosial, nilai religius, dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. 2. Tujuan Khusus Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: a.
Kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri.
b.
Nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri.
c.
Nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat secara teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan khasanah dan nilai tambah dalam prespektif kajian sosiologi sastra, utamanya terhadap puisi. Lebih utamanya, tinjauan kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema, nilai religius, dan nilai pendidikan terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawn dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. 2. Manfaat Praktis Manfaat secara praktis dari penelitian ini antara lain: a.
Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia agar dalam pembelajaran apresiasi sastra dapat memilih materi sastra (puisi) yang sarat dengan nilai-nilai, baik nilai keindahan dari segi
bahasa maupun nilai kehikmahan dan kemanfaatan dari segi maknanya. b.
Bagi para siswa agar dalam pembelajaran apresiasi sastra (puisi) dapat menggunakan berbagai pendekatan sastra dalam memahami puisi, baik dari bentuk bahasa maupun makna yang terkandung di dalamnya.
c.
Bagi penulis dapat digunakan sebagai bahan penelitian perbandingan dalam memberikan pandangan pemikiran dan kajian sastra (puisi), utamanya terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus A. Mustofa Bisri.
d. Bagi para peneliti dan penelaah sastra pada umumnya, dapat digunakan sebagai kajian awal untuk tindak lanjut penelitian lain terhadap karya antologi puisi. Bahwa penelitian ini tidak hanya merupakan wilayah pendekatan sosiologi sastra berupa tinjauan kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema, nilai religius, dan nilai pendidikan semata. Akan tetapi, masih banyak pendekatan karya sastra untuk menelaah struktur lahir dan struktur batin atau hubungan keduanya terhadap antologi puisi, baik terhadap antologi puisi karya A. Mustofa Bisri maupun terhadap karya penyair lainnya.
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori 1.
Pengertian Puisi Hidup keseharian manusia, sejak dulu hingga kini sebenarnya dilingkupi puisi. Pada zaman dulu puisi sudah menjadi bagian kehidupan manusia secara tradisional baik dalam bentuk mantra maupun pantun. Namun, bagaimana dengan kondisi masa sekarang bisa dilihat di berbagai media cetak maupun elektronik, puisi merupakan salah satu media yang tepat untuk mengungkapkan perasaan penyair kepada pembaca/penikmat puisi. Mendengar kata puisi, sering kali menjumpai kesulitan untuk menjelaskan pengertian puisi. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya ragam puisi, sehingga rumusan pengertian tentang puisi, untuk salah satu bentuk puisi sesuai, bila diterapkan pada puisi yang lain tidak. Pada dasarnya perumusan pengertian puisi itu sendiri tidaklah penting karena yang penting adalah mampu memahami dan menikmati puisi yang ada. Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris disebut poem dan poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’ karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah. Menurut M. H. Abrams (1979: 48) dikatakan bahwa puisi adalah ekspresi tidak langsung dalam kata-kata atau lebih tepatnya kata-kata berirama dari beberapa emosi yang menguasai atau rasa yang berkuasa atau perasaan yang langsung muncul dalam diri peyair.
Selanjutnya M. H. Abrams (1971: 131) menyatakan bahwa puisi dari hampir segala usia ditulis dalam bahasa khusus, "sebuah diksi puitis", yang meliputi kata, frase, pola sintaksis yang bergaya, dan lebih dari sekadar percakapan biasa. Mengutip pendapat Mc. Caulay, Hudson dalam Aminuddin (1987: 134) diungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Rumusan pengertian puisi di atas, sementara ini dapatlah kita terima karena kita sering kali diajuk oleh suatu ilusi tentang keindahan, terbawa dalam suatu angan-angan, sejalan dengan keindahan penataan unsur bunyi, penciptaan gagasan, maupun suasana tertentu sewaktu membaca suatu puisi. Puisi adalah karya sastra. Semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna lambing (majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Bahasanya lebih memiliki kemungkinan banyak makna. Hal ini disebabkan adanya pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat. Keduanya bersenyawa secara padu bagaikan telur dan adonan roti (Reeves, 1978: 26). Selanjutnya Thomas Caelyle menyatakan bahwa puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikan (Kennedy, 1971: 331). Clive Sansom (1960: 6) memberikan batasan puisi sebagai bentuk pengucapan bahasa yang ritmis, yang mengungkapkan pengalaman intelektual yang bersifat imajinatif dan emosional. Sementar itu, T. S. Elliot menambahkan bahwa yang diungkapkan dalam puisi adalah kebenaran (Kennedy, 1971: 331). Dari fisiknya James Reeves (1978: 26) memberi batasan bahwa puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat. Menurut Coleridge (1960) dalam Herman J. Waluyo (2008: 26) bahwa bahasa puisi adalah bahasa pilihan, yakni bahasa yang benar-benar diseleksi penentuannya secara ketat oleh penyair. Karena bahasanya harus bahasa pilihan, maka gagasan
yang dicetuskan harus diseleksi dan dipilih yang terbagus pula. Beberapa pengertian yang diuraikan di atas adalah berkenaan dengan bentuk fisik puisi dan bentuk batin puisi. Bentuk fisik dan bentuk batin lazim disebut pula dengan bahasa dan isi atau tema dan struktur atau bentuk dan isi. Marjorie Boulton (1979: 17 dan 129) menyebut kedua unsur pembentuk puisi itu dengan bentuk fisik (physical form) dan bentuk mental (mental form). Tentang puisi, Perrine (1979) dalam Herman J. Waluyo (2008: 27-28) menambahkan bahwa puisi adalah bahasa universal dan hampir sama kuno. Orang yang paling primitif telah menggunakannya, dan yang paling beradab telah dibudidayakan dalam segala zaman dan di semua negara, puisi yang telah ditulis dan dibaca atau litened dengan penuh semangat oleh semua jenis atau kondisi orang, oleh tentara, negarawan, pengacara, petani, dokter, ilmuwan, rohaniwan, filsuf, raja-raja, dan ratu. Dalam segala usia ini terutama keprihatinan berpendidikan, cerdas, dan sensitif, dan mengimbau, dalam bentuk sederhana, untuk yang tidak berpendidikan atau bagi anak-anak. Mengapa? Ada dua alasan (1) Karena kenikmatan yang diberikan dan (2) Suatu jenis bahasa yang mengatakan lebih dan lebih kuat daripada bahasa biasa. Antara puisi dan bentuk sastra imajinatif tidak ada perbedaan yang tajam. Puisi dapat diakui oleh susunan garis-garis pada halaman atau oleh penggunaan bahasa. Puisi adalah semacam bahasa multidimensi. Bahasa biasa seperti yang kita gunakan untuk berkomunikasi informasi pada dimensi. Itu ditujukan hanya sebagian dari pendengar, pemahamannya. Salah satu dimensi adalah intelektual. Puisi, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi pengalaman setidaknya empat dimensi, (1) dimensi intelektual; (2) dimensi sensual; (3) dimensi emosional; dan (4) dimensi imajinatif. Puisi mencapai dimensi yang ekstra dengan menggambar lebih lengkap dan lebih konsisten daripada bahasa yang biasa sejumlah sumber daya bahasa lebih dari yang khas puisi. Di antara berbagai sumber daya adalah: konotasi, perumpamaan, metafora, simbol, paradoks, ironi, kiasan, repetisi, ritme, dan pola.
Sementara itu menurut Herman J. Waluyo (2008: 28) bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Sutardji Calzoum Bachri ( 1981: 4) mendefinisi kata-kata dalam puisi adalah bahwa katakata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Sementara itu, menurut Suminto A. Suyuti (2002: 2-3) secara sederhana puisi dapat dirumuskan sebagai bentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyibunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang didasari oleh kehidupan individual dan sosialnya yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar-pendengarnya. Terkait dengan fungsi puisi menurut Hussain dalam Nani Tuloli (2000: 27) bahwa puisi adalah media kata-kata yang merupakan pengalaman batin pengarangnya. Struktur puisi pada dasarnya mempunyai dua unsur yaitu struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik puisi berkaitan dengan bentuk, sedangkan struktur batin berkaitan dengan isi dan makna. Menurut Herman J. Waluyo (2008: 76), bahwa struktur fisik yang disebut juga dengan metode puisi terdiri dari (1) diksi, (2) pengimajian, (3) kata konkret, (4) bahasa figurasi atau majas, (5) versifikasi, dan (6) tata wajah atau tipografi. Struktur fisik atau metode puisi tersebut juga dipengaruhi pula oleh penyimpangan bahasa dan sintaksis dalam puisi. Adapun struktur batin adalah struktur yang berhubungan dengan tema, perasaan, nada dan suasana, amanat atau pesan. Puisi terdiri dari dua unsur pokok yaitu struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian itu terdiri dari unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur itu membentuk totalitas makna yang utuh.
Dalam penafsiran puisi tidak dapat lepas dari faktor genetik puisi. Faktor genetik puisi dapat memperjelas makna yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan khas penyair. Unsur genetik itu adalah penyair dan kenyataan sejarah. Berpijak dari uraian tentang beberapa pengertian puisi di atas, maka puisi dapat didefinisikan sebagai salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa, yakni dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.
2.
Macam-macam Puisi Ditinjau dari bentuk maupun isinya, ragam atau jenis puisi itu bermacam-macam. Menurut Herman J. Waluyo (2008: 158-166) jenis puisi itu dibedakan dalam beberapa kelompok, antara lain :
a. Puisi Naratif Puisi naratif, uakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita. Termasuk dalam jenis puisi naratif ini adalah apa yang biasa disebut dengan balada yang dibedakan antara folk ballad, dengan literary ballad, sebagai suatu ragam puisi yang berkisah tentang kehidupan manusia dengan segala macam sifat pengasihnya, kecemburuan, kedengkian, ketakutan, kepedihan, dan keriangannya. Jenis puisi lain yang termasuk dalam puisi naratif adalah poetic tale sebagai puisi yang berisi dongeng-dongeng rakyat. Puisi naratif juga dapat mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Ada puisi naratif yang sederhana, ada yang sugestif, dan ada yang kompleks. Puisi-puisi naratif,
misalnya : epik, romansa, balada dan syair (berisi cerita). Puisi epik yakni puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan yang berhubungan engan legenda, kepercayaan, maupun sejarah. Puisi epik dibedakan antara folk epic, yakni bila nilai akhir puisi itu untuk dinyanyikan dan literary epic yang berarti nilai akhir puisi itu untuk dibaca,
dipahami,
dan
diresapi
maknanya.
b. Puisi lirik Puisi lirik, yakni puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya. Menurut Aminuddin (1987: 135) jenis puisi lirik umumnya paling banyak terdapat dalam khazanah sastra modern di Indonesia seperti tampak dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Sapardi Djokodamono, dan Goenawan Mohammad. Dalam puisi lirik penyair mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya. Ia tidak bercerita. Jenis puisi lirik misalnya: elegi, ode, dan serenade. Elegi, yakni puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih seseorang. Ode, yaitu puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa ataupun sikap kepahlawanan c. Puisi deskriptif Dalam puisi deskriptif,
penyair
bertindak
sebagai pemberi kesan
terhadap
keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan dalam puisi deskriptif, misalnya : puisi satir, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik. Satire juga merupakan puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya. Puisi satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau
ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat. Kritik sosial adalah puisi yang juga menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap keadaan atau terhadap diri seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan keadaan/orang tersebut. Kesan penyair juga dapat kita hayati dalam puisi-puisi impresionistik yang mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhaap suatu hal. d. Puisi Fisikal Puisi Fiskal bersifat realitis artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Yang dilukiskan adalah kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang dilihat, didengar, atau dirasakan adalah merupakan obyek ciptaannya. Puisi-puisi naratif, ballada, puisi yang bersifat impresionistis, dan juga puisi dramatis biasanya merupakan puisi fisikal. Puisi dramatik, yakni salah satu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu. Dalam puisi dramatik dapat saja penyair berkisah tentang dirinya atau orang lain yang diwakilinya lewat monolog. e. Puisi Platonik Puisi Platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan. Dapat dibandingkan dengan istilah “cinta platonis” yang berarti cinta tanpa nafsu jasmaniah. Puisi-puisi ide atau cita-cita dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi puisi platonik. Puisi-puisi religius dan didaktik juga dapat dikategorikan puisi platonik, yang mengungkap nilai spiritual dan pendidikan secara eksplisit. Demikian juga puisi romantic yang mengungkapkan cinta yang luhur seorang kekasih atau orang tua kepada anaknya kiranya dapat dinyatakan sebagai puisi platonik. f. Puisi Metafiskal Puisi metafiskal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Puisi religius di satu pihak dapat
dinyatakan sebagai puisi platonic (menggambarkan ide atau gagasan panyair) di lain pihak dapat disebut sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan hidup, kehidupan, dan Tuhan). Puisi himne juga bagian dari puisi metafiskal. Himne, yaitu puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa ataupun tanah air. g. Puisi Subjektif Puisi Subjektif juga disebut puisi personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi-puisi yang ditulis kaum ekpresionis dapat diklasifikasikan sebagai puisi subjektif karena mengungkapkan keadaan jiwa penyair sendiri. Demikian juga lirik di mana aku lirik bicara kepada pembaca. h. Puisi Objektif Puisi Objektif berarti puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri. Puisi objektif disebut juga puisi impersonal. Puisi naratif dan deskriptif kebanyakan adalah puisi objektif, meskipun juga ada beberapa yang subjektif. i. Puisi Konkret Puisi Konkret sangat terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia sejak tahun 1970. X.J. Kennedy dalam Herman J. Waluyo (2008:159) memberikan nama jenis puisi tertentu dengan nama puisi konkret, yakni puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuk dari sudut penglihatan (poems for the eve).
j. Puisi Diafan Puisi Diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret dan bahasa figuratif, sehingga puisinya mirip dengan bahasa seharihari. Puisi yang demikian akan sangat mudah dihayati maknanya. k. Puisi Prismatis
Dalam Puisi Prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak terlalu gelap. l. Puisi Parnasian Puisi Parnasian adalah sekelompok penyair Perancis pada pertengahan akhir abad 19 yang menunjukkan sifat puisi-puisi yang mengandung nilai keilmuan. Puisi parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan didasari oleh inspirasi karena adanya mood dalam jiwa penyair. m. Puisi inspiratif Puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair benar-benar masuk ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat ke dalam puisi itu. Dengan “mood”, puisi yang diciptakan akan mempunyai tenaga gaib, mempunyai kekuatan untuk memikat perhatian pembaca.
n. Puisi Demonstrasi Puisi demonstrasi menyarankan pada puisi-puisi Taufiq Ismail dan mereka yang oleh Jassin disebut Angkatan 66. Puisi ini melukiskan dan meruapakan hasil refleksi demonstrasi para mahasiswa dan pelajar – KAMI-KAPPI- sekitar tahun 1966. Menurut Subagio Sastrowardojo, puisi-puisi demonstrasi 1966 bersifat kekitaan, artinya melukiskan perasaan kelompok bukan perasaan individu. o. Puisi Pamflet Puisi pamfet juga menggunakan protes sosial. Disebut puisi pamfet karena bahasanya adalah bahasa pamfet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas kepada keadaan. Munculnya kata-kata yang berisi protes secara spontan tanpa protes pemikiran atau
perenungan yang mendalam. p. Puisi Alegori Puisi alegori adalah puisi yang sering-sering mengungkapkan cerita yang isinya dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal ialah parable yang juga disebut dongeng perumpamaan. Dalam Kitab suci banyak dijumpai dongeng-dongeng perumpamaan yang maknyanya dapat dicari di balik yang tersurat. Beberapa ragam atau jenis puisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ragam atau jenis puisi merupakan maksud dan tujuan yang ingin dikemukakan penyair dalam mengekspresikan perasaannya dalam wujud bahasa puisi. Oleh karena itu, ada juga penyair yang menggunakan jenis puisi menjadi judul puisinya. Jenis puisi akan membantu pembaca menafsirkan maksud yang ingin dikemukakan oleh penyair. Dalam penelitian ini , jenis puisi yang erat dengan maksud dan tujuan yang ingin dikemukakan oleh penyair (A. Mustofa Bisri) dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah ragam atau jenis puisi deskriptif dan metafisikal.
3.
Struktur Lahir Puisi Menurut Herman J. Waluyo (2008: 83-103) struktur lahir puisi yang disebut juga dengan metode puisi terdiri dari (1) diksi, (2) pengimajian, (3) kata konkret, (4) bahasa figurasi atau majas, (5) versifikasi, dan (6) tata wajah atau tipografi. Struktur fisik atau metode puisi tersebut juga dipengaruhi pula oleh penyimpangan bahasa dan sintaksis dalam puisi. Berikut dipaparkan struktur lahir (metode puisi), penyimpangan bahasa, dan sistaksis dalam puisi. a.
Metode Puisi 1) Diksi
Diksi adalah pilihan kata atau rase dalam karya sastra (M. H. Abrams, 1979: 48). Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi sering kali juga menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman tertentu. 2) Bahasa Figurasi atau Majas Bahasa figurasi atau figurative language merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa, yang maka katanya atau rangkaian katanya digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu (M. H. Abrams, 1979:4). Bahasa figurasi atau majas sering juga disebut bahasa kias, memiliki beberapa jenis, yaitu personifikasi, metafora, perumpamaan (simile), metonimia, sinekdoki, dan alegori (Rachmat Djoko Pradopo, 2005: 93). Adapun pengertian paparan bahasa figurasi atau majas adalah sebagi berikut. (a)
Personifikasi Personifikasi adalah kiasan yang menyamakan benda dengan manusia, bendabenda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperi manusia. Personifikasi mempunyai efek untuk memperjelas imaji (gambaran angan) pembaca karena dengan menyamakan hal-hal nonmanusia dengan manusia, empati pembaca mudah ditimbulkan karena pembaca merasa akrab dengan hal-hal yang digambarkan atau disampaikan dalam puisi tersebut.
(b) Metafora Metafora adalah kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebanding dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd & Lewis, 1970: 22). Dalam sebuah metafora terdapat dua unsur, yaitu pembanding (vehicle) dan yang dibandingkan (tenor). Dalam hubungannya dengan kedua unsur tersebut, maka terdapat dua jenis metafora, yaitu metafora eksplisit dan metafora implisit. Disebut metafora eksplisit apabila unsur pembanding dan yang dibandingkan disebutkan,
misalnya cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. Cinta sebagai hal yang dibandingkan dan bahaya yang lekas jadi pudar sebagai pembandingnya. Disebut metafora implisit, apabila hanya memiliki unsur pembanding saja, misalnya sambal tomat pada mata, untuk mengatakan mata yang merah, sebagai hal yang dibandingkan. (c)
Metonimia Metonimia (pengganti nama) diartikan sebagai pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengertian yang lain yang berdekatan (Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, 1984:187). Metonimia berfungsi untuk memperjelas imaji karena melalui metonimia dikatakan keadaan konkret dari hal-hal yang ingin disampaikan, seperti tampak pada puisi ”benih” gambaran tentang Rahwana semakin jelas karena dinyatakan sebagai si raksasa.
(d)
Sinekdoke Sinekdoke merupakan bentuk kiasan yang mirip dengan metonimia, yaitu pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengertian yang lain. Sinekdoki dibedakan menjadi dua jenis, yaitu totem pro parte dan pars pro toto. Disebut totum pro parte apabila keseluruhan dipergunakan untuk menyebut atau mewakili sebagian.
(e)
Simile Simile (perumpamaan) merupakan kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain yang menggunakan kata-kata pembanding seperti bagai, seperti, laksana, semisal, seumpama, sepantuni, atau kata-kata pembanding lainnya.
(f)
Alegori Alegori adalah cerita kiasan atau lukisan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain (Rachmat Djoko Pradopo, 2005:93). Alegori pada dasarnya merupakan bentuk metafora yang diperpanjang.
(g)
Hiperbola Hiperbola adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlebih-lebihan. Contoh : dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh ....Kata seribu dalam pernyataan tersebut merupakan bentuk hiperbola.
(h)
Ironi Ironi merupakan pernyataan yang mengandung makna yang bertentangan dengan apa yang dinyatakannya. Contoh ironi adalah : sebenarnya aku benci rumah/yang memberiku kerinduan untuk pulang/ ... (Emha Ainun Nadjib, “Sajak Petualang”). Di sini ada hal yang bertolak belakang, antara benci dan rindu terhadap rumah.
(i)
Ambiguitas Ambiguitas adalah pernyataan yang mengandung makna ganda (ambigu). Contoh ambiguitas antara lain: Tuan, Tuhan bukan? Tunggu sebentar/saya sedang keluar (Sapardi Djoko Damono, “Tuan”). Dalam pernyataan tersebut terdapat ambiguitas karena dalam logika biasa, tidak akan terjadi si aku yang sedang ke luar, dapat menyapa Tuhan. Ambiguitas tersebut antara lain akan menyatakan seseorang yang tidak (belum) siap untuk menemui Tuhan, karena mungkin masih perlu membersihkan dirinya.
(j)
Paradoks Paradoks merupakan pernyataan yang memiliki makna yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan. Contohnya antara lain: tidak setiap derita/jadi luka/tidak setiap sepi/jadi duri ... (“Jadi,” Sutardji Calzoum Bachri). Pada pernyataan tersebut terdapat paradoks, karena menyangkal kenyataan yang umum terjadi (setiap derita pada umumnya melukai, setiap sepi pada umumnya menyakitkan).
(k)
Litotes
Litotes adalah pernyataan yang menganggap sesuatu lebih kecil dari realitas yang ada. Litotes merupakan kebalikan dari hiperbola. Contohnya antara lain: inilah lagu yang sederhana/untuk-Mu/Denting-denting rawan/jiwa yang melayang-layang ... “Lagu yang Sederhana” oleh Acep Zamzam Noor. Pernyataan tersebut mengandung litotes karena merendahkan (menganggap kecil) lagu (pujian) yang disampaikan kepada Tuhan. (l)
Elipsis Elipsis merupakan pernyataan yang tidak diselesaikan, tetapi ditandai dengan ... (titiktitik). Contohnya: biarkan waktu berlalu, karena aku hanyalah ... Pernyataan tersebut tidak dilanjutkan. Elipsis banyak dipakai pada beebrapa puisi lama. Wahai angin ... sampaikan salamku padanya.
3) Pengimajian Pengimajian (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata (Rachmat Djoko Pradopo, 2005: 79). Ada bermacam-macam jenis citraan, sesuai dengan indra yang menghasilkannya, yaitu (1) citraan penglihatan (visual imagery), (2) citraan pendengaran (auditory imagery), (3) citraan rabaan (thermal imagery), (4) citraan pengecapan (tactile imagery), (5) citraan penciuman (olfactory imagey), (6) citraan gerak (kinesthetic imagery).
4)
Kata Konkret Berdasarkan bentuk dan isi, kata-kata konkret dalam puisi dapat dibedakan antara (1) lambang, yakni bila kata-kata itu mengandung makna seperti makna dalam kamus (makna leksikal) sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain (makna denotatif), (2) utterance atau indice, yakni kata-kata yang mengandung makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian, dan (3) symbol, yakni bila kata-kata itu
mengandung makna ganda (makna konotatif) sehingga untuk memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual), sekaligus berusaha menemukan fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi, mengembalikan kata ataupun bentuk larik (kalimat) ke dalam bentuk yang lebih sederhana lewat pendekatan parafrastis. Lambang dalam puisi mungkin dapat berupa kata tugas, kata dasar, maupun kata bentukan. Sedangkan simbol dapat dibedakan antara (1) blank symbol, yakni bila simbol itu, meskipun acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya sudah bersifat umum, misalnya “tangan panjang”, “lembah duka”, “mata keranjang”, (2) natural symbol, yakni bila symbol itu menggunakan realitas alam, misalnya “cemara pun gugur daun”, “ganggang menari”, “hutan kelabu dalam hujan”, dan (3) private symbol, yakni bila symbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya, misalnya “aku ini binatang jalang”, “mengabut nyanyian”, “lembar bumi yang fana”. Batas antara private symbol dengan natural symbol dalam hal ini sering kali kabur, Sejalan dengan telaah kata di atas, S. Effendi (1973: 141) mengemukakan adanya istilah pengimajian, yakni penataan kata yang menyebabkan makna-makna abstrak menjadi konkret dan cermat. Adanya kekongkretan dan kecermatan makna kata-kata dalam puisi membuat
pembaca
lebih
mampu
mengembangkan
daya
imajinasinya
sekaligus
mengembangkan daya kritisnya dalam upaya memahami totalitas makna suatu puisi.
5) Versifikasi (Rima, Ritme, dan Metrum) Bila berbicara tentang versivikasi berarti membicarakan pula masalah bunyi dalam puisi, yang meliputi konsep tentang :
(a) Rima, yang didalamnya masih mengandung berbagai aspek, meliputi: asonansi atau runtun vocal, aliterasi atau purwakanti, rima akhir, rima dalam, rima rupa, rima identik, dan rima sempurna. Baris dalam puisi, pada dasarnya merupakan pewadah, penyatu, dan pengemban ide penyair yang diawali lewat karya. Akan tetapi, sesuai dengan keberadaan baris itu dalam puisi, maka penataan baris juga harus memperhitungkan masalah rima serta penataan pola persajakan. Dalam hal ini dikenal adanya istilah enjambemen, yakni pemenggalan larik suatu puisi yang dilanjutkan pada larik berikutnya. Sebagai salah satu elemen puisi, keberadaan larik di dalamnya tidak dapat kita lepaskan antara yang satu dengan lainnya. Dengan kata lain, larik-larik dalam puisi, meskipun pada umumnya merupakan satuan yang lebih besar daripada kata, pertalian makna antara larik yang satu dengan lainnya juga ditunjukkan oleh adanya mekanisme bunyi dalam hubungannya dengan rima. (b) Irama, yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baik berupa alunan keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah yang keseluruhannya mampu menumbuhkan kemerduan, kesan suasana serta nuansa makna tertentu. Timbulnya irama itu, selain akibat penataan rima, juga akibat pemberian aksentuasi dan intonasi maupun tempo sewaktu melaksanakan pembacaan secara oral, dan (c)
Metrum atau ragam bunyi meliputi bunyi euphony, bunyi cacophony, dan onomatope. Peranan bunyi dalam puisi untuk menciptakan nilai keindahan lewat unsur musikalitas atau kemerduan, menuansakan makna tertentu sebagai perwujudan rasa dan sikap penyairnya, dan menciptakan suasana tertentu sebagai perwujudan suasana batin dan sikap penyairnya.
6) Tata Wajah atau Tipografi Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf. Namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, hal mana tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi. Peranan tipografi dalam puisi, selain untuk menampilkan aspek artistik visual, juga
untuk menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu. Selain itu, tipografi juga berperanan dalam menunjukkan adanya loncatan gagasan serta memperjelas adanya satuan-satuan makna tertentu yang ingin dikemukakan penyairnya.
b. Penyimpangan Bahasa Penyimpangan bahasa dalam puisi sering menjadi cirri dari suatu angkatan atau periode sastra. Penyimpangan bahasa itu disebabkan bahasa puisi khususnya dan bahasa sastra umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkatan dalam sastra mengubah konvensi sastra sambil memakai dan menentangnya (Teeuw, 1983:4). Geoffrey Leech dalam Herman J. Waluyo (2008: 78-80) menyebutkan adanya sembilan jenis penyimpangan itu, tetapi hanya memiliki salah satu atau beberapa aspek penyimpangan yang dominant pada jaman tertentu. Kesembilan penyimpangan bahasa itu merupakan kumpulan data dari berbagai puisi dalam berbagai kurun waktu sebagai berikut. 1) Penyimpangan Leksikal Kata-kata yang digunakandalam puisi menyimpangn dari kata-kata yang kita pergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Penyair memilih kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya atau kata-kata itu disesuaikan dengan tuntutan etis. Misalnya: mentari, pepintu, keder, ngoyor, leluka, sakal, ngiau, barwah, marwah, dan sebagainya. 2) Penyimpangan Semantis Makna dalam puisi tidak menunjukkan pada satu makna, namun menunjuk pada ganda. Makna kata-kata tidak selalu dengan makna dalam bahasa sehari-hari. Juga tidak ada kesatuan makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya. Kata “sungai” bagi penyair yang berasal dari daerah banjir akan dikonotasikan dengan bencana, sementara para penangkap ikan dan penambang akan menyebutnya sebagai sumber penghidupan. Kata “bulan” dalam puisi sitor berbeda dengan kata “bulan” dalam puisi Toto Sodarto Bachtiar.
3) Penyimpangan Fonologis Untuk kepentingan rima, penyair sering mengadakan penyimpangan bunyi. Dalam puisi Chairil Anwar “Aku”, kata “Perih” diganti dengan “peri”. Dalam puisi lamanya, kata “menggigil” diganti “menggigir”, kata “melayang” diganti dengan “melayah” , dan sebagainya. 4) Penyimpangan Morfologis Penyair sering melanggar kaidah morfologi secara sengaja. Dalam puisi-puisi Rendra kita temui istilah: lelawa, mungkret, mangkal, ngangkang, nangis, gerayangi, dan sebagainya, sebagai contoh penyimpangan morfologis. 5) Penyimpangan Sintaksis Di depan sudah dijelaskan bahwa kata-kata dalam puisi bukan membangun kalimat, namun membangun larik-larik. Dapat kita lihat, bahwa penyair sering alpa menggunakan huruf besar untuk permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu. Sering pula sulit kita mencari kesatuan manakah yang dapat kita sebut satu kalimat dalam puisi. Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut.
6) Penggunaan Dialek Penyair ingin mengungkapkan isi hatinya secara tuntas. Pengucapan isi hati dengan bahasa Indonesia dirasa belum mewaiki ketuntasan itu. Sebab itu, penyair menggunakan kata-kata menyimpang dari bahasa Indonesia yang bersih dari dialek. Misalnya, Darmanto Jt. Menggunakan istilah: adih laelae, tobil, nyemar, madep manteb, gemari, nastiti, dan sebagainya. Linus Suryadi Ag. Menggunakan dialek Jawa: banget, kepradah, andhapasor, biyung, wok kethekur dan sebagainya.
7) Penggunaan Register Register adalah bahasa yang digunakan kelompok atau profesi tertentu dalam masyarakat. Register juga disebut dialek profesi. Sering kali dialek profesi ini tidak diketahui secara luas oleh pembaca, apalagi jika register itu diambil dari bahasa daerah. Misalnya dikalangan bangsawan Jawa, anak yang dihasilkan dari hubungan gelap disebut lembu peteng. Ada juga istilah kumpul kebo, procotan, Paman doblang, simbok, den mas, ekaristi, sungkem bihten, dan sebagainya. Semua itu merupakan contoh register. 8) Penyimpangan Historis Penyimpangan histories berupa penggunaan kata-kata kuni yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaannya dimaksudkan untuk mempertinggi nilai estetis. Misalnya, kata-kata jenawi, bilur, lebuh, bonda, dewangga, ripuk, lilih, bahana dan sebagainya. Penggunaan kata-kata yang “dakik-dakik” seperti dalam lariklarik lagu Guruh Sukarno, dalam puisi malahan akan mengurangi nilai estetis puisi tersebut. 9) Penyimpangan Grafologis Dalam menulis kata-kata, kalimat, larik dan baris, penyair sengaja melakukan penyimpangan dari kaidah bahasa yang biasa berlaku. Huruf besar dan tanda-tanda baca tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Hal itu digunakan penyair untuk memperoleh efek estetik. Penyimpangan system tulisan tersebut disebut penyimpangan grafologis.
c.
Sintaksis dalam Puisi Meskipun kaidah sintaksis sering diabaikan dalam puisi, namun untuk menafsirkan makna puisi kita hendaknya menafsirkan larik-larik puisi itu sebagai suatu kesatuan sintaksis. Penafsiran makna itu mungkin hanya dalam konsep pikiran saja karena kita terbiasa menghadapi wacana yang dibangun dalam kesatuan sintaksis. Pola sintaksis puisi juga mempunyai fungsi semantik seperti dalam bahasa sehari-hari.
Pola sintaksis puisi dapat runtut seperti dalam prosa, namun sering kali penyair membuat pola yang aneh, dibuat lain dari pada yang lain untuk menunjukkan kreativitas dan identitasnya. Penyair dapat mengabaikan kaidah sintaksis yang harus dipatuhi, namun dapat juga mengulang-ngulang pola-pola tertentu sehinga beraturan. Pertama disebut infrastrukturisasi sedangkan yang kedua disebut suprastrukturisasi. Karena pembicaraan tentang sintaksis sulit dilaksanakan dengan saksama, maka kesatuan sintaksis dapat dibicarakan juga dalam larik dan bait. Sebuah larik mewakil kesatuan gagasan penyair dan jika dibangun bersama larik-larik lain membangun kesatuan gagasan yang lebih besar. Bait-bait puisi pada hakekatnya mirip dengan sebuah paragraf prosa. Di dalam bait itu terdapat satu larik yang merupakan kunci gagasan. Pada seluruh puisi itu terdapat satu atau beberapa bait yang merupakan klimaks gagasan penyair. Bait yang merupakan klimaks itulah yang dapat menjadi kunci tema dan amanat yang hendak disampaikan oleh penyair. Namun karena kebebasan penyair, belum tentu gagasan pokoknya terdapat dalam suatu bait tertentu, yang di dalamnya ada beberapa baris atau larik puisi. Istilah baris atau larik dalam puisi, pada dasarnya sama dengan istilah kalimat dalam karya prosa. Hanya saja, sesuai dengan hak kepengarangan yang diistilahkan dengan licentia poetica, maka wujud , ciri-ciri, dan peranan larik dalam puisi tidak begitu saja disamakan secara menyeluruh dengan kalimat dalam karya prosa. Hal itu dapat dimaklumi karena bila kalimat dalam karya prosa secara jelas diawali dengan huruf capital dan diakhiri dengan titik, hal yang demikian tidak selamanya dijumpai dalam puisi. Selain itu, baris dalam puisi juga sering kali mengalami pelesapan, yakni penghilangan salah satu atau beberapa bentuk dalam suatu larik untuk mencapai kepadatan dan keefektifan bahasa. Selain itu, struktur kalimat dalam puisi sebagai suatu baris, tidak selamanya sama dengan struktur kalimat dalam karya prosa. Kesamaan larik dengan kalimat hanya dapat kita tautkan dalam hubungannya dengan satuan makna yang dikandungnya. Seperti halnya kalimat, larik pada umumnya merupakan satuan yang lebih besar daripada kata sebagai suatu kelompok kata yang telah mendukung
satuan makna terentu. Apabila suatu larik hanya terdiri atas satu kata, maka satu kata itu telah dianggap memiliki satu satuan makna tersendiri. Dari uraian tentang struktur fisik puisi yang meliputi: metode puisi, penyimpangan bahasa puisi, dan struktur sintaksis dalam puisi dapat disimpulkan, sebagai brikut. Pertama, metode puisi berbeda dari metode prosa. Dalam menghayati puisi, telah yang lebih mendalam ke struktur yang lebih kecil, meliputi: diksi, pengimajian, kata konkret majas, versifikasi, dan tipografi puisi. Enam unsur ini saling berkaitan dan membentuk kesatuan. Keenam unsur metode puisi ini berkaitan dengan struktur batin puisi. Kedua, pada hakikatnya kodrat bahasa puisi memang menyimpang dari bahasa seharihari ataupun bahasa sastra lainnya. Penyimpangan itu dalam hal: leksikon, semantik, fonologis, morfologis, sintaksis, dialek, register, historis, dan grafologis. Ketiga, bentuk sintaksis puisi berbeda dari prosa. Penafsiran larik-larik puisi tidak dapat disamakan dengan penafsiran larik-larik prosa, yang membentuk satu kesatuan sintaksis. Satu larik puisi mungkin mengandung makna yang dapat dijabarkan lebih dari satu kesatuan sintaksis, walaupun larik itu merupakan potongan kalimat atau hanya berupa satu patah kata saja. Selanjutnya, uraian tentang struktur batin puisi akan dijelaskan pada paparan berikut.
4.
Struktur Batin Puisi Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair. Sedangkan untuk struktur batin I. A. Richards (1976: 180-181) menyebut makna atau dengan istilah hakikat puisi. Ada empat unsur hakikat puisi, yakni: tema (sence), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu menyatu dalam ujud penyampaian bahasa penyair.
Sebagai sebuah totalitas yang dibentuk oleh elemen atau unsur intrinsik tertentu, puisi menurut Rene Wellek & Austin Werren (1990:217) dapat dibagi dalam beberapa unsur, meliputi (1) bunyi
atau sound stratum, (2) arti atau units of meaning, (3) dunia atau realitas yang digambarkan penyair, (4) dunia atau realitas yang dilihat dari titik pandang tertentu, dan (5) dunia yang bersifat metafisis. Bila Wellek membagi makna dalam (1) arti, (2) realitas yang digambarkan penyair, (3) realitas yang dipandang dari sudut pandang tertentu, dan (4) dunia yang bersifat metafisis, maka I.A. Richards dalam Aminuddin (1987: 147) mengungkapkan bahwa makna itu meliputi: (1) sense (2) subject matter, (3) feeling, (4) tone, (5) total of meaning, dan (6) theme, serta intention. Selain dua ragam pembagian makna di atas, dalam hal puisi atau karya sastra pada umumnya, Ingarden dalam Aminuddin (1987: 148) membedakan antara (1) makna, (2) dunia rekaan yang diciptakan penagrang, (3) point of view, yang berkaitan dengan masalah penyikapan dan (4) methaphysical qualities atau makna yang memiliki kualitas metafisis. Keseluruhan aspek makna yang terkandung dalam makna itu terpapar lewat media bunyi yang berkaitan dengan tata bahasa, yakni morfologi dan sintaksis yang dalam penalaahannya tidak dapat dilepaskan dari telaah makna yang berhubungan dengan berbagai model pemakaknaan yang ada. Dalam pembahasan ini, acuan berpikir yang digunakan berorientasi pada pembagian makna dari Richards dalam Aminuddin (1987:149) dengan pertimbangan bahwa pembagian makna menurut Richards itu pengidentifikasian serta pembagiannya lebih mudah. Selain itu, bila pembaca sudah memahami unsur-unsur makna seperti diungkapkan I. A. Richards itu, untuk membawa ke pembagian makna seperti yang di ungkapkan Rene Wellek & Austin Warren maupun Ingarden sangat mudah. Paparan lebih lanjut tentang pembagian makna menurut I. A. Richards dalam Aminuddin (1987: 150) sebagai berikut. a. Tema Tema merupakan gagasan pokok atau subject-master yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan, jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk memprotes ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta atau tema kedukaan hati karena cinta. Dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema puisi bersifat lugas, obyektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsepkonsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).
Sementara itu menurut Aminuddin (1987: 150) tema adalah ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna dalam suatu puisi. Tema berbeda dengan pandangan moral ataupun message meskipun tema itu dapat berupa sesuatu yang memiliki nilai rohaniah. Disebut tidak sama dengan pandangan moral maupun massage karena tema hanya dapat diambil dengan jalan menyimpulkan inti dasar yang terdapat di dalam totalitas makna puisi, sedangkan pandangan moral atau message dapat saja berada di dalam butir-butir pokok pikiran yang ditampilkannya. Dengan kata lain, bidang cakupan tema lebih luas daripada pandangan moral maupun message. Bila dalam menganalisis totalitas makna puisi, menurut Aminuddin (1987: 151) pembaca dapat menampilkan pertanyaan, “Bagaimana makna keseluruhan puisi yang dibaca berdasarkan subject matter, feeling, dan tone yang telah ditemukan?” Maka dalam analisis tema pertanyaan yang tampil adalah, “Apakah ide dasar atau inti dari totalitas makna itu?” Masalahnya sekarang, bagaimanakah cara memberikan jawaban atas sejumlah pertanyaan di atas. b. Perasaan
Perasaan disebut juga feeling dan tone. Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. Hal itu mungkin saja terkandung dalam lapis makna puisi sejalan dengan terdapatnya pokok pikiran dalam puisi karena setiap menghadirkan pokok pikiran teretntu, manusia pada umumnya juga dilatarbelakangi oleh sikap tertentu pula. Tone adalah sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok pikiran yang ditampilkannya. Hal yang demikian mungkin saja terjadi karena sewaktu berbicara masalah cinta maupun tentang cinta itu sendiri kepada kekasih atau suami/istri akan berbeda dengan sewaktu berbicara kepada teman. Dalam rangka menganalisis feeling dan tone dalam suatu puisi, pembaca (peniliti) akan berhubungan dengan upaya pencarian jawaban dari pertanyaan, “Bagaimana sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya?” serta “Bagaimana sikap penyair terhadap pembaca?” Jawaban yang diperoleh mungkin akan berupa sikap keterharuan, kesedihan, keriangan, semangat, masa bodoh, menggurui, atau berbagai macam sikap lainnya sejalan dengan keanekaragaman sikap manusia dalam menyikapi realitas yang dihadapinya. Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair yang lainnya, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. Dalam menghadapi tema keadilan social atau kemanusiaan, penyair banyak menampilkan kehidupan pengemis atau orang gelandangan. Menurut Herman J. Waluyo (2008: 140) perasaan Chairil Anwar berbeda dengan perasaan Toto Sudarto Bachtiar berbeda pula dengan Rendra dan Arifin C. Noer dalam menghadapi pengemis. Toto Sudarto Bachtiar menghadapi gadis kecil berkaleng kecil dengan perasaan iba hati karena rasa belas kasihnya. Penyair bahkan ingin “ikut gadis kecil berkaleng kecil” itu. Rendra berperasaan banci dan bersikap memandang rendah para pengemis karena
Rendra memandang bahwa pengemis tidak berusaha keras untuk menopang kehidupannya. Sikap Chairil Anwar sama dengan sikap Rendra. Mereka tidak memiliki rasa belas kasih kepada para pengemis. c.
Nada dan Suasana
Nada atau sense adalah sesuatu yang diciptakan atau digambarkan oleh penyair lewat puisi yang dihadirkannya. Terdapatnya sense dalam suatu puisi, pada dasarnya akan berhubungan dengan gambaran dunia atau makna puisi secara umum yang ingin diungkapkan penyairnya. Dalam analisis puisi, keberadaan sense tersebut akan membuahkan pertanyaan, “Apa yang ingin dikemukakan penyair lewat puisi yang diciptakan?” Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca ini disebut nada puisi. Sering kali puisi bernada santai karena penyair bersikap santai kepada pembaca. Hal ini dapat kita jumpai dalam puisi-puisi mbeling. Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Jika berbicara tentang sikap penyair, maka berbicara pula tentang nada. Jika berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka berbicara pula tentang suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana iba hati pembaca. Nada kritik yang diberikan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Nada religius dapat menimbulkan suasana khusyuk. Begitu seterusnya. Demikianlah nada puisi yang dapat dihayati melalui puisi. Dalam nada ini dapat dihayati sikap penyair yang secara tersirat dapat ditangkap oleh pembaca. Jadi tidak secara harfiah. Pembaca menghayati suasana yang ditimbulkan oleh nada puisi. Sebab itu, nada puisi berhubungan erat dengan suasana.
d. Amanat (Pesan)
Amanat atau subject matter adalah pokok pikiran yang dikemukakan penyair lewat puisi yang diciptakannya. Bila sense baru berhubungan dengan gambaran makna dalam puisi secara umum, maka subject matter berhubungan dengan satuan-satuan pokok pikiran tertentu yang secara khusus membangun sesuatu yang diungkapkan penyair. Oleh sebab itu, dalam analisis makna puisi dalam rangka mengidentifikasi subject matter, peneliti akan menampilkan pertanyaan, “Pokok-pokok pikiran apa yang diungkapkan penyair, sejalan dengan sesuatu yang secara umum dikemukakan penyairnya?” Untuk itu, terlebih dahulu perlu dibahas masalah langkah-langkah dalam menganalisis lapis makna puisi. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Tujuan/amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanta tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan. Menurut John Johnson (2000: 100-101) dikatakan bahwa banyak penyair yang tidak menyadari apa amanat puisi yang ditulisnya. Mereka yang berada dalam situasi demikian biasanya merasa bahwa menulis puisi merupakan kebutuhan untuk berekspresi atau kebutuhan untuk berkomunikasi atau kebutuhan untuk aktualisasi diri. Bagaimanapun juga, karena penyair adalah manusia yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan manusia biasa dalam hal menghayati kehidupan ini, maka karyanya pasti mengandung amanat yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan. Tema berbeda dengan amanat. Tema berhubungan dengan arti karya sastra, sedangkan amanat berhubungan dengan makna karya sastra (meaning and significance). Arti karya sastra berarti lugas, obyektif, dan khusus, sedangkan makna karya sastra bersifat kias, subyektif dan umum. Makna berhubungan dengan orang perorangan, konsep seseorang, dan situasi dimana penyair mengimajinasikan karyanya (hal ini erat dengan perasaan dan nada yang diungkapkan penyair). Rumusan tema harus obyektif dan sama untuk semua pembaca puisi, namun amanat
sebuah puisi dapat bersifat interpretative, artinya setiap orang mempunyai penafsiran makna yang berbeda dengan yang lain. Walaupun tafsiran tentang amanat puisi dapat bermacam-macam, namun dengan memahami dasar pandangan, filosofi, dan aliran yang dianut oleh pengarangnya, kita dapat memperkecil perbedaan itu. Inilah gunanya teori sastra yang menyangkut pribadi pengarang. Bahkan sejarah sastra, angkatan atau jaman terciptanya karya sastra akan menolong kita mendekati amanat penyair secar lebih tepat. Tidak mungkin dapat dibenarkan jika puisi seorang penyair yang benar-benar religius ditafsirkan sebagai puisi ateis karena penafsirannya tidak memahami latar belakang keagamaan penyair. Dari uraian tentang hakikat atau struktur batin puisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap puisi mempunyai struktur batin atau hakekat yang terdiri atas tema, perasaan, nada dan amanat. Keempatnya merupakan jiwa puisi yang apdu. Uraian satu persatu hanya dimaksud untuk memahami pengertiannya. Tema puisi merupakan gagasan pokok atau “subject matter” yang dikemukakan penayir. Dalam telaah ini dibahas tema yang sesuai dengan Pancasila, yakni: tema Ketuhanan, kemanusiaan, patriotisme, demokrasi (kedaulatan rakyat), dan tema keadilan sosial. Tematema tersebut secara keseluruhan mungkin ada dalam satu puisi; hal ini dimungkinkan karena puisi memang sangat kaya akan makna. Perasaan dalam puisi dalah perasaan yang disampaikan penyair melalui puisinya. Puisi mengungkapkan perasaan yang beraneka ragam. Mungkin perasaan sedih, kecewa, terharu, benci, rindu, cinta, kagum, bahagia, ataupun perasaan setia kawan. Tema puisi yang sama yang dilukiskan dengan perasaan yang berbeda akan menghasilkan puisi yang berbeda pula. Nada puisi ialah sikap batin penyair yang hendak diekspresikan penayir kepada pembaca. Ada nada menasehati, mencemooh, sinis, berontak, iri hati, gemas, penasaran, berontak, dans ebagainya. Nada puisi ikut mewarnai corak puisi itu. Suasana ialah suasana
abtin pembaca akibat membaca puisi. Amanat dalam puisi adalah maksud hendak disampaikan atau himbauan atau pesan atau tujuan yang hendak disampaikan penyair. Tiap penyair bermaksud ikut meningkatkan martabat manusia dan kemanusiaan. Penghayatan terhadap amanat sebuah puisi tidak secara obyektif, namun subyektif berdasarkan interpretasi pembaca. Peranan pengajaran Apresiasi puisi sangat penting dalam meningkatkan daya apresiasi pembaca sehingga tafsiran akan makna yang diberikan pembaca tidak jauh berbeda dengan maksud penyair. Sebab itu telaah tentang sejarah, tentang penyair beserta aliran, filsafat, dan jamannya merupakan sumbangan terhadap penafsiran amanat puisi, sehingga penafsirannya lebih mendekati kehendak penyair. Hubungan antara struktur lahir dan struktur batin dalam puisi oleh Marjorie Boulton (1979:7) dikatakan bahwa, bentuk fisik puisi adalah penampilan di atas kertas, dan jauh lebih penting, dia adalah suara puisi. Ini bisa berupa suara ketika puisi dibacakan, atau suara hati yang didengar ketika puisi itu dibacakan untuk diri sendiri. Termasuk di dalamnya meliputi: irama, rima (pola persajakan), intonasi, dan berbagai jenis gema dan pengulangan. Sedangkan bentuk batin (mental) puisi adalah formulir yang digambarkan sebagai konten dalam arti kata biasa bila diterapkan untuk sastra. Hal itu meliputi: struktur gramatikal, urutan logis, pola asosiasi, penggunaan imajinasi dominan, pola imajinasi, dan emosi. Semua itu (baik bentuk fisik maupun bentuk batin) saling berhubungan untuk menjadikan puisi yang baik dari segi kekuatan bahasa maupun segi imajinasinya. Dari uraian tentang bentuk fisik dan bentuk batin puisi, dapat disimpulkan bahwa keduanya dapat membentuk satu kesatuan bentuk puisi yang utuh dari segi kekuatan bahasa maupun maknanya. Meskipun dalam bentuk fisik puisi akan ditemukan penyimpangan bahasa dan pola sintaksis, hal itu hanyalah sebagai sumber kekuatan makna puisi.
5.
Pendekatan dalam Mengapresiasi Puisi
Pendekatan sebagai prinsip dasar atau landasan yang digunakan seseorang ketika mengapresisikan puisi dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan ditentukan oleh tujuan dan apa yang akan diapresiasikan lewat teks sastra yang dibacanya. Bertolak dari tujuan dan apa yang akan diapresiasi pembaca dapat menggunakan sejumlah pendekatan di bawah ini: a.
Pendekatan Parafrastis Pendekatan parafrastis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
b. Pendekatan Emotif Pendekatan emotif dalam apresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang menyentuh emosi atau perasaan pembaca. Prinsip dasar yang melatarbelakanginya adalah pandangan bahwa cipta sastra merupakan bagian dari karya seni yang hadir dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga mampu memberikan hiburan dan kesenangan. c.
Pendekatan Analitis Pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan, sikap pengarang, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen itu sehingga mampu membangun keselarasan dari kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
d. Pendekatan Sosio-Psikologis Pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, masyarakat maupun tanggapan kejiwaan pengarang terhadap lingkungan kehidupannya pada saat cipta sastra diwujudkan. e.
Pendekatan Historis Pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri dari zaman ke zaman.
f.
Pendekatan Didaktis Pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan, evaluatif, maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Penerapan pendekatan ini menurut daya intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari penelaahnya.
g.
Pendekatan Sosiologis Pendekatan yang berusaha mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan karya sastra, serta peranan karya sastra dengan realitas sosial. Pendekatan juga dapat mengungkap realitas sosial dan budaya pada sesuatu waktu tertentu, termasuk di dalamnya kehidupan, pandangan, serta sikap dan pengetahuan pengarang terhadap realitas sosial. Dalam pelaksanaannya, keenam pendekatan di atas umumnya digunakan secara enklitik
(saling berkaitan) tujuannya agar penelaah dapat menangkap kompleksitas aspek maupun keragaman karakteristik cipta sastra itu sendiri. Oleh karena itu, dalam penelitian ini tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan keenam pendekatan di atas dalam rangka untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan menafsirkan serta menjelaskan tentang (1) kritik sosial, (2) nilai religius, dan (3) nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri.
6.
Langkah-langkah dalam Pemahaman Puisi Sudah dinyatakan di depan bahwa karya sastra tidak bersifat otonom. Dalam memahami makna karya sastra, kita dapat mengacu ke berbagai hal yang erat berhubungan dengan puisi itu. Dalam pemahaman puisi ini, hal yang dipandang erat berhubungan dengan puisi itu adalah penyair dan kenyataan sejarah. Puisi-puisi yang relatif sulit ditafsirkan maknanya, biasanya dapat ditafsirkan melalui pengenalan kita terhadap penyair dan kenyataan sejarah. Langkah-langkah menelaah puisi menurut Herman J. Waluyo (2008: 167-170) dapat melalui tahap-tahap sebagai berikut.
a.
Struktur Karya Sastra Pada tahap pertama kita berusaha memahami struktur karya sastra secara umum. Apakah puisi ini berstruktur sebagai puisi lama, baru Angkatan 45, ataukah puisi kontemporer. Apakah bentuk puisi itu konvensional ataukah nonkonvensional. Penelaah berusaha memahami bait-bait dan lirik-lirik, serta memahami secara global tema apakah yang dikemukakan oleh penyair.
b. Penyair dan Kenyataan Sejarah Untuk melengkapi pemahaman secara global karya sastra yang kita telaah, maka kita bahas siapakah penyairnya, bagaimana aliran filsafat, corak khas yang menjadi ciri dari jaman penyair itu berkarya, kata-kata dan ungkapan khusus yang
berhubungan dengan penyair,
aliran, filsafat, dan jaman saat puisi itu diciptakan. Dengan dilengkapi data tentang penyair dan kenyataan sejarah ini, totalitas puisi akan mudah diinterpretasikan.
c. Telaah Unsur-unsur
Struktur fisik dan strukturbatin puisi ditelaah unsur-unsurnya. Kedua struktur itu harus mempunyai kepaduan dalam mendukung totalitas puisi. Telaah
ini menyangkut telaah
unsur-unsur yang sekecil-kecilnya. Ditelaah bagaimana struktur fisik digunakan untuk mengungkapkan struktur batin dan bagaimana
struktur batin dikemukakan. Telaah yang
demikian menghasilkan pembahasan puisi secara lebih mendalam. (1)
Struktur fisik Dalam telaah struktur fisik dibahas bagaimana kecapakan/kreatifitas penyair dalam menciptakan puisi. Maka struktur fisik disebut pula metode puisi. Ditelaah bagaimana penyair memilih, mengurutkan dan memberikan sugesti kata (diksi); bagaimana penyair menciptakan pengimajian; bagaimana kata-kata diperkonkret; bagaimana penyair menciptakan lambang dan kiasan (majas); bagaimana versifikasi dalam puisi itu; dan bagaimana penyair menyusun tata wajah puisi. Telaah struktur fisik tidak dapat dilepaskan dengan telaah struktur batin. Dapat juga ditelaah hubungan antara struktur fisik dengan tuntutan pengucapan batin penyair.
(2)
Struktur batin Semua unsur struktur fisik digunakan penyair untuk mengungkapkan tema dan amanat yang hendak disampaikannya. Dengan kata lain, struktur fisik dan struktur batin atau struktur tematik dan struktur sintatik tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kemampuan memahami struktur fisik secara mendalam dan canggih memungkinkan pembaca memiliki kemampuan menghayati makna yang hendak disampaikan oleh penyair karena tema, perasaan, nada, dan amanat disampaikan melalui struktur fisik puisi. Adanya jalinan antara struktur fisik dan struktur batin yang begitu kuat, menyebabkan perlunya pembaca memahami kedua struktur ini secara bersama-sama. Tingkat pemikiran, luapan rasa hati penyair, dan tingkat imajinasi (pengalaman) penyair, diungkapkan dengan metode atau teknik pengucapan khas milik penyair. Nilai artistik
sebuah karya sastra terletak dari tepat tidaknya penyair mengungkapkan struktur batinnya ke dalam struktur fisik (teknik). Jika takarannya tepat, akan terasa ada keharmonisan antara kedua struktur itu. Keharmonisan antara kedua struktur itu tidak bersifat statis. Pembaca menghendaki sesuatu yang baru. Oleh sebab itu, faktor kreativitas peyair juga ikut berperan dalam menentukan nilai artistik sebuah puisi. Jadi, struktur batin dan gaya pengucapan disampaikan lewat bahasa penyair merupakan dua hal yang saling berhubungan dan saling menentukan.
d. Sintesis dan Interpretasi Setelah menelaah secara mendalam struktur puisi hingga ke unsur-unsurnya, kemudian kita dapat mensintesiskan telaah kita itu. Sintesis itu dapat berwujud jawaban atas pertanyaan sebagai berikut: (1) Apakah amanat (pesan) yang hendak disampaikan penyair? (2) Mengapa penyair menggunakan bahasa yang demikian (hubungannya dengan perasaan dan nada)? (3) Apakah arti karya tersebut bagi penelaah? (4) Bagaimana sikap penelaah terhadap apa yang dikemukakan penyair? (5) Bagaimana penyair menciptakan puisi itu, apakah cukup mahir?
7.
Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Sastra Semua fakta sastra menyiratkan adanya penulis, buku, dan pembaca, atau secara umum dapat dikatakan: pencipta, karya sastra, dan masyarakat. Fakta sastra merupakan bagian suatu fakta hubungan pencipta dan masyarakatnya. Selanjutnya, Robert Escarpit (2008: 3) mengatakan bahwa: ... Setiap fakta sastra merupakan bagian dari sirkuit, yang mana setiap titik sirkuit itu, kehadiran pencipta menimbulkan masalah interpretasi psikologi, moral, filsafat. Media karya sastra menimbulkan masalah estetika, gaya, bahasa, teknik. Adanya kolektifitaspublik menimbulkan masalah dari segi historis, politik sosial, bahkan ekonomi.
Mengingat fakta sastra merupakan bagian yang tak terpisahkan dari cara berpikir individual, bentuk-bentuk abstrak sekaligus struktur kolektif, antara sejarah (lingkungan sosial), karya sastra, dan penciptanya. Oleh karena itu, pembahasannya cukup menyulitkan. Kekhasan fakta sastra memunculkan adanya perhatian khusus, sehingga memunculkan sosiologi sastra. Dikatakan oleh Robert Escarpit (2008: 14) bahwa adanya sosiologi sastra membantu pembaca dengan jalan membantu ilmu sastra tradisional-sejarah atau kritik saatra dalam mengamati hubungan antara karya sastra, pencipta, dan sejarah (lingkungan sosial). Perkembangan berikutnya sebagaimana yang dikemukakan Laurenson dan Swingewood dalam Zainuddin Fananie (2000: 134) bahwa kendati sastra dan sosiologi mempunyai perbedaan namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra. Dengan kata lain, sebagaimana konsep Rene Wellek & Austin Warren (1990:111-112) bahwa sosiologi sastra dianggap sebagai unsur ekstrinsik dan unsur ekstrinsik sebenarnya tidak hanya meliputi sosiologi, melainkan juga unsur yang lain seperti ideologi, ekonomi, agama, politik, psikologi, dan sebagainya. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas sosial manusia. Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Dengan demikian, antara karya sastra dengan sosiologi sebenarnya merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Sosiologi tidak hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial budayanya, tetapi juga dengan alam. Menurut Laurenson dan Swingeood dalam Zainuddin Fananie (2000: 134) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra. a. b. c.
Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial, yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan; Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.
Ditinjau dari karya itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Michael Zerafta dalam
Elizabeth (1973: 212) bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya memang lebih banyak diambil dari fenomena sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karenanya, karya sastra seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat. Dalam hal ini, karya-karya mempunyai suatu fungsi pewahyuan dalam pengertian mencakup aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, ataupun budaya. Itulah sebabnya, karya sastra dapat merupakan pencarian dan sekaligus ungkapan pengertian dan esensinya. Sosiologi sastra merupakan bagian mutlak dari kritik sastra. Ia mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Produk telaahan itu dengan sendirinya dapat digolongkan ke dalam produk kritik sastra. Sosiologi adalah suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain, kita mendapat gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannnya, mekanisme kemasyarakatannya, serta proses pembudayaannya. Sastra, sebagaimana halnya dengan sosiologi, berurusan dengan manusia bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya; bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi dan sastra itu memperjuangkan masalah yang sama. Kedua-duanya berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, politik. Perbedaan antara keduanya, menurut Sapardi Djoko Damono (2005:124) adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan persaannnya. Adanya analisis ilmiah yang obyektif ini menyebabkan bahwa seandainya ada dua orang ahli sosiologi mengadakan penelitian atas suatu masyarakat yang sama, hasil penelitian itu besar kemungkinan menunjukkan persamaan juga. Sedangkan seandainya ada dua orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan tiap orang. Sedangkan menurut Awang H. Saleh (1980: 88) sosiologi bersifat kognitif sedangkan sastra bersifat afektif. Karena persamaan objek yang digarap, wajarlah kalau ada ahli yang meramalkan bahwa pada akhirnya nanti sosiologi dapat menggantikan kedudukan sastra. Mungkin pendapat itu muncul didorong oleh pesatnya pertumbuhan dan perkembangan sosiologi dewasa ini di samping adanya anggapan bahwa sastra akan atau telah mati. Tetapi suatu hal yang jelas adalah bahwa sastra mempunyai kekhasan sendiri yang tidak dimiliki oleh sosiologi, oleh karena tampaknya kedua-duanya memiliki kemungkinan yang sama untuk terus berkembang, dan tidak mustahil pula kedudukan dapat saling bekerja sama, saling melengkapi. Sosiologi sastra, adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Telaah sosiologi ini mempunyai tiga klasifikasi menurut Rene Wellek & Austin Warren (1990:111-112 ) yaitu: a.
Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang;
b.
Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya;
c.
Sosiologi pembaca: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut hampir sama dengan klasifikasi yang dibuat oleh Ian Watt dalam Sapardi Djoko Damono (2005:124) dengan melihat hubungan timbal-balik antara sastrawam, sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu telaah sosiologis suatu karya sastra akan mencakup tiga hal:
a.
Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.
b.
Sastra sebagai cermin masyarakat, yang di telaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.
c.
Fungsi sosial sastra, dalam hal ini di telaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai berapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca. Dari klasifikasi di atas dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra, yang merupakan
pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, mempunyai bagian yang luas, beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya, serta pembacanya. Berdasarkan pandangan para ilmuan tentang sosiologi sastra di atas, menurut Umar Junus (1986: 3-24) ada beberapa teknik yang dapat dikembangkan dalam kajian sosiologi sastra, sebagai berikut. a. Karya Sastra Dilihat sebagai Dokumentasi Sosio-Budaya Teknik ini bertolak dari anggapan bahwa sastra adalah refleksi dan realita. Kajiannya tidak mengutamakan kesatuan struktur, tetapi setiap unsur dilihat sebagai satu kesatuan yang lepas. b. Penyelidikan Mengenai Penghasilan dan Pemasaran Karya Sastra Teknik kajian ini menyentuh aspek antara lain: (1) penulis dan latar belakang sosiobudaya, yang meliputi faktor-faktor: asal sosial, status sosial, seks (jenis kelamin), umur, pendidikan, dan pekerjaan dan (2) hubungan antara penulis dan pembaca, yang menyangkut masalah penulis mungkin digaji oleh seseorang atau kelompok untuk menulis (biografi raja
atau seseorang) atau penulis mendapat honor atau gaji dari tulisannya yang ditentukan oleh pemasarannya pada pembaca. c. Penelitian tentang Penerimaan Masyarakat terhadap Karya Sastra Seorang Penulis Tertentu (Public Opinion) Penerimaan karya sastra tertentu pada waktu (masa) dan daerah tertentu berkaitan dengan iklim sosio-budayanya. Hal-hal yang perlu dikaji, antara lain: (1) bagaimana penerimaan terhadap karya seorang penulis (pengarang) tertentu, baik secara aktif maupun secara pasif dan (2) bagaimana model penerimaan secara aktif itu, apakah positif atau negatif. d. Pengaruh Sosio-Budaya terhadap Penciptaan karya Sastra Teknik kajian ini menyentuh aspek antara lain: (1) masalah pranata sosial dan budaya yang mempengaruhi penciptaan karya sastra dan (2) bagaimana sistem sosial di suatu wilayah tertentu dapat mempengaruhi kepengarangan karya sastra. Pada masyarakat desa, kota, perburuhan, pertanian, dan kalangan profesi tertentu bisa mempengaruhi jenis dan isi karya sastra. Dalam penelitian ini, keempat kajian dalam sosiologi sastra memungkinkan untuk dilaksanakan secara keseluruhan. Akan tetapi, guna membatasi agar penelitian tidak merambah pada wilayah kajian sastra yang lebih luas, maka kajian sosiologi sastra yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi: (1) karya sastra dilihat sebagai dokumentasi sosio-budaya dan (2) pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra.
8.
Pemanfaatan Pendekatan Sosiologi dalam Sastra
Penggunaan pendekatan sosiologi dalam melakukan kritik sastra mendapat serangan pedas dari para kritikus sastra. Salah satu serangan itu dilancarkan oleh Rene Wellek & Austin Warren (1990:110) yang mengatakan bahwa pendekatan sosilogis atau pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik. Pendekatan sosiologis semacam itu terutama di anut dan dilakukan oleh kritikus yang meyakini suatu filsafat sosial tertentu, misalnya para kritikus Marxis, yang telah memiliki sikap tertentu terhadap hubungan sastra dan masyarakat, sehingga sering yang mereka lakukan bukanlah kritik sastra, melainkan pengahakiman yang didasarkan atas kriteria sosial politik yang sifatnya non sastra. Ada anggapan, bahwa sastra sebagai karya seni yang menggambarkan masyarakat cenderung untuk mengalihkan fungsi sastra menjadi “propaganda”. Hal itu dapat berakibat segi-segi teknik dan seni diabaikan. Ada pula yang beranggapan, kalau sastra tidak memperhatikan apa yang tumbuh dan hidup di dalam masyarakat dapat menyebabkan sastra kehilangan fungsi sosialnya, kehilangan nilai didaktiknya. Apakah suatu karya sastra menjadi cermin keadaan masyarakat di mana dia dilahirkan? Pada umumnya memang begitu, tetapi hal itu tidak harus. Ignas Kleden (1981:78) menyebutkan bahwa sastra adalah karya individual yang didasarkan pada kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi. Sastra pertama-tama merupakan cermin diri sang pengarang itu sendiri dan persoalan dan motif-motif pribadinya. Bila sastrawan kebetulan mengucapkan suatu keadaan umum masyarakat, maka hanya lantaran persoalan umum itu kini terasa sebagai masalah pribadinya sendiri. Hal kedua, karena kemampuannya nenembus suatu kurun waktu, dia juga tidak terikat dengan masa kininya. Persoalan yang digarapnya mungkin belum terasa aktual sementara ini. Tentu saja dengan itu tidak dikatakan, bahwa sastra seharusnya suatu yang serba asing dari kehidupan masyarakat. Sastra dapat juga menyampaikan beberapa keluhan masyarakat masanya, tetapi itu tanpa pretensi mau menjadi
juru bicara jamannya dalam arti kata yang lengkap. Menurut M. H. Abrams (1971:198) bahwa sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak lepas dari tata masyarakat dan kebudayaannya. Semuanya itu sangat berpengaruh dalam karya sastranya ataupun tercermin dalam karya sastranya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya Jalan pikiran yang dikemukakan Ignas Kleden di atas dapat dipahami. Kita dapat membenarkan pendapat itu, bahwa karya sastra tidak harus merupakan cetak-ulang dari kenyataan yang ada. Karya sastra seharusnya juga dapat berupa suatu imajinasi yang menggunakan lingkungan kemasyarakatan sebagai titik tolak. Dalam arti, sastra boleh jadi berupa interpretasi kehidupan, serta boleh jadi pula suatu ketika akan berupa imitasi kehidupan. Keterkaitan sastra dengan masyarakat dan keterkaitan masyarakat dengan sastra dapat menjadi diskusi yang panjang dan tak akan ada habis-habisnya. Kenyataan menunjukkan bahwa ada sementara kritikus sastra yang memandang bahwa segi-segi kemasyaratan yang terungkap dalam suatu karya sastra merupakan ukuran penting untuk digunakan, khususnya dalam pemanfaatan kritik sastra di sekolah-sekolah. Memang terdapat beberapa pengarang yang menggunakan karya sastra sebagai salah satu tempat memperjuangkan ide kemasyarakatannya, antara lain dapat kita sebutkan Sutan Takdir Alisyahbana, yang dengan gigih memperjuangkan ide pengembangan tata kemasyarakatan Indonesia baru. Lahirnya karya seperti Les Misarables oleh pengarang Perancis, Victor Hugo, Si Midah Bergigi Emas oleh Pramudya Ananta Toer, atau Atheis karya Achdiat Kartamihardja adalah rekaman-rekaman kehidupan kemasyarakatan yang pernah dilihat atau dialami pengarangnya (Atar Semi, 1989: 60). Di samping adanya pendapat yang menentang pendekatan sosiologis, namun tidak kurang pula jumlah kritikus yang melihat manfaat kritik sastra yang menggunakan pendekatan sosiologis ini. Dengan pendekatan sosiologis orang mungkin dapat menunjukkan sebab-sebab
dan latar belakang kelahiran sebuah karya sastra yang ditelaah, terutama dalam menentukan fungsi suatu karya sastra dan mengetahui beberapa aspek sosial lain yang harus diketahui sebelum penelaah dilakukan. Kritik sosiologis berfungsi deskriptif, yakni berupa deskripsi kemasyarakatan yang melingkupi suatu karya sastra. Hal ini sering memberi bantuan yang besar terhadap keberhasilan suatu kritik sastra yang dilakukan. Kritik sosiologis juga berfaedah dalam mengembangkan pengetahuan kita dengan memberikan keterangan tentang beberapa hal yang menjadi ciri khas karya sastra dalam suatu periode tertentu atau pada suatu kurun waktu tertentu karya sastra memperlihatkan adanya suatu tatanan masyarakat tertentu. Sebagai contoh, penelaah dapat mengungkap mengapa beberapa kumpulan puisi A. Mustofa Bisri memperlihatkan suatu keadaan dan corak sosial masyarakat Indonesia umumnya? Atau mengapa A. Mustofa Bisri cenderung untuk mengkritik tatanan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya? Dengan bantuan sosiologi sastra hal itu dapat diketahui dan dipahami secara lebih mendalam. Dapat dipahami bahwa bilamana penelaah ingin mengetahui keadaan sosiologis dari suatu masa karya tertentu ditulis, memang belum tentu dapat dikenal tata kemasyarakatan yang ada waktu itu, tetapi setidak-tidaknya dapat dikenal tema-tema mana yang kira-kira dominan pada kurun waktu itu. Bisa terjadi seorang pengarang dengan motif tertentu mengemukakan sesuatu yang mungkin keluar dari pola berpikir umum pada waktu itu. Menurut Sapardi Djoko Damono (2005:124-126) pengarang-pengarang (sastrawan) tidak sekadar menggambarkan dunia sosial secara mentah. Mereka mengemban tugas yang mendesak, memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari nasib mereka sendiri, untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial. Sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu, barangkali sastra merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan-kekuatan sosial. Sastra juga akan selalu mencerminkan nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat diramalkan
bahwa semakin sulit nantinya mengadakan analisis terhadap sastra sebagai cermin masyarakat sebab masyarakat semakin menjadi rumit. Dalam bebrapa karya sastra yang ditulis pada abad kedelapan belas di Inggris mungkin masih dapat ditemukan gambaran masyarakat secara utuh, tetapi sementara masyarakat semakin berkembang dan struktur masyarakat semakin kompleks; dalam novel modern, gambaran semacam itu sulit ditemukan. Kalaupun karya sastra dikatakan mencerminkan struktur sosial, maka yang didapatkan di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditilik dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas, yang berperan sebagai mikro kosmos sosial: lingkungan bangsawan, borjuis, seniman, intelektual, dan lain-lain. Suatu bahaya yang mungkin timbul dalam menggunakan pendekatan ini adalah bila kritikus yang menganut suatu paham politik tertentu mengadakan suatu telaah terhadap suatu karya sastra yang tidak sejalan dengan aliran politik yang dianut kritikus. Hasil yang akan dicapai dapat keluar dari hakekat kritik sastra yang sesungguhnya, untuk kemudian menjurus kepada pertentangan paham politik. Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologis ini adalah, bahwa walaupun pengarang atau penyair melukiskan kondisi sosial yang berada di lingkungannya, namun belum tentu menyuarakan kemauan masyarakatnya. Dalam arti, karya yang dihasilkan tidaklah mewakili atau menyalurkan keinginan-keinginan kelompok masyarakat tertentu. Akan tetapi, hanya menyalurkan atau mewakili hati nuraninya sendiri. Bila pengarang atau penyair kebetulan mengucapkan sesuatu yang bergolak dalam masyarakatnya, hal itu merupakan suatu kebetulan belaka atau kebetulan ketajaman batinnya dapat menangkap isyarat-isyarat itu. Oleh sebab itu, seorang penelaah yang menggunakan pendekatan sosiologis ini harus berhati-hati dalam mengambil kesimpulan yang berhubungan dengan pertauatan antara masa lahir suatu karya sastra dengan tata kemasyarakatan yang ada pada waktu itu. Sebab semua kemungkinan bisa terjadi dengan daya kreativitas dan imajinasinya, pengarang justru mengungkapkan tentang suatu masyarakat yang diinginkannya.
Para penelaah sastra yang menilai hasil-hasil sastra dengan menggunakan pendekatan ini tentu akan mempertimbangkan, apakah pengarang dalam mengungkapkan segi-segi kemasyarakatan itu dilakukan dengan cara yang menarik. Dalam arti, apakah karyanya mampu menarik hati pembacanya untuk merasakan apa yang dipersoalkannya atau dapat membuat pembaca merenung dan memikirkannya. Sebagai sebuah hasil seni, kritikus tentunya akan melihat sejauh mana pengarang dapat menjalin dokumentasi sosialnya sehingga menjadi suatu karya yang mempunyai nilai seni dan kemasyarakatan yang besar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pendekatan sosiologis mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya guna yang tinggi bila para penelaah sendiri tidak melupakan atau memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi.
9.
Pemahaman Unsur Sosiologi dalam Puisi
Salah satu unsur yang terkandung dalam puisi adalah unsur kehidupan sosial-budaya serta ragam sikap penyair terhadapnya. Dalam hal ini, pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami unsur-unsur itu adalah pendekatan sosiologis. Bila dalam kajian ini objek kajian lewat pendekatan sosiologis tersebut adalah puisi, hal itu bukan berarti bahwa prosa fiksi dan naskah drama tidak dapat dijadikan objek pembahasan. Hanya karena pertimbangan tujuan penelitian dalam pembahasan ini diangkat puisi sebagai objek pengkajian. a.
Unsur Gagasan tentang Kehidupan Sosial dalam Puisi
Kehidupan sosial masyarakat, baik secara individual meupun kelompok, dapat menajdi bahan penciptaan suatu puisi. Corak kehidupan sosial yang diangkat menjadi bahan penciptaan itu dapat beranekaragaman. Mungkin berupa adat kebiasaan, pandangan hidup, maupun perilaku suatu masyarakat yang ada hubungannya dengan masalah-masalah kehidupan sosial. Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam usaha menemukan unsur kehidupan sosial serta sikap penyair terhadapnya lewat suatu puisi, menurut Aminudin (1987: 189) kegiatan yang dilaksanakan antara lain: (a) membaca puisi yang diapresiasi secara berulang-ulang untuk menemukan gambaran totalitas maknanya; (b) menafsirkan dan menyimpulkan judul puisi, kata-kata, baris atau kalimat di dalamnya; (c) menafsirkan hubungan makna antara baris yang satu dengan baris yang lain untuk memahami satuan makna yang terdapat dalam sekelompok baris atau bait dalam puisi; (d) mengidentifikasi unsur sosial kehidupan yang dikemukakan penyair; (e) mengidentifikasi sikap penyair terhadapnya. Apresiasi tentang unsur kehidupan sosial dalam suatu puisi juga dapat berorientasi pada
kehidupan seseorang sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Hal itu tampak bila penelaah mengapresiasi suatu puisi lewat pendekatan sosiologis yang sasarannya pada puisipuisi yang mengandung pokok pikiran tentang kehidupan seseorang sejalan dengan pandangan hidupnya, profesinya, jenis kelamin, perilaku kehidupannya, dan lain-lain. Salah satu puisi yang dapat dijadikan objek apresiasi lewat pendekatan sosiologis yang tujuan akhirnya untuk memahami karakteristik seseorang sebagai bagian dari kelompok masyarakat.
b.
Sikap Penyair terhadap Corak Kehidupan Sosial
Pada paparan di muka, telah diberikan juga sedikit uraian tentang sikap seorang penyair terhadap corak kehidupan sosial tempat ia berada. Sikap tersebut mungkin berupa sikap keikhlasan, masa bodoh, tidak setuju serta berbagai macam sikap lainnya sesuai dengan kompleksitas pikiran penyair itu sendiri. Cara menentukan sikap penyair pada dasarnya tidak berbeda dengan cara memehami dan menemukan gagasan penyair sehubungan dengan corak kehidupan sosial masyarakat. Satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa dengan memahami sikap penyair sekaligus dapat memahami dua masalah. Pertama, dapat memahami masalah yang berhubungan dengan karakteristik atau corak kehidupan suatu masyarakat. Kedua, dapat memahami bagaimana karakteristik penyair sebagai bagian dari masyarakatnya. Bila dikaitkan dengan sejumlah ragam cara pemaknaan seperi yang telah dijelaskan di depan, pemaknaan lewat pendekatan sosiologis pada dasarnya adalah pemaknaan yang telah ditautkan dengan unsur eksternal puisi, tetapi secara kongruen memiliki mata rantai dengan puisi itu sendiri. Pemaknaan puisi lewat analisis unsur sosiologis, pada akhirnya juga dapat membuktikan bahwa pemaknaan secara ekstrinsik memang akan memperkaya perolehan makna secara struktural. Hal itu dapat digambarkan lewat gambar bagan berikut ini.
Bagan 1. Hubungan Kehidupan Sosial, Penyair, dan Puisi
Lewat puisi yang hadir tersebut, memang sangat mungkin penelaah hanya melaksanakan pemaknaan lewat analisis struktural. Akan tetapi, bila keping struktural itu dikaitkan dengan latar sosial budaya maupun pengarang, keping tersebut menjadi semakin luas dan kaya sehingga diperoleh gambar bagan sebagai berikut.
Bagan 2. Hubungan Struktur Batin, Unsur Sosial Budaya, dan Sikap Penyair
Bertolak dari keseluruhan uraian di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa (1) terdapat hubungan yang sangat erat antara kehidupan sosial masyarakat dengan gagasan yang dituangkan penyair dalam puisi yang diciptakannya, (2) masalah kehidupan sosial yang dituangkan penyair dalam puisinya dapat beraneka ragam, mungkin masalah yang berhubungan dengan kelompok, manusia pada umumnya, maupun manusia sebagai individu, dan (3) sehubungan dengan corak kehidupan sosial masyarakat itu, penyair akan menunjukkan adanya sikap-sikap tertentu, mungkin rasa ikhlas, rasa bersalah, rasa bimbang, masa bodoh, dan berbagai macam sikap lainnya.
c. Hubungan antara Sikap Penyair dengan Gagasan tentang Corak Kehidupan Sosial dalam Suatu Puisi Seperti halnya dalam hubungan antara gagasan dalam puisi dengan peristiwa kesejarahan, dengan kehidupan sosial masyarakat, puisi juga memiliki hubungan timbal balik. Yang dimaksud dengan hubungan timbal balik itu adalah penyair dapat mengangkat kehidupan sosial masyarakat sebagai bahan penciptaan, dan puisi yang diciptakan mampu menggambarkan kembali kehidupan sosial masyarakat itu kepada masyarakat pembaca, serta memberikan sikap atau penilaian terhadapnya. Paparan di atas sesuai dengan pengertian pendekatan sosiologis dalam mengapresiasi puisi. Hal ini terjadi karena pendekatan sosiologis adalah suatu pendekatan yang (1) berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial masyarakat, baik secara individual maupun kelompok yang mempengaruhi terwujudnya suatu gagasan dalam puisi, (2) terwujudnya gagasan tentang kehidupan sosial masyarakat, baik secara individual maupun kelompok dalam suatu puisi, dan (3) memahami sikap pengarang terhadap kehidupan sosial masyarakat yang dipaparkannya. Menurut Susan Harrow (2002:824) dikatakan bahwa adanya saling pengaruh antara kehidupan sosial masyarakat dengan terwujudnya gagasan dalam suatu puisi itu sesuai dengan realitas keberadaan penyair itu sendiri. Sebagai manusia, penyair adalah anggota suatu kelompok kehidupan sosial masyarakat. Ia ditempa, dipengaruhi oleh kehidupan sosial masyarakat yang menjadi lingkungan kehidupannya. Akan tetapi, sebagai individu, penyair
juga mampu menampilkan sikap, penilaian terhadap suatu corak kehidupan sosial masyarakatnya.
d.
Pemahaman Nilai Kehidupan dalam Puisi Puisi adalah keindahan dan kehikmatan. Puisi mampu memberikan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Puisi juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka membentuk pandangan hidupnya. Hal itu mungkin saja terjadi karena pada awal pertumbuhannya, puisi sangat erar hubungannya dengan filsafat dan agama. Bahkan bagi yang beragama Islam, tentunya telah memaklumi bahwa Kitab Suci Al-Quran teruntai dalam rangkaian puisi yang indah. Begitu juga renungan para pujangga Jawa, umumnya juga disusun dalam bentuk tembang. Unsur kehikmatan yang bermanfaat dalam mengembangkan filsafat hidup pembaca dapat meliputi berbagai masalah yang sangat kompleks. Sejalan dengan hal itu diungkapkan oleh Aminuddin (1987:197) bahwa kompleksitas itu terjadi karena, sebagai suatu kreasi seni, puisi dapat mengangkat bahan penciptaanya dari kompleksitas masalah dalam kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada dan mungkin ada. Oleh sebab itu, puisi pada dasarnya juga mampu menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang masalah hakikat kehidupan, manusia, kematian, dan ketuhanan. Dari uraian di atas dapat dipahami puisi akan mengandung masalah yang berhubungan dengan masalah (1) kehidupan, (2) kemanusiaan, (3) kematian, dan (4) ketuhanan. Pemahaman pada keempat masalah itu pastilah akan memperkaya wawasan hidup seseorang dengan kata lain, keempat masalah tersebut juga merupakan butir-butir yang memiliki nilai pendidikan yang bermanfaat bagi pembacanya. Oleh sebab itu, pendekatan dalam mengapresiasi puisi yang berusaha memahami nilai-nilai kehidupan di dalamnya juga diistilahkan dengan pendekatan didaktis, yaitu pendekatan yang bersandar pada nilai-nilai pendidikan yang meliputi hubungan manusia
dengan masalah(1) kehidupan, (2) kemanusiaan, (3) kematian, dan (4) ketuhanan. Yang perlu diperhatikan sekarang adalah, dalam menerapkan pendekatan didaktis puisi diperlukan tahap kegiatan tertentu, yang berbeda dengan tahap kegiatan saat menerapkan pendekatan didaktis dalam mengapresiasi karya fiksi meskipun secara umum memiliki strategi yang sama. Tahapan kegiatan yang ditempuh pembaca dalam menerapkan pendekatan didaktis itu adalah (1) pembaca berusaha memahami pokok pikiran yang diungkapkan oleh penyairnya serta berusaha mengidentifikasinya, apakah pokok pikiran itu berhubungan dengan masalah hakikat manusia dan kemanusiaan, kehidupan, kematian, ataukah ketuhanan, (2) berusaha memahami sikap penyairnya, dan (3) berusaha menafsirkan dan merenungkan nilai-nilai didaktis yang terdapat di dalamnya. Dengan menggunakan pendekatan semantik lewat analisis komponen atau lewat projection rules ‘aturan proyeksi’ model Katz & Fodor (dalam Aminuddin, 1987: 200) menggabungkannya dengan pendekatan parafrastis, pada dasarnya dapat juga ditemukan (1) gambaran makna kata-kata kunci, (2) gambaran hubungan makna kata yang satu dengan lainnya, (3) gambaran makna baris, (4) kemungkinan satuan-satuan makna, dan (5) pokokpokok pikiran yang terkandung dalam puisi. Upaya penggalian nilai-nilai pendidikan lewat pokok pikiran di atas akan berhubungan dengan berbagai macam kemungkinan pengembangan yang sangat luas. Agar tidak terlalu luas, peneliti, seperti halnya saat menentukan gagasan atau tema puisi, sebaiknya juga mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan yang disimpulkan itu, yaitu adanya keterkaitan nilai-nilai pendidikan yang berhubungan dengan (1) manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan kematian, maupun (5) manusia dengan ketuhanan. Sejalan
dengan
kegiatan
belajar-mengajar
di
sekolah,
guru
sebaiknya
menghubungkan nilai-nilai pendidikan yang digalinya dengan butir nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Misalnya, dari pokok pikiran nomor satu dapat disarikan butir nilai kehidupan yang berhubungan dengan sila Kemanusiaan yanga dil dan beradab yang berbunyi, “Setiap manusia pada akhirnya akan mati tanpa ada kecuali. Karena manusia memiliki kodrat akhir yang sama, dalam hidupnya pun mereka juga harus menikmati hak hidup yang sama. Mereka harus bersikap adil dan saling menolong antar sesama.” Bahwa manusia hanya semacam budak dari Tuhan, pokok pikiran itu dapat dihubungkan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bila pokok pikiran itu dihubungkan dengan sifat tersebut dapat diangkat butir nilai yang berbunyi, “Manusia itu hanyalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Hidup dan matinya semata-mata di bawah kekuasan Tuhan. Oleh sebab itu, dalam hidupnya manusia juga harus mengabdikan dirinya kehadirat Tuhan”. Beberapa rumusan yang mengandung nilai kependidikan di atas sebenarnya masih dapat dikembangkan ke dalam berbagai rumusan lain yang lebih beragam. Hal itu tentu saja akhirnya sangat ditentukan oleh daya tafsir pembaca dalam menyimpulkan berbagai kemungkinan nilai didaktis yang terkandung dalam setiap satuan pokok pikiran yang ada. Sementara keberadaan serta kekayaan nilai pendidikan dalam puisi, pada sisi lain juga sangat ditentukan oleh ragam atau jenis puisi itu sendiri. Sejalan dengan penelitian ini, antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri berjenis puisi deskriptif dan metafisikal. Larik-larik dan bait-bait puisi di dalamnya merefleksikan nada atau sikap penyair tentang nilai-nilai kehidupan, khususnya nilai religius dan nilai pendidikan.
10.
Hakikat Nilai Pada hakikatnya yang dimaksud dengan nilai adalah sifat-sifat, hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Dengan kata lain, nilai adalah aturan yang menentukan sesuatu
benda atau perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari yang lain (Atar Semi, 1988: 54). Lebih lanjut Atar Semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah bagaimana usaha untuk menentukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak. Sebagaimana dikatakan oleh Max Scheler (2001: 115) bahwa nilai itu tidak berubah, nilai itu mutlak. Nilai tidak dikondisikan oleh perbuatan. Tanpa memperhatikan hakikatnya, nilai itu bersifat historis, sosial, biologis atau murni individual. Nilai merupakan suatu yang abstrak, tetapi secara fungsional mempunyai ciri mampu membedakan antara yang satu dengan lainnya. Suatu nilai jika dihayati oleh seseorang, maka nilai-nilai tersebut akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya (Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 1991: 69). Nilai adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan, kemaslahatan, dan keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi, serta selalau dikejar oleh manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai, manusia dapat merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah. Nilai mencakup beberapa komponen seperti yang dikemukakan oleh Kaswardi (1993:4), yaitu memilih (segi kognitif), menghargai (segi afektif), dan bertindak (segi psikomotorik), sedangkan Bertens (1997:141) mengungkapkan pendapatnya tentang nilai yang sekurangkurangnya mempunyai tiga ciri yaitu: (a) nilai berkaitan dengan subjek, artinya kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak akan ada nilai; (b) nilai tampil dalam konteks praktis, dimana subjek ingin membuat sesuatu. Artinya dalam yang semata-mata teoritis tidak akan ada nilai; (c) nilai menyangkut sifat-sifat yang dimiliki oleh objek. Artinya objek yang sama bagi berbagai subjek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda.
Masih berbicara tentang nilai, Kattsoff dalam Soejono Soemargono (1986: 332) menyatakan nilai mempunyai empat arti yaitu: (a) mengandung nilai artinya berguna; (b)
merupakan nilai artinya, ‘baik’ atau ‘benar’ atau ‘indah’; (c) mempunyai nilai artinya merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang menyebabkan orang mengambil ‘sikap menyetujui’ atau mempunyai sifat nilai tertentu; (d) dmmberi nilai artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.
Suatu nilai jika dihayati seseorang akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal ini sesaui dengan pendapat Bloom dalam Soelaeman (1988:44) yang mengatakan bahwa masalah nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya bergerak di bidang psikomotor dan kognitif, akan tetapi juga untuk perwujudannya dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab harus sampai menjangkau bidang afektif. Sementara itu menurut S. Wisni Septiarti (2006: 59) dikatakan bahwa nilai secara garis besar ada dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai nurani lebih banyak mengarah pada perilaku sert tata cara memperlakukan orang lain. Sedangkan nilai memberi adalah nilai yang diemplementasikan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Nilai-nilai tersebut dapat dijabarkan lagi menjadi : (1) nilai materi yang mencakup kebutuhan pangan, sandang, dan papan; (2) nilai sosial mencakup kebutuhan hidup bersama antarsesama yang meliputi kasih sayang, kepercayaan, kehangatan, kemesraan dan sebagainya; (3) nilai moral yang meliputi kejujuran dan tanggung jawab atas kehidupan pribadi; (4) nilai estetika menyangkut keindahan dan rasa seni; (5) nilai spiritual yang menyangkut kebutuhan manusia akan kesempurnaan dan kelengkapan dirinya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan segala sesuatu tentang baik buruk yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal penting dan berguna bagi kemanusiaan. Dengan nilai, manusia dapat merasakan kepuasaan, baik kepuasaan lahiriah maupun batiniah. a.
Nilai Religius dalam Sastra
Dikatakan oleh Y. B. Mangunwijaya (1982: 11), bahwa religius lebih banyak memandang pada aspek yang ada di dalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa. Religius mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman diri pribadi manusia. Sementara itu oleh Rabendranath Tagore (2002:163) dikatakan bahwa religius lebih banyak bergerak dalam tata cara yang cirinya lebih intim, seperti ekspresi seseorang dalam baktinya pada Tuhan, mengatupkan mata selalku konsentrasi diri pasrah dan siap mendengarkan sabda Ilahi dalam hati. Religius tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis dan konseptualisasi. Religius adalah hasrat untuk hidup dalam karunia Tuhan, hasrat untuk hidup dalam duni yang nyata dan berdaya, dan tidak di dalam suatu dunia khayalan yang cuma terkurung di dalam kejadiankejadian subjektif suatu kenisbian yang tiada henti (Y. B. Mangunwijaya, 1982: 16). Dikatakan oleh Y. B. Mangunwijaya (1982: 11) pada awal mula sastra adalah religius. Artinya, akar utama sebuah cipta sastra adalah sebuah pengalaman religius pengarang akan kekaguman dirinya terhadap sang Khaliq dan ciptaan-Nya. Dalam banyak karya sastra (puisi, prosa, dan drama) yang mengutarakan rasa kekaguman manusia (pengarang atau penyair) terhadap diri sendiri, lingkungan, bahkan kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Disengaja maupun tidak, pengarang atau penyair dalam karyanya yang paling ekstrem sekalipun akan dapat ditarik benang merah keberadan nilai religious di dalamnya, misalnya novel Atheis karya Akhdiat K. Mihardja. Apalagi dalam karya puisi-puisi sunyinya Emha Ainun Nadjib, A. Mustofa Bisri, Hamid Jabbar, D. Zawawi Imron, Afrisal Malna, dan lain-lain. Jelas, akan menampak aspek atau nilai religius di dalamnya.
Menurut William James (1958:261) dikatakan bahwa manusia awam dan pemikir bersepakat bahwa hakikat manusia – lebih-lebih makrifat manusia – tetaplah makhluk ruhaniah kendati senantiasa mengada bersama badan. Pada saat bersamaan, badan menjadi menifestasi ruhani sekaligus ruhani menjadi spiritualisasi badan. Badan tanpa ruhani bukanlah manusia pada satu sisi dan pada sisi lain ruhani tanpa badan juga bukan manusia. Karena itu, manusia adalah makhluk ruhaniah yang membadan atau meraga. Sebagai makhluk ruhaniah, dengan berbagai sudut pandang dan cara pandang, dia senantiasa memiliki kecenderungan untuk selalu pulang kembali kepada hakikat-makrifatnya; berjumpa dan atau bersatu dengan hakikat terdalamnya sebagai makhluk ruhaniah. Untuk itu, manusia memiliki tabiat untuk selalu melakukan olah keruhanian, baik secara melembaga maupun secara pribadi. Keruhanian telah menjadi salah satu ciri keberadaan manusia di dunia; dalam arti setiap manusia hidup di dunia selalu melakukan olah keruhanian dengan takaran masing-masing manusia berbeda; dengan jalan masingmasing yang bisa berbeda atau mirip. Tak ada manusia yang tak melakukan olah keruhanian. Tanpa olah keruhanian, manusia bakal kehilangan eksistensinya sebagai makhluk ruhaniah. Maka, olah keruhanian menjadi menifestasi keberadaan manusia. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, spiritualitas dan religiositas merupakan dua nama atau sebutan paling umum untuk olah keruhanian dan jalan keruhanian. Meskipun sudah sangat dikenal, Kamus Besar Bahasa Indonesia susuna Pusat Bahasa memang belum menjelaskan secara gamblang perbedaan istilah spiritualitas dan religiositas; hanya menjelaskan istilah spiritual sebagai kejiwaan, ruhani, batin, mental, atau moral sedang istilah religius sebagai taat pada agama atau saleh. Ini menunjukkan, makna spiritualitas lebih luas daripada makna religiositas kendati sama-sama merujuk olah keruhanian dan atau jalan keruhanian. Pada umumnya spiritualitas dipahami sebagai olah keruhanian dan jalan keruhanian yang terikat atau bertumpu-bersandar pada agama dan kepercayaan-kebatinan tertentu,
sedangkan religiositas dipahami sebagai olah keruhanian dan jalan keruhanian yang terikatbersandarkan agama tertentu. Namun, terlepas dari persoalan semantis ini, yang jelas, baik spiritualitas maupun religiositas selalu berkenaan dengan kebertautan-keterikatan atau kebertemuan-keberjumpaan manusia dengan Sesuatu nan Agung. Kendati bukanlah ajaran baku-resmi spiritualitas atau religiositas, teks-teks literernaratif-kreatif Indonesia – baik berupa puisi, cerpen maupun novel – terbukti kerap menjadi arena atau gelanggang menggelar ajaran dan membabar pengalaman spiritual (sufisme) atau religius yang memesona tiada termaknai. Sastrawan-sastrawan Indonesia acapkali mengeksposisikan berbagai persoalan sufisme dan atau religius dalam teks-teks naratifkreatif yang mereka gubah. Tak ayal, teks-teks puisi maupun naratif-kreatif karya mereka menggemakan suara-suara spiritual, sufistis, dan atau religius.
Simpulan yang dapat diuraikan terkait dengan penelitian ini, bahwa nilai religius dapat dibatasi pada religius sebagai pengalaman batin dan kesadaran seseorang untuk selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Perwujudannya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan Sang Pencipta dalam pemikiran dan perbuatan. Sealanjutnya akan terurai dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial. Dalam karya sastra (khusunya puisi), hal tersebut akan disampiakan penyair dalam lahiriah bahasa puisi.
b. Nilai Pendidikan dalam Sastra Nilai pendidikan adalah suatu gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan sosial. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan artistik, filofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan ruhaniah pembaca. Nilai pendidikan pada dasarnya juga merupakan suatu nilai yang telah beranjak jauh dari pesan tersurat yang terdapat dalam suatu cipta sastra (Aminuddin, 1987: 47-49). Sebab
itulah penerapan pendekatan didaktis dalam apresiasi sastra akan menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa maupun sikap yang mapan dari pembacanya. Bagi pembaca pada umumnya, pemahaman terhadap nilai pendidikan dalam tingkatan dalam pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kematangannya akan terasa lebih banyak mengasyikkan. Hal itu terjadi karena pembaca pada umumnya berusaha mencari petunjuk bahwa keteladanan lewat teks yang dibaca. Akan tetapi, pada sisi lain sikap itu juga berkontras dengan sikap tidak senangnya jika harus menerima pesan, petuah atau nasihat dari orang lain yang bernada menggurui. Oleh sebab itulah, dengan menemukan nilai-nilai pendidikan lewat daya pikir kritisnya sendiri, nilai yang didapat akan lebih mengendap pada aspek kejiwaannya serta lebih menikmatkan batinnya. Dalam pelaksanaannya, pemahaman terhadap nilai pendidikan ini diawali dengan upaya pemahaman gagasan atau tema yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Gagasan atau tema itu pada dasarnya disarikan dari paparan sikap atau pandangan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskripsi peristiwa dari pengarang atau penyairnya (Aminuddin, 1987: 47-49). Selanjutnya, terkait dengan hal itu, diungkapkan pula oleh Aminuddin (1987:197) bahwa sebagai suatu kreasi seni penyair, puisi dapat mengangkat bahan penciptaanya dari kompleksitas masalah dalam kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada dan mungkin ada. Oleh sebab itu, puisi pada dasarnya juga mampu menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang masalah hakikat kehidupan, manusia, kematian, dan ketuhanan. Jadi, pemahaman nilai pendidikan, jika dirangkaikan dengan pemahaman terhadap nilai-nilai lain (misalnya: nilai religius) menjadi satu-kesatuan pemahaman yang saling melengkapai satu dengan yang lain, sehingga jika digunakan dalam apresiasi sastra (puisi) akan mendapat hasil pemahaman yang seimbang. Akan tetapi, pemahaman terhadap kedua nilai tersebut, membutuhkan kepekaan yang maksimal bagi pembaca sastra (puisi) untuk
mengetahui pesan yang ingin disampaikan penyair dalam puisi-puisinya. Simpulan yang dapat diuraikan terkait dengan penelitian ini, bahwa nilai-nilai pendidikan dalam puisi dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok yang berpengaruh di dalamnya, yakni berusaha memahami nilai-nilai kehidupan di dalamnya juga diistilahkan dengan pendekatan didaktis, yaitu pendekatan yang bersandar pada nilai-nilai pendidikan yang meliputi hubungan manusia dengan masalah(1) kehidupan, (2) kemanusiaan, (3) kematian, dan (4) ketuhanan.
B. Penelitian yang Relevan Sebagai bahan tinjauan terhadap hasil penelitian sejenis yang pernah dilakukan, maka penulis mengambil dua hasil penelitian yang relevan. Adapun hasil-hasil serta aspek-aspek khusus terhadap penelitian yang pernah dilakukan dan sekaligus persamaan dan perbedaannya dengan penelitian ini, sebagaimana penjelasan berikut. Pertama, penelitian yang telah dilakukan oleh Panji Kuncoro Hadi (2009) berjudul ”Kritik Sosial dalam Antologi Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra)”. Penelitian tersebut dapat diungkap keberadaan prespektif sosiologis kritik sosial Wiji Thukul yang berdasarkan dua aspek, yaitu aspek (1) protes sosial dan (2) realisme sosial. Menurut hasil penelitian, kritik sosial Wiji Thukul didasarkan dua aspek tersebut. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa penyair menjadikan puisi sebagai media kritik sosial, sehingga dengan penuh kesadaran penyair melakukan kritik terhadap kondisi sosial yang terjadi. Sedangkan realisme sosial lebih merupakan catatan harian penyair tentang kehidupan sehari-harinya secara apa adanya. Persamaannya dengan penelitian ini dapat dilihat dari tujuan penelitiannya, yakni mengkaji dimensi kritik sosial terhadap antologi puisi dengan pendekatan sosiologi sastra. Perbedaannya terletak pada data penelitian. Data penelitian tersebut di atas, berupa antologi puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul. Sedangkan data penelitian ini, berupa antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
karya A. Mustofa Bisri. Selain itu, dalam penelitian ini, penulis tidak hanya melakukan kajian pada dimensi kritik sosial saja, tetapi juga kajian pada nilai religius dan nilai pendidikan. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Elis Hidayati (2006) berjudul ”Masalah Pendidikan dalam Potret Pembangunan dalam Puisi Karya W. S. Rendra”. Penelitian tersebut dapat diungkap bahwa W. S. Rendra dalam antologi puisi yang berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi mampu merespon situasi lingkungan dan sosialnya secara baik, sehingga karya-karyanya dalam antologi puisi tersebut mencapai ekspresi yang padu dengan realita. W. S. Rendra berhasil menulis catatan hitam tentang dunia pendidikan (di Indonesia). Persamaan dengan penelitian ini terletak pada kajian terhadap nilai pendidikan terhadap antologi puisi dalam prespektif sosiologi sastra. Perbedaannya, data penelitian tersebut di atas, berupa antologi puisi Potret Pembangunan dalam Puisi Karya W. S. Rendra. Sedangkan penelitian ini, data penelitiannya berupa antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Selain itu, dalam penelitian ini, penulis tidak hanya menitikberatkan kajian pada nilai pendidikan saja, tetapi juga kajian pada dimensi kritik sosial dan nilai religius.
C. Kerangka Berpikir Secara sederhana kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut.
Bagan 3. Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar bagan di atas dapat dideskripsikan, bahwa pemaknaan puisi tidak hanya didasarkan pada unsur internal puisi saja, yakni struktur lahir (metode puisi) dan struktur batin (hakikat puisi). Akan tetapi, perlu adanya beberapa aspek yang dapat dijadikan bahan pijakan pembaca (penelaah), yakni pengetahuan dan pemahaman terhadap sosiologi sastra dan penyair (meliputi: kehidupan dan pengalaman batin, sikap terhadap kehidupan, dan pemahaman terhadap nilai religius dan nilai pendidikan) yang melatari keberadaan puisi. Dengan demikian, penelitian terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri menggunakan kerangka berpikir yang tidak hanya didasarkan pada struktur lahir dan struktur batin saja, melainkan dengan mensinergikan beberapa aspek yang koheren dengan wujud puisi, yakni pengetahuan dan pemahaman penulis tentang soisologi sastra dan penyair (meliputi: kehidupan dan pengalaman batin, sikap terhadap kehidupan, dan pemahaman terhadap nilai religius dan nilai pendidikan) yang melatari keberadaan puisi. Sebagaimana tujuan penelitian ini, yakni untuk mendeskripsikan dan menjelaskan dimensi kritik sosial, nilai religius, dan nilai pendidikan dalam prespektif sosiologi sastra terhadap
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian Peneliatian ini akan dilaksanakan mulai bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2010 dengan jadwal kegiatan sebagai berikut.
No
Alokasi Waktu
Kegiatan
1.
Januari – Februari 2010
Pengajuan proposal dan perizinan
2.
Februari - Maret 2010
Pengumpulan data
3.
Maret - Mei 2010
Reduksi dan analisis data
4.
Mei - Juni 2010
Penyusunan laporan penelitian
B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong (2004: 4) metode kualitatif-deskriptif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pada pengertian lain disebutkan oleh Lexy J. Moleong (2004: 6) bahwa penelitian kualitatifdeskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, presepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
C. Data Penelitian Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis. Data-data tersebut adalah (1) data objektif dan (3) data afektif. Data objektif bersumber pada karya antologi puisi itu sendiri. Data objektif ini berupa tekstual dari antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa
Bisri. Data afektif diperoleh dari dari tanggapan/reaksi penulis (penelaah) terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Data ini dihimpun secara maksimal guna memperoleh data yang lebih maksimal, dengan menggunakan berbagai pertimbangan pemikiran. Utamanya dimensi kritik sosial, nilai religius, dan nilai pendidikan dalam prespektif sosiologi sastra. Selain itu, digunakan pula pertimbangan kedudukan dan keberadaan penyair (A. Mustofa Bisri) dalam kehidupan sosial dan pengalaman batin serta sikap penyair terhadap kehidupan yang melatari penciptaan antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus.
D. Sumber Data Puisi-puisi yang menjadi sampel dalam penelitian ini berperan sebagai sumber data primer, data primer atau data utama ini diharapkan dapat mewakili objek penelitian terhadap analisis teks puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Sehubungan dengan pengertian data di atas, data primer dalam penelitian ini adalah data kebahasaan dan data aspek-aspek lainnya sebagai pendamping kebahasaan yang muncul, meliputi sosiologi sastra, nilai religius, dan nilai pendidikan yang bersifat koheren dengan teks puisi.
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) analisis dokumen dan (2) wawancara. Masing-masing akan dijelaskan dalam uraian berikut. Pertama, analisis dokumen atau kajian isi menurut Weber dalam Lexy J. Moleong (2004:220) adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Sementara itu dikatakan oleh Yin dalam H. B. Sutopo (2002: 69-70) bahwa analisis dokumen oleh peneliti bukan sekadar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat. Oleh karena itu, peneliti harus bersikap kritis dan teliti.
Kedua, wawancara ialah teknik yang secara sistematis mendapatkan informasi, data, pandangan seseorang, yang disampaiakan informan secara lisan menyangkut satu masalah sesuai dengan pokok penelitian, yang dicatat atau direkam, dan lebih lanjut dianalisis dan diinterpretasi (Suwardi Endraswara, 2003: 33). Selanjutnya menurut Sudaryanto (1988: 36) wawancara adalah percakapan yang mendorong diperoleh jawaban verbal atas pertanyaan verbal yang diajukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pertukaran atas pertanyaan verbal tidak selalu dengan tatap muka, tetapi dapat dilakukan melalui telepon. Dengan demikian, wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data di mana peneliti dan informasi terlibat percakapan atau bertanya jawab secara lisan, baik melalui tatap muka maupun melalui telepon dan email.
F. Teknik Analisis Data Klaus Krippendroff (1993: v) pada pengantar bukunya Analisis Isi (content analysis) mengatakan bahwa secara potensial, analisis isi merupakan salah satu penelitian yang paling penting dalam ilmu-ilmu sosial. Penelitian dengan teknik analisis isi ini berusaha memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi juga sebagai gejala simbolik dan mendekati analisisnya dengan rendah hati. Dalam penelitian ini, teknik analisis isi (content analysis) ini digunakan karena berbagai alasan berikut: (a) data penelitian ini bersumber pada dokumen,; (b) data yang ada berupa simbolsimbol kebahasaan sehingga dapat dikaji dengan content analysis; dan (c) tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan data yang kompleks dan banyak jumlahnya sehingga perlu dikaji dengan content analysis. Sedangkan kerja analisis isi ini memiliki konsep dasar sebagai berikut: (a) konteks data, yaitu antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri; (b) data hasil wawancara dengan penyair, sebagaimana yang dikomunikasikan kepada penulis; (c) bagaimana pengetahuan penulis membatasi realitasnya; dan (d) target analisis.
G. Validasi Data Validasi data dalam penelitian ini menggunakan validitas trianggulasi teori. Pada dasarnya trianggulasi merupakan teknik yang didasari oleh pola pikir fenomenologi yang bersifat multiprespektif. Artinya, untuk menarik kesimpulan yang dapat dipercaya (valid), diperlukan tidak hanya satu sudut pandang penulis saja (H. B. Sutopo, 2002: 92). Sedangakan teknik trianggulasi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (a) trianggulasi sumber data, yaitu penelitian ini dapat menggunakan beragam sumber data yang koheren (baik tulisan berupa sastra maupun esai) dari penyair juga pendapat dan pemikiran dari para sastrawan, budayawan, dan juga rohaniwan tentang diri penyair, (b) trianggulasi metode, pengumpulan data yang sejenis dapat menggunakan teknik dan pendekatan yang berbeda-beda, dan (c) trianggulasi diskusi penulis dengan penyair terkait proses kreatif dan sikap terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Sebagaimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema, nilai religius, dan nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, dalam bab ini penulis memaparkan hasil analisis dan pembahasan terhadap tiga rumusan masalah tersebut. Pertama, analisis dan pembahasan tentang kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Kedua, analisis dan pembahasan tentang nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawn dan Tikus. Ketiga, analisis dan pembahasan tentang nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawn dan Tikus.
1.
Kritik Sosial dalam Hubungannya dengan Sikap Penyair dan Tema dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Dalam analisis dan pembahasan tentang kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, ada beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka berpikir dalam bab ini, guna mendapatkan hasil analisis dan pembahasan berupa sintesis dan interpretasi terhadap permasalahan tersebut. Kerangka berpikir tersebut, berupa deskripsi dan penjelasan tentang: (a) A. Mustofa Bisri dan karya-karyanya, (b) gambaran umum antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (c) tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (d) sikap penyair (A. Mustofa Bisri) dalam hubungannya dengan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (e) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (f) sintesis dan interpretasi.
Adapun uraian terhadap kerangka berpikir untuk mendapatkan hasil analisis dan pembahasan tentang kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah sebagai berikut.
a. Tentang A. Mustofa Bisri dan Karya-karyanya A. Mustofa Bisri adalah pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibin di rembang, Jawa Tengah. Ia salah seorang wakil ketua syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). A. Mustofa Bisri atau lebih akrab dengan panggilan Gus Mus termasuk penulis yang produktif. Ia menulis dan menerjemahkan beberapa buku tentang Islam. Ia juga seorang mubalig, pelukis, penulis cerita pendek, esais, dan seorang penyair. Kehadiran A. Mustofa Bisri dalam blantika sastra Indonesia memberikan angin segar, tidak saja bagi puisi Indonesia melainkan juga bagi masyarakat Indonesia secara umum. Karya-karyanya terutama puisi adalah suara kritis dari pedalaman pesantren, terdengar nyaring, keras, religius, namun juga jenaka. Di tahun 1980-an, kebanyakan puisi protes sosial bernada marah, seakan diucapkan dengan tangan mengepal dan mata ’mendelik’. A. Mustofa Bisri muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras namun dengan wajah tersenyum. Puisi-puisinya membuat kita geram namun juga tersenyum. Meskipun berupa senyum pahit. Sebagaimana yang disampaikan Jamal D. Rahman (2004:1) dalam pengantar redaksi majalah Kakilangit (sisipan majalah sastra Horison), sebagai berikut. Di tahun 1980-an, rezim Orde Baru berada pada puncak kekuasaan otoriternya. Tidak mudah menyampaikan suara kritis apalagi ditujukan kepada pemerintah waktu itu. Suara kritis pasti ditindas bahkan dilibas. Dalam situasi itu, ada dua cara yang dilakukan orang untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Pertama, melakukan kritik keras dan lugas dengan resiko dilarang aparat keamanan untuk tampil di mana-mana. Kedua, melakukan kritik secara jenaka, terutama dengan cara menertawakan diri sendiri. Puisipuisi Mustofa Bisri adalah suara kritis dengan cara kedua. Selanjutnya dikatakan oleh Labibah Zain dan Lathiful Khuluq (2009:v) dalam pengantar editor buku Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu, sebagai berikut.
Gus Mus bagi kami adalah sosok magnetis yang bisa menarik siapa pun untuk memperhatikannya tanpa beliau harus bersusah payah menarik perhatian itu sendiri. Kata-kata beliau baik yang berupa perkataan sehari-hari, puisi, cerpen, maupun ceramah adalah embun. Tingkah laku beliau adalah bentuk bunga yang bisa dipetik bagi pembacanya. Puisi-puisinya tidak hanya memberikan kritik terhadap pemerintah. Puisipuisinya adalah suara kritis yang ditujukan kepada berbagai lapisan sosial, dari lapisan paling atas sampai lapisan paling bawah, dari lapisan paling dekat sampai lapisan paling jauh. Pendeknya, melalui puisi-puisinya ia mengkritik pemimpin dan rakyat, juga mengkritik orang lain dan diri sendiri. A. Mustofa Bisri adalah seorang ulama dan seorang penyair. Maka dia memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Pandangan dunianya adalah pandangan-dunia seorang ulama sekaligus seorang penyair. Sejalan dengan hal ini, dikatakan oleh Jamal D. Rahman (2004: 11), sebagai berikut. Seorang ulama memandang dunia dari sudut pandang agama; pandangan-dunianya merefleksikan kesadaran religiusnya. Sementara, seorang penyair memandang dunia dari intuisi kepenyairannya; pandangan-dunianya merefleksikan bangunan intuitifnya.Kedua sudut pandang tersebut akan bertemu dalam satu titik, baik ulama maupun penyair berbicara tentang hal-hal yang sangat pribadi dan personal, yang sepintas tak ada hubungannya dengan apa pun selain dirinya sendiri; pada saat yang bersamaan keduanaya berbicara masalah sosial. Pada tingkat praktis, seorang ulama secara teguh melakukan ibadah yang sangat personal dan individual, dan pada saat yang sama melakukan layanan sosial keagamaan; sejurus dengan itu, seorang penyair menulis puisi sunyi, pada saat yang sama menulis puisi yang sarat dengan muatan moral dan sosial. Selanjutnya dikatakan oleh Jamal D. Rahman (2004:12), sebagai berikut. “Saya tidak pernah membuat dikotomi ulama-penyair. Semisal A. Mustofa Bisri jelaslah, bahwa beliau adalah seorang ulama sekaligus seorang penyair. Keduanya, ulama dan penyair, dipilih semata-mata sebagai kategori dan strategi untuk membantu kita mendekati puisi-puisi A. Mustofa Bisri. Sudah tentu, kita bisa mendekati puisipuisinya melulu sebagai karya seorang penyair, tanpa mempedulikan sosok penulisnya sebagi seorang ulama. Namun, pendekatan seperti ini akan membuat puisinya tercerabut dari tanah kelahirannya, tanah yang bisa menjelaskan banyak hal tentang puisi-puisinya. Namun sebaliknya, mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang ulama, akan membuat kita meragukan kesungguhannya dalam mengeksplorasi bahasa.” Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa A. Mustofa Bisri atau Gus Mus adalah representasi dari seorang kiai yang mangku (memiliki) pesantren, juga sebagai budayawan,
sastrawan, perupa yang aktif menyuarakan kritik-kritik sosial lewat karya-karyanya, tak terkecuali lewat puisi-puisinya. Puisi-puisi Gus Mus tergolong puisi religius dan kental dengan kritik-kritik sosial. Adapun karya-karya A. Mustofa Bisri antara lain: Dasar-dasar Islam (terjemahan, penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H), Ensiklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa’aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, 1994), Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993), Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogyakarta, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humordan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan puisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Wekwekwek: Sajak-Sajak Bumi Langit (1996), Gandrung: Sajak-Sajak Cinta (Adiba, Surabaya, 2001), Negeri Daging (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002), Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali (terjemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996), Saleh ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995), Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997), Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997), Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan AlIbriz Rembang bersama Penerbit Al-Miftah Surabaya, Juli 1997), dan Lukisan Kaligrafi, Kumpulan Cerpen, (Kompas, 2003). Antologi puisi karya A. Mustofa Bisri yang sudah diterbitkan ada sembilan karya, yaitu: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, 1994), Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humordan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan puisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Wekwekwek: Sajak-Sajak Bumi Langit (1996), Gelap Berlapis-lapis
(Fatma Press, Jakrta, Tanpa tahun), Gandrung: Sajak-Sajak Cinta (Adiba, Surabaya, 2001), Negeri Daging (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002), dan Aku Manusia (MataAir Publishing, 2007, Surabaya). Melalui kearifan dalam menulis (puisi, cerpen, esai, dan terjemahan) yang hampir ratarata berisi pemikiran dan sikap tentang kesadaran hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam berbagai bidang kehidupan bagi semua orang dan setiap individu terlepas dari suku, agama, dan golongan manapun, maka tidak mengherankan jika pada tanggal 30 Mei 2009, A. Mustofa Bisri mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syihabuddin Qalyubi (2009:ix) Dekan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta dalam kata sambutan dalam buku Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu, sebagai berikut. Gus Mus, panggilan akrab KH. A. Mustofa Bisri, memang layak dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa karena jasa-jasa beliau yang masih terus berjalan dalam mengemban dan mengembangkan kebudayaan Islam. Melalui pidato, pena, dan lukisan, Gus Mus tak henti-hentinya menggugah, mendorong, mencerahkan, dan menyejukkan semua orang. Muslim, non-Muslim, kaya, non-kaya, muda, non-muda, gegap gempita menyambut karya-karya gemilang Gus Mus yang sering menggelitik, menghibur, sekaligus mencubit untuk mengingatkan sesama akan tugas luhur menata bangsa dan negara. Tanpa pamrih jabatan dan sapaan luhur, Gus Mus terus mengingatkan agar kita tetap berjalan dalam koridor etika ilahiah, moral surgawi. Puisi-puisi beliau yang nylekit tapi humoris mengingatkan kita agar berdakwah harus dengan jalan hasanah. Dalam tulisan ini, hanya dipilih dua dari sembilan karya antologi puisi dari A. Mustofa Bisri, yakni antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Dengan pertimbangan, adanya kecenderungan kesamaan tema dari karya antologi puisi karya A. Mustofa Bisri dan intensitas analisis oleh penulis.
b. Gambaran Umum Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Pertama, antologi puisi Tadarus adalah antologi puisi A. Mustofa Bisri yang kedua sesudah Ohoi. Inilah kelanjutan A. Mustofa Bisri dalam berpuisi. Seorang kyai yang
memimpin sebuah pondok pesantren, yang profesinya melakukan perjalanan, menatap, dan mempertimbangkan berbagai firman Tuhan dan sabda Nabi, tetapi dengan kesimpulan sudut pandang manusia sehari-hari. Sejalan dengan hal tersebut, disampaikan oleh Prof. Dr. Umar Kayam (1993:v) dalam pengantar antologi puisi Tadarus, sebagai berikut. Bila dalam perjalanannya sebagai kiai, A. Mustofa Bisri menempatkan pertimbangan dan kesimpulannya pada kedaifan manusia sehari-hari. Dalam perjalanannya sebagai kyai, ia menyerahkan diri secara total sembari berjalan dengan tafakur. Sedang perjalanannya sebagai penyair ia berjalan, mata hatinya menatap alam semesta dan puak manusia dengan ngungun, penuh pertanyaan dan ketakjuban. Hasilnya Tadarus inilah, perjalanan puisi yang unik. Dalam menatap alam semesta dan polah tingkah manusia, A. Mustofa Bisri mendengarkan firman Allah dan sabda Muhammad, yang sesungguhnya adalah puisi-puisi, kemudian ia merenunginya, mempertimbangkannya serta menyimpulkannya dalam puisi-puisi juga. Membaca lembar-lembar Tadarus adalah bersampan-sampan dalam sungai yang berkelok-kelok. Penuh dengan tikungan dan pemandangan yang mengasyikkan. Bahkan menggetarkan. Pendeknya, dalam Tadarus, A. Mustofa Bisri, sang kyai, sang penyair, sudah menggenggam kearifan dan keindahan kata-kata. Senada hal tersebut, dikatakan oleh Sutardji Calzoum Bachri terhadap antologi puisi Ohoi (1991), sebagai berikut. Gaya pengucapan A. Mustofa Bisri tidak berbunga-bunga . Ia bukan juru hias, bukan tukang kebun penjaga taman kata-kata. Ia memang tidak menyibukkan diri merapikan dan memangkas kata-kata dan menumbuhkan bunga-bunga puitika. Bahasanya langsung dan ’gamblang’. Namun tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. Ini disebabkan ada bernas yang ditampilkan dari ucapan puisinya. Ada kearifan, sehingga sebagai penyair ia bukan lagi hanya penjaga taman kata-kata. Akan tetapi, ia penjaga dan pendamba kearifan. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan beberapa jenis atau sifat puisi berdasarkan isinya. Dalam antologi puisi Tadarus banyak dijumpai puisi deskriptif dan metafisikal. Sifat puisi yang muncul tersebut dalam antologi puisi Tadarus, tidak lain adalah untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan sikap penyair tentang kritik terhadap kehidupan sosial dan juga terhadap diri penyair sekaligus kesadaran keagamaan penyair. Antologi puisi Tadarus di dalamnya ada lima puluh puisi yang terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri dari delapan belas puisi dan bagian kedua terdiri dari 32 puisi, yang masing-masing dianalisis untuk mendapatkan deskripsi dan penjelasan tentang kritik
sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam puisi. Dengan pertimbangan adanya kecenderungan kesamaan tema dari karya antologi puisi karya A. Mustofa Bisri dan intensitas analisis oleh penulis, maka ungkapan pikiran, perasaan, dan sikap penyair dalam antologi puisi Tadarus, dapat diuraikan pada beberapa tema atau gagasan berikut: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Kedua, antologi puisi Pahlawan dan Tikus adalah antologi puisi A. Mustofa Bisri yang keempat sesudah antologi puisi Rubaiyat Angin dan Rumput (1995). Keberadaan antologi puisi Pahlawan dan Tikus ini, mendapat sambutan dari beberapa sastrawan. Di antaranya oleh Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono dikatakan bahwa keunikan puisi A. Mustofa Bisri terletak pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Selanjutnya, Taufiq Ismail menyatakan bahwa rasa yang kuat dengan masalah sosial, keunggulan seorang yang saleh berilmu, kerendahan hati dan rasa humor berpadu dalam pribadi A. Mustofa Bisri yang membayang dalam puisi-puisiya. Sedangkan oleh Danarto dikatakan, bahwa lewat puisi A. Mustofa Bisri membuat ayat-ayat suci menjadi operasional bagi sepak terjang keadilan, kemakmuran, dan kebenaran. Tidak berbeda jauh dengan antologi puisi Tadarus, untuk antologi puisi Pahlawan dan Tikus banyak dijumpai pula puisi deskriptif dan metafisikal. Sifat puisi yang muncul tersebut dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, tidak lain juga untuk mengungkapkan sikap kritis penyair terhadap kehidupan dan diri sendiri (penyair) sekaligus kesadaran keagamaan penyair. Antologi puisi Pahlawan dan Tikus di dalamnya ada 56 puisi yang terbagi dalam enam bagian. Bagian pertama disebut ”puisi-puisi gelap” terdiri dari tujuh puisi, bagian kedua disebut ”puisi-puisi remang-remang” terdiri dari lima belas puisi, bagian ketiga disebut ”puisi-puisi agak terang” yang terdiri dari enam puisi, bagian keempat disebut ”puisi-puisi terang” yang terdiri dari dua puluh puisi, bagian kelima disebut ”puisi-puisi terang-terangan”
yang terdiri dari lima puisi, dan bagian keenam disebut ”puisi-puisi penerang” yang terdiri dari tiga puisi. Masing-masing juga akan ditelaah untuk mendapatkan deskripsi dan penjelasan adanya dimensi kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan tema dalam puisi. Dengan pertimbangan yang sama, yaitu adanya kecenderungan kesamaan tema dari karya antologi puisi karya A. Mustofa Bisri dan intensitas analisis oleh penulis, maka ungkapan pikiran, perasaan, dan sikap penyair dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, dapat diuraikan pada beberapa tema atau gagasan berikut: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Terkait dengan keberadaan tema atau gagasan tersebut di atas, selanjutnya dipaparkan hasil analisis dan pembahasan terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Oleh karena pembicaraan kali ini meliputi banyak puisi dari kedua antologi puisi tersebut, maka puisi yang memiliki tema yang kuat relevansinya dan kesejajarannya dengan keberadaan tema-tema di atas yang akan dianalisis dan dibahas dalam bagian berikut.
c. Tema-tema dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Tema menurut Herman J. Waluyo (2008: 124) merupakan gagasan pokok atau subjectmatter yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan, jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk memprotes ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta atau tema kedukaan hati karena
cinta. Selajutnya dikatakan oleh Herman J. Waluyo (2008: 125) bahwa dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema puisi bersifat lugas, obyektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat). Sejalan dengan hal tersebut, terkait dengan konsep-konsep tulisan karya A. Mustofa Bisri, diungkapkan oleh Mohamad Sobary (1997:viii) dalam pengantar buku Pesan Islam Sehari-hari: Ritus Dzikir dan Gempita Ummat, sebagai berikut. Apa yang ditulis A. Mustofa Bisri, baik esai, cerpen, bahkan puisinya adalah sebuah penilaian, sikap skeptis, perasaan gundah, bahkan kegemasan dan rasa muak melihat kecenderungan-kecenderungan kehidupan sosial- politik dan kebudayaan yang berkembang di sekitar kita. Dalam beberapa bentuk tulisannya tersebut, kita merasa diwakili. A. Mustofa Bisri menjadi wakil nurani kita yang bungkam, takut, dan cemas, atau bahkan yang sekedar tak tahu bagaimana seharusnya bersikap. Sebagaimana uraikan di atas, bahwa Antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, mengungkapkan beberapa tema atau gagasan penting yang sejalan dengan jenis atau sifat puisi yang ditampilkan. Secara umum tema atau gagasan yang diungkapkan oleh penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah kritik terhadap kehidupan sosial dan diri penyair serta kesadaran keagamaan penyair. Selanjutnya, sebagaimana uraian yang telah dikemukakan di atas, tema atau gagasan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus meliputi: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Adapun hasil analisis dan pembahasan terhadap masing-masing tema dalam antologi
puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah sebagai berikut. 1) Kritik terhadap Dekadensi Moral Kemanusian Kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan yang diungkapkan oleh penyair pada larik-larik dan bait-bait dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah ungkapan pikiran, perasaan, dan sikap kritis penyair terhadap semakin menipisnya nilai dan rasa kemanusiaan di antara sesama sekaligus penanaman kesadaran agar dalam pergaulan hidup harus tetap terbina rasa sayang, rasa cinta, dan saling mengasihi di antara sesama. Dalam antologi puisi Tadarus, penyair mengungkapkan kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, diantaranya pada puisi yang berjudul ”Membangun Rumah”, ”Dzikir 2”, ”Mantan Rakyat”, ”Bosnia Adalah”, dan ”Kubaca Berita”. Dalam puisi ”Membangun Rumah” penyair mengungkapkan sebuah gambaran kesenjangan hubungan kemanusiaan antara orang-orang kaya raya dengan orang yang dipandang miskin dan hina. Dengan mudahnya orang-orang kaya untuk melakukan apapun yang diinginkannya, termasuk dalam memandang remeh orang-orang yang dianggapnya miskin dan serba kekurangan. Di atas tanah rezki Allah (Cuma tiga hektar luasnya Pembantu-pembantuku berhasil membelinya Dari beberapa petani di pinggiran kota) Akan kubangun rumah sederhana Arsitek kenamaan kenalan istriku
…………………………………………………………….. Waktu kami akan berangkat ke hotel bersama-sama dan pembantu kami membuka pintu gapura beberapa tamu tak diundang menerobos masuk seenaknya Mereka bilang minta waktu sebentar saja Meski sangat terganggu kusuruh sekretarisku melayaninya
…………………………………………………….. Tak lama sekretaris melapor dengan tertawa
“Cuma panitia pengumpul dana,” katanya
“Entah untuk solidaritas Bosnia entah apa. Kukasi lima ribu saja meraka menghaturkan terimakasih tak terhingga dan mendoakan kesejahteraan kita”. Ayo berangkat, seru istriku, ada-ada saja! Iring-iringan pun bergerak. (Kulihat para tamu tak diundang itu tertunduk-tunduk syukur mengawasi kami Sementara pembantu kami terus mendorong mereka pergi). (Tadarus: 17 – 18)
Bait-bait puisi di atas menunjukkan kritik terhadap rasa kemanusiaan orang-orang kaya semakin tipis. Betapa nikmatya menjadi orang kaya segala apapun yang diinginkan, tidak ada yang tidak terwujud. Apapun yang akan dilakukan serba mewah dan sangat jauh dari kemampuan wajar orang-orang miskin. Mulai dari penguasaan hak kepemilikan tanah, kepemilikan rumah, dan keluar-masuk hotel mewah untuk segala urusan, sudah menjadi hal yang wajar dan lumrah. Di sisi lain, orang-orang kaya tersebut memandang dengan sebelah mata terhadap orang lain yang dianggap meraka tidak berpengaruh dan menguntungnya posisinya. Mereka cukup memberi penghargaan sekadarnya, tanpa harus berpusing diri memikirkan keadaan dan (apalagi) kebutuhan mereka. Orang-orang tersebut dianggap ‘tidak berguna dalam hidupnya’. Dalam puisi “Dzikir 2” penyair mengungkapkan kritik terhadap bagaimana dan dalam posisi apa umumnya manusia berdzikir. Dzikir dalam puisi ini bukan bermakna ‘mengingat Tuhan’ secara terus-menerus. Akan tetapi, dzikir dalam puisi ini bisa bermakna ‘pengambilan sikap’ atau ‘keputusan’ yang hampir sering dikerjakan. Baik mereka yang berkedudukan sebagai ulama, wakil rakyat maupun sebagai rakyat sendiri. Masing-masing punya sikap sesuai dengan posisi dan kedudukannya. Dzikir ulama-ulama adalah dzikir qahri mantap sekali harus harus harus
dzikir wakil rakyat adalah dzikir jahri penuh tenaga ya ya ya dzikir rakyat adalah dzikir khafi tanpa suara ah ah ah. (Tadarus: 20)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik terhadap moral sebagian manusia (Indonesia) yang posisinya sebagai ulama yang dekat dengan kekuasaan (para wakil rakyat). Sering terjadi, bahwa ulama yang dekat dengan kekuasaan dengan qahri (penuh keterpaksaan) dalam setiap membuat keputusan atau bahkan hukum. Sebab, dimungkinkan keputusan atau hukum itu berdasarkan ‘pesanan’ penguasa dan tidak berdasarkan hukum (negara dan agama) yang semestinya berlaku. Wakil rakyat dalam posisi ini merasa diuntungkan dengan keputusan ulama. Oleh karena itu, dengan suara jahru (keras dan lantang) mendukung keputusan atau hukum itu, guna memperkuat kedudukannya. Artinya, dengan perasaan bangga, mereka menyetujuinya. Sedangkan rakyat dengan khauf (penuh rasa takut) dan dalam posisi ketidakberdayaannya, hanya bisa pasrah dan menerima. Akhirya, merekalah (rakyat kecil) yang selalu dalam posisi dirugikan atas keputusan atau hukum itu. Dalam puisi berjudul “Mantan Rakyat” penyair mengungkapkan kritik terhadap para wakil rakyat (lembaga legislatif) dalam hal berhubungan dan berkomunikasi dengan rakyat. Sebagian besar rakyat di antaranya sudah memahami, bahwa komunikasi tersebut adalah konsumsi publik yang bertendensi ‘seola-olah’ pembelaan terhadap rakyat. Padahal hanya sebuah retorika saja untuk menarik simpati rakyat. Mantan rakyat bertemu rakyat Berbicara atas nama rakyat demi rakyat Dan rakyat pun saling bertanya Apakah dia pernah jadi rakyat? (Tadarus: 21)
Kutipan bait di atas, menunjukkan kritik terhadap moralitas para wakil rakyat, yaitu mereka yang duduk di lembaga terhormat (legislatif), sehingga mereka ini disebut mantan rakyat. Karena merasa wakil rakyat, mereka berbicara atas nama rakyat. Akan tetapi, dalam kenyataannya wakil rakyat tersebut tidak pernah memahami keinginan rakyat. Sehingga rakyat sanksi, pengatasnamaan siapa pembicaraan tersebut. Hal ini menunjukkan, bahwa yang dibicarakan para wakil rakyat bukan untuk kepentingan rakyat. Melainkan untuk kepentingan mereka sendiri mengatasnamakan rakyat. Dalam puisi “Kubaca Berita” penyair menyuguhkan beragam kritik terhadap keterbatasan manusia dalam menerima kehendak dan keputusan Tuhan. Baik berupa kematian yang datangnya tiba-tiba, keangkuhan atas jabatan dan kedudukan yang akan sirna tanpa dapat menolaknya, maupun kesombongan atas kekayaan, idiologi, dan pemikiran yang lenyap begitu saja akibat perbuatan manusia sendiri. Kubaca
berita tentang seorang putera yang diidam-idamkan orangtuanya menjadi Sarjana dan kebanggaan bangsa tiba-tiba mati di jalan raya menjelang diwisuda.
………………………………………………………………………… Kubaca
berita tentang seorang pemikir yang diandalkan para pengikutnya kerna kecemerlangan pikiran dan kekuatan pribadinya tiba-tiba ambruk tak berdaya ketika memberikan dan belum selesai memaparkan teori-teori pembaruannya.
Kubaca
berita tentang seorang superstar yang dielu-elukan para penggemarnya tiba-tiba terkulai digasak virus yang selama ini ia ikut memproduksi dan menyebarkannya ****
Kubaca
berita tentang kepala Negara yang diangkat seumur hidup oleh para wakil rakyatnya tiba-tiba anak-anaknya sendiri mencopot dan mencacimakinya.
Kubaca
berita tentang seorang maharaja yang sedang asyik dan belum selesai memuasi keperkasaan kekuasaannya
tiba-tiba terguling oleh tangan besinya sendiri yang selama ini digunakan menggencet rakyatnya. Kubaca
berita tentang seorang presiden yang digadang-gadang dan merasa mampu memimpin negaranya hingga akhir hayatnya tiba-tiba terbirit-birit diburu rakyatnya hingga tak sempat mati di tanah airnya sendiri.
…………………………………………………………………………… **** Kubaca
berita tentang Negara molek tempat plesiran turis-turis manca Negara yang sedang asyik mereka-reka peningkatan daya tarik obyek wisata dan menghitung-hitung pertambahan devisanya tiba-tiba perang saudra mengoyak-ngoyaknya
Kubaca
berita tentang Negara kaya yang sedang bangga dan terlena oleh kekayaannya tiba-tiba tetangganya sendiri tanpa ampun menghajar dan menjarahnya.
Kubaca
berita tentang negara raksasa yang sedang berlomba memimpin dunia dan asyik mengekspor ideologinya kemana-mana tiba-tiba gulung tikar dan tak seorang pun berdaya menyelamatkan keutuhannya.
………………………………………………………………………… dan masih dan terus kubaca berita tentang manusia yang masih dan terus tak menyadari kekerdilannya. **** Kubaca
berita kuno tentang wali allah yang senantiasa menjaga jiwa dan raganya yang tak pernah hadas kecuali segera menghilangkannya Karena tak ingin dalam keadaan tidak suci. Syahdan ketika suatu ketika datang hadas padanya dan serta merta dia bertayammum dengan debu seadanya padahal ada air sungai hanya beberapa langkah darinya orang-orang yang mengerti fikih pun menegurnya dan jawabnya : apakah kalian bisa menjamin aku masih bernyawa sebelum aku mencapai sungai disana?)
Aku ingin membaca berita tentang baru tentang manusia modern yang melaksanakan tugas kekhalifannya
tetap dengan kerendahan hati seorang hamba. (Tadarus: 24-26)
Larik-larik puisi yang panjang di atas, menunjukkan kritik sekaligus penyadaran moralitas kemanusiaan akibat beragam peristiwa dan kejadian yang dialami manusia. Kebanyakan peristiwa dan kejadian itu tanpa disadari kedatangannya. Hal itu menunjukkan betapa kerdil dan lemahnya manusia, sehingga tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dan menimpa dirinya. Padahal Tuhan telah memberikan banyak contoh peristiwa dan kejadian sebelumnya, tetapi sebagian besar manusia tidak mau belajar dari hal tersebut. Baik berupa ujian kematian, kedudukan dan jabatan, serta ideologi, pemikiran dan kekayaan. Semua itu akan datang dan pergi pada diri kita, tanpa Tuhan harus memberitahu sebelumnya. Pada akhir puisi “Kubaca Berita” berharap adanya sosok manusia modern yang cakap dan kreatif dalam menjalankan tugas sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi, tetapi memiliki kerendahan hati dan mengakui segala kelemahan yang ada pada dirinya di hadapan Tuhan. Dalam puisi “Bosnia Adalah” , penyair mengungkapkan kritik terhadap manusia termasuk diri penyair. Manusia diingatkan kembali keberadaan sebuah peristiwa tragedi kemanusiaan yang dinjak-injak keangkaramurkaan, keserakahan, serta kekejaman dan kekejian akibat perang saudara di bekas Negara Yugoslavia, yakni di Bosnia Herzegovina. Melalui puisi ini pula, mengingatkan sekaligus mengkritik keberadaan dan keberadaban kemanusiaan yang terkoyak di tengah tragedi peperangan yang banyak menimbulkan ketidakberdayaan, kesengsaraan, dan kematian. Bosnia adalah wajah kita yang kusut Bosnia adalah keangkuhan dan ketidakberdayaan kita Bosnia adalah kita yang terkoyak-koyak Bosnia adalah kepanikan manusia menghadapi diri sendiri (Airmata dan darah tertumpah atau tidak
Raung atau erang yang terdengar Atau justru hanya senyum yang sunyi Tragedi manusia adalah saat Kemanusiaannya lepas entah kemana) Atau barangkali Bosnia Adalah dunia kita yang mulai sekarat. (Tadarus: 28)
Pada bait-bait puisi di atas, menunjukkan kritik dekadensi moral manusia yang terefleksi dalam tragedi kemanusiaan akibat peperangan di Bosnia (saat itu). Bahwa perang Bosnia adalah wujud ketidakberdayaan dan kepanikan serta pertumpahan darah manusia secara sia-sia, akibat nilai-nilai kemausiaan yang dinjak-injak. Bosnia adalah wujud kemanusiaan yang hampir punah. Atau barangkali Bosnia/Adalah dunia kita yang mulai sekarat. Selanjutnya, tidak jauh berbeda dengan keberadaan antologi puisi Tadarus, antologi puisi Pahlawan dan Tikus, juga mengangkat tema atau gagasan tentang kritik sosial terhadap dekadensi moral kemanusiaan dengan berbagai wujud refleksinya dalam kehidupan. Adapun puisi-puisi yang menampilkan tema atau gagasan tersebut tampak dalam beberapa puisi yang berjudul “Reinkarnasi”, “Input dan Output”, “Ketika Tuhan”, “Putra-Putri Ibu Pertiwi”, “Maju Tak Gentar”, “Soal”, “Soal Kemiskinan”, “Permainan Golf”, “Waktu Tiba-Tiba Berhenti Berdenyut”, “Makin Canggih Saja”, dan “Saling”. Dalam puisi “Reinkarnasi”, penyair menyuarakan kritik atas keberadaan hubungan kemanusiaan yang semakin luntur. Bahkan atas nama Tuhan, nilai-nilai kemanusiaan dengan mudahnya untuk injak-injak. Bahwa saat ini telah muncul tokoh dalam kategori kelompok manusia zalim (dalam kitab suci Alqur’an), yang bertindak atas nafsu dan keserakahan serta tidak percaya adanya Tuhan, bahkan ada yang mengaku dirinya sebagai Tuhan.
abrahah-abrahah tak lagi datang membawa gajah dari jauh mereka mengirim burung-burung bagai ababil mengobrak-abrik batok kepala dan perut bumi menyikat ruh-ruh dan nurani abujahal-abujahal cebol terseret-seret pedang-pedang mereka sendiri ketika meneriakkan seruan jihad fisabilillah di mimbar-mimbar di seminar-seminar di jalanan dan di pasar-pasar firaun-firaun kecil dan qarun-qarun kerdil mengacung-acungkan duplikat-duplikat tongkat musa yang keramat mencari-cari mangsa menakut-nakuti manusia menenung gunung menyihir laut meneluh hutan mengaduk-aduk tanah mengorek rempah-rempah mengais-ngais sampah di tempat-tempat ibadah yang indah tuhan tersalib dalam upacara sakral yang meriah dan mereka pun bebas leluasa bertuhan-tuhan ria seenaknya. (Pahlawan dan Tikus: 24)
Pada larik-larik puisi di atas, merefleksikan kritik terhadap munculnya kembali kezaliman yang berkedok Ketuhanan dan kemanusiaan. Semua hal yang baik yang muncul saat ini adalah wujud kebohongan yang mengatasnamakan kebajikan. Artinya, apa yang disampaikan dan dilakukan oleh siapa pun (saat ini) sama sekali berdasar atas nafsu pribadinya semata, bukan hati nurani dan bukan perintah Tuhan melalui kitab suci. Hal itu,
ditandai dengan munculnya Abrahah, Abu Jahal, Fir’aun, dan Qorun yang baru dalam kancah kekinian. Hal tersebut memunculkan perubahan serta pergeseran besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Mereka lakukan apapun, asal terpenuhi nafsunya, tanpa harus berpijak pada nurani dan perintah Tuhan. Ironisnya, mereka tidak segan-segan mengaku sebagai Tuhan. di tempat-tempat ibadah yang indah/tuhan tersalib dalam upacara sakral yang meriah/dan mereka pun bebas leluasa/bertuhan-tuhan ria/seenaknya. Dalam puisi “Input dan Output”, penyair mengungkapkan kritik terhadap gambaran kehidupan yang serba carut-marut di berbagai wadah kehidupan. Hal tersebut diperlihatkan adanya tatanan nilai dan hubungan kemanusiaan yang semakin mengalamai degradasi, baik di masjid-masjid, di rumah-rumah, di kantor-kantor (birokrasi), di media cetak, di hotelhotel dan tempat hiburan, maupun di jalanan dan di kendaraan. Kesemuanya memperlihatkan bungkus kebaikan bahkan ada yang mengatasnamakan Tuhan, tetapi isi yang sebenarnya adalah keburukan dan keserakahan manusia. Di mesjid-mesjid dan majlis-majlis taklim Berton-ton huruf dan kata-kata mulia Tanpa kemasan dituang-suapkan Dari mulut-mulut mesin yang dingin Ke kuping-kuping logam yang terbakar Untuk ditumpahkan ketika keluar Di kamar-kamar dan ruang-ruang rumah Berhektar-hektar layar kehidupan mati Dengan kemas luhur ditayang-sumpalkan Melalui mata-mata yang letih Ke benak-benak seng berkarat Untuk dibawa-bawa sampai sekarat Di kantor-knator dan markas-markas Bertimbun-timbun arsip kebijaksaan aneh Dengan map-map agung dikirim-salurkan Melalui kepala-kepala plastik Ke segala penjuru urat nadi Untuk diserap sampai mati
Di majalah-majalah dan Koran-koran berkilo-kilo berita dan opini Tuhan dengan disain nafsu dimuntah-jejalkan melalui kolom-kolom rapi ke ruang-ruang kosong tengkorak orang-orang tua dan anak-anak Di hotel-hotel dan tempat-tempat hiburan beronggok-onggok daging dan virus dengan bungkus sutera disodor-suguhkan melalui saluran-saluran resmi ke berbagai pribadi dan isntansi untuk dinikmati dengan gengsi Di jalan-jalan dan di kendaraan-kendaraan berbarel-barel bensin dan darah dengan pipa-pipa kemajuan ditumpah-ruahkan melalui pori-pori kejantanan ke tangki-tangki penampung nyawa untuk menghidupkan sesal dan kecewa. (Pahlawan dan Tikus: 28-29)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan tentang gambaran keprihatinan dan kritik terhadap tatanan nilai kehidupan dan hubungan kemanusiaan yang semakin mengalami degadrasi di berbagai wilayah dan sendi kehidupan. Di masjid-masjid akan kita jumpai berbagai macam nasihat dan petuah mulia, yang sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan dalam kehidupan. Nasihat dan petuah mulia hanya merupakan kalimatkalimat bohong tanpa dapat diresapi dalam hati. Di rumah-rumah banyak kita jumpai, bahwa manusia lebih percaya dan menjadikan pedoman pada benda mati bernama televisi yang tidak lebih hanya menjanjikan mimpi daripada pesan moral. Di kantor-kantor terlihat beberapa kebijakan para birokrat yang tampak aneh dan fiktif dengan tampilan yang bagus, sehingga seolah-olah dapat menjadi pedoman yang harus diaati dan dilaksanakan. Di media cetak maupun elektronik banyak dijumpai tulisan yang mengatasnamakan Tuhan, tetapi sebenarnya berisi kebohongan. Di hotel-hotel dan tempat hiburan banyak dijumpai
aneka maksiat yang berlabel legal, sehingga menjadi konsumsi publik tanpa harus sembunyi-sembunyi dan terselubung. Serta di jalanan dan di kendaraan banyak dijumpai berbagai keborosan penggunaan fasilitas yang membutuhkan anggaran dan biaya besar. Sementara sisi kehidupan lain, masih banyak rakyat dalam keadaan sengsara, menderita dan kecewa. Dalam puisi “Ketika Tuhan”, penyair mengungkapkan gambaran diplomasi malaikat dengan Tuhan, saat Tuhan memutuskan akan menciptakan manusia. Para malaikat meminta kepada Tuhan untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut. Akan tetapi, Tuhan Maha Tahu dan berkehendak terhadap apa yang dikehendaki-Nya. Meskipun, yang dikehendaki Tuhan akan membawa mudarat bagi manusia sendiri. Manusia dan semua makhluk, hanya mampu menerima dan berintrospeksi atas semua yang dikehendaki Tuhan. Ketika Tuhan menyampaikan MaksudNya menciptakan manusia Sebagai khalifahNya di dunia Para malaikat pun berkata Tuhan, mengapa Paduka Hendak mencipta ,makhluk perusak di sana Penumpah darah semena-mena Sedangkan kita Terus bertasbih dan memuja Paduka? Tuhan pun bersabda Aku tahu apa Yang kalian buta Terhadapnya Ketika sang khafilah benar-benar semena-mena Merusak dan menumpahkan darah di mana-mana Di dunia Apakah kita akan membenarkan para malaikat dan berkata kepadaNya seperti mereka lalu siapakah kita yang tahu kehendak Sang Pencipta? (Pahlawan dan Tikus: 33)
Larik-larik puisi di atas, menunjukkan penyadaran manusia sebagai makhluk yang berakal atas kemahakuasanya Tuhan atas penciptaan manusia. Penciptaan manusia bukanlah merupakan kesia-siaan, semuanya telah diperhitungkan atas dasar Kemabesaran dan Kemahaadilan Tuhan sendiri. Walaupun pada kenyaataannya, pencipataan manusia sebagai khalifah (pemimpin) makhluk di bumi, benar-benar membawa kerusakan lingkungan dan pertumpahan darah antarsesama. Kita tidak akan pernah tahu, rahasia apa di balik Kehendak dan Kuasa Tuhan. Manusia dan semua makhluk, hanya mampu menerima dan berintrospeksi atas semua yang dikehendaki Tuhan. Dalam puisi “Makin Canggih Saja”, penyair menunjukkan kritik pada manusia (saat ini) tentang kepandaian manusia yang semakin bertambah dengan diciptakannya berbagai macam virus dan senjata pemusnah. Meskipun pada akhirnya kegunaan hasil ciptaanya tersebut untuk memusnahkan antarsesama dan dirinya sendiri. Makin canggih saja manusia Mencipta virus-virus berbisa senjata-senjata serba-bisa Agar sambil menangis atau tertawa Bisa memusnahkan dirinya (Pahlawan dan Tikus: 49)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik bahwa manusia (saat ini) makin canggih (pandai) dalam menciptakan berbagai macam virus berbahaya dan senjata pemusnah yang serba bisa (otomatis). Akan tetapi kepandaian dalam penciptaan benda-benda tersebut, bukan untuk kemaslahatan umat manusia dan lingkungan. Akan tetapi, tidak lain hanya untuk memusnahkan sesamanya dan merusak lingkingan serta dirinya sendiri, dengan tanpa pertimbangan nurani. Dalam puisi “Saling”, penyair mengungkapkan kritik terhadap degradasi hubungan kemanusiaan, yakni manusia (saat ini) lebih suka menyakiti satu dengan yang lain. Hal itu
bisa terjadi di berbagai bidang kehidupan. Di gedung DPR, di kantor partai, di kampus, di forum seminar, di sanggar seni, di koran, bahkan di tempat-tempat ibadah sekalipun, baik di masjid, di gereja, di pura, maupun di wihara. Hal itu banyak terjadi pula di jalan, di pasar, di warung, dan di rumah. Tidak pandang mereka ada hubungan keluarga, sahabat, maupun orang lain, semua saling menyakiti.
Di gedung DPR Fraksi-fraksi saling menghabisi Di kantor partai Golongan dan unsur saling gusur Di kampus Dosen dan Mahasiswa saling mencela Di seminar Pakar-pakar bertengkar Di sanggar Seniman-seniman berhantaman Di koran Orang-orang penting saling banting Di mesjid Orang-orang Islam bertikam Di gereja Orang-orang Nasrani berkelahi Di pura Orang-orang Hindu beradu Di wihara Orang-orang Budha berlaga Di lapangan Para olahragawan berterkaman Di jalan Sopir-sopir saling puntir Di pasar Bakul-bakul saling pukul Di warung Kawan-kawan saling lawan Di rumah Anak dan Bapak saling sepak
Di kamar Kau dan aku terpaku (Pahlawan dan Tikus: 50)
Dari larik-larik puisi di atas menunjukkan refleksi kritik penyair terhadap hubungan kemanusiaan yang semakin renggang dan saling menyakiti satu dengan yang lain. Hal itu terjadi di segala sendi kehidupan, di gedung DPR, di kantor partai, di kampus, di forum seminar, di sanggar seni, di koran, bahkan di tempat-tempat ibadah sekalipun. Baik di masjid, di gereja, di pura, maupun di wihara. Hal itu terjadi juga di jalan, di pasar, di warung, dan di rumah. Tidak pandang mereka ada hubungan keluarga, sahabat, maupun orang lain, semua saling menyakiti. Mereka yang sadar, hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat apapun. Uraian analisis tema tentang ”kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan” yang terefleksi pada beberapa puisi (dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) di atas, dapat disimpulkan bahwa hidup manusia (saat ini) dan entah kapan berakhirnya, ternyata lebih menonjolkan egoistis, hedonistis, dan materialistis. Segala petuah atau nasihat, hanyalah bualan yang tidak penting untuk dijadikan pedoman moral kemanusiaan. Bahkan, nasihat atau petuah bijak pun seolah-olah hanya menjadi topeng untuk menutupi segala kekurangan manusia (tidak peduli dia adalah seorang tokoh masyarakat maupun tokoh agama sekalipun). Mereka hidup dihinggapi saling membenci dan saling mendendam. Bahkan pula saling
’membunuh’ dengan
tanpa
perasaan,
baik
dalam
membunuh
karakter,
menghilangkan dan merampas hak orang-orang kecil, maupun menghabisi nyawa dengan tanpa perasaan bersalah dan dosa. Manusia (saat ini) banyak yang hanya mencari kekayaan dan kedudukan untuk diri sendiri dan pembenaran terhadap diri sendiri. Sedangkan untuk memikirkan nasib sesama (orang lain) yang miskin, yang masih jauh dari keberuntungan hidup, sama sekali bukan urusannya.
Banyak ceramah maupun khutbah dari para birokrat, ekonom, politikus sampai pemuka agama sekalipun, adalah obrolan basa-basi yang tak berisi dan tidak bermuatan moral untuk merubah watak buruk perilaku mereka sendiri, apalagi untuk orang lain yang mendengarkannya. Ceramah dan khutbah hanyalah topeng untuk menutupi kekurangan mereka sendiri. Meskipun demikian, di balik kritik tajam terhadap dekadensi moral kemanusiaan, ada beberapa nilai dan hikmah yang disampaikan penyair dalam beberapa puisi di atas. Bahwa kita harus tetap mengedepankan moral kemanusiaan sebagai pedoman dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Abdul Munir Mulkhan (2009:163) sebagai berikut. Puisi-puisi Gus Mus bukan hanya indah dan sufistik, melainkan sekaligus humanis dan profetis meletakkan praktik Islam sebagai sebuah proses sosio-budaya dan seni dari kehidupan duniawi yang cair. Pilihan kata yang arif membuat pembaca yang menjadi sasaran kritiknya justru tersenyum manggut-manggut. Kritiknya tajam, tapi penuh hikmah dan terbarukan seperti menyebut syirik bukan semata menyembah batu, melainkan menempatkan diri sendiri paling benar dan mutlak benar. 2) Kritik terhadap Ketidakadilan dan Ketidakbenaran Hidup Selain diungkap tema tentang kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, tema atau gagasan lain yang diungkap dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup.
Dalam antologi puisi Tadarus, puisi
yang mengungkapkan kritik terhadap
ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, antara lain berjudul: ”Anonim”, ”Ratsaa”, ”Khalifah Allah, Dimanakah Kau”, ”Selamat Idul Fitri”, dan ”Keadilan”. Dalam puisi ”Anonim” berikut ini, penyair mengkritik berbagai kesewenang-wenangan, keserakahan, dan berbagai macam ketidakadilan di negeri ini. Sementara itu, nasib para petani, nelayan, dan rakyat pada umumnya semakin susah dalam segala usaha dan kesempatan. Sedangkan
kebahagian dan kenikmatan hanya milik sebagian orang saja, yakni orang-orang kaya dan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Sedangkan rakyat miskin berada di pihak yang selalu dikalahkan dan terkalahkan.
Siapa yang menanam padi hingga negeri ini Dari pengimpor beras menjadi Negeri swasembada pangan yang mandiri Yang mendahulukan memberi makan anak-anakmu Sebelum anak-anak sendiri? Siapa yang menjalankan perahu pukatmu Dan melawan badai menjala ikan untukmu Siapa yang merawat tebu-tebumu Agar persediaan gula terjamin selalu? Siapa yang menabung receh-recehnya Di bank hinga kau dan siapa saja yang lebih kaya Bisa mengkreditnya kapan saja? Siapa yang mau saja kau tarik-tarik kesan kemari Mencoblos gambar lima tahun sekali Hingga kau dan siapa saja yang punya nyali Mendapat kedudukan terhormat sekali? Siapa yang menyediakan sawah-sawah murah Dan tambak-tambak dengan harga rendah Untuk kau tanami pabrik dan rumah-rumah mewah Dan tempat-tempat plesiran yang megah? Siapa yang rela meninggalkan tempat tinggal Dan segala milik, pekarangan, dan tegal Bagi proyek-proyek prestisemu yang jajal-jajal? Siapa yang membayar pajak tak boleh nunggak Agar bangunan dan periukmu tegak? Siapa yang bersedia menyerahkan lubang telinga
Untuk kau jejali rongsokan huruf dan kata-kata?
Siapa? Kenapa kau tak menoleh sekejap saja? (Tadarus: 10)
Bait-bait puisi di atas menunjukkan refleksi kritik bahwa rakyat miskin selalu menjadi sasaran pihak yang berduit dan memiliki jabatan. Mereka selalu dikalahkan dalam segala hal, baik untuk kepentingan bisnis maupun politik. Rakyat miskin selalu tidak berdaya mengalami ketidakadilan hidup. Sementara jika ditanya, mengapa para pemegang uang dan jabatan selalu berbuat demikian? Tanpa mengindahkan rasa kemanusiaan dan keadilan? Mereka pun tak mampu menjawabnya, karena di dalam pikiran mereka, harta dan kedudukan adalah segalanya. Sehingga dengan mudahnya mereka menghalalkan segala cara untuk menginjak-injak rakyat miskin. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka membungkus perilakunya dengan cara pembelaan atas nama rakyat. Dalam puisi “Ratsaa” berikut menunjukkan kritik terhadap ketidakadilan dan ketidaksempurnaan tatanan hidup. Semua urusan yang menjadi tanggung jawab masingmasing individu dalam keluarga diserahkan pada orang yang lain yang tidak menjadi tanggung jawabnya. Hingga pada urusan ibadah pada Tuhan sekalipun. Jika bisa dan dapat dialihkan dan diwakilkan pada orang lain, maka mereka pun menyerahkan urusan tersebut. anak-anakmu kau serahkan babumu istrimu kau serahkan sopirmu dirimu kau serahkan sekretarismu tuhanmu kau serahkan siapa? (Tadarus: 23)
Pada larik-larik puisi di atas, menunjukkan kritik penyair tentang karakter manusia (saat ini) yang terlalu sibuk untuk mengurus apapun, baik urusan dunia maupun ibadah kepada Tuhan sekalipun. Saking sibuknya, mereka lebih mudah meninggalkan tanggung
jawab individu dan keluarga untuk diserahkan atau diwakilkan kepada orang lain yang semestinya tidak berhak untuk melaksanakan tanggung jawab itu. Meskipun untuk urusan tanggung jawab kepada Tuhan, jika bisa diserahkan atau diwakilkan pada orang lain yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Entah dengan cara bagaimana? Dalam puisi “Khalifah Allah, Dimanakah Kau?” berikut ini, menunjukkan kritik terhadap beragam karakter manusia. Di depan mereka selalu berlaku diktator, angkuh, dan kasar. Di tengah mereka tidak mau mengalah dan selalu ingin maju tapi tidak memiliki kemampuan. Sementara di posisi belakang, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, semakin terhimpit dan tersiksa dalam hidup. Dalam keadaan seperti ini, maka kita (rakyat) pada umumnya, akan menemui kesusahan untuk mencari figur pimpinan yang benar-banar adil dan dapat menempatkan diri dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Di depan yang maju terus sendiri maju bagai lokomotip yang dingin bagai bulldozer yang garang dalam keangkuhan yang kaku menginjak-injak mendesak-desak mendorong-dorong yang lain ke samping menumpuk-numpuk barisan panjang yang terpelanting panik di belakang Di tengah yang menengah terpisah resah berputar-putar sekitar dirinya dalam kecongkaan-degilnya yang lalai ingin maju tak mampu lalu berlagak maju tak maju oleh mental dan ilmu yang tak maju-maju kere yang melata di depan yang maju pamer macam-macam di depan yang terbelakang Di belakang yang terbelakang kian ke belakang terus ke belakang terhimpit sepi yang kian rapi tak sempat senyum sesekali masih tetap hidup semata-mata karena liatnya nyawa Khalifah Allah, dimanakah kau? (Tadarus: 41)
Bait-bait puisi di atas menunjukkan kritik penyair tentang sulitnya mencari figur
khalifah (pimpinan) yang menempatkan keadilan dan kebenaran dalam berbagai posisi kehidupan. Sekarang ini yang dapat dijumpai hanyalah sosok atau figur pimpinan jika di depan bertindak sewenang-wenang dan sok berkuasa, menginjak-injak mereka yang lemah. Di tengah mereka ingin tampil di depan, tapi tak mampu dari segi ilmu dan kemampuan. Akhirnya, dia hanya bisa pamer di depan rakyat kecil. Sementara di belakang, dia semakin terhimpit dan tersiksa dalam kehidupannya, akibat ketidakberdayaannya. Meskipun mereka dapat bertahan hidup, itu hanyalah sebuah usaha (manusiawi) dalam mempertahankan hidup. Dalam puisi “Selamat Idul Fitri” berikut ini, penyair menunjukkan kritik sekaligus penyadaran terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sekarang ini, jarang sekali kita menjumpai sebuah tatanan hidup dengan dasar keadilan dan kebenaran, baik pada diri sendiri, alam (tumbuhan dan hewan), maupun pada sesama. Melalui Idul Fitri, sudah semestinya permohonan maaf harus disampaikan pada semuanya (baik kepada sesama manusia maupun terhadap lingkungan) atas segala kezaliman yang telah diperbuat. Dengan komitmen tidak akan mengulang kembali kesalahan yang sama. Artinya, kita mulai tebarkan kasih sayang, baik kepada sesama maupun terhadap lingkungan yang memberi kita kehidupan. Selamat idul fitri, bumi Maafkanlah kami Selama ini Tidak semena-mena Kami memerkosamu Selamat idul fitri, langit Maafkanlah kami Selama ini Tidak henti-hentinya Kami mengelabukanmu Selamt idul fitri, mentari
Maafkanlah kami Tidak bosan-bosan Kami mengaburkanmu Selamat idul fitri, laut Maafkanlah kami Selama ini Tidak segan-segan Kami mengeruhkanmu Selamat idul fitri, burung-burung Maafkanlah kami Selama ini Tidak putus-putus Kami membrangusmu Selamat idul fitri, tetumbuhan Maafkanlah kami Selama ini Tidak puas-puas Kami menebasmu Selamat idul fiti, para pemimpin Maafkanlah kami Selama ini Tidak habis-habis Kami membiarkanmu Selamat idul fitri, rakyat Maafkanlah kami Selama ini Tidak sudah-sudah Kami mempergunakanmu (Tadarus: 52)
Pada bait-bait puisi di atas menunjukkan kritik sekaligus penyadaran akan arti penting permohonan maaf. Sebab, barangkali saja sudah sekian lama kita melakukan
banyak kezaliman (berbuat tidak adil dan tidak benar) pada siapa pun. Baik terhadap diri sendiri, sesama (para pemimpin dan rakyat) maupun terhadap alam (bumi, mentari, laut, burung-burung, dan tumbuh-tumbuhan). Melalui Idul Fitri, kita sudah sepantasnya menyampaikan permohonan maaf dengan tulus pada siapa pun (baik kepada sesama maupun terhadap alam dan seisinya) atas segala kezaliman yang kita perbuat. Dengan berjanji untuk tidak akan mengulang kembali kesalahan yang sama. Artinya, kita mulai tebarkan kasih sayang, baik kepada sesama maupun terhadap lingkungan atau alam yang memberi kita kehidupan. Dalam puisi “Keadilan” berikut ini, penyair mengkritik sekaligus menunjukkan penyadaran tentang makna keadilan yang mungkin saat ini masih dirasa sebagai mimpi. Sesuatu yang masih jauh dari kenyataan. Keadilan masih dalam wujud angan-angan dan impian yang belum dapat diraih. Hampir tertangkap mimpi. (Tadarus: 67)
Satu larik puisi di atas menunjukkan kritik sekaligus penyadaran akan arti penting sebuah keadilan, yang pada saat ini masih berwujud impian dan angan-angan yang belum tergapai dalam kenyataan hidup. Atau barangkali keadilan memang hanya sebuah impian saja, jauh dari kenyataan hidup? Hanya nurani yang bisa menjawabnya, sebab nurani lebih dekat dengan keadilan dan kebenaran. Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, puisi yang mengungkap tema atau gagasan tentang kritik terhadap keadilan dan kebenaran hidup antara lain berjudul ”Merdeka”, ”Tikus”, ”Tikus-Tikus di Atas Meja”, ”Perlawanan”, ”Kepada Penyair”, ”Surabaya”, ”Dua Surat dari Surabaya”, ”Di Taman Pahlawan”, ”Orang Kecil Orang Besar”, ”Rekayasa I”, ”Rekayasa II”, ”PT Rekayasa Semesta”, dan ”Negeriku”. Dalam puisi ”Merdeka” berikut ini, kita dihadapkan pada gambaran tentang arti kemerdekaan yang masih menjadi tanda tanya sampai saat ini, baik kemerdekaan terhadap kesempatan
kerja, kelayakan pendapatan maupun hanya sekedar kemerdekaan berpendapat. Merdeka! @#$&*{?}<[!} ?.!.?.!.?.!!! Merdeka? (Pahlawan dan Tikus: 8)
Larik puisi di atas menunjukkan kritik tentang makna kemerdekaan yang masih ruwet dan belum jelas maknanya serta masih menjadi tanda tanya keberadaannya (di negeri ini). Sudahkah kita benar-benar merdeka? Pertanyaan yang harus dijawab dengan bukti dan kenyataan. Akan tetapi, dalam kenyataan di segala bidang kehidupan di negeri ini, kemerdekaan nyata-nyata belum terbukti untuk dapat dinikmati seluruh rakyat dalam segala lapisan. Utamanya rakyat yang masih dalam bayang-bayang kemiskinan dan sengsara dalam hidup. Dalam puisi “Tikus” berikut ini, penyair menunjukkan sebuah metafora terhadap karakter pencuri uang rakyat (dalam konteks kekinian), yakni para koruptor . Dengan leluasa mereka mengambil uang rakyat tanpa harus merampok. Mereka melakukan aksinya dengan berbagai upaya licik dan terselubung. Pada akhirnya, mereka bisa melakukan aksinya dengan tidak meninggalkan jejak, sehingga tidak tercium dan terjamah wilayah hukum. Memanen tanpa menanam Merompak tanpa jejak Kabur tanpa buntut Bau tanpa kentut (Pahlawan dan Tikus: 17)
Larik-larik puisi ‘tikus’ di atas, menunjukkan sebuah metafora tentang karakter para pencuri uang rakyat, yakni para koruptor. Seribu macam cara dan kerja akan dibuat oleh para koruptor untuk mengambil uang rakyat. Mereka dalam melakukan aksinya dengan
licik, sehingga sebisa mungkin untuk tidak meninggalkan jejak dan tidak pula sampai tercium oleh aparat penegak hukum. Dalam puisi “Tikus-tikus di Atas Meja” berikut, kembali penyair menunjukkan kritik terhadap ketidakberdayaan aparat penegak hukum yang dimetaforakan sebagai kucing yang menghadapi tikus sebagai metafora para pencuri uang rakyat (para koruptor). Dengan segala kelicikannya, para koruptor berhasil menyikat apapun yang bukan menjadi haknya. Dengan berbagai tampilan dan aksinya, mereka lakukan pekerjaan haram itu dengan terang-terangan maupun sembunyi-bunyi. Tikus-tikus di atas meja (Seram juga melihat taring-taingnya) Dengan rakus menyikat apa saja Beberapa tikus meluncur turun ke bawah Berebut remah dengan kecoa-kecoa kecil Sesekali terdengar kersik suara Tikus-tikus pun sekejap menghilang Bagai ditelan bumi Tapi tak lama moncong dan taringnya Muncul lagi Mengawasi sekeliling dengan waspada Lalu naik lagi berputar-putar di atas meja Mencari-cari sisa-sisa dengan jelinya Lalu turun lagi kalau-kalau ada yang terlewatkan Lalu naik lagi dengan mata dan hidung memeriksa Ketika tak ada lagi yang bisa dimakannya Mereka pun beramai-ramai menggerogoti meja seekor kucing gembong mendekam di sudut Pura-pura tak tahu Atau barangkali takut. (Pahlawan dan Tikus: 25)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik penyair tentang perilaku ‘tikus’ sebagai metafora dari para pencuri uang rakyat (koruptor) yang dengan leluasa bergerak tanpa
malu dan ragu lagi dalam merampas hak rakyat kecil, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Mereka sikat habis uang rakyat tanpa sisa. Taktik dan kerja mereka, sangatlah licik. Begitu terdengar situasi tidak aman bagi keselamatan diri mereka, mereka sejenak menghilangkan jejak dan kegiatannya. Setelah dirasa situasi dan posisima mereka aman, muncul kembali dengan tampilan baru yang lebih garang. Mereka lakukan aksinya dengan mengambil sikap waspada terhadap situasi. Mereka kembali habisi semua uang yang ada, tanpa tersisa. Begitu melihat semua uang sudah habis, mereka pun pergi dengan segala taktik liciknya, agar tidak meninggalkan jejak. Ada seekor ‘kucing gombong’ (aparat penegak hukum) yang melihat aksi dari ‘tikus’ (para koruptor) tersebut. Mereka duduk terpaku seolah-olah tidak berdaya atau bahkan takut dalam menegakkan hukum untuk menindak para koruptor. Dalam puisi “Perlawanan” berikut ini, penyair menunjukkan kritik terhadap ketidakadilan sosial, yakni tentang sikap perlawanan rakyat dikarenakan kezaliman dan kebebalan sikap penguasa (para pemimpin). Rakyat sudah sekian kali mengingatkan para pemimpinnya, agar berlaku adil dan tidak terus-menerus menzalimi rakyat. Akan tetapi, kebanyakan para pemimpin dengan mudahnya tak menghiraukan apa yang menjadi keinginan dan peringatan dari rakyat. Akhirnya, tidak ada jalan lain bagi rakyat, selain untuk melawan penguasa (para pemimpin) yang zalim dan bebal. penyesalan dan pengulangan pengulangan dan penyesalan silih berganti bagai ribuan lebah hutan mengikuti berjuta kata yang kami tikamkan menyengat lalu tak kalian hiraukan hingga akhirnya kalian kebal sengatan tapi biarlah kepada kalian untuk kesekian milyar kalinya kukatakan kami bukanlah lebah apalagi cacing tanah kami adalah takdir kalian
justru kelaliman dan kekebalan kalian telah mengebalkan dan meliatkan tekad kami melawan kita lihat saja nyawa siapa yang lebih mampu bertahan (Pahlawan dan Tikus: 27)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan tentang keberanian rakyat untuk melawan para pemimpin yang zalim dan bebal. Keberanian rakyat tersebut bukan tidak beralasan. Rakyat sudah terlalu sering untuk mengingatkan para pemimpinnya agar bertindak adil terhadap rakyat. Akan tetapi, para pemimpin sering juga untuk tidak mengindahkan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat melawan dengan segenap kemampuan. Akhirnya, tegak tidaknya sebuah keadialan sosial hanya dua pilihan, nurani rakyat yang menang atau tetap berkuasanya pemimpin yang zalim dan bebal? Dalam puisi “Kepada Penyair” berikut ini, penyair menunjukkan kritik terhadap para penyair bahwa kehadiran sajak atau puisi akan sangat bermanfaat bila diberi muatan tentang pembelaan terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sajak atau puisi tidaklah harus selalu indah dengan untaian kata. Puisi bukanlah rangkaian kata yang melulu sendu tetapi bermakna nafsu dan menipu, bukan pula anyaman angan-angan yang penuh cinta memburu nafsu tetapi bermakna lemah tanpa arah. Sajak dan puisi baru bermakna jika dapat menyuarakan nurani yang tertindih dan tersiksa akibat kesewenang-wenangan yang merajalela. Lebih jauh, sajak atau puisi yang bermakna adalah untaian kata yang bermuatan dzikir dan doa yang membawa suara Tuhan, yang dengan mahacahaya-Nya untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan segala kelaliman dan kesewenangwenangan. Brentilah menyanyi sendu tak menentu
tentang gunung-gunung dan batu mega-mega dan awan kelabu tentang bulan yang gagu dan wanita yang bernafsu Brentilah bersembunyi dalam simbol-simbol banci Brentilah menganyam-anyam maya mengindah-indahkan cinta membesar-besarkan rindu Brentilah menyia-nyiakan daya memburu orgasme dengan tangan kelu Brentilah menjelajah lembah-lembah dengan angan-angan tanpa arah Tengoklah kanan-kirimu Lihatlah kelemahan dimana-mana membuat lelap dan kalap siapa saja Lihatlah kekalapan dan kelelapan merajalela mebabat segalanya Lihatlah segalanya semena-mena mengroyok dan membiarkan nurani tak berdaya Bangunlah Asahlah huruf-hurufmu Celupkan baris-baris sajakmu dalam cahya dzkir dan doa Lalu tembakkan kebenaran Dan biarlah Maha Benar yang menghajar kepongahan gelap dengan mahacahyaNya (Pahlawan dan Tikus: 47)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik kepada para penyair agar berhenti menyusun untaian kata sendu tetapi bermakna gagu dan bernafsu, berhenti menyusun kata-
kata sunyi tapi tak berarti, dan berhenti merangkai kata indah penuh cinta tetapi bermakna lemah tanpa arah. Sajak atau puisi yang bermakna adalah yang menyuarakan hati nurani yang tertindas dan terampas akibat kesewenang-wenangan. Sajak dan puisi yang bermakna adalah yang bermuatan dzikir dan doa yang membawa suara Tuhan untuk menegakkan kebenaran, dan dengan mahacahaya-Nya untuk mengahancurkan kesewenang-wenangan. Dalam puisi “Surabaya” kita diingatkan kembali semangat patriotisme dan kepahlawanan arek-arek Suroboyo dalam melawan keserakahan dan kesewenangwenangan penguasa. Semangat mereka yang berkobar-kobar seakan tak mengindahkan senjata atau apapun yang dimiliki musuh. Mereka pun tak melihat keadaan tubuh dan senjata yang dibawanya. Walaupun begitu, mereka punya semangat yang membaja di dada, merah putih yang berkibar dihati, dan pekik Allah Akbar dan Merdeka yang menggelegar mengoyak langit Surabaya dan menggetarkan semua yang mendengar. Akan tetapi, arek-arek Surabaya (saat ini) telah kehilangan semangat patriotisme dan keberanian untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka sudah kehilangan nyali, karena sudah dipenuhi kepuasaan pribadi demi keselamatan diri. Arek-arek Surabaya sudah menelan dan menyembunyikan semangat kepahlawanannya, entah ke mana. Jangan anggap mereka kalap Jika mereka terjang senjata Sekutu yang lengkap Jangan kira mereka nekat Karena mereka Cuma berbekal semangat Melawan seteru yang hebat Jangan sepelekan senjata di tangan mereka Atau lengan yang mirip kerangka Tengoklah baja di dada mereka Jangan remehkan sesobek kain di kepala Tengoklah merah-putih yang berkibar Di hati mereka Dan dengar pekik mereka Allahu Akbar!
Dengarlah pekik mereka Allahu Akbar! Gaungnya menggelegar Mengoyak langit Surabaya yang murka Allahu Akbar! Menggetarkan setiap yang mendengar Semua pun jadi kecil Semua pun tinggal seupil Semua menggigil Surabaya, O, kota keberanian O, kota kebanggaan Mana sorak-sorai takbirmu Yang membakar nyali kezaliman? Mana pekik merdekamu Yang menggetarkan ketidakadilan? Mana arek-arekmu yang siap Menjadi tumbal kemerdekaan Dan harga diri Menjaga ibu pertiwi Dan anak-anak negeri. Ataukah kini semuanya ikut terbuai Lagu-lagu satu nada Demi menjaga Keselamatan dan kepuasan Diri sendiri Allahu Akbar! Dulu arek-arek Surabaya Tak ingin menyetrika Amerika Melinggis Inggris Menggada Belanda Murka kepada Gurka Mereka hanya tak suka Kezaliman yang angkuh merajalela Mengotori persada Mereka harus melawan
Meski nyawa yang menjadi taruhan Karena mereka memang pahlawan Surabaya, Dimanakah kau sembunyikan Pahlawanku? (Pahlawan dan Tikus: 54)
Larik-larik puisi “Surabaya” di atas menunjukkan pada kita betapa besar dan luar biasanya semangat arek-arek Suroboyo dalam bertempur melawan ketidakadilan dan ketidakbenaran (penjajahan). Mereka punya semangat membaja di dada, merah putih yang berkibar di hati, dan pekik Allah Akbar dan Merdeka yang menggema di angkasa Surabaya yang menggetarkan semua yang mendengar. Akan tetapi, arek-arek Surabaya kita kini sudah kehilanagn nyali karena memburu kepuasan pribadi untuk keselamatan diri. Bahkan,
mereka
sekarang
sudah
menelan
dan
menyembunyikan
semangat
kepahlawanannya, entah ke mana. Dalam puisi “Dua Surat dari Surabaya” berikut, penyair menunjukkan kritik dan meingatkan kita terhadap dua peristiwa besar dalam kurun yang berbeda tetapi memiliki kesamaan visi tentang karakter kepahlawanan. Pertama, adalah surat yang ditulis atas nama pahlawan dengan latar belakang pertempuran November 1945 di Surabaya, bahwa mereka (para pahlawan) berjuang dengan semangat yang membaja untuk kebenaran dan keadilan yakni mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan. Dengan tanpa pamrih sedikitpun, mereka rela mengorbankan jiwa, raga bahkan nyawa. Mereka para pahlwan kusuma bangsa hanya punya satu tujuan utama yakni alam kemerdekaan demi kebahagiaan anak cucu mereka sekarang ini. Kedua, adalah surat yang ditulis atas nama pahlawan juga. Dia seorang buruh pabrik bernama Marsinah yang meninggal dunia sekitar November 1993 demi membela kebenaran dan keadilan atas hak-hak buruh yang diinjak-injak. Dengan tanpa pamrih pula,
Marsinah rela mengorbankan jiwa, raga bahkan nyawa demi menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Kedua peristiwa dalam surat tersebut, penulisnya adalah pahlawan sejati dengan visi perjuangan yang sama. Meskipun berbeda waktu dan ruang, karena waktu dan ruang tidak akan membedakan semangat bagi mereka yang mendambakan tegaknya kebenaran dan keadilan. Meraka kini telah tiada. Tapi nama meraka tetap harum dikenang, sebab kematian mereka sama sekali tidak sia-sia. Surabaya, November 1945 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Dengan ini kami beritahukan bahwa Sehubungan dengan kedatangan bala tentara sekutu Yang dengan angkuh hendak menginjak-injak kedaulatan Dan harga diri kita semua Yang dengan membanggakan kelengkapan senjata lalim mereka Hendak merenggut kemerdekaan yang menjadi milik asasi kita. Maka dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab, Kami sambut mereka dengan takbir dan pekik merdeka. Kami lawan mereka mati-matian Bukan karena kulit mereka lain dari kulit kita Bukan karena hidung mereka lain dari hidung kita Bukan karena lidah mereka lain dengan lidah kita Bukan karena mereka Inggris, Belanda, atau Gurka Bukan karena mereka asing bagi kita Kami siap mengorbankan nyawa melawan mereka Semata-mata karena kelaliman mereka Jangan lihat sejengkal tanah yang kami pertahankan Selembar nyawa mudah yang kami pertaruhkan Tapi lihatlah kehidupan mulia yang kami perjuangkan. Kami tak punya apa-apa kecuali pilihan Tetap merdeka atau mati. Hidup terhormat atau syahid di hadapan Tuhan. Sia-siakah kematian kami? Kalian yang masih hidup, bagaimana kini? Semoga kalian senantiasa hidup merdeka. Amin. Wassalam. Sauara-saudaramu yang mati muda di Surabaya
Surabaya, November 1993 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Dengan ini saya beritahukan bahwa saya Sudah tidak di Nganjuk lagi. Surat ini saya tulis di Kota Pahlawan menjelang Hari Pahlawan. Saya bersyukur berkat perjuangan saya yang tak seberapa membela Hak saudara-saudara saya yang sederhana, Majikan-majikan saya telah berkenan mengantarkan saya, Meski berliku-liku mengerikan jalannya, Kepada pahlawan-pahlawan negeri ini Yang telah mewariskan kepada saya sedikit semangat Membela kebenaran dan keadilan. Jangan lihat kenaikan upah yang cuma sekian ratus rupiah Yang mungkin dianggap majikan-majikan kami tak lebih rendah Disbanding selembar nyawa seekor buruh yang payah Jangan lihat kebinatangan mereka yang menganiaya diri saya Tapi lihatlah nasib keadilan yang parah Dibawah kekuasaan dan keserakahan yang pongah Seandainya mereka tidak merenggut nyawa saya, Orang-orang seperti saya pun akan mati tersiksa juga Bersama keadilan yang terkalahkan. Hidup tanpa keadilan adalah kematian. Sia-siakah kematian saya? Kalian yang masih hidup, jawablah. Wassalam. Marsinah NB: Kalau jasad saya masih dibutuhkan, silakan bongkar kubur saya. Saya tak memerlukan lagi. Apabila kalian ingin mengirim doa, alamat saya mudah. Sama dengan arek-arek yang empat puluh delapan tahun yang lalu mempertahankan merah-putih di sini. Kami kumpul di Taman Pahlawan sejati. (Sebenarnya kami ingin sekali bersemayam di hati kalian). (Pahlawan dan Tikus: 56)
Larik-larik puisi berwujud surat di atas menunjukkan pada kita tentang nilai
kepahlawanan sejati dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda. Akan tetapi, memiliki visi yang sama dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Pertama, kita ditunjukkan semangat yang luar biasa dari arek-arek Soroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan yang akan direbut paksa oleh para penjajah. Mereka rela mengorbankan jiwa, raga, bahkan nyawa demi kebahagiaan anak cucu mereka, agar bisa menghirup udara kemerdekaan hingga kini. Kedua, kita ditunjukkan semangat yang tak kalah luar biasa dari seorang buruh yang bernama Marsinah dalam menegakkan keadilan dan kebenaran atas nama hak-hak buruh yang diinjak-injak kezaliman. Marsinah rela mengorbankan jiwa, raga, bahkan nyawa demi tegakknya keadilan dan kebenaran terhadap hak-hak buruh hingga kini. Kedua pahlawan dalam dua surat adalah pahlawan sejati yang namanya terus terkenang di hati bangsanya hingga kini, dan kematian mereka adalah kematian yang mulia di sisi Tuhan. Kita yang dibahagiakan lewat perjuangan mereka, wajib memberi hormat dan mengirim doa buat mereka. Dalam puisi “Di Taman Pahlawan” berikut, kita ditunjukkan sebuah dialog antara kita dengan para pahlawan yang gugur mendahului kita. Bahwa di antara para pahlawan di alam sana, ada yang benar-benar pahlawan dan ada pula yang salah jika disebut sebagai ‘pahlawan’ (karena tuntutan keadaan). Yang benar-benar pahlawan, menanyakan pada kita tentang semangat patriotisme dan keberanian membela kebenaran dan keadilan di alam kemerdekaan. Masih tegakkah kebenaran dan keadilan di alam kemerdaan ini atau hanya tinggal dongeng dan slogan belaka? Bagi mereka yang bukan pahlawan atau salah disebut ‘pahlawan’, hanya tersipu malu mendengarkannya. Sebab perjuangan meraka dulu sama sekali tidak mengindahkan nurani, tetapi atas nama kepentingan dan tuntutan pribadi, keluarga, dan kolega. Begitu muncul Marsinah melewati Taman Pahlawan, mereka berharap ada penghormatan yang sama dengan mereka dulu saat dikebumikan. Akan tetapi, dugaan
mereka salah. Jasad Marsinah tidak dikebumikan. Jasadnya masih dibutuhkan untuk kepentingan penyelidikan bagi orang-orang berperilaku jahat, yang hanya mencari muka. Dikubur atau tidak, bagi Marsinah sendiri tidaklah penting. Yang terpenting bagi dirinya adalah merelakan dirinya menjadi ‘tumbal’ demi tegaknya keadilan di negeri ini. Atau bahkan sebaliknya, sekedar sebagai bangkai tak berarti apa-apa di Republik ini. Di taman pahlawan beberapa pahlawan sedang berbincang-bincang tentang keberanian dan perjuangan. Mereka bertanya-tanya apakah ada yang mewariskan semangat perjuangan dan pembelaan kepada yang ditinggalkan ? Ataukah patriotisme dan keberanian di zaman pembangunan ini sudah tinggal menjadi dongeng dan slogan ? Banyak sekali tokoh di situ yang diam-diam ikut mendengarkan dengan perasaan malu dan sungkan. Tokoh-tokoh ini menyesal pihak-pihak yang membawa mereka ke mari karena menyangka mereka juga pejuang-pejuang pemberani. Lalu menyesali diri mereka sendiri yang dulu terlalu baik memerankan tokoh-tokoh gagah berani tanpa mengindahkan nurani. (Bunga-bunga yang setiap kali ditaburkan justru membuat mereka lebih tertekan) Apakah ini yang namanya siksa kubur? tanya seseorang di antara mereka yang dulu terkenal takabur. Tapi kalau kita tak disemayamkan di sini, makam pahlawan ini akan sepi penghuni, kata yang lain menghibur. Tiba-tiba mereka mendengar tentang Marsinah. Tiba-tiba mereka semua yang di Taman Pahlawan, yang betul-betul pahlawan atau yang keliru dianggap pahlawan, begitu girang menunggu salvo ditembakkan dan genderang penghormatan ditabuh lirih mengiringi kedatangan wanita muda yang gagah perkasa itu. Di atas, Marsinah yang berkerudung awan putih Berselendang pelangi tersenyum manis sekali: Maaf kawan-kawan, jasadku masih dibutuhkan Untuk menyingkapkan kebusukan dan membantu mereka Yang mencari muka. Kalausudah tak diperlukan lagi Biarlah mereka menanamnya di mana saja di persada ini
Sebagai tumbal keadilan atau sekedar bangkai tak berarti. (Pahlawan dan Tikus: 58)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita tentang ungkapan pertanyaan dari para pahlawan (yang benar-benar pahlawan) kepada kita tentang patriotisme dan keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di alam kemerdekaan ini. Masih tegakkah keadilan dan kebenaran di alam kemerdekaan ini atau hanya tinggal dongeng atau slogan belaka? Sementara, mereka yang salah disebut sebagai ‘pahlawan’ merasa malu mendengarkannya, sebab mereka dulu berjuang bukan demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Mereka berjuang untuk kepentingan pribadi bukan nurani. Tetapi begitu mereka (pahlawan dan yang salah disebut ‘pahlawan’) terperangah melihat jasad Marsinah yang berkrudung putih dan tersenyum manis. Mereka berharap Marsinah juga menerima perlakuan yang sama seperti saat mereka dulu dikebumikan. Akan tetapi, dugaan mereka salah. Bahwa jasad Marsinah belum dikebumikan, sebab masih digunakan untuk penyelidikan bagi orang-orang berperilaku jahat, yang hanya mencari muka. Bagi Marsinah, dikubur atau tidak, bukanlah hal yang penting. Yang terpenting bagi dirinya adalah merelakan dirinya menjadi tumbal demi tegaknya keadilan di negeri ini. Atau sebaliknya, hanya sebagai bangkai yang tak berarti apa-apa. Semua tergantung pada kita, sanggupkah kita tetap menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran di Republik tercinta ini dalam kondisi dan situasi apapun? Atau sebaliknya, membiarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan tercampakkan di negeri ini. Dalam puisi “Orang Kecil Orang Besar” di bawah ini, kita ditunjukkan dialog sederhana sebuah penghuni rumah yang tampak sangat sederhana dan penat, sepenat situasi yang menghimpit mereka seisi rumah. Dialog tersebut berupa nasihat dan wasiat ayah dan ibu yang lugu terhadap anaknya yang lugu pula. Nasihat dan wasiat itu berisi, bahwa si anak jangan sampai menjadi orang kecil yang selamanya akan selalu tidak
berdaya dan dibuat permainan orang-orang besar. Oleh karena itu, keduanya berpesan jadilah orang besar yang memiliki banyak kesempatan besar dan bisa mempermainkan apapun semaunya. Termasuk mempermainkan orang-orang kecil. Si anak terdiam, dalam hatinya bertanya-tanya. Mungkinkah orang kecil akan menjadi orang besar? Hal ini terus terngiang dalam hatinya, tentang orang kecil yang tak akan mampu dan berdaya untuk menegakkan nilai kebenaran dan keadilan hidup. Sedangkan orang besar yang selalu tegas mengatakan ‘persetan’ akan nilai kebenaran dan keadilan hidup. Suatu hari yang tak cerah Di dalam rumah yang gerah Seorang anak yang lugu Sedang diwejang ayah-ibunya yang lugu Ayahnya berkata:
“Anakku, Kau sudah pernah menjadi anak kecil Janganlah kau nanti menjadi orang kecil!”
“Orang kecil kecil peranannya Kecil perolehannya” tambah si Ibu
“Ya,” lanjut ayahnya “Orang kecil sangat kecil bagiannya Anak kecil masih mendingan Rengeknya didengarkan Suaranya diperhitungkan Orang kecil tak boleh memperdengarkan rengekan Suaranya tak suara.” Sang ibu ikut wanti-wanti:
“Betul, jangan sekali-kali jadi orang kecil Orang kecil jika jujur ditipu Jika menipu dijur Jika bekerja digangguin Jika mengganggu dikerjain.”
Ayah dan ibu berganti-ganti menasehati:
“Ingat, jangan sampai jadi orang kecil Orang kecil jika ikhlas diperas Jika diam ditikam Jika protes dikentes Jika usil dibedil
“Orang kecil jika hidup dipersoalkan Jika mati tak dipersoalkan.”
“Lebih baik jadilah orang besar Bagiannya selalu besar”
“Orang besar jujur tak jujur makmur Benar-tak benar dibenarkan Lalim-tak lalim dibiarkan.”
“Orang besar boleh bicara semaunya Orang kecil paling jauh dibicarakan saja”
“Orang kecil jujur dibilang tolol Orang besar tolol dibilang jujur Orang kecil berani dikata kurang ajar Orang besar kurang ajar dikata berani”
“Orang kecil mempertahankan hak Disebut pembikin onar Orang besar merampas hak Disebut pendekar” Si anak terus diam tak berkata-kata Namun dalam dirinya bertanya-tanya”
“Anak kecil bisa menjadi besar Tapi mungkinkah orang kecil Menjadi orang besar?” Besoknya entah sampai kapan Si anak terus mencoret-coret
Dinding kalbunya sendiri:
“Orang kecil??? O r a n g b e s a r ! ! ! !” (Pahlawan dan Tikus: 63)
Larik-larik puisi “Orang Kecil Orang Besar” di atas, kita ditunjukkan dialog sederhana sebuah penghuni rumah yang mungkin sangat sederhana dan penat, sepenat situasi yang menghimpit mereka seisi rumah. Dialog tersebut berupa nasihat dan wasiat ayah dan ibu yang lugu terhadap anaknya yang lugu pula. Nasihat kedua orang tua berisi, bahwa kelak nanti anaknya jangan sampai menjadi orang kecil. Sebab orang itu, kecil peranannya dan kecil perolehannya. Orang kecil itu tak boleh merengek dan meminta, sebab percuma, suaranya tak akan terderngar. Orang kecil itu jika jujur ditipu, jika menipu dihabisi, jika bekerja selalu diganggu, dan jika mengganggu akan dibuat main-main. Kedua orang tua si anak juga berwasiat janganlah kelak si anak menjadi orang kecil. Sebab orang kecil itu jika ikhlas akan diperas, jika diam akan ditikam (dibunuh), jika protes akan dikentes (dipukul), jika usil akan dibedil (ditembak), dan orang kecil itu jika hidup dipersoalkan, tapi jika mati tak dipersoalkan. Selanjutnya kedua orang tua tersebut berpesan pada anaknya, untuk menjadi orang besar. Sebab orang besar, bagiannya juga besar. Selain itu, orang besar itu jujur atau tidak jujur selalu makmur, benar atau tak benar selalu dibenarkan, zalim atau tak zalim akan dibiarkan. Orang besar boleh bicara semaunya, orang kecil paling hanya dibicarakan. Orang besar tolol dibilang jujur, orang kecil jujur dibilang tolol. Orang besar kurang ajar dikatakan berani, orang kecil berani dikatakan kurang ajar. Orang besar merampas hak disebut pendekar, orang kecil mempertahankan hak disebut pembikin onar. Si anak terdiam, dalam hatinya bertanya-tanya, mungkinkah orang kecil seperti dia akan menjadi orang besar? Hal ini terus terngiang dalam hatinya. Inilah gambaran tentang orang kecil yang selalu ragu dan bertanya tentang tegakknya nilai kebenaran dan keadilan hidup. Sedangkan orang besar, yang dengan tegasnya mengatakan ‘persetan’ terhadap tegaknya
nilai kebenaran dan keadilan hidup. Uraian analisis tema tentang ”kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup” yang terefleksi pada beberapa puisi (dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) di atas, dapat disimpulkan bahwa keadilan dan kebenaran masih merupakan cerita atau dongeng di alam kemerdekaan ini. Artinya, dalam kehidupan (saat ini) untuk menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran adalah perjuangan yang amat berat. Dibutuhkan keberanian, bahkan taruhannya adalah nyawa. Akan tetapi, seberat apapun perjuangan menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kita harus punya komitmen untuk menegakkannya. Selanjutnya, kita laksanakan komitmen tersebut dalam kehidupan yang nyata. Yakni, dengan tetap mengedepankan sikap adil dan benar dalam segala hal. Dengan tidak memandang untuk kepentingan diri sendiri ataupun kelompok kita. Akan tetapi, pada siapapun kita harus bersikap adil dan benar. Hal ini, sejalan dengan pendapat tentang sikap penyair yang disampaikan oleh M. Imam Aziz (2009 : xiii) dalam kata pengantarnya pada buku Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu, sebagai berikut. Gus Mus (A. Mustofa Bisri) adalah sebuah misteri, paling tidak bagi saya yang tidak terlalu akrab dalam pergaulan sehari-hari bersamanya. Tapi, justru dengan itu, saya menghormati beliau sepenuh-penuhnya. Pembawaannya yang entengan, penuh canda dan ledekan, namun bisa sangat “marah” dengan ketidakadilan, mencerminkan pandangan hidupnya yang tegak lurus dengan prinsip tasamuh-tawazun-i’tidal (toleran, seimbang, dan proporsional), seperti pada umumnya diyakini kalangan kiai pesantren.
3) Kritik terhadap Ketidakjujuran dalam Kehidupan Kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan adalah tema yang juga ingin disampaikan penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dalam
penelitian ini. Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tema ketidakjujuran dalam kehidupan, antara lain pada puisi yang berjudul ”Jangan Berpidato”, ”Rampok”, ”Menulis”, dan ”Allah Ampunilah Kami”. Dalam puisi berjudul ”Jangan Berpidato” di berikut ini, kita ditunjukkan sikap penolakan penyair terhadap pidato yang akhir-akhir ini sudah tidak lagi menunjukkan nuansa kejujuran nurani baik segi bentuk maupun isi. Keberadaan pidato sekarang ini hanyalah ocehan murahan untuk menutupi segala kekurangan. Kekurangan yang dianggap baik, akan membuat diri kita sendiri hancur dimakan kebaikan dan kejujuran nurani. Jangan berpidato! kata-katamu yang paling bijak hanyalah bedak murah yang tak sanggup lagi menutupi koreng-borok-kurap-kudis-panu-mu Peradaban
koreng!
Has asasi
borok !
Perdamaian
kurap!
Demokrasi
kudis!
Humanisasi
panu!
Berlagaklah adi siapa perduli Bangunanmu tinggal cantik di luar Tinggal menunggu saat-saat ambyar (Tadarus: 8)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita betapa tidak berdayanya sebuah nasihat dalam pidato dengan kata-kata paling bijak sekalipun. Sebab kebijakan yang dibawa hanyalah pelapis luarnya saja terhadap segala keburukan dan kebobrokan yang melatarbelakangi keadaan yang sebenarnya. Segala hal yang baik, semisal: peradaban, hak asasi, perdamaian, demokrasi, dan humanisasi adalah keburukan dari peradaban, hak asasi, perdamaian, demokrasi, dan humanisasi itu sendiri. Sehingga yang tampak dan dapat disaksikan hanyalah sebuah bangunan yang baik luarnya, tapi rapuh kerangka dan penyangganya. Pada akhirnya, tinggal menunggu hancur dan robohnya bangunan itu. Sikap yang ditunjukkan penyair pada kita, kejujuran seharusnya tidak hanya tampak di
luar, tetapi juga harus tampak di dalamnya. Dalam puisi “Rampok” di bawah ini, penyair menunjukkan kritik terhadap ketidakjujuran seseorang dalam bersikap. Umumnya, jika disuruh memilih antara harta, nyawa, dan nurani, maka jawaban yang diberikan kebanyakan adalah lebih senang harta daripada nyawa atau sebaliknya. Akan tetapi, lebih ironis lagi ada sebagian manusia justru lebih sayang pada nyawa atau harta daripada memihak pada nuraninya. Nyawa atau harta?! Harta ! Nyawa atau harta ?! Nyawa ! Nurani atau nyawa ?! Nyawa! Nyawa atau nurani?! Nya wa ! (Tadarus: 9)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik penyair tentang betapa tidak pentingnya harga sebuah nurani dibanding dengan harta maupun nyawa. Inilah yang sering kita jumpai dalam kehidupan, kita kurang berani dalam menampilkan kejujuran nurani. Meskipun kedudukan maupun jabatan dan keadaan ekonomi kita terhimpit sekalipun. Dalam puisi “Menulis” berikut ini, menunjukkan kritik penyair terhadap nilai-nilai kejujuran. Bahwa dalam kehidupan setiap orang memiliki kemampuan dan keahlian dalam membuat keputusan atau kebijakan yang setara dengan kedudukan atau jabatan yang disandanganya, tanpa harus didasari dengan kejujuran nurani. Semakin tinggi jabatan dan kedudukannya semakin bebas dia memutuskan segala sesuatu. Semakin tidak berdaya seseorang, maka semakin kecil dan sepele yang diputuskannya. orang kuat menulis katabelece helmezet helmezet
! orang besar menulis memo helmezet helmezet ! orang kaya menulis kwitansi helmezet helmezet ! orang rendah menulis pernyataan helmezet helmezet ! aku mencoba menulis puisi helmezet helmezet ?? (Tadarus: 22)
Larik-larik puisi di atas, penyair menunjukkan kritik pada kita tentang kejujuran hidup yang masih jauh dari impian nurani. Yang berlaku sekarang ini adalah bahwa siapa pemilik kekuasaan dan jabatan besar atau tinggi, maka dapat memutuskan apapun yang dikehendaki. Akan tetapi, sebaliknya jika tidak memiliki jabatan atau kedudukan, maka sudah sepantasnya tidak bisa berbuat apapun selain hanya bisa membuat hal-hal yang sepele dan remeh. Meskipun yang sepele dan remeh tersebut sangat berarti dan berdaya dalam mengungkap kejujuran dalam kehidupan. Sebaliknya, yang diputuskan orang-orang yang memiliki jabatan dan kedudukan hanyalah sebuah omong kosong dan tipuan-tipuan belaka terhadap kehidupan. Dalam puisi “Allah Ampunilah Kami” di bawah ini, kembali kita disadarkan akan ketidakberdayaan kita terhadap kemahakuasa-Nya. Dari hari ke hari kita semakin terbebani dengan segala ketidakpastian hidup. Hal itu terjadi, dikarenakan perilaku kita sendiri. Kita tidak meyakini keberadaan nurani dan kejujuran dalam bertindak dan bersikap. Padahal nurani dan kejujuran adalah suara Tuhan. Dari hari ke hari kita terus terbelenggu dengan ketidakmampuan kita untuk memisahkan antara kebenaran dan kemungkaran, perdamaian dan pertikaian, keserakahan
dan keberkahan, kemaksiatan dan ketaatan. Bahkan kebijakkan dapat terpasung oleh hukum, keadilan dipenjarakan oleh kekuasaan, dan nurani selalu diteror dan diasingkan oleh akal. Kalau sudah demikian ke mana kita akan mengadu, selain memohon ampunan pada Tuhan. Sebelum Tuhan menghancurkan peradaban kita sendiri. Allah, hendak Engkau hancurkan dengan cara apa kami maka Engkau kirim-kuasakan virus-virus penyebar ketidakpastian Yang dari hari ke hari menggerogoti keyakinan. Kebenaran menjadi tak begitu benar Bahkan sering terlalu benar Kemungkinan menjadi tidak begitu mungkar Bahkan sering terlalu mungkar Ikrar dan ingkar kehilangan pagar Damai dan bertikai kehilangan bingkai Serakah dan barokah kehilangan pemisah Maksiat dan dan taat kehilangan sekat Kebijaksaan menghadang hukum dan menghakiminya sendiri Kekuasaan mengamankan keadilan dan memenjarakannya tanpa Mengadili Akal menteror nurani dan mengasingkannya tanpa toleransi Allah, hendak Engkau hancurkan dengan cara apa kami maka Engkau kirm-kuasakan virus-virus penyebar ketidakpastian Yang dari hari ke hari menggerogoti keyakinan Allah, ampunilah kami. (Tadarus: 57)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita bahwa tanpa petunjuk dan pertolongan Tuhan, kita tak akan pernah mampu menegakkan suara Tuhan lewat nurani dan kejujuran dalan setiap sendi kehidupan. Hari demi hari, banyak kita jumpai ketidakmampuan kita untuk memisahkan antara kebenaran dan kemungkaran, perdamaian dan pertikaian, keserakahan dan keberkahan, kemaksiatan dan ketaatan. Bahkan kebijakkan dapat terpasung oleh hukum, keadilan dipenjarakan oleh kekuasaan, dan nurani
selalu diteror dan diasingkan oleh akal. Kalau sudah demikian, tidak ada waktu dan tempat yang tepat selain memohon ampunan pada Tuhan. Sebelum Tuhan mengahancurkan peradaban kita sendiri. Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawn dan Tikus, puisi yang mengungkap tentang ketidakjujuran dalam kehidupan, antara lain terdapat dalam beberapa puisi yang berjudul ”Pahlawan”, ”Seperti Sudah Kuduga”, ”Sujud”, dan ”Di Negeri Amplop”. Dalam puisi ”Pahlawan” berikut ini, kita ditunjukkan terhadap sosok pahlawan. Dia yang lahir kemudian hilang tanpa sebuah identitas dan itu memang yang tidak dia diingankan. Lalu dia berjuang hingga gugur. Meskipun gugur, dia tetap hidup dalam hati setiap orang yang mengedepankan nurani dan kejujuran. Sehingga tetap terus mengalir sampai tegaknya nurani dan kejujuran dalam hati setiap insan yang berharap. Lahir. Hilang. Gugur. Hidup. Mengalir. Sudah. (Pahlawan dan Tikus: 4)
Larik puisi di atas kita ditunjukkan sosok pahlawan yang benar-benar pahlawan adalah mereka yang membela nurani dan kejujuran. Dia yang tidak mementingkan untuk siapa dia lahir, lalu hilang untuk terus berjuang tanpa perlu diketahui siapapun. Kemudian dia gugur, tetapi tetap hidup dalam semangat nurani dan kejujuran pada diri setiap orang, hingga nurani dan kejujuran tertanam dalam diri setiap insan yang menginginkannya. Dalam puisi ”Seperti Sudah Kuduga” di bawah ini, kita ditunjukkan terhadap sebuah penyesalan yang akan terus berulang, sampai pada kita tidak dapat menyesali kembali. Hal ini terjadi, karena kita tidak menyadari bahwa setiap tindakan yang kita lakukan diperlukan pertimbangan nurani dan kejujuran. Sebab bila tidak, penyesalan akan menyelimuti kehidupan kita. Seperti sudah kuduga Kau akan menyesal Dan akan kembali
Mengulangi apa Yang kau sesali Sampai kau tak bisa lagi Menyesal dan kembali (Pahlawan dan Tikus: 6)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita, bahwa setiap yang kita lakukan hendaknya didasari dengan nurani dan kejujuran. Sebab bila tidak, penyesalan demi penyesalan akan terus menyelimuti kehidupan kita hingga kita tidak akan kuasa menyesalinya kembali. Dalam puisi ”Sujud” berikut ini, kita ditunjukkan bagaimana seharusnya kita bersujud dengan bentuk kepasrahaannya. Manakala kita bersujud, kita harus menanggalkan segala macam atribut dan kebanggaan yang menyelimuti hati. Kita tanamkan sikap jujur dan pasrah pada-Nya, atas segala ketidakberdayaan kita. Sebab yang kita jadikan media sujud adalah hakikat keberadaan kita, yakni tanah. Dari tanah kita berasal dan ke tanah pula kita akan kembali bagaimana kau hendak bersujud pasrah sedang wajahmu yang bersih sumringah keningmu yang mulia dan indah begitu pongah minta sajadah agar tak menyentuh tanah apakah kau melihatnya seperti iblis saat menolak menyembah bapamu dengan congkak tanah hanya patut diinjak tempat kencing dan berak membuang ludah dan dahak
atau paling jauh hanya lahan pemanjaan nafsu serakah dan tamak apakah kau lupa bahwa tanah adalah bapa dai mana ibumu dilahirkan tanah adalah ibu yang menyusuimu dan memberi makan tanah adalah kawan yang memelukmu dalam kesendirian dalam perjalanan panjang menuju keabadian? singkirkan saja sajadah mahalmu ratakan keningmu latakan heningmu tanahkan wajahmu pasrahkan jiwamu biarlah rahmat agung Allah membelaimu dan terbanglah, kekasih (Pahlawan dan Tikus: 38)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kritik pada kita, agar kita selalu mengedepankan kejujuran dan menanggalkan segala macam atribut dan kebanggaan yang kita miliki apabila kita bersujud dan kepasrahan pada-Nya. Sebab keberadaan kita dengan segala yang kita miliki adalah atas kehendak-Nya. Dengan media tanah, kita dingatkan kembali asal usul kita dan ke mana kita akan kembali. Hanya sikap jujur dan pasrah padaNya, kita dapat berharap sentuhan kasih sayang-Nya. Dalam puisi ”Di Negeri Amplop” berikut ini, kita ditunjukkan oleh penyair terhadap ketidakberdayaan sikap jujur manusia dalam menghadapi keadaan dan berbagai hal yang berbau materialistis dan hedonistis yang terus membelenggu. Kalau sudah demikian, maka akan muncul pada diri mereka seakan dibutakan, ditulikan, dibisukan, dan bahkan tertutup
mata hati dan nuraninya terhadap nilai-nilai kejujuran. Sehingga hanya uang, jabatan, dan kedudukan yang berbicara dan berkuasa atas diri mereka. Di negeri amplop Aladin menyembunyikan Lampu wasiatnya. Malu. Samson tersipu-sipu Rambut keramatnya Ditutupi topi. Rapi-rapi. David Coperfield dan Houdini Bersembunyi. Rendah diri. (Entah andaikata Nabi Musa Bersedia datang membawa tongkatnya) Amplop-amplop di negeri amplop Mengatur dengan teratur Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur Memutuskan putusan yang tak putus Amplop-amlop menguasai panguasa Dan mengendalikan orang-orang biasa Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan Mencairkan dan membekukan Mengganjal dan melicinkan Orang bicara bisa bisu Orang mendengar bisa tuli Orang alim bisa nafsu Orang sakti bisa mati Di negeri amplop Amplop-amplop mengamplopi apa saja dan siapa saja (Pahlawan dan Tikus: 57)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita terhadap sikap materialistis dan hedonistis yang terus membelenggu kehidupan manusia. Jika sudah demikian, maka
segala macam tatanan kehidupan yang baik yang mengedepankan kejujuran akan berubah seketika. Semua akan akan berkiblat pada keduanya (sikap materialistis dan hedonistis). Mata menjadi buta (tidak bisa melihat yang baik), telinga menjadi tuli (tidak dapat dapat mendengar petuah dan nasihat bijak), mulut menjadi bisu (tidak mampu menyuarakan kebaikan dan kebijakan), dan hati menjadi mati (tak akan mampu mengungkap kejujuran dan menuntun sikap rendah hati). Sebab materialistis dan hedonistis, tidak memandang siapa dan di mana dia akan bersandar dan menyandangnya. Kecuali mereka yang selalu mengedepankan sikap jujur dalam segala hal. Uraian analisis tema tentang ”kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan” yang terefleksi pada beberapa puisi (dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) di atas, dapat disimpulkan bahwa kita harus menempatkan kejujuran dalam kehidupan. Meskipun dalam situasi dan kondisi hidup yang sangat sulit. Kejujuran tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Juga tidak dibatasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, baik kepentingan pribadi maupun kelompok dan golongan. Kejujuran akan membawa hidup kita tenang dan tidak ’dihantui’ kesalahankesalahan. Akan tetapi, jika kita sudah terbiasa tidak jujur dalam segala hal, maka tinggal menunggu saat hancurnya kehidupan kita. Meskipun kita tidak menyadarinya. A. Mustofa Bisri dalam karya-karyanya lebih mengedepankan kejujuran, meskipun terasa ’pedas’ dan ’panas’ untuk dibaca dan diresapi pembaca. Karena kejujuran adalah obat bagi kehidupan kita. Terasa pahit untuk ditelan (diterima). Akan tetapi, jika sudah meresap dalam tubuh (menjadi sikap hidup), maka tubuh kita menjadi sehat (hidup kita menjadi tenang). Senada dengan hal itu, disampaikan oleh Hamdy Salad (2009:191) tentang karakter khas karya sastra (puisi dan prosa) dari A. Mustofa Bsiri, sebagai berikut. Hampir semua puisi dan prosanya dalam buku antologi Ohoi: Kumpulan Puisi-puisi Balsem (1991), Tadarus (1993), Pahlawan dan Tikue (1995), Rubaiyat Angin dan Rumput (1995), Wekwekwek: Sajak-sajak Bumulangit (1996), dan Lukisan Kaligrafi (2004) menyuratkan karakter khas yang bersifat terbuka dan lugas, penuh penghargaan pada suara hati nurani. Menyatakan sesuatu dengan apa adanya
(menyuarakan kejujuran), sebagaimana yang dilihat dan dirasakan, namun tidak terjebak pada jargon dan pamflet semata. Kritiknya terhadap penguasa sangat pedas, namun tidak terasa panas di dada. Tidak cengeng, tetapi tidak pula absurd. Karya prosanya seolah hanya bercerita, tapi tidak terjatuh pada dongeng. Dan inilah bagian penting dari ekspresi sastranya; selalu berupaya untuk menghindar dari bentukbentuk wacana khutbah, apalagi mengusung fatwa dan menggurui soal agama para pembacanya. Sehingga, karya-karya sastra yang dilahirkan dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat pendukungnya.
4) Koreksi dan Introspeksi Diri Tema lain yang diungkapkan penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus pada penelitian ini adalah koreksi dan introspeksi diri. Beberapa puisi dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tentang hal koreksi dan introspeksi diri ada dalam beberapa puisi yang berjudul ”Puisi Berkata Padaku”, ”Lalat-lalat”, ”Pesona”, ”Tidur”, ”Puisi Islam”, ”Nasihat-nasihat”, ”Nurani”, dan ”Kulihat Wali-wali Allah”. Dalam puisi berjudul ”Puisi Berkata Padaku” di bawah ini, penyair menunjukkan bahwa kata dan kalimat yang disusun dalam puisi-puisinya mengalir dengan sendirinya tanpa ada yang mencegah. Puisi-puisinya mengalir sejalan dengan tuntutan dan tuntunan hidup tanpa ada yang mencegah termasuk diri penyair sendiri. Memang inilah hakikat puisi, biarlah dia menjaga keberadaban yang mulai tercabik-cabik oleh situasi dan keadaan yang amburadul. Dia bukan hanya indah dengan kata-kata, tetapi harus tetap mengindahkan segala sesuatu yang mulai mengeruhkan jiwa. Tidak peduli bagi karya penyair (A. Mustofa Bisri) sendiri. Sebelum lahir puisiku bertanya padaku haruskah aku lahir Dari rahimmu yang kering aku berkata diamlah Dia berkata kalau aku harus lahir lahirkah aku Seperti yang lain cantik dan indah kataku diamlah Dia terus nerocos kalau aku harus lahir untuk apa Harus cantik dan indah bukanlah cantik dan indah bagi yang berselera Atau bagi maniak-maniak keindahan yang hingga lupa segala Diamlah kataku Tidak aku akan lahir sendiri. Diamlah. Apa adanya
Diamlah. Lihatlah aku akan lahir kau mau atau tidak aku tidak akan Tergiur mempersolek diri cantik dan indah untuk yang belum Mati rasa. Diamlah. Aku tak akan pedulikan ambisi-harga-dirimu tak pedulu nafsu pamermu Yang dekil-degil. Diamlah diamlah diamlah bentakku. Tidak tidak tidak. Lahirku pun kau tak mampu membendung Aku tetap kau mau atau tidak lahir dan bicara apa adanya Aku sudah asah sendiri huruf-hurufku jangan coba-coba Menumpulkannya dengan melumurkan karat-gengsi dan tahi-nama Pada matanya berkilauan Akan kutusuk-tusukkan mata kilaunya pada mata batin bertahi Siapa saja termasuk jeroan-busukmu sendiri seperti mereka Menusuk-nusuk ozonku Menusuk-nusuk peradaban dan kemanusiaan mereka sendiri Aku akan ganggu mereka meski sekejab-sekejab seperti mereka Selama ini dan tak henti-hentinya mengganggu kebingungan Yang belum sempat mengatur nafas. Belum sempat aku mengatur nafas. Puisiku telah melesat lahir dengan sendirinya. (Tadarus: 1)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan bahwa melalui kata-kata dalam puisi-puisinya, penyair mengungkapkan kesungguhan dalam merangkainya. Kata-kata yang terangkai adalah bentuk kejujuran yang menyuarakan hati nurani yang akan terus menyeruak dan meluncur keluar untuk menghadang segala macam kemungkaran dan kebatilan. Kata-kata yang disusun penyair (A. Mustofa Bisri) bukanlah kata-kata manis untuk meninabobokkan segala pujian dan sanjungan. Dia terus akan melesat maju dan menusuk-nusuk mendung hati yang penuh gengsi, ambisi dan harga diri yang berlebihan (bagi siapapun). Termasuk diri penyair (A. Mustofa Bisri). Dalam puisi berjudul “Lalat-Lalat” berikut ini, menunjukkan pentingnya kesadaran sikap rendah hati pada diri kita (termasuk penyair). Bahwa, kita bukanlah orang suci yang menyuarakan kebajikan. Tapi kita seperti manusia lain, yang masih banyak kekurangan. Sehingga segala (kata-kata) yang keluar dari diri kita, tidak seutuhnya bermuatan
kebajikan. Akan tetapi, bisa jadi keburukan itu sendiri yang dibalut dengan kata-kata bijak. Di borokku yang belum kering benar Lalat-lalat dengan dingin bermain Menari-nari nanar Mabuk darah dan nanah Helm-helmnya berkilatan Sayap-sayapnya menggelepar Menciptakan lagu lapar Terbius aku sendiri Rasa risi menyengat nyeri Kuusir datang lagi kuusir datang lagi Kuusir Datang Lagi. Sialan ! (Tadarus: 5)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan bahwa diri kita (termasuk penyair) bukanlah orang suci dari segala hal (pikiran, ucapan, dan perbuatan). Kebaikan yang terlihat (dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan) adalah kebaikan yang dibalut dengan keindahan. Sehingga tampak secara lahiriah adalah kebaikan dan kesempurnaan. Padahal, kita seperti umumnya manusia yang lain, yang masih banyak kekurangan dan kelemahan serta sifat dan karakter buruk lainnya dalam segala hal. Inilah sikap rendah hati yang sudah sepantasnya lebih ditunjukkan dalam kehidupan. Dalam puisi berjudul “Pesona” di bawah ini, penyair menunjukkan gambaran sikap ketidakberdayaan diri (manusia) terhadap keberadaan benda ajaib yang bernama televisi. Melalui televisi kita bisa dapatkan apapun yang menjadi keinginan kita dan seluruh keluarga kita. Kita dapat hiburan dan informasi apapun, baik yang manfaat maupun mudlarat. Kita tidak akan mampu membendung arus derasnya informasi, yang akan memalingkan kita dan membuat kita semakin jauh dari-Nya. Istriku, anank-anakku, sering-sering anak-anak tetanggaku, pembantu-pembantuku, sering-sering pembantu-pembantu
tetanggaku, hari-hari bersimpuh terpaku menghadap ke satu kiblat menyimak sepenuh jiwa-raga entah apa. Meja makan apalagi meja belajar hari-hari terlantar. Telpon yang berderng-dering, pintu yang diketuk-ketuk tamu,bahkan pengeras suara yang melengkin-lengkingkan adzan tak terdengar. Tak ada seorang pun sudi meminjamkan sebelah telinga saja, sekejap saja Semua tenggelam dalam kekhusyukan-asyik yang ajaib bagai tersihir pesona gaib. Bagai wali-wali Allah dalam keadaan fana ketika mengeja isyarat-isyaratNya. Mereka sedang belajar dengan metoda belajar yang ampuh luar biasa. Pelan-pelan tapi pasti pelajaran-pelajaran terserap bahkan terhayati sampai ke sungsum-sungsum mereka Mereka diajari menyanyi lagu apa saja, menari apa saja, mengaji apa saja, di ajari masak-memasak yang sesuai atau bertentangan dengan selera diajari bermain komedi yang menyedihkan dan drama yang menggelikan. Mereka dididik membinasakan selera dan raa keindahan. Mereka diajari bermain cinta muali gaya Siti Nurbaya hingga Casanova, bahkan mereka diajari membunuh dan meyiksa dengan berbagai cara yang mendirikan bulu roma. Mereka dididik membunuh rasa malu dan iba. Tuhan, aku yang mendatangkan guru privat ajaib itu Tentu saja dengan maksud yang mulia Aku yang membayar uang bulanannya Ternyata ketika ia menyihir keluargaku seenaknya Aku tak bisa menghentikannya.
(Benda mati persegi itu salah satu bukti kehebatan khalifahMu
dan seperti sesamanya diciptakan karena ilmu pengetahuan dan kebanggaanlalu diproduksi besarbesaran karena mencari keuntungan dan yang memanfaatkannya ada yang demi ilmu dan kemajuan ada yang emi informasi dan hiburan ada yang demi kepuasan dan kekayaan ada pula yang menggunakannya ikut-ikutan atau asal menggunakan) Tuhan, kami tak mampu menhentikannya atau memanfaatkannya Musuh kami dan musuhMu lagi-lagi telah lebih dahulu dengan sangat sempurna memanfaatkannya untuk misinya. Memalingkan kami dariMu. Tuhan, lihatlah menghadapi benda mati ciptaan sendiri pun kami tak berdaya dan mengaku kepadaMu. (Tadarus: 6)
Laik-larik puisi di atas menunjukkan bahwa pada umumnya (manusia) mengakui akan ketidakmampuan diri untuk membendung arus informasi yang begitu deras memalui media televisi, benda kotak ajaib yang menjanjikan berbagai macam hiburan dan informasi. Media televisi merupakan wujud karya ilmu pngetahuan yang hebat dari manusia sekaligus wujud ketidakberdayaannya manusia menghadapi dampak yang ditimbulkan media tersebut. Sehingga antara manfaat dan mudlarat yang ditimbulkan, kita susah untuk memilih dan memilahnya. Pada akhirnya, membuat diri kita semakin jauh dari-Nya. Hal inilah, yang diungkap penyair, betapa lemahnya kita (manusia) untuk membendung dampak negatif dari benda ciptaan kita sendiri. Apalagi untuk menghadapi dan membandingkan dengan Kemahasempurnaan Sang Maha Pencipta. Dalam puisi berjudul “Tidur” berikut ini, menunjukkan bahwa betapa lemahnya kita (manusia). Bahwa dalam situasi dan kondisi apa pun kita masih terlalu lemah jika berada di hadapan-Nya. Sehingga lalat pun dapat menunjukkan, bahwa kita pada dasarnya mampu menyembunyikan keburukan dan kelemahan kita. Wajahku diinjak-injak lalat (Tadarus: 16)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan, bahwa kelemahan dan keburukan yang kita miliki akan terus nampak dalam keadaan dan kondisi apa pun. Inilah bukti, betapa rendah dan lemahnya kita. Jika kita berada di hadapan-Nya. Dalam puisi bertajuk “Puisi Islam” berikut ini, menunjukkan bahwa Islam yang kita sandang dengan segala konsekuensinya dalam kehidupan masih dalam bentuk bangunan fisik belaka. Belum pada tataran dan tuntunan batin atau hati. Sehingga apa yang kita sandang, baik pakaian dan aksesorinya, pekerjaan, maupun gaya berkomunikasi dan sebagainya. Seluruhya hanyalah berlabel Islam dari bungkusnya. Belum sampai pada isinya, sehingga patut kita sangsikan diri kita dengan pertanyaan “Sudah Islamkah kita dengan semua itu?”. Islam agamaku, nomor satu di dunia Islam benderaku, berkibar dimana-mana Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana Islam tempat sekolahku, tak kalah dengan lainnya Islam sorbanku Islam sajadahku Islam kitabku Islam podiumku, kelas eksklusif yang mengubah cara dunia memandangku Tempat aku menusuk kanan-kiri Islam media massaku, gaya komunikasi islami masa kini Tempat aku menikam sana-sini Islam organisasiku Islam perusahaanku Islam yayasanku Islam instansiku, menara dengan seribu pengeras suara Islam mukatamarku, forum hiruk pikuk tiada tara Islam bursaku Islam warungku, hanya menjual makanan sorgawi Islam supermarketku, melayani segala keperluan manusiawi Islam makananku Islam teaterku, menampilkan karakter-karakter suci Islam festivalku, memerintahkan hari-hari mati
Islam kausku Islam pentasku Islam seminarku, membahas semua Islam upacaraku, menyambut segala Islam puisiku, menyanyikan apa Tuhan, Islamkah aku? (Tadarus: 29)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita tentang agama Islam yang kita sandang, masih berupa label fiisk belaka. Belum menunjuk pada tataran sikap dalam hati. Sehingga pakaian dan aksesorinya, pekerjaan, cara komunikasi dan sebagainya hanyalah berupa label Islam. Sehingga secara terus-menerus, kita sanksi akan keberadaan Islam kita, “Apakah kita kita memang sudah benar-benar Islam?” Kita sendirilah yang berhak menjawabnya dengan nurani dan hati kita. Dalam puisi berjudul “Nasihat-Nasihat” di bawah ini, menunjukkan akan kelemahan kita untuk menerima berbagai macam seruan bijak berupa nasihat-nasihat di mana dan kapan pun serta lewat media apa pun. Semakin sering kita dengar nasihat, semakin sering pula kita melupakan dan tidak mengindahkannya. Dari hari ke hari siang-malam nasihat-nasihat luhur itu Menterorku menghadangku hingga di spanduk-spanduk jalan Menguntitku hingga di stiker-stiker kendaraan menguberku Dengan pengeras-pengeras suara yang memekik-mekik memekakkan Mencegatku di pamflet-pamflet pagar-pagar rumah dari kantor Mengusikku dari layar-layar bioskop dan seri-seri drama teve Mengepungku di kolom-kolom Koran dan majalah mengurungkanku di Mesjid-mesjid surau-surau gereja-gereja dan lanpangan-lapangan upacara ….. Hingga tak sempat aku melaksanakannya (Tadarus: 63)
Larik-larik puisi menunjukkan pada kita pada setiap gerak dan langkah dalam kehidupan kita tidak dapat lepas dengan petuah maupun nasihat-nasihat luhur. Di mana dan kapan pun kita akan dihadapkan pada petuah maupun nasihat bijak tersebut. Misalnya
lewat pengeras suara, pamflet-pamflet, layar bioskop dan televisi, koran, dan majalah. Bahkan di surau, masjid, dan gereja juga pada tempat-tempat upacara. Semakin sering kita dengar nasihat, semakin sering pula kita melupakan dan tidak mengindahkannya. Inilah kelemahan kita yang sebenarnya. Banyaknya nasihat tidak membuat diri kita semakin baik, tetapi berlaku sebaliknya pada diri kita. Dalam puisi berjudul “Nurani” berikut ini, kita ditunjukkan bahwa nurani tidak lagi menjadi pedoman kita dalam bersikap dan bertindak. Karena kita telah dininabobokkan dengan berbgai hal yang menjauhkan diri kita darinya (nurani), semisal sikap materialistis dan hedonistis.
Semula dengkurnya menggangu tidurku. Kini tak lagi. (Tadarus: 66)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan ketidakberdayaan kita untuk menempatkan nurani pada tempatnya. Kita telah banyak terbuai dengan dengan urusan dan kepentingan yang berbau kebendaan dan duniawi. Inilah kelemahan kita yang secara terus-menerus ada dalam sikap dan tindakan kita. Akan tetapi, terkadamg kita tidak menyadarinya. Dalam puisi bertajuk “Kulihat Wali-Wali Allah” di bawah ini, menunjukkan pada kita betapa lemah dan ringkihnya kita dibanding dengan para wali Allah (manusia yang lebih dekat dengan Allah). Dengan segala Kasih Sayang-Nya, hati sanubari mereka terus bercahaya menembus ruang dan waktu dan menghadirkannya dalam kehidupan. Keberadaan mereka dapat menembus media apapun (tidak terbatas oleh ruang dan waktu). Perilaku mereka adalah jalan dzikir untuk menuju jalan-Nya. Sedangkan kita hanya mampu menyesali diri dengan segala keterbatasan dan kelemahan, hingga tak mampu berbuat apapun selain penyesalan demi penyesalan. Kulihat wali-wali Allah berterbangan Dengan sayap-sayap dzikir
menembus cahya menuju Maha Cahya. Aku pun tergesa-gesa Berangkat Dengan sayap-sayap ringkih Bagai laron menuju cahya Wali Allah, wali Allah, Jangan tinggalkan aku di bawah! Tak terdengar jawab. Senyap. Di atas Wali-wali Allah terus mencahya dan menderas Di bawah Aku tetap jadi rayap tanah Menggerogoti diri sendiri Hingga punah. (Tadarus: 73-74)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita tentang perbandingan diri kita dengan wali-wali Allah. Sebab jalan yang kita tempuh berbeda dengan para wali Allah. Mereka menempuh jalan dzikir untuk selalu menuju ke jalan-Nya. Sedangkan kita menempuh jalan lainnya, yang semakin menjauhkan diri dari jalan-Nya. Sehingga yang kita masuki adalah kegelapan hati. Oleh karena itu, setiap hari kita dihadapkan pada pernyataan dan kenyataan “tiada hari tanpa penyesalan diri”. Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus yang mengungkapkan tema koreksi dan introspeksi diri adalah beberapa puisi yang berjudul ”Huruf-huruf Hidup”, ”Les”, ”Andaikata”, ”Nasihat-nasihat Ramadan buat Mustofa Bisri”, dan ”Ya Rasulullah”. Dalam puisi bertajuk ”Huruf-Huruf Hidup” di bawah ini, kita dihadapkan pada
pengharapan sang penyair (A. Mustofa Bisri) agar apa yang terurai dalam kata dan kalimat puisi-puisinya bisa menjadi untaian kata dan kalimat yang dapat menjadi petuah bijak bagi diri penyair maupun pembacanya. Huruf-huruf hidup Huruf-huruf mati Kurangkai-rangkai Kujadikan setangkai kata Ingin kusematkan Tersenyumlah! Di rekah bibirmu Lalu tiuplah pelan-pelan Biar bertebaran Kalimat-kalimat keramat Bagai manik-manik sorga Di telaga Hatiku. (Pahlawan dan Tikus: 5)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita terhadap pengharapan penyair terhadap untaian kata dan kalimat dalam puisi-puisinya menjadi petuah bijak bagi diri penyair mapun bagi pembacanya. Dalam puisi berjudul “Les” berikut ini, menunjukkan gambaran pemikiran penyair yang berkelana di alam bawah sadarnya, yakni alam binatang. Ternyata di alam binatang, berlaku aturan “Dilarang Mengganggu Manusia”. Sebuah sindiran bagi kita makhluk yang bernama manusia, bahwa binatang pun mampu mengendalikan diri untuk tidak mengganggu manusia. Bagaimana dengan manusia? Sudahkan tidak mengusik kehidupan binatang. Kesanggupan itu terjadi masih dalam impian. Entah kapan dapat terwujud? Les! Tiba-tiba mimpi membawaku melayang Melanglang alam binatang Ternyata di sini tak seperti alam kita Tak ada kata-kata
Hanya makna Kecuali di suatu ruang Mirip kebun binatang Kubaca di depannya tulisan gambalng: Kebun Manusia ‘Panggalipang’ Ketika masuk kulihat di mana-mana Di antara kandang-kandang Papan peringatan terpampang: Awas, dilarang mengganggu manusia Di sini aku tersesat Ketika mencoba lepas lari Dari mimpi Les! Tiba-tiba aku sudah berada Di salah satu kandang Dan Kulihat diriku Berusaha Terjaga (Pahlawan dan Tikus: 9)
Larik-larik puisi di atas kita ditunjukkan pemutarbalikan fakta tentang kehidupan manusia yang masuk dalam kehidupan binatang. Dalam alam bawah sadarnya, penyair beranggapan bahwa binatang masih memiliki sifat perikebinatangan, sehingga mereka sayang terhadap manusia. Hal ini menunjukkan otokritik, bahwa kita (manusia) masih belum memiliki kesadaran atas sifat perikemanusiaan kita untuk selalu menjaga keseimbangan alam, termasuk menaruh rasa sayang terhadap binatang. Dalam puisi bertajuk “Andaikata” di bawah ini menunjukkan akan kelemahan diri kita (termasuk penyair), yang hanya bisa berkata andaikata. Sebuah kata harapan yang menunjukkan kelemahan kita dalam segala hal. Yang kita punya hanya sikap kalah, resah, luka, pilu, penuh air mata, renta dan menderita. Andaikata kita tidak memiliki semua kelemahan itu, maka kita akan mampu melaksanakan apa yang kita ingin wujudkan dalam kehidupan kita. Sehingga tidak akan lagi muncul dalam diri kita, kata-kata harapan
andaikata tanpa sebuah usaha konkret. Andaikata ku punya Tak hanya Lengan lunglai Tempat kita meletakkan kalah Andaikata ku punya Tak hanya Pangkuan landai Tempat kita merebahkan resah Andaikata ku punya Tak hanya Dada luka Tempat kita menyandarkan duka Andaikata ku punya Tak hanya Tangan kelu Tempat kita menggenggam pilu Andaikata ku punya Tak hanya Kata-kata dusta Penyekam airmata Andaikata ku punya Tak hanya Telinga renta Penampung derita Andaikata Ku punya Tak hanya Andaikata (Pahlawan dan Tikus: 9)
Larik-larik di atas menunjukkan sikap keputusasaan yang selalu ada dalam diri kita. Sehingga apa yang kita hadapi ke depan hanya sebuah harapan dan cita-cita yang belum pasti terwujud. Hal ini terjadi karena ketidakyakinan terhadap kemampuan kita dalam
segala. Kita kebanyakan mendahulukan sikap putus asa sebelum melakukan tindakan nyata. Dalam puisi berjudul “Nasihat Ramadlan Buat A. Mustofa Bisri” berikut ini, kita ditunjukkan cerminan diri dan sikap kita melalui untaian kata dari penyair (A. Mustofa Bisri) dalam memaknai ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Banyak hal yang semestinya dapat kita petik dari Ramadhan sebagai media tadzkiyah an nafs (penyucian jiwa) dari segala macam penyakit hati dan jiwa. Puasa tidak hanya menahan lapar, dahaga, dan segala hal yang membatalkan puasa. Lebih dari itu, puasa adalah media mengasah pribadi kita untuk tetap dapat menahan diri dan bersikap sabar dalam segala hal. Sebab yang akan kita raih adalah derajat taqwa, yakni puncak sikap penghambaan diri untuk selalu dengan tulus dan ikhlas melaksanakan perintah-Nya dan menghindari segala larangan-Nya. Mustofa, Jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kau selalu mengatakan Ramadlan bulan ampunan apakah hanya menirukan Nabi Atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihanlah yang Menggerakkan lidahmu begitu Mustofa, Ramadlan adalah bulan antara dirimu dan Tuhanmu. Darimu hanya untukNya dan ia sendiri tak ada yang tahu apa yang akan dianugerahkanNya kepadamu. Semua yang khusus untukNya khusus untukmu.
Mustofa, Ramadlan adalah bulanNya yang ia serahkan padamu dan bulanmu Serahkanlah semata-mata padaNya. Bersucilah untukNya. Bersalatlah UntukNya. Berpuasalah untukNya. Berjuanglah melawan dirimu sendiri untukNya.
……………………………………………………………………. Berpuasalah
Suci. Kan Dirimu Musrofa, Bukan perut yang lapar bukan tenggorokan yang kering yang Mengingatkan kedlaifan dan melembutkan rasa. Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering ternyata hanya penunggu Atau perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa. Barangkali lebih sabar sedikit dari mata tangan kaki dan kelamin, lebih tahu Sedikit berpuasa tapi hanya kau yang tahu Hasrat dikekang untuk apa dan siapa
……………………………………….. Tidak. Puasakan Hasratmu Hanya untuk Hadlirat Nya ! Ramadlan bulan suci katamu, kau menirukan ucapan Nabi atau kau telah Merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu Tapi bukankah kau masih selalu menunda-nunda menyingkirkan kedengkian Keserakahan ujub riya takabur dan sampah-sampah lainnya yang mampat dari Comberan hatimu? Mustofa, Inilah bulan baik saat baik untuk kerjabakti membersihkan hati Mustofa, Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu Yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi Kau puja selama ini. Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini Seperti Ramadlan-ramadlan yang lalu (Pahlawan dan Tikus: 83-85)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan cerminan diri kita melalui untaian kata dari penyair (A. Mustofa Bisri) dalam memahami ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Ramadhan adalah media penempaan seorang hamba untuk mencapai derajat taqwa (melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya). Ramadhan juga merupakan media tadzkiyatun an nafs (penyucian jiwa) dari segala macam penyakit hati dan jiwa. Selain itu, puasa adalah proses penempaan dan pelatihan diri untuk selalu dengan tulus dan ikhlas dalam menahan diri terhadap segala hal yang merusak hati dan jiwa serta selalu dengan tulus dan ikhlas pula menanamkan sikap sabar untuk menjalankan segala ibadah menuju keridlaan-Nya. Dalam puisi bertajuk “Ya Rasulullah” di bawah ini menunjukkan pada kita tentang kemuliaan sang penghulu para Nabi, Rasulullah saw. Dengan kemuliaan akhlaknya, kita (manusia umumnya) tidak akan mampu membandingkan dengan akhlak beliau. Sehingga yang kita harapkan hanyalah syafaat (pertolongan) beliau di alam akhirat, yakni di lembar kedua kehidupan nanti. Segala yang ada pada diri ini, jasad, ruh, dan seluruh panca indera yang kita miliki setiap saat dan sebisa mungkin untuk selalu berharap syafaatnya. Akan tetapi, setiap saat pula kita dengan mudahnya melakukan perbuatan yang tidak diinginkan dan disenangi Rasulullah saw. Meskipun kita peluk dan yakini Islam, kita tanamkan iman dalam hidup serta semampu kita untuk berbuat ihsan dalam setiap ibadah, tapi sudahkah kita lakukan demi mengharap ridla-Nya dan berharap syafaat beliau Rasulullah saw. Aku ingin seperti santri berbaju putih Yang tiba-tiba datang menghadapmu Duduk menyentuh kedua lututnya pada lutut agungmu Dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas paha-paha muliamu Lalu aku akan bertanya ya rasulallah Tentang islamku Ya rasulallah Tentang imanku Ya rasulallah
Tentang ihsanku Ya rasulallah Mulut dan hatiku bersaksi Tiada tuhan selain Allah Dan engkau ya rasul utusan Allah Tapi kusembah juga diriku astaghfirullah Dan risalahmu hanya kubaca bagai sejarah Ya rasulallah Setiap saat jasadku salat Setiap kali tubuhku bersimpuh Diriku jua yang kuingat Setiap saat kubaca salawat Setiap kali tak lupa kubaca salam Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh Salam kepadamu wahai nabi juga rahmat dan berkat Allah Tapi tak pernah kusadari apakah di hadapanku Kau menjawab salamku Bahkan apakah aku menyalamimu Ya rasulallah Ragaku berpuasa Dan jiwaku kulepas bagai kuda Ya rasulallah Sekali-kali kubayar zakat dengan niat Dapat balasan kontan dan berlipat Ya rasulallah Aku pernah naik haji Sambil menaikkan gengsi Ya rasulallah, sudah islamkah aku? Ya rasulallah Aku percaya allah dan sifat-sifatnya Aku percaya malaikat Percaya kitab-kitab sucinya Percaya nabi-nabi utusannya Aku percaya akherat Percaya qadla – kadarnya Seperti yang kucatat
Dan kuhafal dari ustad Tapi aku tak tahu Seberapa besar itu mempengaruhi lakuku Ya rasulallah, sudah imankah aku? Ya rasulallah Setiap kudengar panggilan Aku menghadap Allah Tapi apakah ia menjumpaiku Sedang wajah dan hatiku tak menentu Ya rasulallah, dapatkah aku berihsan? Ya rasulallah Kuingin menatap meski sekejap Wajahmu yang elok mengerlap Setelah sekian lama mataku hanya menangkap gelap Ya rasulallah Kuingin mereguk senyummu yang segar Setelah dahaga di panggung kehidupan hambar Hampir membuatku terkapar Ya rasulallah Meski secercah, teteskan padaku Cahyamu Buat bekalku sekali lagi Menghampirinya (Pahlawan dan Tikus: 86-88)
Larik-larik puisi di atas adalah wujud penghambaan diri penyair pada sang Pencipta sekaligus pengakuan terhadap kemuliaan terhadap Nabi junjungan, Rasulullah saw. Jika dibanding dengan akhlak Rasulullah saw, akhlak kita amatlah berbeda jauh baik pikiran, ucapan, maupun sikap atau perbuatan. Beliau adalah uswatun hasanah (contoh yang baik) dalam segala hal. Meskipun kita akui dan yakini Islam sebagai pedoman hidup, kita imani apa yang
menjadi pedoman rukun iman, dan semaksimal mungkin kita berbuat ihsan untuk meraih ridla-Nya, tapi sudahkah kita benar-benar tulus dan ikhlas dalam melakukannya. Inilah cermin kelemahan kita. Bahwa kita hanya bisa mengucapkan, tetapi belum bisa menerapkan dalam kehidupan yang nyata, baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Dalam keadaan yang demikian, tiada lain pedoman kita selain beribadah untuk dapat meraih ridla-Nya dan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memperoleh syafaat beliau, Rasulullah saw di lembar kedua kehidupan nanti. Dengan cara meneladani sikap dan perilaku beliau dalam kehidupan sehari-hari di alam fana ini. Uraian analisis tema tentang ”koreksi dan introspeksi diri” yang terefleksi pada beberapa puisi (dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam disadari atau tidak diri kita baik pada pikiran, ucapan, maupun perbuatan dalam kehidupan ini masih penuh dengan berbagai keburukan dan kelemahan. Sehingga tidak lain yang kita hadirkan dalam diri adalah sikap rendah hati, yakni pengakuan atas segala keburukan dan kelemahan yang ada pada diri kita. Segala kesempurnaan dan kemuliaan hanya milik Tuhan Yang Maha Sempurna dan Maha Mulia. Termasuk beberapa manusia pilihan Tuhan, di antaranya para Nabi dan Wali Allah. Mereka menjadi manusia yang dipilih Tuhan disebabkan oleh jalan dzikir yang ditempuhnya untuk menggapai Cahaya Tuhan yang penuh dengan kasih sayang. Kita yang belum menempuh jalan Tuhan tetap berusaha dengan jalan tadzkiyah annafs (penyucian diri) melalui ibadah yang telah diperintahkan Tuhan dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang-Nya, dengan tulus dan ikhlas. Dengan terus-menerus menyadarkan diri terhadap berbagai kelemahan dan kekurangan atau sikap rendah hati di hadapan Tuhan. Sejalan dengan hal tersebut dikatakan oleh Slamet Effendy Yusuf dalam Labibah Zain dan Lathiful Khuluq (eds.) (2009:215) sebagai berikut. Sebagai kiai dan ulama, A. Mustofa Bisri memiliki pengetahuan yang luas tentang Tuhan, pencipta, makhluk, hakikat kehidupan, serta introspeksi diri dan sebagainya yang bernilai filosofis tinggi. Akibatnya, unsur-unsur Ketuhanan sangat melekat pada
karya-karyanya (syair, puisi, cerpen,dll). Rangkaian kata-kata beliau adalah wujud dari penghambaan dan kepatuhan beliau sebagai makhluk kepada Sang Penciptanya. Bait-bait puisi dan syairnya sangat kental dengan untaian rasa syukur atas karuniaNya. Hal ini pula yang membuat karya-karya indahnya sangat diminati, karena tidak hanya memberikan keindahan seni dan budaya, tetapi juga sarat akan makna serta mampu menyentuh dimensi emosi para pembaca. Tepat kiranya jika banyak orang kemudian menyebutkan bahwa puisi dapat menjadi sarana yang tepat untuk berdakwah. KH. Mustofa Bisri adalah bukti nyata.
5) Kesadaran Spiritual Tema terakhir yang ingin diungkapkan oleh penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dalam penelitian ini adalah kesadaran spiritual. Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tentang tema kesadaran spiritual adalah beberapa puisi yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”, ”Tadarus”, ”Buah Mata”, ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Tanpa Jarak”, ”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, ”Matahari”, ”Bulan”, ”Laut”, ”Langit”, dan ”Doa”. Tampak dalam puisi yang berjudul ”Titik-Titik Hujan” berikut ini, penyair mengungkapkan permohonan perlindungan dan rahmat hanya kepada Tuhan dari berbagai godaan, musibah, dan kerumitan hidup. Titik-titik hujan terus Mengetuk-ngetuk malam-dinginku Mengabarkan kesedihan langit Sekali-kali kulihat kilat Matanya yang geram tajam Menyeruak pekat Seperti mencariku hendak menikam Hatiku yang kecil kecut Kupeluk diriKu kencang-kencang Dalam gigil yang semakin dahsyat Tuhan, selimutilah aku
Dengan rahmatMu.
(Tadarus: 33) Larik-larik dalam penggalan puisi di atas mengungkapkan gambaran tentang godaan, musibah, dan masalah dalam hidup akan datang terus pada diri manusia (termasuk penyair) seperti tak akan pernah berakhir. Penyair menggunakan metafora untuk melambangkannya dan menggambarkan suasana hati, seperti titik-titik hujan malam dingin, kesedihan langit, dan matanya yang geram tajam menyeruak pekat. Puncak kekalutan manusia digambarkan dengan dalam gigil yang semakin dahsyat. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan untuk melawan kekalutannya. Sebagai makhluk yang lemah, manusia selalu dihantui beragam masalah kehidupan hingga membuatnya sangat menderita. Dan, hanya kepada Tuhan manusia memohon perlindungan dan rahmat serta kekuatan untuk mengarungi pasang surut kehidupan. Hal lain yang diangkat penyair dalam puisinya adalah sindiran kepada manusia yang beribadah dengan niat memuaskan nafsu dunianya. Sebagaimana yang tergambar dalam puisi berjudul ”Tadarus” di bawah ini. ................................................................................... Ya Tuhan, kemana gerangan belalang malang ini ‘kan Gunung amal yang dibanggakan Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan Atau gunung-gunung dosa akan memberati timbangan Bagi persembahan lidah Hawiyah? Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu Akan menerbangkannya ke lautan ampunan Shadaqallahul’ Adhiem Telah selesai ayat-ayat dibaca Telah sirna gema-gema sari tilawahnya Marilah kita ikuti acara selanjutnya Masih banyak urusan dunia yang belum selesai Masih banyak kepentingan yang belum tercapai Masih banyak keinginan yang belum tergapai
terlempar?
Marilah kembali berlupa Insya Allah Kiamat masih lama. Amien.
(Tadarus: 46) Tampak sekali pada larik-larik puisi di atas bahwa belalang malang, yang tidak lain adalah metafora untuk manusia yang merasa memiliki banyak amal ibadah tetapi tak memiliki nilai dalam pandangan Tuhan. Karena ibadah mereka tersebut tidak didasari niat ikhlas demi mengagungkan Tuhan, maka gunung amal yang dibanggakan tersebut bisa saja berubah menjadi selembar bulu saja saat perhitungan amal di hari kiamat nanti. Sindiran yang lebih keras lagi adalah begitu tidak bermaknanya bacaan ayat-ayat Alquran bagi sebagian manusia. Mereka sama sekali tidak memahami makna ayat-ayat Alquran yang baru dibacakan, apalagi mengamalkan kandungan ajarannya. Mereka lebih sibuk memikirkan dan menenggelamkan diri dalam kesibukan-kesibukan duniawi. Puncaknya, yakni sindiran yang paling keras terhadap keteledoran manusia yang menganggap bahkan sangat yakin, bahwa kiamat masih lama. Mereka merasa hari pembalasan itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Oleh karena itu, mereka leluasa berbuat dosa dan bersenang-senang dengan melupakan lembar kedua kehidupan, yakni akhirat. Penyair juga mengangkat gambaran proses penciptaan manusia, sebagaimana dalam puisi berjudul ”Buah Mata”. Gambaran tersebut seperti yang terkandung dalam kitab suci (Alquran).
Sekali pancar cintamu melepas-luncurkan ratusan juta Makhluk hidup yang tak kasatmata Berlomba berenang di garba istrimu yang tercinta Berebut mahkota Yang membuahkan buah mata Ikutlah sesekali meluncur berenang dalam sungai cintamu
Sampai ke garba kahidupan Lihatlah proses agung penciptaan anakmu yang dahsyat Wahai alangkah rumit Wahai alangkah ajaib Wahai alangkah wahai Nutfah jadi darah Darah jadi daging Kaukah yang menjadikan Kulit membalut daging Daging membalut tulang Tulang membalut sungsum Kaukah yang membalut Oto-otot Urat-urat Saraf-saraf Resepto-resepto Kelenjar-kelenjar Sel-sel Bulu-bulu Rongga-rongga Pori-pori Usus-usus Paru-paru Mata Hidung Telinga Mulut Limpa Ginjal Kelamin Dubur Jantung Otak Hati Ruh. Lihatlah air cinta yang kau tumpahkan Bagai hujan tumpah ke bumi
Bumi membelah diri Bagi suatu kelahiran Kau tak meniupkan ruh tak meniupkan cipta Bagaimana anakmu mampu hidup dan mencipta Kau tak memasang indera tak memasang anggota Bagaimana anakmu mampu mengindera dan nyata Kau tak menitipkan rasa tak menitipkan kaya Bagaimana anakmu mampu merasa dan berkata Kau tak menitipka benci tak menitipkan cinta Kau tak emnitipkan senyum tak menitipkan airmata Bagaimana anakmu mampu tersenyum dan mengucrukan airmata Kau tak meniupkan apa-apa tak menitipkan apa-apa Karena memang kau seperti anakmu juga Sejak mula tak memiliki apa-apa Bagaimana kau mengaku segala apa? Kau tahu Pemiliknya yang sejati Menitip-amanatkan padamu Dan tak pernah berhenti mengawasimu (Tadarus: 76)
Dalam puisi ini digambarkan bahwa Tuhan adalah Zat Yang Mahakuasa. Tuhan menciptakan manusia dari sperma hingga menjadi janin melalui proses yang rumit dan ajaib. Selain itu, larik-larik puisi tersebut juga memaparkan bahwa pada dasarnya manusia tidak memiliki kekuatan, selain kekuatan dari Tuhan. Orang tua yang melahirkan anak pada hakikatnya sama sekali tidak memiliki kekuasaan terhadap anaknya. Pemilik sejati anak-anak mereka tsb adalah Tuhan. Namun, penyair mengingatkan kita (manusia) bahwa Tuhan mengamanatkan anakanak itu kepada para orang tuanya agar merawat, mengasuh, dan mendidik sesuai ajaran Tuhan. Pada hari kiamat nanti, para orang tua akan dimintai pertanggungjawaban dan tidak sedikit pun mereka bisa mengelak, karena Tuhan tidak pernah berhenti mengawasinya.
Dalam puisi berjudul ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang” di bawah ini, kita ditunjukkan pengalaman religi si penyair saat berada di masjidil haram (Makkah) suatu tempat yang menjadi kiblat umat Islam sejagad. Di tempat itu yang ia jumpai hanya pemujaan dan pemujian hamba kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta. Mereka kumandangkan tahlil, tahmid dan takbir secara terus-menerus seolah tanpa putus-putusnya. Satu tujuan mereka, hanya berharap atas ampunan dosa dari-Nya. Di pelataran agungMu nan lapang Kawanan burung merpati Sesekali sempat memunguti Butir-butir bebijian Yang Kau tebarkan Lalu terbang lagi
Menggores-gores biru langit Melukis puja-puji Nan hening
Di pelataran agungMu nan lapang Aku setitik noda Setahi burung merpati Menempel pada pekat gumpalan Yang menyeret warna Bias kelabu Berputaran Mengabur melayu Luruh dalam gemuruh Talbiah Takbir dan tahmid Di kejar dosa-dosa
Dalam kerumunan dosa
Ada sebaris doa Siap kuucapkan
Lepas Terhanyut airmata Tersangkut di kiswah Nan hitam
Di pelataran agungMu nan lapang Aku titik-titik tahi merpati Menggumpal dalam titik noda Berputaran Mengabur melaju Luruh dalam gemuruh Talbiah Takbir dan tahmid Mengejar ampunan
Dalam lautan ampunan
Terpelanting
Dalam Khauf dan raja (Tadarus: 37-38)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan kepada kita sebuah bukti totalitas penghambaan manusia kepada Sang Khaliq, Allah swt. Tiada lain yang diucapkan, selain sanjungan dan pujian kepada-Nya semata, dengan tahlil, tahmid, dan takbir. Dengan berharap ampunan atas segla dosa dan khilaf yang di sandangnya. Sebagaimana puisi sebelumnya, dalam puisi berjudul “Wanita Cantik di Multazam” berikut ini, kita ditunjukkan sebuah gambaran pengalaman spiritual penyair pada saat di Multazam, sebuah tempat yang diyakini umat Islam berdsarkan sabda Nabi Muhammad saw sebagai tempat yang mustajabah (terkabulnya segala doa dan pinta hamba). Di sinilah penyair seolah menemukan sebuah wujud pertemuan yang indah dalam ibadah, saat bersatunya kalbu dengan Tuhan. Pertemuan ini digambarkan seolah pertemuannya dengan sosok wanita cantik. Di tengah-tengah himpitan daging-daging doa di pelataran rumahMu yang agung aku mengalirkan diri dan ratapku hingga terantuk pada dinding-mustajabMu menumpahkan luap-pintu di dadaku kubaca segala yang bisa kubaca dalan berbagai bahasa runduk
hamba dari tahlil dari tasbih ke tahmid dari tahmid ke takbir dari takbir ke istighfar dari istighfar ke syukur dari syukur ke khauf dari khauf ke raja dari raja ke khauf raja khauf khauf raja khaufraja sampai tawakkal tiba-tiba sebelum benar-benar fana melela dari arah multazam seorang wanita cantik sekali masya Allah tabarakAllah! Allah, apa amalku jika kurnia Apa dosaku jika coba? Allah, putih kulitnya dalam putih kerudungnya Indah sekali alisnya Indah sekali matanya Indah sekali hidungnya Indah bibirnya Dalam indah wajahMu Allahku, kunikmati keindahan dalam keindahan di atas keindahan di bawah keindahan di kanan-kiri keindahan di tengah-tengah keindahan yang indah sekali Allahku, inilah kerapuhanku! Tak kutanyakan kenapa Engkau bertanya bukan ditanya kenapa Tapi apa jawabku? - - ampunilah aku - - tanyalah jua yang Kupunya kini: Allahku, mukallafkah aku dalam keindahanMu? (Tadarus: 39-40)
Larik-larik puisi di atas adalah wujud pengalaman spiritual, yakni pertemuan antara
penyair dengan Tuhan dalam ikatan kalbu penghambaan dan pengharapan yang amat dekat. Pertemuan itu terjadi di Multazam, sebuah tempat di mana terkabulnya doa dan pinta hamba (umat manusia). Pertemuan itu diumpamakan dengan perjunpaan dengan sosok wanita yang cantik. Dalam puisi berjudul “Tanpa Jarak” berikut ini,
kita ditunjukkan posisi
penghambaan penyair kepada Tuhan sekaligus pengalaman spiritualnya, begitu dekat hatinya dengan Tuhan. Sehingga dalam bentuk komunikasi apapun seakan-akan dia dengan Tuhan begitu dekat, tanpa jarak. Tanpa jarak Maka entah rapat entah berantara Tanpa aksara Maka entah diam entah bicara Tanpa ketika Maka entah sebentar entah lama Tanpa masa Maka entah kekal entah fana Tanpa janji Maka entah berpisah entah bersua (Tadarus: 64)
Larik-larik puisi di atas adalah wujud pengalaman spiritual penyair dengan Tuhan, bahwa dia dengan Tuhan begitu dekatnya, seakan tanpa sekat yang menghadang. Meskipun dalam waktu dan tempat yang berbeda. Sebuah wujud komunikasi (bentuk ikatan batin), penyair merasakan hatinya begitu dekat dengan Tuhan. Dalm puisi berjudul “Berlapis-lapis Cahaya Menghadang” berikut ini, kita ditunjukkan sebuah pencarian diri (penyair) agar keberadaan batinnya selalu dekat dengan ‘Cahaya’ Tuhan. Sebab tanpa adanya cahaya Tuhan, hakikat hidupnya tidak bermakna. Berhamburan deras cahaya Tuhan di alam semesta seakan memberi rahmat pada semua makhluk ciptaan-Nya. Sungguh besar kasih Tuhan pada semesta dan penyair ingin selalu menjadi bagian dari ‘Cahaya’ Tuhan itu, agar dapat menjadi penerang bagi siapapun yang
membutuhkan. Berlapis-lapis cahya menghadang Lepas satu bermilyar-milyar pijar Menghambur menyilau pandang Memancar mentari Menerangi langit dan bumi Makhluk-makhluk hidup Makhluk-makhluk mati Yang terbang dan mengangkasa Yang merayap dan melata Yang menyelam dan berenang Menyilau pandang Kututup mataku Barangkali dengan gelap bisa Kutembus pijar-pijar dan lapis-lapis cahya Sia-sia Boleh jadi aku mengandung pijar-pijar Tapi aku ingin cahya O, Maha Cahya Yang dilindungi cahya-cahya, Cahyakanlah aku Agar aku bisa meyatu Dengan cahya-cahyaMu Atau kalau tidak jadikanlah aku Sekilas pijar agar mampu Merenangi cahya-cahyaMu menujuMu (Tadarus: 68)
Larik-larik puisi di atas menggambarkan sebuah keinginan yang luar biasa dari diri penyair akan curahan ‘cahaya’ Tuhan. ‘Cahaya’ Tuhan adalah bagian dari kemahabesaran dan Maha Kasih Tuhan pada alam semesta, Dia penerang tanpa batas, kecuali pada saatnya nanti (kiamat) Dia sendiri yang mencabut cahaya itu dari semesta. Penyair ingin selalu menjadi bagian dari ‘Cahaya’ Tuhan itu, sehingga dapat menjadi penerang bagi siapapun yang membutuhkan.
Dalam beberapa puisi berjudul “Matahari”, “Bulan”, “Laut”, dan “Langit” berikut ini, kita ditunjukkan sebuah keberadaan kepasrahan total diri penyair terhadap Kemahabesaran Tuhan. Dia kuasa atas penciptaan semua makhluk-Nya. Keberadaan matahari, bulan, laut, dan langit dengan segala manfaatnya, adalah bukti kemahabesaranNya. Termasuk bergerak dan bertindaknya keempat makhluk ciptaan-Nya tersebut dalam rotasi masing-masing, berjalan atas izin dan sesuai dengan sunatullah (hukum Allah) untuk kemanfaatan semesta. Matahari terbit dan terbenam, bulan dengan pantulan sinarnya yang indah menerangi malam, laut yang amat luas, dan langit yang terhampar bebas tanpa batas adalah ibarat ilmu Tuhan yang tak akan pernah habis. Semuanya itu diakui oleh penyair, akan kemahabesaran dan kuasanya Tuhan, pencipta semesta. Jika terbit disini Aku tak perduli tenggelam dimana (Tadarus: 69) Bulan, Ayo berpandang-pandangan Siapa yang lebih dahulu berkedip Menemukan atau kehilangan pesona wajahNya. (Tadarus: 70) Laut, Aku ingin meminum habis airmu Tapi untuk apa? (Tadarus: 71) Langit, Adakah langit di atas birumu? (Tadarus: 72)
Larik-larik dari empat puisi di atas adalah wujud kesadaran spiritual penyair akan kebesaran dan kuasa Tuhan, dalam menciptakan semesta dan segala isinya. Tuhan ciptakan matahari, bulan, laut, dan langit dan semua ciptaan-Nya bukanlah hal yang sia-sia
dan kesemuanya berjalan dan bergerak sesuai dengan sunnah-Nya (perintah dan mandatNya). Puisi lain yang sangat kental dengan nuansa spiritualnya adalah puisi yang berjudul ”Doa”. Puisi ini menunjukkan pada kita terhadap sebuah pengungkapan pengakuan penyair kepada Tuhan dengan segala sifat kesempurnaannya. Sifat-sifat Tuhan yang dkenal adalah yang terangkum dalam 99 nama baik bagi Tuhan (al asma al husna). Kita (manusia) hanya berharap dan memohon pada-Nya, agar diberi perlindungan, pertolongan dan ampunanNya atas segala yang menjadi kelemahan dan kesalahan kita. Selanjutnya, kita dituntun pula oleh penyair untuk selalu mencari ridla-Nya. Sebab tanpa ridla-Nya semata, apa yang kita dapatkan ini hanyalah sebuah kesia-siaan hidup belaka. Ya Allah ya Rahmanu Wahai Tuhan Yang Maha penyayang Sayangilah kami terutama ketika kami lalai dan mabuk kepayang Ya Allah ya Rahiimu Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih Kasihilah kami terutama ketika kami kalah dan tersisih Ya Allah ya Maliku Wahai Tuhan Yang Maharaja Rajakanlah kami atas nafsu-nafsu kami yang manja ................................................................................... Ya Allah ya Jaliilu Wahai Tuhan Yang Maha luhur Luhurkanlah derajat kami Kelak bersama para nabi, wali, dan ulama jumhur Ya Allah ya Kariimu Wahai Tuhan Yang Maha murah
Anugerahilah kami Dari kemurahanMu yang tak pernah berkurang walau sezarah Ya Allah ya Raqiibu Wahai Tuhan Yang Maha mengamati Tajamkanlah pengamtan kami Terhadap tipuan-tipuan halus setan dan noda-noda hati ......................................................................................... Ya Allah ya Waaritsu Wahai Tuhan Yang Maha waris Wariskanlah kepada kami Pengetahuan dan keteguhan para nabi Untuk meneruskan perjuangan sesuai garis Ya Allah ya Rasyiidu Wahai Tuhan Yang Maha penuntun Tuntunlah kami ke jalan yang benar Dan jadikanlah kami hamba yang santun Ya Allah ya Shabuuru Wahai Tuhan Yang Maha sabar Jadikanlah kami Hamba yang sabar dan terhadap hawa nafsu tidak mengumbar Amin. (Tadarus: 79-93)
Larik-larik dalam puisi di atas, penyair menuntun kita untuk selalu memanfaatkan Al Asmaul Al Husna (nama-nama baik bagi Tuhan) dalam mengawali setiap berdoa. Namanama Tuhan tersebut adalah petunjuk bagi kita terhadap segala Keagungan-Nya dan itulah yang menjadi sumber inspirasi untuk menjadi hamba yang baik. Misalnya, setelah menyebut Ya Allah ya Lathiifu (Mahalembut), dia kemudian memohon lembutilah kami dan lebutkanlah hati kami sebelum kian berkabut. Di beberapa larik lainnya, setelah menyebut Ya Allah ya Hadii (Maha Pemberi
Petunjuk), dalam berdoa tunjukkanlah kami jalan yang lurus yang harus kami lalui seperti Engkau perintahkan. Satu bait lainnya, setelah menyebut Ya Allah ya Baqii, maka bermohonlah kekalkanlah keyakinan kami terhadap pertolonganMu hingga kami tak pernah berhenti tawakkal. Selain esensi pentingnya berdoa, sebagai perjalanan spiritual menuju ‘Cahaya’ Tuhan. Puisi ini sarat akan sifat-sifat mulia Tuhan yang patut diteladani manusia sebagai hamba-Nya. Dengan meneladani sifat-sifat tersebut, diharapkan manusia bisa memperbaiki kualitas diri dan hidupnya. Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus yang mengungkapkan tema tentang kesadaran spiritual adalah beberapa puisi yang berjudul ”Ibu”, ”Kurban”, ”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”. Puisi ”Ibu” kita ditunjukkan sebuah penggambaran spiritual penyair akan penghormatan dan pujian kepada seorang ibu, yang menurut hadist Nabi Muhammad saw, bahwa sosok seorang ibu sangat dimuliakan oleh Tuhan. Ibu ibarat kesempurnaan ciptaan Tuhan yang amat berharga dan bermanfaat. Ibu juga yang akan membawa perjalanan bahagia maupun sengsara buah kasihnya, sehingga Tuhan berkenan memberi amanat membawa surga di bawah telapak kakinya. Tiada lain yang diharap penyair, selain bermohon pada-Nya agar ibunya diselalu diberi kemuliaan dan kasih sayang seperti kemuliaan dan kasih sayang Tuhan kepada para kekasih-Nya. Ibu Kaulah gua teduh tempatku bertapa bersamamu sekian lama Kaulah kawah dari mana aku meluncur dengan perkasa Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku siang dan malam mata air yang tak brenti mengalir membasahi dahagaku telaga tempatku bermain berenang dan meyelam Kaulah, ibu, laut dan langit yang menjaga lurus horisonku Kaulah, ibu, mentari dan rembulan yang mengawal perjalananku mencari jejak sorga di telapak kakimu (Tuhan, aku bersaksi ibuku telah melaksanakan amanatMu menyampaikan kasih sayangMu maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasihMu Amin). (Pahlawan dan Tikus: 37)
Larik-larik puisi di atas adalah penggambaran kesadaran spiritual penyair tentang sosok seorang ibu, yang disebut pula sebagai wakil Tuhan di bumi. Sejak dalam kandungan, setiap manusia telah merasakan besarnya pengorbanan seorang ibu. Hal ini digambarkan dengan kaulah gua teduh tempatku bertapa bersamamu sekian lama. Selama sembilan bulan mengandung, seorang ibu pasti mengalami berbagai hal yang berat. Namun, dengan suka cita dia menjalaninya karena besarnya rasa cinta kepada janin yang dikandungnya. Setelah sang bayi lahir, rasa cinta ibu tidak berkurang, justru semakin berlimpah. Dia mengasuh, memanjakan, mendidik, dan menjaga anaknya sepenuh hati. Dalambait-bait puisi tersebut, tergambar sangat jelas betapa besar jasa ibu bagi anaknya.
Karena itu, setiap anak sudah seharusnya berbakti kepada ibunya. Meskipun tidak sebanding dengan pengorbanan ibu, memanjatkan doa untuk ibu adalah hal yang mulia untuk dilakukan. Bait terakhir puisi tersebut merupakan sebuah doa yang sangat dalam maknanya. Puisi lain yang juga bernuansa spiritual berjudul ”Kurban”. Puisi ini mengangkat sebuah puncak perjalanan spiritual, yakni ibadah haji. Peristiwa dalam puisi ini adalah pengalaman spiritual penyair pada saat melaksanakan ibadah haji. Salah satu peristiwa ini adalah terkait dengan sejarah yang dialami Nabi Ibrahim as, istri (Siti Hajar), dan putra beliau (Nabi Ismail as). di sana barangkali ibrahim, hajar, dan ismail pun mengawasi lautan kafan kepasrahan berputar-putar mengitari titik bumi allahu akbar! Meluap-luap di pelataran suci mencoba menyapu sampah dalam diri selama ini allahu akbar! Menderas arus berkejar-kejaran putar-balik antara bukit shafa dan marwah meyakinkan diri akan penerimaan sebelum tumpah menutup padang arafah yang ramah allahu akbar! Meluber ke muzdalifah membanjiri mina yang menyerah allahu akbar! Lalu balik melimpah menggenangi ka'bah dan menyatu dengan mataair zamzam yang pemurah allahu akbar! Di sini pun kerelaan ibrahim, kepatuhan hajar, dan kepasrahan ismail menguji kesayangan yang dikurbankan bismillahi allahu akbar! Relakah sepenuh hati relakah!
Relakan sepenuh hati relakan! Bismillahi allahu akbar! Kurelakan permataku semata wayang bismillahi allahu akbar adakah yang lebih tersayang melebihi putera tersayang adakah yang lebi berharga melebihi nyawa kecuali kasihnya yang menanti di batas ketulusan? Hari ini pun agaknya hingga kapan pun kurban tetap tak seberapa takbir tak seberapa tahmid tak seberapa tapi terimalah, tuhan! Bismillahi allahu akbar walillahil hamdu! (Pahlawan dan Tikus: 72)
Larik-larik puisi di atas adalah gambaran perjalanan spiritual penyair saat menjalankan ibadah haji, di antaranya pada saat melaksanakan ibadah thawaf (mengelilingi Kakbah) dilambangkan dengan lautan kafan kepasrahan berputar-putar mengitari titik bumi. Sedangkan para jamaah haji yang sedang melaksanakan ibadah sa’i (berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah) dilambangkan dengan menderas arus berkejar-kejaran putar-balik antara bukit shafa dan marwah. Sementara itu, jamaah haji yang tengah wukuf di Arafah dilambangkan dengan tumpah menutup padang arafah yang ramah. Lebih dari itu, penyair mengingatkan esensi ritual-ritual haji tersebut. Thawaf, misalnya, merupakan upaya menyapu sampah dalam diri selama ini atau melebur dosadosa yang telah dilakukan. Sedangkan sa’i merupakan usaha meyakinkan diri akan penerimaan atau memantapkan keimanan. Ibadah haji memiliki kaitan yang sangat erat dengan sejarah Nabi Ibrahim as, istri (Siti Hajar), dan putra beliau (Nabi Ismail as). Hikmah keteladan yang dapat dipetik adalah
kerelaan Ibrahim as, kepatuhan Hajar, dan kepasrahan Ismail as saat Tuhan menguji iman mereka dengan menyembelih Ismail. Karena itu, kurban binatang yang dilakukan saat Idul Adha sama seklai tidak sebanding dengan pengorbanan Nabi Ibrahim as yang rela putra beliau (Nabi Ismail as) untuk disembelih sebagai wujud penghambaan dan mematuhi perintah Tuhan. Puisi berikutnya berjudul ”Nazar Ibu di Karbala”. Puisi ini penyair menggambarkan sebuah pengalaman spiritual seorang ibu yang berjiwa besar saat berdoa dan bernazar di depan makam di sebuah wilayah di Iraq, yakni Karbala. Dalam pemikiran penyair, ibu ini sangat luar biasa. Betapa tidak? Meskipun Tuhan mengujinya dengan cobaan yang amat berat, suaminya meninggal, anaknya kehilangan satu kaki, dan rumahnya hancur akibat perang, dia tetap berbesar hati. Sebab hal ini tidak sebanding dengan ujian dan cobaan yang dialami cucu Rasulullah saw, Sayyidina Husain binta Sayyidatina Fatimah Az Zahra. Inilah bukti kesadaran spiritual yang tinggi seorang hamba akan ’Cahaya’ dari Tuhannya. pantulan mentari senja dari kubah keemasan mesjid dan makam sang cucu nabi makin melembutkan pada genanga airmata ibu tua bergulir-gulir berkilat-klat seolah dijaga pelupuk agar tak jatuh indah warnanya menghibur bocah berkaki satu dalam gendongannya tapi jatuh juga akhirnya manik-manik bening berkilauan menitik pecah pada pipi manis kemerahan puteranya
“ibu menangis ya, kenapa?
Meski kehilangan satu kaki bukankah ananda selamat kini seperti yang ibu pinta?”
“airmata bahagia, anakku kerna permohonan kita dikabulkan kita ziarah kemari hari ini memenuhi nazar ibumu” cahaya lembut masih memantul-mantul dari kedua matanya ketika sang ibu tiba-tiba brenti berdiri tegak di pntu makam menggumamkan salam:
“assalamu'alaika ya sibtha rasulillah salam bagimu, wahai cucu rasul salam bagimu, wahai permata zahra” lalu dengan permatanya sendiri dalam gendongannya hati-hati maju selangkah selangkah menyibak para peziarah yang begitu meriah disentuhnya dinding makam seperti tak sengaja dan pelan-pelan dihadapkannya wajahnya ke kiblat membisikkan munajat:
“terimakasih, tuhanku dalam galau perang yang tak menentu engkau hanya mengujiku sebatas ketahananku engkau hanya mengambil suami gubuk kami dan sebelah kaki anakku tak seberapa dibanding cobamu terhadap cucu rasulmu ini engkau masih menjaga kejernihan pikiran
dan kebeningan hati tuhan, kalau aku boleh meminta ganti gantilah suami, gubuk, dan kaki anakku dengan kepasrahan yang utuh dan semangat yang penuh untuk terus melangkah pada jalan lurusmu dan sadarkanlah manusia agar tak terus menumpahkan darah mereka sendiri sia-sia tuhan, inilah nazarku terimalah.” (Pahlawan dan Tikus: 34)
Larik-larik puisi di atas adalah wujud kesadaran sipiritul yang tinggi, yang dialami seorang ibu di sebuah makam di daerah Iraq, yakni Karbala. Meskipun Tuhan mengujinya dengan cobaan yang berat, dia tetap tabah. Sebab ujiannya tersebut tak sebanding dengan ujian Tuhan terhadap cucu Rasulullah saw, yakni Sayyidina Husain putra dari Sayyidatina Fatimah Az Zahra. Ibu itu terus memohon kepada Tuhan dan bernazar agar kiranya tidak ada lagi pertumpahan darah di antara manusia, jadikan manusia hidup dalam ketentraman dan kedamaian. Puisi berjudul ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili” berikut ini adalah wujud kesadaran spiritual penyair akan perlindungan dan bantuan Tuhan terhadap dirinya. Hizib Nashar adalah sebuah ritual doa yang biasa dilaksanakan di kalangan santri untuk tujuan perlindungan dan benteng diri dari segala macam ancaman dan bencana baik yang datang dari diri sendiri maupun orang lain. Ya Allah, Dengan lecut keperkasaanMu yang memaksa Dengan kilat pertolonganMu yang membela Denagn ghirahMu kerna diinjak-injaknya kehirmatanMU
Dengan perlindunganMu terhadap mereka yang berlindung pada ayat-ayatMu Kami memohonMu, ya Allah Wahai Yang Maha Mendengar Wahai Yang Maha Dekat Wahai Yang Maha Pengabul Wahai Yang Maha Kilat Wahai Yang Maha Menghukum Wahai Yang Maha Dahsyat hantamanNya Wahai Yang Maha Perkasa Wahai Yang Maha Memaksa Wahai Yang tak tertaklukakan oleh pemaksaan mereka yang perkasa Yang tak sukar membinasakan raja-raja angkara, Hunjamkanlah tipudaya mereka yang memperdaya kami ke leher mereka sendiri Balikkan muslihat mereka yang menipu kami menimpa mereka sendiri Jerumuskan mereka yang menggali lubang untuk kami ke dalamnya Dan mereka yang memasang perangkap untuk kami jerat dan jebloskan mereka, Ta Tuhan, ke dalamnya! ........................................................................................................ Jika telat dan menjauh bantuan handai tolan Yang terdekat pada kami adalah bantuan Allah O, bantuan Allah bergegaslah Uraikan simpul kami, o, bantuan Allah Orang-orang yang melampaui batas sudah keterlaluan Dan kami menharap Allahlah yang menyelamatkan Cukup Allah sebagai pembela Cukup Allah sebagai penolong Allah mencukupi kami Tempat bersandar paling handal Laa haula walaa quwwata illa billahi'i'Aliyi'l'Adhiim tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Luhur Maha Agung Salaamun'alaa Nuuhin fi 'l-'aalamiin Kesejahteraan bagi Nuh di seluruh alam Kabulkanlah kami
Amin, amin, amin! Tertumpaslah habis kaum yang zalim Alhamdulillahi Rabbi 'l' aalamiin Washallahu 'alaa sayyidinaa Muhammadin Wa'alaa'aalihi wa shahbihi was sallam. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam Shalawat dan salam bagi pemimpin kami Muhammad Beserta keluarga dan para shahabatnya. (Pahlawan dan Tikus: 95-99)
Larik-larik puisi di atas adalah wujud kesadaran spiritual penyair akan penghambaan dirinya kepada Tuhan melalui doa Hizib Nashar. Di kalangan para santri doa ini sering digunakan untuk benteng diri dari segala ancaman dari dalam diri manusia maupun orang lain. Doa hizib adalah puncaknya doa, setelah doa-doa lain tak dapat atau belum dapat menjawab persoalan hidup, yakni tentang totalitas perlindungan Tuhan atas diri kita. Sejalan dengan puisi di atas, dalam puisi berjudul ”Doa Akasyah” berikut ini adalah juga merupakan gambaran kesadaran spiritual penyair akan Maha Besar dan Maha Kuasanya Tuhan dalam segala sesuatu dan dalam menentukan sesuatu. Oleh karena itu, penyair selalu memohon dan meminta untuk selalu diberi petunjuk dan perlindungan baik di dunia maupun di akhirat. Dalam kalangan santri, doa akasyah adalah salah satu perwujudan doa untuk permohonan perlindungan total bagi diri sendiri, keluaraga, kerabat atau sahabat, dan umat muslim secara umum dari gangguan dan mara bahaya, baik yang datang dari diri sendiri maupun orang lain sekaligus ujian dari Tuhan. Ya Allah, Wahai Pelimpah anugrah Wahai Yang Senantiasa bermurah Wahai Pemberi kurnia sempurna Wahai Pembagi rezki kepada hamba-hambaNya dalam keadaan bagaimana saja Wahai Yang Maha Indah tiada tara Wahai Yang Maha kekal tiada sirna Selamatkanlah kami dari kekufuran dan kesesatan demi Laa ilaaha illahallah Muhammadur Rasuulullah
shallallahu 'alaihi wasallam ........................................................................................ Ya Allah, Wahai Tuhanku; Wahai Yang Maha Hidup Wahai Yang Maha Tegak Sendiri Wahai Yang Tiada Tuhan selain Engkau Maha Suci Engkau aku telah termasuk mereka yang lalim
“Maka Aku mengabulkannya dan menyelamatkannya dari kesusahan demikianlah Aku menyelamatkan mereka yang beriman” Tiada Tuhan selain Dia KepadaNyalah aku berserah diri Dialah Tuhan Penguasa 'Arasy yang agung Cukup bagiku Allah Sebaik-baiknya pelndung dan Sebaik-baik pembela Tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung Ya Tuhan kami, anugerahilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat dan lindungi kami dari api neraka Shalawat Allah terlimpahlah kiranya kepada sebaik-baik ciptaanNya cahaya'Arasynya pemimpin dan nabi kita pemberi syafaat kita, Muhammad dan kepada keluarganya seta sekalian para shahabatnya dengan rahmatMu Wahai Sebaik-baik perahmat Amin Ya Rabbal 'alamin. (Pahlawan dan Tikus: 100-108)
Larik-larik puisi di atas adalah gambaran kesadaran spiritual penyair dalam perwujudan doa. Doa yang disampaikan kepada Tuhan adalah doa akasyah, yakni doa dalam kalangan santri yang merupakan wujud doa untuk permohonan perlindungan diri
dari segala macam gangguan dan bahaya yang datang tiba-tiba, baik dari diri sendiri maupun orang lain sekaligus ujian dari Tuhan. Sebagaimana wujud doa, isinya adalah sanjung dan puji bagi Tuhan semata, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada penghulu para nabi, Muhammad saw. Puncaknya, merupakan wujud permohonan kita kepada Tuhan untuk selalu mendapat kasih sayang, petunjuk, dan perlindungan-Nya. Uraian analisis tema tentang ”kesadaran spiritual” yang terefleksi pada beberapa puisi (dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam meraih ‘Cahaya’ Tuhan perlu hadirnya kesadaran total membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesama. Hubungan dengan Tuhan diwujudkan dalam beragam ibadah ritual, yang terangkum dalam rukun Islam. Sedangakan hubungan dengan sesama diwujudkan dalam bentuk ibadah sosial, termasuk selalu menebar cinta dan kasih saying pada sesama tanpa batas suku, agama atau golongan. Sejalan dengan motif tema ”kesadaran spititual” dalam penelitian ini, Hamdy Salad (2009:194) mengungkapkan sebagai berikut. Beragam aktivitas budaya yang telah disumbangkan Gus Mus kepada masyarakat, tak sedikit pun terbersit motif lain kecuali menggapai asa bersama. Mengharumkan marwah agama dan bangsa. Atau, menjaga martabat dan harga diri manusia dari segala tindakan sosial ataupun pribadi yang hanya bertumpu pada kemegahan duniawi. Oleh karena itu, tak lekang Gus Mus oleh waktu untuk diapresiasi melalui seribu pintu. Seperti juga hakikat makhluk di bumi dan langit yang selalu bertasbih kepada Sang Pencipta, karya-karya seni dan kesustraannya senantiasa bergema, mengajak para pembacanya untuk tetap sehati menjalin cinta terhadap sesama demi meraih cinta yang lebih abadi kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Dari uraian analisis, deskripsi dan penjelasan terhadap tema atau gagasan dalam larik-larik dan bait-bait puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus di atas, maka tema atau gagasan yang dapat terungkap di dalamnya, antara lain tentang: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan
instrospeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
d. Sikap Penyair dalam Hubugannya dengan Tema dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca ini disebut nada puisi. Sedangkan perasaan atau yang disebut juga feeling dan tone. Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. Hal itu mungkin saja terkandung dalam lapis makna puisi sejalan dengan terdapatnya pokok pikiran dalam puisi karena setiap menghadirkan pokok pikiran teretntu, manusia pada umumnya juga dilatarbelakangi oleh sikap tertentu pula. Adapun nada dan sikap yang ingin disampaikan penyair (A. Mustofa Bisri) dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus sejalan sifat puisi yang ditampilkan. Puisi yang ditampilkan bersifat deskriptif dan metafisikal. Sebagaimana yang telah diuarikan di depan bahwa puisi deskriptif adalah penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan atau peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan dalam puisi deskriptif, misalnya : puisi satir, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik. Satire juga merupakan puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya. Sedangkan Puisi satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat. Kritik sosial adalah puisi yang juga menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap keadaan atau terhadap diri seseorang dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan keadaan atau seseorang tersebut. Kesan penyair juga dapat dihayati dalam puisi-puisi impresionistik yang mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhaap suatu hal.
Kemudian yang puisi yang bersifat metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Puisi religius di satu pihak dapat dinyatakan sebagai puisi platonik (menggambarkan ide atau gagasan panyair) di lain pihak dapat disebut sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan hidup, kehidupan, dan Tuhan). Oleh karena itu, maka wujud tampilan tema dalam dua antalogi puisi tersebut mengungkapkan sikap tidak puas penyair terhadap diri sendiri maupun suatu keadaan atau peristiwa dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya. Oleh karena itu, dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus tersebut banyak mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan yang ada dalam diri penyair sendiri maupun suatu keadaan atau peristiwa dalam masyarakat dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan diri sendiri maupun keadaan atau peristiwa dalam masyarakat tersebut. Selain itu, dalam dua antologi puisi tesebut juga mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan menyanjung serta memuji Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Sebagaimana yang tergambar dalam tema-tema dari antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, nada dan sikap penyair juga ingin menyuarakan dan merefleksikan kritik terhadap keberadan hubungan sosial kemanusiaan termasuk kritik pada diri sendiri dan nilai-nilai religius serta nilai-nilai pendidikan yang dia pahami dan refleksinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nada dan perasaan itu diungkapkan secara terbuka, kritis, dan bahkan sinis. Meskipun latar belakang sosial penyair yang sangat religius, yakni sebagai pengasuh dan pimpinan sebuah pondok pesantren. Selain itu, penyair juga menjadi orang yang memiliki posisi penting dalam tubuh ormas sebesar NU (Nahdlatul Ulama) dan beliau duduk sebagai wakil rais syuriah PBNU. Puisi-puisinya tidak semata-mata memiliki nada dan perasaan religius atau spiritual. Tampak fisik puisi-puisinya bernapaskan religius dan spiritual. Akan
tetapi, penampilan batin atau nada dan perasaan yang ingin disampaikan melalui puisipuisinya lebih mengarah pada protes dan kritik sosial. Terkait dengan karakteristik atau ciri khas dari puisi-puisi
A. Mustofa Bisri,
diungkapkan oleh Aning Ayu Kusumawati (2009:17) sebagai berikut. Ciri khas dari puisi A. Mustofa Bisri (Gus Mus), antara lain terlihat pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan cukup wajar dan sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu sebenarnya terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive simplicity (kesederhanaan yang menipu). Hal tersebut, senada juga dengan pandangan Umar Kayam pada pengantarnya dalam kumpulan puisi Tadarus bahwa A. Mustofa Bisri bukan hanya “penjaga dan pendamba kearifan” dan “penjaga taman kata-kata“, melainkan ia sudah menggenggam kearifan dan keindahan kata-kata. Ciri khas yang lain dari sajak-sajak A. Mustofa Bisri adalah penggunaan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes. Untuk memperkuat argumentasi terhadap nada dan sikap penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, maka dapat penulis menguraikan pemikiran penyair yang diambil dari beberapa buku esai karya penyair yang merupakan dokumen pemikiran dan sekaligus data hasil wawancara penulis dengan penyair. Terkait dengan keberadaan tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, pemikiran-pemikiran penyair sebagai dasar sikap penyair dalam antologi puisi tersebut, antara lain: (1) penegakan moral kemanusian, (2) keadilan dan kebenaran hidup, (3) kejujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Adapun uraian pemikiran penyair adalah sebagai berikut.
1) Penegakan Moral Kemanusiaan Akhir-akhir ini sering kita mendengar dari kalangan kaum muslimin, sementara orang yang mempersoalkan secara dikotomis tentang kesalehan. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan, yaitu “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”. Sejalan dengan pemikiran penyair, A. Mustofa Bisri (2008:54-56) dalam kumpulan artikel Mencari Bening Mata Air dengan judul artikel “Kesalehan Total”, sebagai berikut. … Dengan “kesalehan ritual” mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadat mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan shalat, puasa, dan seterusnya; namun tidak, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan shalat, puasa, dan seterusnya; namun tidak perduli akan keadaan sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hanya mementingkan hablun minallah. … Sedangkan yang mereka maksud dengan “kesalehan sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat perduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok pertama dalam melakukan ibadat seperti sembahyang dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minan naas. Boleh jadi hal yang disampaikan penyair di atas adalah bermula dari fenomena kehidupan beragama kaum muslim itu sendiri, di mana memang sering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan bekali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah umat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadah pribadinya”. Pemikiran tersebut sebagaimana dapat ditunjukkan kutipan beberapa larik puisi yang berjudul “Kubaca Berita” dan “Makin Canggih Saja” berikut. ……………………………………………………………………….. Aku ingin membaca berita tentang baru tentang manusia modern yang melaksanakan tugas
kekhalifannya tetap dengan kerendahan hati seorang hamba.
……………………………………………………………………….. (Tadarus: 24-26) Makin canggih saja manusia Mencipta virus-virus berbisa senjata-senjata serba-bisa Agar sambil menangis atau tertawa Bisa memusnahkan dirinya (Pahlawan dan Tikus: 49)
Dua puisi di atas menunjukkan, bahwa wujud karakter kemanusiaan secara normatif dalam konteks kekinian masih dalam impian saja. Sebab hakikat kemanusiaan masih sangatlah jauh dari konteks keperadaban. Hakikat kemanusiaan yang sebenarnya adalah mereka yang dapat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban serta dapat menciptakan suasana damai dan aman terhadap sesama dan lingkungannya. 2) Keadilan dan Kebenaran Hidup Selain penghayatan dan pengalaman yang konsekuen terhadap Pancasila sebagai falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, ada yang penting dan perlu dibudayakan dalam kehidupan, yaitu sikap jujur dan adil. Kata adil, berasal dari bahasa Arab, ‘adl, yang berarti lurus, atau jejeg dalam bahasa Jawa. Menurut istilah santri: meletakkan sesuatu pada tempatnya. Kebalikan zalim (dhulm) yang berari “meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya”. Jadi, adil yang dimaksud mencakup segala pengertian, baik sikap maupun cara berpikir. Senada dengan hal tersebut, A. Mustofa Bisri (2008:123-124) mengungkapkan pemikiran dalam artikel berjudul “Keluarga Harmonis”, berikut ini. Sikap dan cara berpikir adil lebih mudah difatwakan ketimbang diamalkan. Soalnya, meski dianugerahi akal dan nurani, kita dilengkapi ‘athifah’, kita menyukai dan membenci. Sedang adil berarti jejeg, tak condong ke sana ke mari. Memang sulit, apalagi bila nafsu ikut mendorong ‘athifah. Namun, betapapun sulit, sikap dan cara berpikir adil penting “dibudayakan”. Terutama, di kalangan muslim. Dalam Al Qur’an, Allah berulang menandaskan pentingnya “adil” ini.
Dalam Surat Al-Maidah: 9, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak (kebenaran/keadilan) karena Allah; (dan bila menjadi saksi) jadilah saksi-saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum menjerumuskan kalian untuk bersikap tidak adil. Bersikap adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa ….” (Menurut banyak musafir, “kaum” berarti orang-orang kafir. Cermati makna ini). Yang menarik, dalam Surat An-Nisa’: 135, Allah memulai firman-Nya dengan redaksi yang hamper sama, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak (kebenaran) yanga dil (Al Quran dan terjemahannya mengartikan, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan), jadilah saksi-saksi karena Allah sekalian terhadap diri kalian sendiri atau terhadap kedua orangtua dan kaum kerabat kalian. Jika yang bersangkutan kaya atau miskin, maka Allah lebih mengetahui keadaannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu untuk menyeleweng (dari kebenaran). Dan jika kalian memutarbalikkan (ucapan) atau enggan (menjadi saksi), maka sungguh Allah terhadap apa yang kalian lakukan adalah Maha Mengetahui.” (dalam firman Allah tersebut dapat kita perhatikan, bahwa bersaksi terhadap orang lain galibnya lebih mudah). Karena pentingnya sifat ini, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mentradisikan dalams etiap khitbah Jumat agar dibacakan ayat, Innallahu yamuru bil ‘adli wa ihsaan … Dari uraian di atas menunjukkan bahwa untuk bersikap dan berpikir adil, diperlukan latihan hidup sederhana. Juga kejujuran. Jujur kepada Allah, diri sendiri, dan orang lain. Orang tak jujur, sulit dibayangkan berlaku adil. Sementara, jujur itu sendiri memerlukan keberanian, terutama buat mengakui kesalahan. Ini semua memerlukan latihan. Pemikiran tersebut sebagimana ditunjukkan dalam beberapa larik puisi yang berjudul “Selamat Idul Fitri” dan “Tikus” berikut ini. Selamat idul fitri, bumi Maafkanlah kami Selama ini Tidak semena-mena Kami memerkosamu Selamat idul fitri, langit Maafkanlah kami Selama ini Tidak henti-hentinya Kami mengelabukanmu
Selamt idul fitri, mentari Maafkanlah kami Tidak bosan-bosan Kami mengaburkanmu Selamat idul fitri, laut Maafkanlah kami Selama ini Tidak segan-segan Kami mengeruhkanmu Selamat idul fitri, burung-burung Maafkanlah kami Selama ini Tidak putus-putus Kami membrangusmu Selamat idul fitri, tetumbuhan Maafkanlah kami Selama ini Tidak puas-puas Kami menebasmu Selamat idul fiti, para pemimpin Maafkanlah kami Selama ini Tidak habis-habis Kami membiarkanmu Selamat idul fitri, rakyat Maafkanlah kami Selama ini (Tadarus: 52) Memanen tanpa menanam Merompak tanpa jejak Kabur tanpa buntut Bau tanpa kentut
(Pahlawan dan Tikus: 17)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan bagaimana seharusnya kita bersikap dan berperilaku pada siapapun, yakni dengan menempatkan kejujuran dan menanamkan nilainilai kebenaran pada siapapun. Kita tidak sepantasnya meniru perilaku yang tidak baik dan tidak benar, sebagimana yang ditunjukkan perilaku para pencuri uang rakyat (para koruptor) yang disimbolkan dengan binatang yang bernama tikus. 3) Kejujuran dalam Kehidupan Terlepas dari kriteria-kriteria pribadi manusia bijak yang dibuat orang-orang pintar, ada hal yang penting dan merupakan sesuatu yang seharusnya mendapat perhatian dan dimiliki oleh setiap pribadi bijak, yaitu takut kepada Tuhan, bersikap sederhana, pribadi jujur dan belas kasihan kepada sesama. Manusia yang zalim, otoriter, atau korup pastilah jenis makhluk yang tidak mempunyai rasa takut kepada Tuhan dan tidak memiliki sikap sederhana, kepribadian jujur, dan rasa belas kasihan kepada sesama. Kalau soal pintar dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya, mungkin kita memiliki banyak contoh dan tokoh pilihan. Namun, bagaimanapun pintar dan ahlinya seseorang, apabila tidak mempunyai rasa takut kepada Tuhannya, tidak bersikap sederhana, tidak berkepribadian jujur, dan tidak mempunyai rasa belas kasihan kepada sesamaa, pastilah merupakan malapetaka bagi hidup dan kehidupan. Seirama dengan hal ini, A. Mustofa Bisri (2008: 75-78) mengungkapkan pemikirannya dalam artikel berjudul “Takwa dan Sikap Sederhana”, sebagai berikut. Kita hidup untuk beribadah, dan kita beribadah semata mengharap ridha Allah dan bukan mencari ridha dan kepuasan diri sendiri. Dalam ibadah mahdhah atau yang bersifat ritual, seperti sembahyang, berpuasa, dan sebagainya, ketulusan mencari ridha Allah ini mungkin relatif lebih mudah dibanding dengan ibadah yang bersifat sosial, seperti berbuat baik kepada sesama misalnya. Oleh karenanya, sudah sewajarnyalah apabila kita lebih berhati-hati dan terus mewaspadai ketulusan batin dan kejujuran kita dalam hal melakukan ibadah-ibadah yang bersifat sosial itu. Misalnya dalam melaksanakan ibadah sosial ingin memperbaiki keadaan dan
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah air, untuk menciptakan Indonesia baru yang lebih baik, kita perlu pula terus mewaspadai niat batin kita. Kita perlu selalu bertanya kepada diri-diri kita sendiri, untuk apa sebenarnya kita berjuang. Kita berjuang untuk Tanah Air demi mendapatkan ridha Allah, ataukah sekadar untuk memuaskan nafsu dan kepentingan kita atau kelompok kita sendiri? Getir rasanya dan sekaligus geli kita mendengar banyak orang yang meneriakkan slogan-slogan mulia, seperti akhlakul karimah; ukhuwwah islamiyah; membangun masyarakat yang beradab, dan lain sebagainya, namun dalam pada itu mereka sekaligus bersikap dan berperilaku yang tidak berakhlak, menebarkan permusuhan di antara sesama saudara. Alangkah tertipunya mereka yang merasa diri dan bahkan mengaku-aku berjuang demi hal-hal yang mulia, seperti demi agama dan demi Negara, tetapi tindak-tanduknya justru menodai kemuliaan itu sendiri. Bahkan ada yang na’udzubillah meneriakkan asma Allah sambil memperlihatkan keganasannya kepada sesama hamba Allah. Uraian di atas membuktikan, bahwa rasanya perlu membiasakan kembali sikap takwa, hidup sederhana, dan jujur baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan Nabi Muhammad saw. Jika kita lakukan pembiasaan sikap tersebut dengan mencontoh perilaku Nabi Muhammad saw, maka kita dapat lebih mudah untuk berlaku adil, jujur dan istiqamah serta dapat memandang sesuatu tanpa kehilangan penalaran sehat. Pemikiran tersebut sebagaiman dapat ditunjukkan dalam beberapa larik puisi yang berjudul “Rampok” dan “Di Negeri Amplop”, sebagai berikut. Nyawa atau harta?! Harta ! Nyawa atau harta ?! Nyawa ! Nurani atau nyawa ?! Nyawa! Nyawa atau nurani?! Nya wa ! (Tadarus: 9)
……………………………………………………..
Amplop-amplop di negeri amplop Mengatur dengan teratur Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur Akan Memutuskan putusan yang tak putus Amplop-amlop menguasai panguasa Dan mengendalikan orang-orang biasa Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan Mencairkan dan membekukan Mengganjal dan melicinkan Orang bicara bisa bisu Orang mendengar bisa tuli Orang alim bisa nafsu Orang sakti bisa mati
……………………………………………… (Pahlawan dan Tikus: 57)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita bahwa suatu ketika kita pernah dihadapkan pada sebuah pilihan hidup (baik dn buruk). Akan tetapi, baik menurut pikiran kita ternyata bisa berbalik nilai jika dihadapkan pada nurani kita. Sehingga yang terjadi, kita sering menanggalkan nurani dalam bersikap dan bertindak dalam pergaulan hidup antarsesama. 4) Koreksi dan Introspeksi Diri Lawan dari fitrah ini adalah dosa. Apa itu dosa? Al Quran menyebut orang yang berdosa itu sebagai zalim. Secara harafiah, zalim artinya orang yang menjadi gelap. Dosa dalam bahasa Arab, zulmun, kegelapan, artinya membuat hati yang gelap (suara hati yang tertutup). Sejalan dengan hal ini, kembali A. Mustofa Bisri (2008: 68-72) mengungkapkan pemikirannya dalam artikel berjudul “Suara Hati, Sabda Insani” berikut ini. Kalau seseorang banyak berdosa, maka hati (suara hati)-nya tidak lagi bersifat nurani (bersifat cahaya), tetapi sudah dzulmaniy. Kata dzulmani ini sebagai lawan dari nurani, supaya kita tahu bahwa tidak semua orang itu mempunyai hati nurani atau suara hati. Hanya orang baik saja yang mempunyai hati nurani, sedangkan orang jahat hatinya tidak lagi bernurani. Hati jahat sudah menjadi dzulmaniy, menjadi gelap, sehingga tidak lagi peka terhadap apa itu baik dan buruk, benar dan salah.
Dalam keadaan gelap inilah ada kesengsaraan, muncullah malapetaka kerohanian, akibat ketidaktahuan diri. Orang yang berdosa adalah orang yang tidak mengenal dirinya, orang yang lupa akan dirinya. Orang yang membungkam suara hatinya, untuk menyenangkan hawa-nafsunya. Ada Hadits ‘Barang siapa yang tahu dirinya, maka dia tahu Tuhannya”. Hadits ini mengungkapkan bahwa ada orang yang tahu diri, dan ada orang yang lupa diri. Memang, tidak berarti bahwa tahu diri, berarti tahu Tuhan, tetapi ini penting untuk suatu simbolisasi, tentang siapa diri kita ini, yang bias kita kenal melalui introspeksi atau mawas diri (ihtisab). Dengan itu, kita akan mengalami peningkatan kualitas kemanusiaan kita sedemikian rupa, sehingga kita seolah-olah tahu Tuhan (ihsan). Dalam diri orang yang ihsan inilah ada kecemerlangan suara hati. Kecemerlangan suara hati dalam uraian di atas memiliki keterkaitan dengan konsep fitrah dalam Islam. Pada dasarnya konsep fitrah menyangkut konsep tantang manusia yang utuh secara keagamaan, seseorang yang suara hatinya berfungsi secara keagamaan, seseorang yang suara hatinya berfungsi secara optimal. Jika manusia merindukan fitrahnya, merindukan suara hati sejatinya, maka sebenarnya ini adalah kerinduan manusia kepada “kesempurnaannya”. Dengan demikian, dia sudah menempuh jalan menuju kecemerlangan suara hati. Agama menyebut, manusia akan utuh, apabila dia mencerminkan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, apabila dia memenuhi perintah Allah. Sebaliknya, bagi orang yang lupa kepada Tuhan, maka dia tidak mungkin akan menjadi manusia yang utuh. Dia menjadi manusia yang ‘terpecah’ dari akar primordialnya, kefitrahannya, yang menjadikan suara hatinya pun tidak berfungsi. Pemikiran penyair di atas, dapat kita lihat dalam beberapa larik puisi yang berjudul “Nasihat-Nasihat” dan “Nasihat Ramadhan buat Mustofa Bisri”, sebagai berikut. Dari hari ke hari siang-malam nasihat-nasihat luhur itu Menterorku menghadangku hingga di spanduk-spanduk jalan Menguntitku hingga di stiker-stiker kendaraan menguberku Dengan pengeras-pengeras suara yang memekik-mekik memekakkan Mencegatku di pamflet-pamflet pagar-pagar rumah dari kantor Mengusikku dari layar-layar bioskop dan seri-seri drama teve Mengepungku di kolom-kolom Koran dan majalah mengurungkanku di
Mesjid-mesjid surau-surau gereja-gereja dan lanpangan-lapangan upacara ….. Hingga tak sempat aku melaksanakannya (Tadarus: 63)
…………………………………………… Mustofa, Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu Yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi Kau puja selama ini. Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini Seperti Ramadlan-ramadlan yang lalu (Pahlawan dan Tikus: 83-85)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan pada kita, bahwa betapa tidak berdayanya kita dalam berbagai hal. Seringnya kita mendengar atau mengemukakan nasihat dan kata-kata bijak, akan tetapi tidak menambah kebaikan pada diri kita. Sebab untuk melaksanakannya sendiri saja terhadap apa yang kita sampaikan, kita belum bahkan tidak mampu. Oleh karena itu, berbahagialah kita, apabila kita terus berkaca pada diri sendiri dengan segala kelemahan dan ketidakberdayaan daripada harus mengoreksi orang lain yang barangkali justru lebih baik dari kita. 5) Kesadaran Spiritual Nilai takwa seseorang tidak semudah yang dilakukan orang awam. Takwa sendiri oleh para ulama dan pemikir Islam dirumuskan dalam banyak definisi. Ada yang mengatakan bahwa takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Ada pula yang mengatakan bahwa takwa adalah taat kepada Allah dan berlindung dari hukuman-Nya. Senada dengan hal ini, A. Mustofa Bisri (2008: 115-120) mengungkapkan pemikirannya dalam artikel yang berjudul “Dia, Saya, dan Takwa”, sebagai berikut. Takwa adalah menjaga diri dari apa saja yang mengundang hukuman Allah. Takwa ialah menghindari segala tata krama syariat. Takwa pada ketaatan berarti ikhlas, dan pada maksiat berarti tidak melakukannya. Dan masih banyak lagi
definisi-definisi yang lain. Allah sendiri di awal Al Quran menyifatkan orang-orang yang bertakwa (alMuttaqien) sebagai: “Mereka yang beriman kepada yang ghaib (percaya kepada yang maujud yang tak dapat ditangkap pancaindera, karena adanya dalil yang menunjukkan kepada adanya), yang mendirikan salat (menunaikannya dengan teratur sesuai aturan-aturannya), yang menafkahkan sebagian rezeki yang ia anugerahkan kepada mereka, dan mereka beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Dan kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya serta menyakini adanya hari akhir.” (Q.S. Al-Baqarah: 2-4) Sedangkan di surat Ali Imran: 135-5, Allah memberikan al-muttaqien sebagai’’ Mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu luang maupun sempit, mereka yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain, mereka yang apabila melakukan perbuatan keji atau melalimi diri sendiri segera ingat Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang mengampuni dosa-dosa kecuali Allah? Dan mereka tidak ngotot meneruskan apa yang mereka lakukan itu, sedang mereka mengetahui.” Ternyata sepanjang yang saya ketahui tentang takwa yang menjadi patokan kemuliaan di sisi Tuhan itu, kesenimanan dan kekiaian tidak termasuk kriterium. Jadi sepanjang menyangkut soal ketakwaan, saya tidak bisa sekadar mengukurnya dari kesenimanannya dan kekiaian saya. Apalagi Rasulullah sendiri pernah berkata, sambil menunjuk dada, “at-Taqwa ha hunaa.” (takwa itu di sini).
Terkait dengan pemikiran penyair di atas, maka nilai takwa seseorang tidak mudah untuk dirumuskan dan didefinisikan. Sebab takwa sangat dekat dengan pemahaman dan pengalaman spiritual. Sedangkan spiritual lebih dekat dengan hati. Implementasi gerak hati akan terwujud dalam keikhlasan beribadah, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial. Pemikiran tersebut sebagimana dapat diungkap dalam beberapa larik puisi yang berjudul “Cahaya” dan “Doa Akasyah” berikut. Berlapis-lapis cahya menghadang Lepas satu bermilyar-milyar pijar Menghambur menyilau pandang Memancar mentari Menerangi langit dan bumi Makhluk-makhluk hidup Makhluk-makhluk mati Yang terbang dan mengangkasa Yang merayap dan melata Yang menyelam dan berenang
Menyilau pandang Kututup mataku Barangkali dengan gelap bisa Kutembus pijar-pijar dan lapis-lapis cahya Sia-sia Boleh jadi aku mengandung pijar-pijar Tapi aku ingin cahya O, Maha Cahya Yang dilindungi cahya-cahya, Cahyakanlah aku Agar aku bisa meyatu Dengan cahya-cahyaMu Atau kalau tidak jadikanlah aku Sekilas pijar agar mampu Merenangi cahya-cahyaMu menujuMu (Tadarus: 68)
……………………………………………. Ya Tuhan kami, anugerahilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat dan lindungi kami dari api neraka Shalawat Allah terlimpahlah kiranya kepada sebaik-baik ciptaanNya cahaya'Arasynya pemimpin dan nabi kita pemberi syafaat kita, Muhammad dan kepada keluarganya seta sekalian para shahabatnya dengan rahmatMu Wahai Sebaik-baik perahmat Amin Ya Rabbal 'alamin. (Pahlawan dan Tikus: 100-108)
Larik-larik puisi di atas menunjukkan bahwa penyair sangat berharap atas anugerah dan petunjuk serta pertolongan dan perlindungn Tuhan. Sebab tanpa anugerah, petunjuk, pertolongan, dan perlindungan Tuhan, kita (manusia) tak akan mampu berbuat dan
bertidak. Sikap seperti ini adalah wujud kesadaran spiritual yang mendalam akan keberadaan Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Demikian uraian tentang pemikiran-pemikiran penyair (A. Mustofa Bisri) dalam rangka memperoleh data penelitian yang lebih akurat guna mendukung kajian terhadap sikap penyair dalam hubungannya dengan tema. Di samping itu, terkait dengan sikap penyair dalam hubungannya dengan tema, maka dapat diungkap pula melalui hasil wawancara penulis dengan penyair, sebagai berikut: “Sebagaimana kumpulan atau antologi puisi saya yang lain, ada sembilan kumpulan puisi. Beberapa antologi puisi saya adalah merupakan kumpulan dari beberapa puisi saya yang terus mengalir tercipta. Pada akhirnya, yang pertama terkumpul dalam Ohoi (kumpulan puisi balsam). Selanjutnya terkumpul dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dan seterusnya. Sikap atau pandangan saya terhadap keunculan dua antologi puisi tersebut (Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) adalah sama dengan beberapa antologi puisi saya yang lain, yaitu aliran suara hati saya yang tidak mudah bisa dibendung jika melihat peristiwa atau keadaan sekitar. Hati dan pikiran saya selalu terusik untuk menulisnya. Meskipun ada juga beberapa puisi saya berasal dari hasil perenungan diri sendiri.” ”... Yang perlu digarisbawahi, bahwa puisi-puisi saya adalah cermin dari diri saya. Seperti halnya para penyair lain, taruhlah seperti: W.S. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, dan Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisi karya mereka itu adalah cermin dari diri mereka masing-masing. Sehingga dapat pula dikatakan, bahwa bahasa yang terungkap dalam puisi-puisi saya adalah cermin kepedulian, perhatian, dan juga sikap saya. Termasuk konsep-konsep pemikiran saya tentang manusia, lingkungan kehidupan dan kematian, diri sendiri, maupun tentang konsep tentang keagamaan. Semua itu akan muncul dan tampak, jika saya mendeskripsikannya dalam bentuk karya (puisi, prosa, dan esai).” “Tadarus bersal dari bahasa Arab darasa dan yadrisu lalu menjadi tadris, yang berarti ‘belajar’ atau ‘mempelajari’. Dalam bahasa Jawa ada isitilah nderes atau darusan. Dalam bahasa Indonesia menjadi tadarus, yang artinya terus-menerus membaca dan mengkaji. Jadi, antologi puisi Tadarus isinya bagaimana seharusnya kita belajar dan mempelajari serta mengkaji ayat-ayat Allah dalam kehidupan dan lingkungan di mana kita hidup dan berpijak termasuk apa yang ada pada diri sendiri (lahir dan batin) secara terus-menerus. Intinya, tidak ada kata berhenti untuk terus belajar dan mempelajari apapun yang ada dalam diri dan lingkungan kita. Sedangkan antologi puisi Pahlawan dan Tikus, bahwa dalam kehidupan ini kita akan dipertemukan dengan dua watak atau karakter manusia, baik dan buruk. Saya kira Anda paham tentang hal ini. Itu semua, muaranya kembali lagi pada pembaca atau penikmat puisi.” Dari uraian tentang pemikiran penyair dan petikan hasil wawancara penulis dengan
penyair di atas, maka dapat disintesiskan sikap penyair dalam hubungannya dengan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, antara lain tentang: (1) penegakan moral kemanusiaan, (2) keadilan dan kebenaran hidup, (3) kejujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Sedangkan beberapa tema atau gagasan yang terungkap dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, meliputi: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa antara nada atau sikap penyair dan tema atau gagasan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, keduanya ikut mendukung keberadaan refleksi kritik sosial di dalamnya.
e.
Struktur Bahasa dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Sebagaimana keberadaan sifat puisi deskriptif dan metafisikal dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, maka struktur bahasa yang meliputi pilihan kata, kata konkret, pengimajian, gaya bahasa dan versivikasi dalam antologi puisi tersebut dipilih penyair untuk mewakili keberadaan sifat puisi tersebut dan sejalan jika dikaitkan dengan tema-tema yang ditampilkan. Dalam pemilihan kata penyair menunjukkan sifat dan karakater dalam puisinya untuk mewakili nada dan sikap tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya dan mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu masyarakat. Selain itu, penyair juga mengajak kita merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Hal itu itu dapat kita pada lihat pilihan kata dalam beberapa larik puisi yang tercetak tebal berikut.
………………………………………………………… Kubaca
berita tentang Negara kaya yang sedang bangga dan terlena oleh kekayaannya tiba-tiba tetangganya sendiri tanpa ampun menghajar dan menjarahnya.
………………………………………………………………………… (Tadarus: 24-26)
........................................... Tengoklah kanan-kirimu Lihatlah kelemahan dimana-mana membuat lelap dan kalap siapa saja Lihatlah kekalapan dan kelelapan merajalela mebabat segalanya Lihatlah segalanya semena-mena mengroyok dan membiarkan nurani tak berdaya
……………………………………………………. (Pahlawan dan Tikus: 47)
……………………………………………………. Kebenaran menjadi tak begitu benar Bahkan sering terlalu benar Kemungkinan menjadi tidak begitu mungkar Bahkan sering terlalu mungkar Ikrar dan ingkar kehilangan pagar Damai dan bertikai kehilangan bingkai Serakah dan barokah kehilangan pemisah Maksiat dan dan taat kehilangan sekat
………………………………………………………….. (Tadarus: 57) ............................................................................................. Musrofa, Bukan perut yang lapar bukan tenggorokan yang kering yang Mengingatkan kedlaifan dan melembutkan rasa. Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering ternyata hanya penunggu Atau perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa. Barangkali lebih sabar sedikit dari mata tangan kaki dan kelamin, lebih tahu
……………………………………………………………………………
(Pahlawan dan Tikus: 47)
……………………………………………………….. Ya Tuhan, kemana gerangan belalang malang ini ‘kan terlempar? Gunung amal yang dibanggakanJadikah selembar bulu saja memberati timbangan Atau gunung-gunung dosa akan memberati timbangan Bagi persembahan lidah Hawiyah? Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu Akan menerbangkannya ke lautan ampunan Shadaqallahul’ Adhiem ........................................................................................
(Tadarus: 46) Larik-larik puisi yang tercetak tebal di atas menunjukkan bahwa penyair mengunakan pilihan kata, kelompok kata, dan ungkapan, untuk mewakili nada dan perasaan yang sesuai dengan sifat puisi deskriptif dan metafisikal. Bahasa yang ditampilkan bermakna lugas, kritis dan satirik, sehingga tidak membutuhkan penafsiran yang mendalam untuk menangkap pesan yang ingin disampaikan penyair. Selanjutnya dalam penggunaan kata konkret dalam puisinya, penyair memperkuat pengimajian bahasa puisi agar dapat pula mewakili nada dan sikapnya dalam melihat kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada beberapa larik yang tercetak tebal berikut. Mantan rakyat bertemu rakyat Berbicara atas nama rakyat demi rakyat Dan rakyat pun saling bertanya Apakah dia pernah jadi rakyat? (Tadarus: 21)
……………………………….. tapi biarlah kepada kalian
untuk kesekian milyar kalinya kukatakan kami bukanlah lebah apalagi cacing tanah kami adalah takdir kalian justru kelaliman dan kekebalan kalian telah mengebalkan dan meliatkan tekad kami melawan
…………………………….. (Pahlawan dan Tikus: 27) Tikus-tikus di atas meja (Seram juga melihat taring-taingnya) Dengan rakus menyikat apa saja Beberapa tikus meluncur turun ke bawah Berebut remah dengan kecoa-kecoa kecil Sesekali terdengar kersik suara Tikus-tikus pun sekejap menghilang Bagai ditelan bumi Tapi tak lama moncong dan taringnya Muncul lagi Mengawasi sekeliling dengan waspada Lalu naik lagi berputar-putar di atas meja Mencari-cari sisa-sisa dengan jelinya Lalu turun lagi kalau-kalau ada yang terlewatkan Lalu naik lagi dengan mata dan hidung memeriksa Ketika tak ada lagi yang bisa dimakannya Mereka pun beramai-ramai menggerogoti meja seekor kucing gembong mendekam di sudut Pura-pura tak tahu Atau barangkali takut. (Pahlawan dan Tikus: 25)
Jangan berpidato! kata-katamu yang paling bijak hanyalah bedak murah yang tak sanggup lagi menutupi koreng-borok-kurap-kudis-panu-mu Peradaban
koreng!
Has asasi
borok !
Perdamaian
kurap!
Demokrasi
kudis!
Humanisasi
panu!
Berlagaklah adi siapa perduli Bangunanmu tinggal cantik di luar Tinggal menunggu saat-saat ambyar (Tadarus: 8) Di borokku yang belum kering benar Lalat-lalat dengan dingin bermain Menari-nari nanar Mabuk darah dan nanah Helm-helmnya berkilatan Sayap-sayapnya menggelepar Menciptakan lagu lapar Terbius aku sendiri Rasa risi menyengat nyeri Kuusir datang lagi kuusir datang lagi Kuusir Datang Lagi. Sialan ! (Tadarus: 5)
Ramadlan bulan suci katamu, kau menirukan ucapan Nabi atau kau telah Merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu Tapi bukankah kau masih selalu menunda-nunda menyingkirkan kedengkian Keserakahan ujub riya takabur dan sampah-sampah lainnya yang mampat dari Comberan hatimu? Mustofa, Inilah bulan baik saat baik untuk kerjabakti membersihkan hati Mustofa, Inilah bulan baik saat baik untuk merobohkan berhala dirimu Yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi Kau puja selama ini. Atau akan kau lewatkan lagi kesempatan ini Seperti Ramadlan-ramadlan yang lalu
(Pahlawan dan Tikus: 83-85)
Dalam beberapa larik puisi yang tercetak tebal di atas tampak beberapa kata konkret guna memperkuat pengimajian bahasa puisi yang mengacu pada nada dan perasaan penyair dalam melihat kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan. Beberapa kata konkret yang tampak di antaranya mantan rakyat / rakyat / tikus-tikus / kucing gombong / cacing tanah / lebah / bedak murah / koreng-borok-kurap-kudis-panu / borokku / Lalat-lalat / darah / nanah / ujub / riya / takabur/ berhala / sampah / comberan. Meskipun kata-kata konotatif tersebut tampak sederhana tetapi menyebab puisi-puisi menjadi intens dan kaya makna, sehingga mudah untuk menafsirkannya. Gaya bahasa hiperbola, personifikasi, metafora, dan pleonasme banyak dijumpai dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus untuk mewakili nada dan perasaan penyair yang satirik, kritis, impresinistik dan metafisikal dalam melihat kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik pada diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan. Gaya bahasa tersebut dapat ditunjukkan dalam beberapa larik puisi yang tercetak tebal berikut. Di jalan-jalan dan di kendaraan-kendaraan berbarel-barel bensin dan darah dengan pipa-pipa kemajuan ditumpah-ruahkan melalui pori-pori kejantanan ke tangki-tangki penampung nyawa untuk menghidupkan sesal dan kecewa. (Pahlawan dan Tikus: 28-29)
…………………………………………………….. Jangan lihat kenaikan upah yang cuma sekian ratus rupiah Yang mungkin dianggap majikan-majikan kami tak lebih rendah Dibanding selembar nyawa seekor buruh yang payah Jangan lihat kebinatangan mereka yang menganiaya diri saya Tapi lihatlah nasib keadilan yang parah
………………………………………………………………… (Pahlawan dan Tikus: 56) Titik-titik hujan terus Mengetuk-ngetuk malam-dinginku Mengabarkan kesedihan langit Sekali-kali kulihat kilat Matanya yang geram tajam Menyeruak pekat Seperti mencariku hendak menikam Hatiku yang kecil kecut Kupeluk diriKu kencang-kencang Dalam gigil yang semakin dahsyat Tuhan, selimutilah aku Dengan rahmatMu. (Tadarus: 33) Bulan, Ayo berpandang-pandangan Siapa yang lebih dahulu berkedip Menemukan atau kehilangan pesona wajahNya. (Tadarus: 70) Laut, Aku ingin meminum habis airmu Tapi untuk apa? (Tadarus: 71) ....................................................... Ya Allah ya Badii’u Wahai Tuhan Yang Maha pencipta Ciptakanlah dalam hati kami Kemampuan memandang keindahanMu Yang mempesona semesta
……………………………………………… (Tadarus: 79-93)
……………………………………………………………. Kami siap mengorbankan nyawa melawan mereka
Semata-mata karena kelaliman mereka Jangan lihat sejengkal tanah yang kami pertahankan Selembar nyawa mudah yang kami pertaruhkan Tapi lihatlah kehidupan mulia yang kami perjuangkan. Kami tak punya apa-apa kecuali pilihan Tetap merdeka atau mati.
…………………………………………………………………… (Pahlawan dan Tikus: 56)
Larik-larik puisi yang tercdetak tebal di atas menunjukkan beberapa gaya bahasa untuk mewakili serta nenegaskan nada dan perasaan penyair dalam melihat kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan. Selanjutnya versifikasi, baik berupa rima, ritme, maupun metrum yang ditampilkan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus selain untuk menghasilkan pengaruh keindahan kata-kata yang ditampilkan, tetapi juga untuk memberikan gambaran kesungguhan penyair dalam melihat kepincangan dan ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan. Hal itu dapat ditunjukkan dalam beberapa larik puisi yang tercetak tebal berikut. ………………………………………….. Kami lawan mereka mati-matian Bukan karena kulit mereka lain dari kulit kita Bukan karena hidung mereka lain dari hidung kita Bukan karena lidah mereka lain dengan lidah kita Bukan karena mereka Inggris, Belanda, atau Gurka Bukan karena mereka asing bagi kita Kami siap mengorbankan nyawa melawan mereka Semata-mata karena kelaliman mereka
…………………………………………………….. (Pahlawan dan Tikus: 56)
……………………………………………. “Orang besar boleh bicara semaunya
Orang kecil paling jauh dibicarakan saja”
“Orang kecil jujur dibilang tolol Orang besar tolol dibilang jujur Orang kecil berani dikata kurang ajar Orang besar kurang ajar dikata berani”
“Orang kecil mempertahankan hak Disebut pembikin onar Orang besar merampas hak Disebut pendekar”
…………………………………………………. (Pahlawan dan Tikus: 63) Islam agamaku, nomor satu di dunia Islam benderaku, berkibar dimana-mana Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana Islam tempat sekolahku, tak kalah dengan lainnya
……………………………………………………………….. Islam teaterku, emnampilkan karakter-karakter suci Islam festivalku, pemerintahkan hari-hari mati Islam kausku Islam pentasku Islam seminarku, membahas semua Islam upacaraku, menyambut segala Islam puisiku, menyanyikan apa Tuhan, Islamkah aku? (Tadarus: 29)
............................................ Puasakan kelaminku Untuk memuasi Ridla Puasakan tanganmu Untuk menerima Kurnia Puasakan mulutmu Untuk merasai Firman Puasakan hidungmu Untuk menghirup Wangi
Puasakan wajahmu Untuk menghadap Keelokan Puasakan matamu Untuk menatap Cahya Puasakan telingamu Untuk menangkap Merdu Puasakan rambutmu Untuk menyerap Belai Puasakan kepalamu Untuk menekan Sujud Puasakan kakimu Untuk menapak Sirath Puasakan tubuhmu Untuk meresapi Rahmat Puasakan hatimu Untuk menikmati Hakikat Puasakan pikiranmu Untuk meyakini Kebenaran Puasakan dirimu Untuk menghayati Hidup. Tidak. Puasakan Hasratmu Hanya untuk Hadlirat Nya !
………………………………….. (Pahlawan dan Tikus: 83-85)
……………………………….. Kami memohonMu, ya Allah Wahai Yang Maha Mendengar Wahai Yang Maha Dekat Wahai Yang Maha Pengabul Wahai Yang Maha Kilat Wahai Yang Maha Menghukum
Wahai Yang Maha Dahsyat hantamanNya Wahai Yang Maha Perkasa Wahai Yang Maha Memaksa Wahai Yang tak tertaklukakan oleh pemaksaan mereka yang perkasa Yang tak sukar membinasakan raja-raja angkara, Hunjamkanlah tipudaya mereka yang memperdaya kami ke leher mereka sendiri .......................................... (Pahlawan dan Tikus: 95-99)
Larik-larik puisi yang tercetak tebal di atas menunjukkan versifikasi, baik berupa rima, ritme, maupun metrum yang padu untuk menghias keindahan larik-larik puisinya. Selain itu, beberapa puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, keberadaan versivikasi juga untuk mewakili serta menegaskan nada atau sikap penyair dalam melihat kepincangan atau ketidakberesan kehidupan diri sendiri, kehidupan social serta perenungan terhadap hidup dan keberadaan Tuhan. Tampaknya, A. Mustofa Bisri selain mengungkapkan kata-kata yang lugas dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus selain untuk menyampaikan tema-tema yang berhubungan dengan kritik terhadap kehidupan sosial dan religius, tampaknya penyair juga ingin memadukan sifat-sifat yang ada dalam puisinya yang deskriptif dan metafisikal dengan menggunakan kata konkret, pengimajian, gaya bahasa dan versivikasi yang senada. Hal ini membuktikan, bahwa selain ingin menyampaikan nada dan sikap secara lugas, kritis, dan satiris, penyair masih mempertimbangakan keindahan bahasanya. Bahkan tidak sedikit nada humoris juga tampak dalam beberapa puisinya dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan Abdul Munir Mulkan (2009:159) tentang puisi-puisi A. mustofa Bisri (Gus Mus) sebagai berikut. Puisi-puisi Gus Mus bukan hanya indah dan sufistik, melainkan sekaligus humanis dan
profetis meletakkan praktik Islam sebagai sebuah proses sosio-budaya dan seni dari kehidupan duniawi yang cair. Pilihan kata yang arif membuat pembaca yang menjadi sasaran kritiknya justru tersenyum manggut-manggut. Kritiknya tajam, tapi penuh hikmah dan terbarukan seperti menyebut syirik bukan semata menyembah batu, melainkan menempatkan diri sendiri paling benar dan mutlak benar.
f.
Sintesis dan interpretasi. Antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah wujud ciri khas dari puisi-puisi A. Mustofa Bisri (Gus Mus), antara lain terlihat pada pengungkapan masalah kritik sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan cukup wajar dan sederhana. Akan tetapi, di balik kesederhanaan itu sebenarnya terdapat makna yang lebih dalam atau dapat disebut dengan deceptive simplicity (kesederhanaan yang menipu). Ciri khas yang lain dari puisi-puisinya adalah penggunaan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes. Beberapa tema atau gagasan yang diangkat diangkat dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, antara lain: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual, menunjukkan korelasi yang senada dengan penyampaian sikap penyair. Sehingga strutktur bahasa yang digunakan baik melalui pilihan kata, kata konkret, pengimajian, gaya bahasa, dan versifikasi selaras dengan tema atau gagasan sekaligus nada atau sikap penyair yang diangkat dalam dua antologi puisi tersebut. Harmonisasi antara struktur bahasa dengan tema serta sikap penyair, tidak membuat penulis sukar menafsirkan maknanya. Makna konotatif yang ditampilkan melalui struktur
bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus masih dapat didekati, bahkan makna konotatif itu menyebabkan puisi-puisi dalam antologi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus menjadi intens dan kaya akan makna. Penyair berhasil memberikan sugesti kepada kita tentang betapa pentingnya kita untuk saling mengingatkan akan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, keadilan, kejujuran, introspeksi diri, dan kesadaran spiritual. Penyair terus mengingatkan agar kita tetap berjalan dalam koridor etika ilahiah, moral surgawi. Sehingga puisi-puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus sangat kritis, satiris, bahkan nylekit dan sinis tetapi humoris. Hal ini mengingatkan kita agar menyampaikan suara-suara Tuhan yang baik dan benar harus dengan jalan hasanah (kebaikan) dan kebenaran pula. Puisi-puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri bukanlah puisi yang bergulat dengan perambahan estetika yang sering berujung pada kegelapan makna, bukan puisi yang intens menggali kemurnian bunyi dan imaji kata seperti halnya mantera, bukan pula puisi yang luluh dalam suasana sehingga menghadirkan impresiimpresi ngungun dan samar. Sejalan dengan hal tersebut, disampaikan oleh Acep Zamzam Noer (2009: 124), sebagai berikut. Puisi-puisi A. Mustofa Bisri adalah puisi yang sadar akan fungsinya sebagai penyampai pesan, puisi yang memanfaatkan kekuatan retorika meski tidak jatuh sebagai pidato. Selalu tersedia sebuah ruang di mana pembaca bisa termenung, terhenyak, terhanyut, atau sekedar tersenyum. Bahasa yang digunakannya sejenis bahasa grafis yang plastis dan efektif, bahasa dengan karakter lisan yang kuat. Dalam perpuisian Indonesia mungkin bisa dibandingkan dengan puisi-puisi WS. Rendra atau Emha Ainun Nadjib, meski pada puisi-puisinya A. Mustofa Bisri lebih menonjol unsur humornya. Tentu saja humor khas pesantren. Akhirnya, berdasarkan beberapa faktor yang dapat dijadikan kerangka berpikir meliputi: (1) tentang A. Mustofa Bisri dan karya-karyanya, (2) gambaran umum tentang antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (3) tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (4) sikap penyair dalam hubungannya dengan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (5) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus, dan (6) sintesis dan interpretasi. Maka nada atau sikap penyair sangat relevan dengan tema atau gagasan tentang kritik terhadap kehidupan sosial dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Relevansi tersebut terdeskripsi dalam kerangka tema atau gagasan tentang: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) ) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) ) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
2.
Nilai Religius dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Puisi pada dasarnya merupakan bagian dari suatu tradisi tertentu yang secara turun temurun diwariskan dari suatu generasi ke generasi lain, dengan atau tanpa reserve sehingga memungkinkannya memodifikasi dirinya dari waktu ke waktu sesuai dengan konteks dan gairah zaman yang menyertainya. Untuk hal terakhir tersebutlah selayaknya visi terlibat dalam menentukan apa yang seharusnya bisa diemban dan dimainkan oleh sastra. Terkait dengan hal tersebut, sejalan dengan yang disampaikan Aning Ayu Kusumawati (2009:19) bahwa visi mengandung pengertian kemampuan untuk merasakan sesuatu yang tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman penglihatan, juga berarti apa yang tampak di khayalan. Visi dalam puisi-puisi A. Mustofa Bisri dapat diartikan sebagai kekuatan rohani atau akal budi seorang A. Mustofa Bisri dalam potensi kreatifnya membaca tanda-tanda zaman. Sehingga dapat dikatakan bahwa visi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri dapat dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kekuatan rohani dan akal budi dalam karya puisi sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Utamanya nilai-nilai reigius. Selanjutnya Aning Ayu Kusumawati (2009:21) memberi pengertian pada kata religius atau religiusitas sebagai berikut.
Religius atau religiositas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati” riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, du Coeur dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman isi pribadi manusia. Nilai-nilai religius yang diemban antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri adalah nilai religius yang dibatasi pada religius sebagai pengalaman batin dan kesadaran seseorang untuk selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Perwujudannya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan sang Maha Pencipta dalam pemikiran dan perbuatan. Sealanjutnya akan terealisasi dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial. Adapun puisi yang kuat mengemban nilai religius berdasarkan pengertian di atas, dalam antalogi puisi Tadarus tampak pada puisi-puisi yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”, ”Tadarus”, ”Buah Mata”, ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Tanpa Jarak”, ”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, dan ”Doa”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai religius tampak dalam larik-larik yang tercetak tebal berikut. ...................................... Hatiku yang kecil kecut Kupeluk diriKu kencang-kencang Dalam gigil yang semakin dahsyat Tuhan, selimutilah aku Dengan rahmatMu.
(Tadarus: 33) ................................................................................... Ya Tuhan, kemana gerangan belalang malang ini ‘kan terlempar? Gunung amal yang dibanggakan Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan Atau gunung-gunung dosa akan memberati timbangan Bagi persembahan lidah Hawiyah? Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu Akan menerbangkannya ke lautan ampunan Shadaqallahul’ Adhiem
................................................................................
(Tadarus: 46) ................................................................................... Kau tak meniupkan apa-apa tak menitipkan apa-apa Karena memang kau seperti anakmu juga Sejak mula tak memiliki apa-apa Bagaimana kau mengaku segala apa? Kau tahu Pemiliknya yang sejati Menitip-amanatkan padamu Dan tak pernah berhenti mengawasimu
(Tadarus: 76) ................................................................. Di pelataran agungMu nan lapang Aku titik-titik tahi merpati Menggumpal dalam titik noda Berputaran Mengabur melaju Luruh dalam gemuruh Talbiah Takbir dan tahmid Mengejar ampunan
Dalam lautan ampunan
Terpelanting
Dalam Khauf dan raja
(Tadarus: 37-38) ……………………………………………… Allahku, kunikmati keindahan dalam keindahan di atas keindahan di bawah keindahan di kanan-kiri keindahan di tengah-tengah keindahan yang indah sekali Allahku, inilah kerapuhanku! Tak kutanyakan kenapa Engkau bertanya bukan ditanya kenapa
Tapi apa jawabku? - - ampunilah aku - - tanyalah jua yang Kupunya kini: Allahku, mukallafkah aku dalam keindahanMu?
(Tadarus: 39-40)
Tanpa jarak Maka entah rapat entah berantara Tanpa aksara Maka entah diam entah bicara Tanpa ketika Maka entah sebentar entah lama Tanpa masa Maka entah kekal entah fana Tanpa janji Maka entah berpisah entah bersua
(Tadarus: 64) …………………………….. O, Maha Cahya Yang dilindungi cahya-cahya, Cahyakanlah aku Agar aku bisa meyatu Dengan cahya-cahyaMu Atau kalau tidak jadikanlah aku Sekilas pijar agar mampu Merenangi cahya-cahyaMu menujuMu
(Tadarus: 68) ………………………………………………….. Wahai Tuhan Yang Maha cahaya Sinarilah hati kami Dengan cahyaMu sehingga kami dapat membedakan Yang nyata dan yang maya Ya Allah ya Hadii
Wahai Tuhan Yang Maha menunjukkan Tunjukkanlah kami Jalan yang lurus yang harus kami lalui Seperti Engkau perintahkan Ya Allah ya Badii’u Wahai Tuhan Yang Maha pencipta Ciptakanlah dalam hati kami Kemampuan memandang keindahanMu Yang mempesona semesta
………………………………………………………………… (Tadarus: 79-93) Larik-larik puisi yang ditunjukkan secara berurutan dari beberapa puisi yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”, ”Tadarus”, ”Buah Mata”, ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Tanpa Jarak”, ”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, dan ”Doa” di atas, menunjukkan bahwa manusia dengan segala ketidakberdayaan hanya mampu berharap dan memohon kepada Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Selanjutnya dengan segala upaya dan usahanya untuk selalu mendekat kepada Tuhan melalui beribadah dan berdoa guna mendapat curahan rahmat-Nya. Konsekuensinya, setelah mendapat rahmat Tuhan, manusia akan lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan. Dalam kehidupan sehari-harinya kita akan selalu diliputi dengan ’Cahaya’ Tuhan. Dengan ’Cahaya’ Tuhan inilah, maka kita akan meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Tuhan. Karena pancaran ’Cahaya’ Tuhan telah melingkupi diri kita dalam segala situasi dan kondisi. Dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, puisi-puisi yang sangat kuat mengemban nilainilai religius akan tampak pada beberapa puisi yang berjudul ”Ibu”, ”Kurban”, ”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai-nilai religius tampak dalam larik-larik puisi berikut.
........................................................ (Tuhan, aku bersaksi ibuku telah melaksanakan amanatMu menyampaikan kasih sayangMu maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasihMu Amin).
(Pahlawan dan Tikus: 37) ..................................................... Kurelakan permataku semata wayang bismillahi allahu akbar adakah yang lebih tersayang melebihi putera tersayang adakah yang lebi berharga melebihi nyawa kecuali kasihnya yang menanti di batas ketulusan? Hari ini pun agaknya hingga kapan pun kurban tetap tak seberapa takbir tak seberapa tahmid tak seberapa tapi terimalah, tuhan! Bismillahi allahu akbar walillahil hamdu! (Pahlawan dan Tikus: 72)
................................... tuhan, kalau aku boleh meminta ganti gantilah suami, gubuk, dan kaki anakku dengan kepasrahan yang utuh dan semangat yang penuh untuk terus melangkah pada jalan lurusmu dan sadarkanlah manusia agar tak terus menumpahkan darah mereka sendiri sia-sia tuhan, inilah nazarku terimalah.”
(Pahlawan dan Tikus: 34)
............................................................... Dan kami menharap Allahlah yang menyelamatkan Cukup Allah sebagai pembela Cukup Allah sebagai penolong Allah mencukupi kami Tempat bersandar paling handal Laa haula walaa quwwata illa billahi'i'Aliyi'l'Adhiim tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Luhur Maha Agung ................................................................... (Pahlawan dan Tikus: 93-95)
...................................................... Tiada Tuhan selain Dia KepadaNyalah aku berserah diri Dialah Tuhan Penguasa 'Arasy yang agung Cukup bagiku Allah Sebaik-baiknya pelndung dan Sebaik-baik pembela Tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung ............................................................... (Pahlawan dan Tikus: 100-108)
Larik-larik yang secara berurutan pada puisi-puisi yang berjudul ”Ibu”, ”Kurban”, ”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”di atas, menunjukkan bahwa dengan segala kesadarannya manusia harus mengakui keberadaannya di dunia ini tidak lepas dari peran kasih sayang seorang ibu (orang tua). Apapun posisi dan jabatan kita, tanpa kasih sayang ibu kita tidak kan mampu meraihnya. Sebab suara hati Ibu (orang tua) kita sangat dekat dengan suara Tuhan. Kerelaan dan murka ibu (orang tua) kita juga merupakan kerelaan dan murka Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita berharap dan memohon kepada Tuhan, agar Tuhan juga memberikan kasih sayang-Nya pada ibu (orang tua) kita. Selanjutnya kita ditunjukkan pengorbanan seorang ibu untuk mengharapkan cinta-Nya, meskipun segala musibah menerpanya. Dengan segala ketidakberdayaannya, hanya mampu
berharap dan memohon kepada Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya untuk selalu mendekat pada Tuhan agar mendapat curahan rahmat-Nya. Selain itu, dari larik-larik puisi di atas, kita ditunjukkan sebuah kesadaran, bahwa semua yang ada dan bergerak dalam tubuh kita tiada lain adalah berkat kehendak-Nya semata, sehingga cukup hanya Tuhan yang menjadi sandaran harapan kita. Karena hanya dengan rahmat dan pertolongan Tuhan, kita akan lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, adalah gambaran kehidupan kita sehari-hari yang selalu berharap curahan ’Cahaya’ Tuhan. Dengan ’Cahaya Tuhan’ ini, kita akan selalu berusaha untuk meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Sebab hanya dengan pancaran ’Cahaya’ Tuhan dalam hati atau jiwa, maka kita akan memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan dalam segala situasi dan kondisi.
3.
Nilai Pendidikan dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Puisi adalah keindahan dan kehikmatan. Puisi mampu memberikan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Puisi juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka membentuk pandangan hidupnya. Hal itu mungkin saja terjadi karena pada awal pertumbuhannya, puisi sangat erat hubungannya dengan filsafat dan agama. Bahkan renungan para pujangga Jawa, umumnya juga disusun dalam bentuk tembang. Unsur kehikmatan yang kebermanfaatan dalam mengembangkan filsafat hidup pembaca dapat meliputi berbagai masalah yang sangat kompleks. Sejalan dengan hal itu, diungkapkan oleh Aminuddin (1987:197) sebagai berikut. Kompleksitas itu terjadi karena, sebagai suatu kreasi seni, puisi dapat mengangkat bahan penciptaanya dari kompleksitas masalah dalam kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada
dan mungkin ada. Oleh sebab itu, puisi pada dasarnya juga mampu menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang masalah hakikat kehidupan, manusia, kematian, dan ketuhanan. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan puisi adalah refleksi gambaran manusia dengan segala masalah dan problematikanya yang berhubungan dengan kehidupan, kemanusiaan, kematian, dan ketuhanan. Pemahaman pada keempat masalah itu akan memperkaya wawasan hidup seseorang dengan kata lain, keempat masalah tersebut juga merupakan butir-butir yang memiliki nilai pendidikan yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai pendidikan adalah suatu gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan sosial. Gagasan, tanggapan, maupun sikap tersebut, dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan artistik, filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan ruhaniah pembaca. Nilai pendidikan pada dasarnya juga merupakan suatu nilai yang telah beranjak jauh dari pesan tersurat yang terdapat dalam suatu cipta sastra (Aminuddin, 1987: 47-49). Sebab itulah, penerapan pendekatan didaktis dalam apresiasi sastra akan menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa maupun sikap yang mapan dari pembacanya. Selanjutnya dikatakan oleh Aminuddin (1987: 47-49) terkait dengan pemahaman nilai pendidikan dalam karya sastra, sebagai berikut. Dalam pelaksanaannya, pemahaman terhadap nilai pendidikan ini diawali dengan upaya pemahaman gagasan atau tema yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Gagasan atau tema itu pada dasarnya disarikan dari paparan sikap pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskripsi peristiwa dari pengarang atau penyairnya. Upaya penggalian nilai-nilai pendidikan pada larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri akan berhubungan dengan berbagai macam kemungkinan pengembangan yang sangat luas. Agar tidak terlalu luas, peneliti menganalisis seperti halnya saat menentukan tema atau gagasan dalam puisi. Dari hasil analisis, maka nilai-nilai pendidikan yang ada dalam larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus adalah nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan: (1) manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan kematian, dan (5) manusia dengan ketuhanan. Adapun deskripsi dan penjelasan tentang nilai-nilai pendidikan yang terangkum dalam hubungan manusia dengan diri sendiri, orang lain, kehidupan, kematian, dan ketuhanan yang tercermin pada larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dapat diuraikan dalam beberapa bagian berikut.
1) Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang kuat mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan diri sendiri, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Pesona”, ”Nasihat-Nasihat”, ”Nurani”, ”Puisi Islam”, ”Naihat Ramadlan buat A. Mustofa Bisri”, dan ”Ya Rasulullah”. Secara berurutan,
puisi-puisi
yang
kuat mengemban
nilai-nilai pendidikan
yang
mendeskripsikan hubungan manusia dengan dirinya sendiri tampak dalam larik-larik puisi berikut. ..................................................................................... Tuhan, kami tak mampu menhentikannya atau memanfaatkannya Musuh kami dan musuhMu lagi-lagi telah lebih dahulu dengan sangat sempurna memanfaatkannya untuk misinya. Memalingkan kami dariMu. Tuhan, lihatlah menghadapi benda mati ciptaan sendiri pun kami tak berdaya dan mengaku kepadaMu. (Tadarus: 6)
Dari hari ke hari siang-malam nasihat-nasihat luhur itu Menterorku menghadangku hingga di spanduk-spanduk jalan Menguntitku hingga di stiker-stiker kendaraan menguberku
Dengan pengeras-pengeras suara yang memekik-mekik memekakkan Mencegatku di pamflet-pamflet pagar-pagar rumah dari kantor Mengusikku dari layar-layar bioskop dan seri-seri drama teve Mengepungku di kolom-kolom Koran dan majalah Mengurungkanku di Mesjid-mesjid surau-surau gereja-gereja dan lanpangan-lapangan upacara ….. hingga tak sempat aku melaksanakannya (Tadarus: 63) Semula dengkurnya menggangu tidurku. Kini tak lagi. (Tadarus: 66) Islam agamaku, nomor satu di dunia Islam benderaku, berkibar dimana-mana Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana Islam tempat sekolahku, tak kalah dengan lainnya Islam sorbanku Islam sajadahku Islam kitabku
…………………………………………………………… Islam kausku Islam pentasku Islam seminarku, membahas semua Islam upacaraku, menyambut segala Islam puisiku, menyanyikan apa Tuhan, Islamkah aku? (Tadarus: 29) Mustofa, Jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kau selalu mengatakan Ramadlan bulan ampunan apakah hanya menirukan Nabi Atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihanlah yang Menggerakkan lidahmu begitu
………………………………………………… (Pahlawan dan Tikus: 83-85) ........................................ Ya rasulallah Mulut dan hatiku bersaksi
Tiada tuhan selain Allah Dan engkau ya rasul utusan Allah Tapi kusembah juga diriku astaghfirullah Dan risalahmu hanya kubaca bagai sejarah Ya rasulallah Setiap saat jasadku salat Setiap kali tubuhku bersimpuh Diriku jua yang kuingat ....................................... (Pahlawan dan Tikus: 86-88)
Secara berurutan larik-larik puisi di atas mengemban nilai pendidikan hubungan manusia dengan diri sendiri, bahwa disadari atau tidak diri kita dengan benar-benar berada dalam segala keterbatasan dan kekurangan. Baik dalam mengahadapi keinginan sendiri maupun untuk kepentingan ibadah. Kita selalu lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan di luar kita. Misalnya hubungan dengan sesama, lebih-lebih hubungan dengan Tuhan. Contohnya, dalam urusan beragama, kita mengakui apapun yang ada dalam diri kita sudah berlabel agama yang kita yakini. Tapi apa benar menurut Tuhan, bahwa kita sudah benar-benar beragama atau sekedar simbol agama yang menempel pada fisik kita saja? Kita beribadah kepada Tuhan. Tapi apa benar, ibadah kita benar-benar ingin mencari ridla-Nya? Atau hanya sekedar rutinitas tak bermakna, sehingga dalam ibadah kita hanya ingat diri kita saja dan menghitung-hitung ibadah yang telah kita lakukan. Contoh lain, banyaknya nasihat tentang kebajikan dalam bentuk apapun yang kita dengar, bukan jaminan bagi kita untuk menjadi manusia yang bijak. Justru sebaliknya, kita tak pernah sekalipun melaksanakan nasihat tentang kebajikan itu atau bahkah sama sekali kita tak akan bergeming dengan berbagai bentuk nasihat tersebut. Terlalu sering bagi kita lebih egois dengan urusan diri sendiri. Sedangkan untuk urusan dengan sesama dan Tuhan adalah urusan yang kesekian. Inilah nilai pendidikan paling berharga bagi kita, untuk selalu menempatkan
keseimbangan kewajiban kita sebagai umat beragama sekaligus makhluk sosial. 2) Hubungan Manusia dengan Orang Lain Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang kuat mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan orang lain, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Mantan Rakyat”, ”Kubaca Berita”, ”Bosnia”, ”Reinkarnasi”, ”Makin Canggih Saja”, dan ”Saling”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan orang lain tampak dalam larik-larik puisi berikut. Mantan rakyat bertemu rakyat Berbicara atas nama rakyat demi rakyat Dan rakyat pun saling bertanya Apakah dia pernah jadi rakyat? (Tadarus: 21)
………………………………………………………………. Kubaca
berita tentang kepala Negara yang diangkat seumur hidup oleh para wakil rakyatnya tiba-tiba anak-anaknya sendiri mencopot dan mencacimakinya.
Kubaca
berita tentang seorang maharaja yang sedang asyik dan belum selesai memuasi keperkasaan kekuasaannya tiba-tiba terguling oleh tangan besinya sendiri yang selama ini digunakan menggencet rakyatnya.
Kubaca
berita tentang seorang presiden yang digadang-gadang dan merasa mampu memimpin negaranya hingga akhir hayatnya tiba-tiba terbirit-birit diburu rakyatnya hingga tak sempat mati di tanah airnya sendiri.
Kubaca
berita tentang ibu Negara yang dianggap orang kedua terkuat setelah suaminya tiba-tiba harus angkat kaki dari negerinya tanpa sempat membawa ratusan pasang sepatunya yang dipersiapkan untuk menghadiri ratusan jamuan dan resepsi kenegaraan.
………………………………………………………………………. (Tadarus: 24-26) Bosnia adalah wajah kita yang kusut Bosnia adalah keangkuhan dan ketidakberdayaan kita Bosnia adalah kita yang terkoyak-koyak Bosnia adalah kepanikan manusia menghadapi diri sendiri
(Airmata dan darah tertumpah atau tidak Raung atau erang yang terdengar Atau justru hanya senyum yang sunyi Tragedi manusia adalah saat Kemanusiaannya lepas entah kemana? Atau barangkali Bosnia Adalah dunia kita yang mulai sekarat. (Tadarus: 28) abrahah-abrahah tak lagi datang membawa gajah dari jauh mereka mengirim burung-burung bagai ababil mengobrak-abrik batok kepala dan perut bumi menyikat ruh-ruh dan nurani abujahal-abujahal cebol terseret-seret pedang-pedang mereka sendiri ketika meneriakkan seruan jihad fisabilillah di mimbar-mimbar di seminar-seminar di jalanan dan di pasar-pasar firaun-firaun kecil dan qarun-qarun kerdil mengacung-acungkan duplikat-duplikat tongkat musa yang keramat mencari-cari mangsa menakut-nakuti manusia
…………………………………………………. (Pahlawan dan Tikus: 24) Makin canggih saja manusia Mencipta virus-virus berbisa senjata-senjata serba-bisa Agar sambil menangis atau tertawa Bisa memusnahkan dirinya (Pahlawan dan Tikus: 49)
Di gedung DPR Fraksi-fraksi saling menghabisi Di kantor partai Golongan dan unsur saling gusur Di kampus Dosen dan Mahasiswa saling mencela Di seminar Pakar-pakar bertengkar Di sanggar Seniman-seniman berhantaman Di koran Orang-orang penting saling banting Di mesjid Orang-orang Islam bertikam Di gereja Orang-orang Nasrani berkelahi Di pura Orang-orang Hindu beradu Di wihara Orang-orang Budha berlaga Di lapangan Para olahragawan berterkaman Di jalan Sopir-sopir saling puntir Di pasar Bakul-bakul saling pukul Di warung Kawan-kawan saling lawan Di rumah Anak dan Bapak saling sepak Di kamar Kau dan aku terpaku (Pahlawan dan Tikus: 50)
Secara berurutan larik-larik puisi di atas menunjukkan nilai pendidikan pada kita, bahwa nilai-nilai hubungan kemanusiaan kita sudah mulai luntur bahkan lambat laun akan terkikis dalam kehidupan kita yang serba hedonis dan meterialis. Banyak di antara kita yang
belum menyadari hakikat hubungan kemanusiaan. Apalagi kalau sudah diembel-embeli jabatan atau pangkat yang melekat pada diri kita, seakan-akan jabatan atau pangkat itu merupakan sekat moral kemanusiaan kita dengan sesama. Peperangan dan saling membunuh demi sebuah kebanggaan ras atau suku serta demi gengsi menjadi tradisi daripada harus membina kerukunan dan kasih sayang dengan sesama. Kita lebih banyak menyibukkan diri untuk mempropagandakan label-label atau simbolsimbol prestise yang kita sandang daripada harus bersusah payah menyuarakan kebaikan dan kebenaran hidup antarsesama. Kita lakukan apapun demi keuntungan kita sendiri, meskipun yang lain merasakan kesengsaraan atas perilaku kita. Kita lebih senang menebar virus kebencian dan perpecahan dengan sesama di segala bidang kehidupan daripada membina kerukunan dan kedamaian hidup di antara sesama. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa sudah seharusnya kita bisa menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dalam segala bidang kehidupan tanpa harus memandang terhadap perbedaan ras, suku, golongan, maupun agama. 3)
Hubungan Manusia dengan Kehidupan Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang kuat mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan kehidupan, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Ratsaa”, ”Khalifah Allah, di manakah Kau?”, ”Selamat Idul Fitri”, ”Kepada Penyair”, ”Surabaya”, dan ”Di Negeri Amplop”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan kehidupan tampak dalam larik-larik puisi berikut. anak-anakmu kau serahkan babumu istrimu kau serahkan sopirmu dirimu kau serahkan sekretarismu tuhanmu kau serahkan siapa? (Tadarus: 23)
Di depan yang maju terus sendiri maju bagai lokomotip yang dingin bagai bulldozer yang garang dalam keangkuhan yang kaku menginjak-injak mendesak-desak mendorong-dorong yang lain ke samping menumpuk-numpuk barisan panjang yang terpelanting panik di belakang Di tengah yang menengah terpisah resah berputar-putar sekitar dirinya dalam kecongkaan-degilnya yang lalai ingin maju tak mampu lalu berlagak maju tak maju oleh mental dan ilmu yang tak maju-maju kere yang melata di depan yang maju pamer macam-macam di depan yang terbelakang
Di belakang yang terbelakang kian ke belakang terus ke belakang terhimpit sepi yang kian rapi tak sempat senyum sesekali masih tetap hidup semata-mata karena liatnya nyawa Khalifah Allah, dimanakah kau? (Tadarus: 41) Selamat idul fitri, bumi Maafkanlah kami Selama ini Tidak semena-mena Kami memerkosamu Selamat idul fitri, langit Maafkanlah kami Selama ini Tidak henti-hentinya Kami mengelabukanmu Selamt idul fitri, mentari Maafkanlah kami
Tidak bosan-bosan Kami mengaburkanmu Selamat idul fitri, laut Maafkanlah kami Selama ini Tidak segan-segan Kami mengeruhkanmu Selamat idul fitri, burung-burung Maafkanlah kami Selama ini Tidak putus-putus Kami membrangusmu Selamat idul fitri, tetumbuhan Maafkanlah kami Selama ini Tidak puas-puas Kami menebasmu Selamat idul fitri, para pemimpin Maafkanlah kami Selama ini Tidak habis-habis Kami membiarkanmu Selamat idul fitri, rakyat Maafkanlah kami Selama ini Tidak sudah-sudah Kami mempergunakanmu (Tadarus: 52) Brentilah menganyam-anyam maya mengindah-indahkan cinta membesar-besarkan rindu Brentilah menyia-nyiakan daya
memburu orgasme dengan tangan kelu Brentilah menjelajah lembah-lembah dengan angan-angan tanpa arah Tengoklah kanan-kirimu Lihatlah kelemahan dimana-mana membuat lelap dan kalap siapa saja Lihatlah kekalapan dan kelelapan merajalela mebabat segalanya Lihatlah segalanya semena-mena mengroyok dan membiarkan nurani tak berdaya
……………………………………………………. (Pahlawan dan Tikus: 50)
…………………………….. Surabaya, O, kota keberanian O, kota kebanggaan Mana sorak-sorai takbirmu Yang membakar nyali kezaliman? Mana pekik merdekamu Yang menggetarkan ketidakadilan? Mana arek-arekmu yang siap Menjadi tumbal kemerdekaan Dan harga diri Menjaga ibu pertiwi Dan anak-anak negeri. Ataukah kini semuanya ikut terbuai Lagu-lagu satu nada Demi menjaga Keselamatan dan kepuasan Diri sendiri
………………………………………….. (Pahlawan dan Tikus: 54)
………………………………………. Amplop-amplop di negeri amplop
Mengatur dengan teratur Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur Memutuskan putusan yang tak putus Amplop-amlop menguasai panguasa Dan mengendalikan orang-orang biasa Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan Mencairkan dan membekukan Mengganjal dan melicinkan Orang bicara bisa bisu Orang mendengar bisa tuli Orang alim bisa nafsu Orang sakti bisa mati Di negeri amplop Amplop-amplop mengamplopi apa saja dan siapa saja (Pahlawan dan Tikus: 57)
Secara berurutan larik-larik puisi di atas menunjukkan nilai pendidikan pada kita, bahwa dalam hidup dan kehidupan kita masih banyak yang belum bisa kita lakukan sesuai dengan aturan dan norma kebaikan yang berlaku. Kita masih sibuk dengan urusan sendiri, yang belum jelas kebaikannya. Dimana pun posisi dan jabatan kita, belum dapat menempatkan diri sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang kita miliki. Kita masih terlalu banyak menjadikan segala sesuatu di luar kita (baik manusia, hewan, maupun tumbuhan) adalah pemuas keinginan kita, sehingga apapun langkah kita (benar atau salah) adalah benar menurut kita. Asalkan semua keinginan kita terpenuhi. Kita masih sering melihat kezaliman dan kemungkaran di sekitar kita yang memperdaya nurani, karena memang kita tidak mampu untuk meninggalkan sifat buruk itu dalam diri kita. Kita masih banyak mencari kepuasan diri dalam setiap waktu dan kesempatan, sehingga dengan jalan apapun (benar atau salah) asalkan keinginan kita terpenuhi, tetap kita pandang sebagai hal yang paling benar. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik
puisi di atas, bahwa sudah seharusnya kita menghentikan segala bentuk praktik kezaliman dan kemungkaran dalam setiap sudut kehidupan. Kita kembalikan semua praktik kehidupan pada nurani kita. Hanya dengan menempatkan nurani, kita bisa hidup perdampingan dengan siapapun, baik dengan sesama maupun terhadap lingkungan, sehingga nantinya akan tercipta harmoni yang indah dalam kehidupan kita. 4) Hubungan Manusia dengan Kematian Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang kuat mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan kematian, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Kubaca Berita”, ”Sujud”, ”Surabaya”, dan ”Dua Surat dari Surabaya”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilainilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan kematian tampak dalam larik-larik puisi berikut. Kubaca
berita tentang seorang putera yang diidam-idamkan orangtuanya menjadi Sarjana dan kebanggaan bangsa tiba-tiba mati di jalan raya menjelang diwisuda.
Kubaca
berita tentang seorang pejabat yang sedang main tennis dengan kolega-koleganya tiba-tiba terkapar di lapangan sebelum menyelesaikan set yang pertama dan belum hilang kumandang derail-derai tawanya.
Kubaca
berita tentang seorang tokoh yang menjadi harapan keluarha dan dihormati masyarakatnya ketika asyik menikmati liburannya di sebuah hotel berbintang mendadak mati di atas tubuh gundiknya dalam keadaan telanjang
Kubaca
berita tentang seorang pemikir yang diandalkan para pengikutnya kerna kecemerlangan pikiran dan kekuatan pribadinya tiba-tiba ambruk tak berdaya ketika memberikan dan belum selesai memaparkan teori-teori pembaruannya.
Kubaca
berita tentang seorang superstar yang dielu-elukan para penggemarnya tiba-tiba terkulai digasak virus yang selama ini ia ikut memproduksi dan menyebarkannya
…………………………………………………………………………………….. (Tadarus: 24-26) ............................................ apakah kau lupa bahwa tanah adalah bapa
dai mana ibumu dilahirkan tanah adalah ibu yang menyusuimu dan memberi makan tanah adalah kawan yang memelukmu dalam kesendirian dalam perjalanan panjang menuju keabadian? singkirkan saja sajadah mahalmu ratakan keningmu latakan heningmu tanahkan wajahmu pasrahkan jiwamu biarlah rahmat agung Allah membelaimu dan terbanglah, kekasih (Pahlawan dan Tikus: 38) Surabaya, O, kota keberanian O, kota kebanggaan Mana sorak-sorai takbirmu Yang membakar nyali kezaliman? Mana pekik merdekamu Yang menggetarkan ketidakadilan? Mana arek-arekmu yang siap Menjadi tumbal kemerdekaan Dan harga diri Menjaga ibu pertiwi Dan anak-anak negeri. Ataukah kini semuanya ikut terbuai Lagu-lagu satu nada Demi menjaga Keselamatan dan kepuasan Diri sendiri Allahu Akbar! Dulu arek-arek Surabaya Tak ingin menyetrika Amerika
Melinggis Inggris Menggada Belanda Murka kepada Gurka Mereka hanya tak suka Kezaliman yang angkuh merajalela Mengotori persada Mereka harus melawan Meski nyawa yang menjadi taruhan Karena mereka memang pahlawan Surabaya, Dimanakah kau sembunyikan Pahlawanku? (Pahlawan dan Tikus: 54)
……………………………………………………… Maka dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab, Kami sambut mereka dengan takbir dan pekik merdeka. Kami lawan mereka mati-matian Bukan karena kulit mereka lain dari kulit kita Bukan karena hidung mereka lain dari hidung kita Bukan karena lidah mereka lain dengan lidah kita Bukan karena mereka Inggris, Belanda, atau Gurka Bukan karena mereka asing bagi kita Kami siap mengorbankan nyawa melawan mereka Semata-mata karena kelaliman mereka Jangan lihat sejengkal tanah yang kami pertahankan Selembar nyawa mudah yang kami pertaruhkan Tapi lihatlah kehidupan mulia yang kami perjuangkan.
………………………………………………………………. Jangan lihat kebinatangan mereka yang menganiaya diri saya Tapi lihatlah nasib keadilan yang parah Dibawah kekuasaan dan keserakahan yang pongah Seandainya mereka tidak merenggut nyawa saya, Orang-orang seperti saya pun akan mati tersiksa juga Bersama keadilan yang terkalahkan.
Hidup tanpa keadilan adalah kematian. Sia-siakah kematian saya? Kalian yang masih hidup, jawablah. Wassalam. Marsinah
Secara berurutan larik-larik puisi di atas menunjukkan nilai pendidikan pada kita, bahwa kematian akan menjemput kita tanpa kita sadari kapan datangnya. Kematian adalah misteri Tuhan, disamping kehidupan dan perjodohan. Kematian akan dihadapkan pada kita oleh Tuhan dengan berbagai ragam peristiwa dan kejadian. Kebanyakan di antara kita belum siap untuk menerima atau menghadapinya. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang sudah siap menghadapinya. Semua tergantung kita, bagaimana kita menyikapinya. Jika kematian merupakan sesuatu yang menakutkan, tentunya kita berharap agar kematian jangan bersandar pada diri kita terlebih dahulu. Sebaliknya, jika kita menyadari bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak perlu ditakuti. Apapun yang terjadi pada diri kita, kita hadapi dengan sikap berani dan lapang dada. Semisal sikap para pahlawan perjuangan yang membela kebenaran dan hati nurani. Mereka menganggap kematian adalah sesuatu yang indah, sebab mereka yakin kematian mereka bukanlah hal yang sia-sia. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa kita semestinya tidak takut menghadapi kematian. Sebab kematian pasti akan datang pada diri kita di mana dan kapan pun kita berada. Yang terpenting bagi kita, sudahkah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu? Oleh karena itu, dalam setiap langkah kehidupan, kita harus bersandarkan pada nilai-nilai kebenaran Tuhan dan hati nurani. Sehingga kapanpun kematian menghampiri, kita berharap tidak ada alasan penyesalan untuk menghadapinya. Kita sudah benar-benar siap menghadapinya.
5) Hubungan Manusia dengan Ketuhanan Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang kuat mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan, di antaranya tampak dalam beberapa puisi dalam antologi puisi Tadarus yang berjudul ”TitikTitik Hujan”, ”Buah Mata”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, ”Doa”, dan ”Ibu”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan tampak dalam lariklarik puisi berikut. ...................................... Hatiku yang kecil kecut Kupeluk diriKu kencang-kencang Dalam gigil yang semakin dahsyat Tuhan, selimutilah aku Dengan rahmatMu.
(Tadarus: 33) ................................................................................... Kau tak meniupkan apa-apa tak menitipkan apa-apa Karena memang kau seperti anakmu juga Sejak mula tak memiliki apa-apa Bagaimana kau mengaku segala apa? Kau tahu Pemiliknya yang sejati Menitip-amanatkan padamu Dan tak pernah berhenti mengawasimu
(Tadarus: 76) ……………………………………………… Allahku, kunikmati keindahan dalam keindahan di atas keindahan di bawah keindahan di kanan-kiri keindahan di tengah-tengah keindahan yang indah sekali
Allahku, inilah kerapuhanku! Tak kutanyakan kenapa Engkau bertanya bukan ditanya kenapa Tapi apa jawabku? - - ampunilah aku - - tanyalah jua yang Kupunya kini: Allahku, mukallafkah aku dalam keindahanMu?
(Tadarus: 39-40) …………………………….. O, Maha Cahya Yang dilindungi cahya-cahya, Cahyakanlah aku Agar aku bisa meyatu Dengan cahya-cahyaMu Atau kalau tidak jadikanlah aku Sekilas pijar agar mampu Merenangi cahya-cahyaMu menujuMu
(Tadarus: 68) ………………………………………………….. Wahai Tuhan Yang Maha cahaya Sinarilah hati kami Dengan cahyaMu sehingga kami dapat membedakan Yang nyata dan yang maya Ya Allah ya Hadii Wahai Tuhan Yang Maha menunjukkan Tunjukkanlah kami Jalan yang lurus yang harus kami lalui Seperti Engkau perintahkan Ya Allah ya Badii’u Wahai Tuhan Yang Maha pencipta Ciptakanlah dalam hati kami Kemampuan memandang keindahanMu Yang mempesona semesta
………………………………………………………………… (Tadarus: 79-93)
Secara berurutan larik-larik puisi di atas menunjukkan nilai pendidikan pada kita, bahwa manusia dengan segala ketidakberdayaan hanya mampu berharap dan memohon kepada Tuhan yang memiliki segala sifat kesempurnaan. Selanjutnya dengan segala upaya dan usahanya untuk selalu mendekat pada Tuhan untuk selalu mendapat curahan rahmat-Nya. Konsekuensinya, setelah mendapat rahmat Tuhan, manusia akan lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan. Dalam kehidupan sehari-harinya akan selalu diliputi dengan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Karena pancaran ’Cahaya’ Tuhan telah melingkupi dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Sedangkan dalam antalogi puisi Pahlawan dan Tikus yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan ada dalam beberapa puisi yang berjudul ”Kurban”, ”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub AsySyadzili”, dan ”Doa Akasyah”. Secara berurutan, puisi-puisi yang kuat mengemban nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan tampak dalam lariklarik puisi berikut. ........................................................ (Tuhan, aku bersaksi ibuku telah melaksanakan amanatMu menyampaikan kasih sayangMu maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasihMu Amin). (Pahlawan dan Tikus: 37) ..................................................... Kurelakan permataku semata wayang bismillahi allahu akbar adakah yang lebih tersayang melebihi putera tersayang adakah yang lebi berharga melebihi nyawa
kecuali kasihnya yang menanti di batas ketulusan? Hari ini pun agaknya hingga kapan pun kurban tetap tak seberapa takbir tak seberapa tahmid tak seberapa tapi terimalah, tuhan! Bismillahi allahu akbar walillahil hamdu! (Pahlawan dan Tikus: 72) ................................... tuhan, kalau aku boleh meminta ganti gantilah suami, gubuk, dan kaki anakku dengan kepasrahan yang utuh dan semangat yang penuh untuk terus melangkah pada jalan lurusmu dan sadarkanlah manusia agar tak terus menumpahkan darah mereka sendiri sia-sia tuhan, inilah nazarku terimalah.” (Pahlawan dan Tikus: 34) ......................................................... Dan kami menharap Allahlah yang menyelamatkan Cukup Allah sebagai pembela Cukup Allah sebagai penolong Allah mencukupi kami Tempat bersandar paling handal Laa haula walaa quwwata illa billahi'i'Aliyi'l'Adhiim tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Luhur Maha Agung ................................................................... (Pahlawan dan Tikus: 93-95) ......................................................
Tiada Tuhan selain Dia KepadaNyalah aku berserah diri Dialah Tuhan Penguasa 'Arasy yang agung Cukup bagiku Allah Sebaik-baiknya pelndung dan Sebaik-baik pembela Tiada daya tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung ............................................................... (Pahlawan dan Tikus: 100-108)
Secara berurutan larik-larik puisi di atas menunjukkan nilai pendidikan pada kita. Manusia dengan segala kesadarannya harus mengakui bahwa keberadaannya di dunia tidak lepas dari kasih sayang seorang ibu (orang tua). Apapun posisi dan jabatan kita, tanpa kasih sayang seorang ibu, kita tidak akan mampu meraih semua yang kita sandang sekarang ini. Sebab suara hati Ibu (orang tua) sangat dekat dengan suara Tuhan. Kerelaan dan murka ibu (orang tua) kita adalah kerelaan dan murka Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita berharap dan memohon kepada Tuhan untuk memberi kasih sayang-Nya pada ibu (orang tua) kita. Selanjutnya, dari larik-larik puisi di atas, kita ditunjukkan pengorbanan seorang ibu untuk mengharapkan cinta-Nya, meskipun segala musibah menerpanya. Dengan segala ketidakberdayaannya, ia hanya mampu berharap dan memohon kepada Tuhan pemilik segala sifat kesempurnaan. Untuk selalu dekat dengan Tuhan guna mendapat curahan rahmat-Nya. Berikutnya, pada larik-larik puisi di atas, kita ditunjukkan sebuah kesadaran, bahwa semua yang ada dan bergerak dalam tubuh tiada lain adalah berkat kehendak-Nya semata, sehingga cukup hanya Tuhan yang menjadi sandaran harapan kita. Karena hanya dengan rahmat dan pertolongan Tuhan, kita akan lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan. Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri , bahwa dalam kehidupan kita menyadari terhadap kelemahan dan kekurangan
diri. Oleh karena itu, kita selalu ingat siapa diri kita? Bagaimana kita hidup dalam masyarakat? Apa arti kehidupan kita? Ke mana setelah kehidupan ini berakhir? Bagaimana kita selalu berharap kebaikan dari Tuhan? Kalau itu semua sudah tertanam sebagai sebuah nilai pendidikan dalam diri kita, maka kita selalu berharap curahan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan membentuk kesadaran untuk meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Sebab hanya dengan pancaran ’Cahaya’ Tuhan dalam diri, maka kita akan memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan dalam segala situasi dan kondisi. Inilah nilai pendidikan berharga yang diemban larik-larik puisi untuk menyuarakan kesadaran berketuhanan. Dari hasil analisis tentang nilai-nilai pendidikan yang ada dalam dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan tercermin di dalam dua antologi puisi tersebut merupakan nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan: (1) manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan kematian, dan (5) manusia dengan ketuhanan.
B. Pembahasan 1.
Kritik Sosial dalam Hubungannya dengan Sikap Penyair dan Gagasan dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Berdasarkan hasil penelitian tentang deskripsi dan penjelasan kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan gagasan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, ada beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka berpikir untuk mendapatkan hasil analisis berupa deskripsi hubungan tersebut, antara lain deskrpsi tentang (a) A. Mustofa Bisri dan beberapa karyanya, (b) antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (c)
tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (d) nada atau sikap penyair (A. Mustofa Bisri), (e) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, dan (f) simpulan berupa sintesis dan interpretasi. Secara terinci diuraikan sebagai berikut. a. Tentang A. Mustofa Bisri dan Karya-karyanya Berdasrkan hasil analisis, A. Mustofa Bisri yang lebih dikenal dengan nama panggilan Gus Mus adalah representasi dari seorang kiai yang mangku (memiliki) pesantren, juga sebagai budayawan, sastrawan, perupa yang aktif menyuarakan kritik-kritik sosial lewat karya-karyanya, tak terkecuali lewat puisi-puisinya. Puisi-puisi Gus Mus tergolong puisi religius dan kental dengan kritik-kritik sosial. Puisi-puisi Mustofa Bisri tidak hanya memberikan kritik terhadap pemerintah. Puisipuisinya adalah suara kritis yang ditujukan kepada berbagai lapisan sosial, dari lapisan paling atas sampai lapisan paling bawah, dari lapisan paling dekat sampai lapisan paling jauh. Demikianlah puisi-puisinya mengkritik pemimpin dan rakyat, juga mengkritik orang lain dan diri sendiri. Sejalan dengan hal itu, Acep Zamzam Noer (2009: 124) menyatakan sebagai berikut. Puisi-puisi yang ditulis Gus Mus bukanlah puisi yang bergulat dengan perambahan estetika yang sering berujung pada kegelapan makna, bukan puisi yang intens menggali kemurnian bunyi dan magi kata seperti halnya mantera, bukan pula puisi yang luluh dalam suasana sehingga menghadirkan impresi-impresi ngungun dan samar. Namun, puisi yang sadar akan fungsinya sebagai penyampai pesan, puisi yang memanfaatkan kekuatan retorika meski tidak jatuh sebagai pidato. Selalu tersedia sebuah ruang di mana pembaca bisa termenung, terhenyak, terhanyut, atau sekedar tersenyum. Bahasa yang digunakannya sejenis bahasa grafis yang plastis dan efektif, bahasa dengan karakter lisan yang kuat. Dalam perpuisian Indonesia mungkin bisa dibandingkan dengan puisi-puisi Rendra atau Emha, meski pada Gus Mus lebih menonjol unsur humornya. Tentu saja humor khas pesantren. A. Mustofa Bisri adalah seorang ulama dan seorang penyair. Maka dia memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Pandangan dunianya adalah pandangan-dunia seorang ulama sekaligus seorang penyair. Senada dengan
hal tersebut, Goenawan Muhamad (2009: 182) dalam esainya yang berjudul Gus Mus: Teks dan Manusia, sebagai berikut. Saya kira Gus Mus penyair yang didapuk oleh sejarah jadi seorang kiai. Atau juga: kiai yang menemukan nasib jadi penyair. Tak jelas, mana yang lebih dulu. Juga itu yang tak penting. Yang penting, bagi saya, dalam ketidakjelasan itu (juga ketidakjelasan kategori) Gus Mus menunjukkan bagaimana ia bisa peka pada kemungkinan dan ketidakmungkinan kata-kata: tiap teks pada akhirnya menyadari bahwa ia hanya teks, bukan kebenaran itu sendiri. Tiap teks adalah sesuatu yang terbelah; salah satu sisinya adalah ketidakmengertian. Selanjutnya, dikatakan oleh Goenawam Muhamad (2009: 183) dalam kajian yang sama terkait dengan teks-teks (esai dan sastra) karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus), sebagai berikut. Dewasa ini, ketika agama sedang hendak diarahkan jadi kepatuhan terhadap teks, Gus Mus mengingatkan kita akan kearifan yang saya sebut tadi. Ia menyesali sikap yang hanya membicarakan “soal ibadah mahdlah, ibadah murni, ibadah ritual.” Padahal, kata Gus Mus, “Islam adalah ibadah sosial.” Di sebuah masa ketika syari’at Islam hanya disebut-sebut berkaitan perilaku pribadi (cara berpakaian, cara bersalaman, dan hal-hal khilafiyah lainnya), Gus Mus bertanya: “Kenapa tidak bicara tentang keadilan, hak asasi manusia, kemanusiaan, kejujuran dalam pergaulan hidup? Bagaimana menyantuni orang dhaif dan seterusnya?” Melalui kearifan dalam menulis tentang kesadaran hidup bermasyarakat , berbangsa, dan bernegara, maka tidak mengherankan jika pada tanggal 30 Mei 2009, A. Mustofa Bisri mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Sebagaimana kata sambutan yang disampaikan oleh Syihabuddin Qalyubi (2009:ix) dalam buku Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu, sebagai berikut. Gus Mus, panggilan akrab KH. A. Mustofa Bisri, memang layak dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa karena jasa-jasa beliau yang masih terus berjalan dalam mengemban dan mengembangkan kebudayaan Islam. Melalui pidato, pena, dan lukisan, Gus Mus tak henti-hentinya menggugah, mendorong, mencerahkan, dan menyejukkan semua orang. Muslim, non-Muslim, kaya, non-kaya, muda, non-muda, gegap gempita menyambut karya-karya gemilang Gus Mus yang sering menggelitik, menghibur, sekaligus mencubit untuk mengingatkan sesame akan tugas luhur menata bangsa dan Negara. Tanpa pamrih jabatan dan sapaan luhur, Gus Mus terus mengingatkan agar kita tetap berjalan dalam koridor etika ilahiah, moral surgawi. Puisi-puisi beliau yang nylekit tapi humoris mengingatkan kita agar berdakwah harus dengan jalan hasanah. Adapun karya-karya A. Mustofa Bisri antara lain: Dasar-dasar Islam (terjemahan,
penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H), Ensiklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa’aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahaa Jasa, Penerbit Al Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, 1994), Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993), Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogyakarta, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humordan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan puisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Wekwekwek: Sajak-Sajak Bumi Langit (1996), Gandrung: Sajak-Sajak Cinta (Adiba, Surabaya, 2001), Negeri Daging (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002), Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali (terjemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996), Saleh ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995), Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997), Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997), Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan AlIbriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997), Lukisan Kaligrafi, Kumpulan Cerpen, (Kompas, 2003). Untuk antologi puisi A. Mustofa Bisri yang sudah menelorkan delapan karya, antara lain Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, 1994), Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humordan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan puisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Wekwekwek: Sajak-Sajak Bumi Langit (1996), Gandrung: SajakSajak Cinta (Adiba, Surabaya, 2001), Negeri Daging (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002). Dalam penelitian ini, hanya dipilih dua dari sembilan antologi puisi karya A. Mustofa Bisri, yakni antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dengan pertimbangan adanya kecenderungan kesamaan tema dari karya antologi puisi karya A. Mustofa Bisri dan intensitas
analisis atau kajian oleh peneliti.
b. Gambaran Umum Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Berdasarkan hasil analisis, antologi puisi Tadarus banyak dijumpai sifat puisi deskriptif dan metafisikal. Sifat puisi yang muncul tersebut dalam antologi puisi Tadarus, tidak lain merupakan bentuk pengungkapan pikiran dan perasaan penyair berupa kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat dan diri sendiri (penyair) dengan berbagai permasalahannya, utamanya menyuarakan dan merefleksikan tentang: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Antologi puisi Tadarus di dalamnya ada lima puluh puisi yang terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri dari delapan belas puisi dan bagian kedua terdiri dari 32 puisi, yang masing-masing akan ditelaah untuk mendapatkan deskripsi hubungan antara sikap penyair dengan gagasan tentang corak kehidupan sosial masyarakat dalam puisi, nilai-nilai religius, dan nilai-nilai pendidikan. Tidak berbeda jauh dengan antologi puisi Tadarus, untuk antologi puisi Pahlawan dan Tikus banyak dijumpai pula sifat puisi deskriptif dan metafisikal. Sifat puisi yang muncul tersebut dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, tidak lain juga untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair berupa kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat dan diri sendiri
(penyair)
dengan
berbagai
permasalahannya,
utamanya
menyuarakan
dan
merefleksikan tentang: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Antologi puisi Pahlawan dan Tikus di dalamnya ada 56 puisi yang terbagi dalam enam bagian. Pertama, ”puisi-puisi gelap” terdiri dari tujuh puisi. Kedua, ”puisi-puisi remang-
remang” terdiri dari lima belas puisi. Ketiga, ”puisi-puisi agak terang” yang terdiri dari enam puisi. Keempat, ”puisi-puisi terang” yang terdiri dari dua puluh puisi. Kelima, ”puisi-puisi terang-terangan” yang terdiri dari lima puisi. Keenam, ”puisi-puisi penerang” yang terdiri dari tiga puisi.
c. Tema-tema dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Brdasarkan hasil analisis antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, sebagaimana uraian di atas, mengungkapkan beberapa gagasan atau tema penting yang sejalan dengan jenis puisi yang ditampilkan. Secara umum gagasan atau tema yang ditampilkan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, menyuarakan dan merefleksikan
kritik
terhadap
dekadensi
moral
kemanusiaan,
ketidakadilan
dan
ketidakbenaran hidup, ketidakjujuran dalam kehidupan, dan keangkuhan serta membanggakan diri. Oleh karena itu, telaah terhadap dua antologi puisi tersebut dijabarkan dalam beberapa gagasan atau tema berikut: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, dan (4) kritik terhadap keangkuhan dan membanggakan diri. Gagasan atau tema tersebut terkait hubungannya dengan nada puisi sebagai sikap yang ingin disampaikan penyair sebagai kritik terhadap tatanan kehidupan masyarakat termasuk kritik terhadap diri penyair sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, diungkapkan oleh Mohamad Sobary (1997:viii), sebagai berikut. Apa yang ditulis A. Mustofa Bisri, baik esai, cerpen, bahkan puisinya adalah sebuah penilaian, sikap skeptis, perasaan gundah, bahkan kegemasan dan rasa muak melihat kecenderungan-kecenderungan kehidupan sosial- politik dan kebudayaan yang berkembang di sekitar kita. Dalam beberapa bentuk tulisannya tersebut, kita merasa diwakili. A. Mustofa Bisri menjadi wakil nurani kita yang bungkam, takut, dan cemas, atau bahkan yang sekedar tak tahu bagaimana seharusnya bersikap. Adapun telaah masing-masing tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan
Tikus karya A. Mustofa Bisri adalah sebagai berikut. 1) Kritik terhadap Dekadensi Moral Kemanusiaan Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan kritik sosial terhadap dekadensi moral kemanusiaan, diantaranya adalah puisi yang berjudul ”Membangun Rumah”, ”Dzikir 2”, ”Mantan Rakyat”, ”Bosnia Adalah”, dan ”Kubaca Berita”. Selanjutnya, tidak jauh berbeda dengan keberadaan antologi puisi Tadarus, antologi puisi Pahlawan dan Tikus, juga mengangkat tema atau gagasan kritik sosial terhadap dekadensi moral kemanusiaan dalam berbagai wujud refleksi kehidupan. Adapun tema atau gagasan tersebut, dapat diketahui dalam puisi-puisi yang berjudul “Reinkarnasi”, “Input dan Output”, “Ketika Tuhan”, “Putra-Putri Ibu Pertiwi”, “Maju Tak Gentar”, “Soal”, “Soal Kemiskinan”, “Permainan Golf”, “Waktu Tiba-Tiba Berhenti Berdenyut”, “Makin Canggih Saja”, dan “Saling”. Tema kritik sosial terhadap dekadensi moral kemanusiaan yang diungkap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dalam beberapa larik puisinya dapat dideskripsikan bahwa semakin menipisnya rasa kemanusiaan di antara sesama, manusia saling benci, saling memaki, dan saling dendam. Bahkan bisa jadi saling ’membunuh’ dengan tanpa perasaan, baik dalam membunuh karakter, menghilangkan dan merampas hak orang-orang kecil, maupun menghabisi nyawa dengan tanpa perasaan bersalah dan dosa. 2) Kritik terhadap Ketidakadilan dan Ketidakbenaran Hidup .Dalam antologi puisi Tadarus, judul puisi yang mengungkap kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup antara lain ” Anonim”, ”Ratsaa”, ”Khalifah Allah, Dimanakah Kau”, ”Selamat Idul Fitri”, dan ”Keadilan”. Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, yang mengungkap tema atau gagasan tentang kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup antara lain terdapat pada puisi berjudul ”Merdeka”, ”Tikus”, ”Tikus-Tikus di Atas Meja”,
”Perlawanan”, ”Kepada Penyair”, ”Surabaya”, ”Dua Surat dari Surabaya”, ”Di Taman Pahlawan”, ”Orang Kecil Orang Besar”, ”Rekayasa I”, ”Rekayasa II”, ”PT Rekayasa Semesta”, dan ”Negeriku”. Tema keadilan dan kebenaran hidup yang diungkap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dalam beberapa larik puisinya dapat dideskripsikan bahwa kita dihadapkan berbagai pertanyaan tentang kesewenang-wenangan dan keserakahan serta berbagai macam ketidakaadilan dan ketidakbenaran dalam berbagai sisi kehidupan (hukum, ekonomi, politik, dan sosial) di negeri ini. Keberadaan dan posisi rakyat kecil (para petani, nelayan, dan buruh) yang bersusah payah dalam segala usaha, tetapi yang meraih kenikmatan hanya orang-orang kaya dan orang-orang besar yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Bagaimanapun rakyat kecil selalu berada di pihak yang selalu kalah dan dikalahkan. 3) Kritik terhadap Ketidakjujuran dalam Kehidupan Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tema ketidakjujuran dalam kehidupan antara lain terdapat pada puisi berjudul ”Jangan Berpidato”, ”Rampok”, ”Menulis”, dan ”Allah Ampunilah Kami”. Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawn dan Tikus, judul puisi yang mengungkap tentang kejujuran dalam pergaulan hidup adalah beberapa puisi yang berjudul ”Pahlawan”, ”Seperti Sudah Kuduga”, ”Sujud”, dan ”Di Negeri Amplop”. Tema kejujuran dalam pergaulan hidup yang diungkap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dalam beberapa larik puisinya dapat dideskripsikan tentang kejujuran dalam kehidupan yang masih jauh dari impian nurani. Yang berlaku sekarang ini adalah bahwa siapa pemilik kekuasaan dan jabatan besar atau tinggi, dialah yang dapat memutuskan apapun yang dia kehendaki. Akan tetapi, sebaliknya jika dia tidak memiliki jabatan atau kedudukan atau jatuh
miskin, maka sudah sepantasnya dia hanya bisa dibuat mainan mereka yang memiliki jabatan dan kedudukan. Mereka orang-orang kecil hanya mampu membuat hal-hal yang sepele dan remeh. Meskipun yang sepele dan remeh tersebut belum tentu tidak berarti dan berguna dalam mengungkap kejujuran dalam hidup. Sebaliknya, yang diputuskan orang-orang besar yang memiliki jabatan dan kedudukan hanyalah sebuah omong kosong dan tipuan-tipuan belaka terhadap kehidupan. 4) Koreksi dan Introspeksi Diri Beberapa puisi dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tentang hal koreksi dan introspeksi diri ada dalam puisi yang berjudul ”Puisi Berkata Padaku”, ”Lalat-lalat”, ”Pesona”, ”Tidur”, ”Puisi Islam”, ”Nasihat-nasihat”, ”Nurani”, dan ”Kulihat Wali-wali Allah”. Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus yang mengungkapkan tema koreksi dan introspeksi diri adalah beberapa puisi yang berjudul ”Huruf-huruf Hidup”, ”Les”, ”Andaikata”, ”Nasihat-nasihat Ramadan buat Mustofa Bisri”, dan ”Ya Rasulullah”. Tema koreksi dan introspeksi diri yang diungkap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dalam beberapa larik puisinya dapat dideskripsikan tentang kelemahan kita dalam melihat diri sendiri. Pada setiap gerak dan langkah dalam kehidupan kita, tidak dapat lepas dengan petuah mapun nasihat-nasihat luhur. Di mana dan kapan pun kita akan dihadapkan pada petuah maupun nasihat bijak tersebut. Misalnya lewat pengeras suara, pamflet-pamflet, layar bioskop, televisi, koran, dan majalah. Bahkan di surau, di masjid, dan di gereja juga pada tempat-tempat ibadah dan upacara keagamaan lainnya. Semakin sering kita dengar nasihat, semakin sering pula kita melupakan dan tidak mengindahkannya. Inilah kelemahan kita yang sebenarnya, banyaknya nasihat tidak membuat kita semakin baik tetapi kita bertindak
sebaliknya. 5) Kesadaran Spiritual Dalam antologi puisi Tadarus yang mengungkapkan tentang tema kesadaran spiritual adalah beberapa puisi yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”, ”Tadarus”, ”Buah Mata”, ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Tanpa Jarak”, ”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, ”Matahari”, ”Bulan”, ”Laut”, ”Langit”, dan ”Doa”. Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus yang mengungkapkan tema tentang kesadaran spiritual adalah beberapa puisi yang berjudul ”Ibu”, ”Kurban”, ”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”. Tema kesadaran spiritual yang diungkap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dalam beberapa larik puisinya dapat dideskripsikan tentang gambaran kesadaran spiritual dalam perwujudan permohonan dan doa. Permohonan dan doa yang disampaikan kepada Tuhan adalah merupakan wujud penghambaan diri atas segala ketidakmampuan dan kelemahan. Permohonan dan doa juga untuk perlindungan diri dari segala macam gangguan dan bahaya yang datang tiba-tiba, baik dari diri sendiri, orang lain bahkan ujian dari Tuhan. Sebagaimana wujud doa, isinya adalah sanjung dan puji bagi Tuhan semata, shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada penghulu para nabi, Muhammad saw. Selain itu, permohonan dan doa merupakan wujud permohonan kita kepada Tuhan untuk selalu mendapat kasih sayang, petunjuk, dan perlindungan-Nya di mana dan kapan pun.
d. Sikap Penyair dalam Hubungannya dengan Tema dalam Antologi Puisi Tadarus dan
Pahlawan dan Tikus. Berdasarkan hasil analisis nada dan sikap yang ingin disampaikan penyair (A. Mustofa Bisri) dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus sejalan sifat puisi yang ditampilkan. Sifat puisi yang ditampilkan adalah deskriptif dan metafisikal. Sebagaimana yang telah diuraikan di depan, bahwa puisi deskriptif adalah penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan dan peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair. Wujud tampilan tema dalam antalogi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus tersebut mengungkapkan nada atau sikap ketidakpuasan penyair terhadap suatu keadaan dengan cara menyindir diri sendiri maupun keadaan dan peristiwa yang dilihat dan didengar, atau meyatakan keadaan sebaliknya. Oleh karena itu, dua antologi puisi tersebut banyak mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan diri sendiri dn lingkungan sosial serta bentuk pengungkapan ketidaksenangan penyair dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan hidup diri sendiri dan lingkungan sosial tersebut. Selain itu, dalam dua antologi puisi tersebut juga mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan pengakuan serta penghambaan diri kepada Tuhan, pemilik segala sifat Maha Sempurna. Terkait dengan karakteristik atau ciri khas dari puisi-puisi
A. Mustofa Bisri
diungkapkan oleh Aning Ayu Kusumawati (2009:17) sebagai berikut. Ciri khas dari puisi A. Mustofa Bisri (Gus Mus), antara lain terlihat pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan cukup wajar dan sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu sebenarnya terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive simplicity (kesederhanaan yang menipu). Hal tersebut, senada juga dengan pandangan Umar Kayam pada pengantarnya dalam kumpulan puisi Tadarus bahwa A. Mustofa Bisri bukan hanya “penjaga dan pendamba kearifan” dan “penjaga taman kata-kata “, melainkan ia sudah menggenggam kearifan dan
keindahan kata-kata. Ciri khas yang lain dari sajak-sajak A. Mustofa Bisri adalah penggunaan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes. Untuk memperkuat argumentasi terhadap nada dan sikap penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, maka beberapa pemikiran beliau terkait dengan tema-tema yang ditampilkan. Selain itu, dari hasil wawancara penulis dengan penyair, dikatakan oleh penyair sebagai berikut. “Sebagaimana kumpulan atau antologi puisi saya yang lain, ada sembilan kumpulan puisi. Beberapa antologi puisi saya adalah merupakan kumpulan dari beberapa puisi saya yang terus mengalir tercipta. Pada akhirnya, yang pertama terkumpul dalam Ohoi (kumpulan puisi balsam). Selanjutnya terkumpul dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus dan seterusnya. Sikap atau pandangan saya terhadap keunculan dua antologi puisi tersebut (Tadarus dan Pahlawan dan Tikus) adalah sama dengan beberapa antologi puisi saya yang lain, yaitu aliran suara hati saya yang tidak mudah bisa dibendung jika melihat peristiwa atau keadaan sekitar. Hati dan pikiran saya selalu terusik untuk menulisnya. Meskipun ada juga beberapa puisi saya berasal dari hasil perenungan diri sendiri.” ”... Yang perlu digarisbawahi, bahwa puisi-puisi saya adalah cermin dari diri saya. Seperti halnya para penyair lain, taruhlah seperti: W.S. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, dan Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisi karya mereka itu adalah cermin dari diri mereka masing-masing. Sehingga dapat pula dikatakan, bahwa bahasa yang terungkap dalam puisi-puisi saya adalah cermin kepedulian, perhatian, dan juga sikap saya. Termasuk konsep-konsep pemikiran saya tentang manusia, lingkungan kehidupan dan kematian, diri sendiri, maupun tentang konsep tentang keagamaan. Semua itu akan muncul dan tampak, jika saya mendeskripsikannya dalam bentuk karya (puisi, prosa, dan esai).” “Tadarus bersal dari bahasa Arab darasa dan yadrisu lalu menjadi tadris, yang berarti ‘belajar’ atau ‘mempelajari’. Dalam bahasa Jawa ada isitilah nderes atau darusan. Dalam bahasa Indonesia menjadi tadarus, yang artinya terus-menerus membaca dan mengkaji. Jadi, antologi puisi Tadarus isinya bagaimana seharusnya kita belajar dan mempelajari serta mengkaji ayat-ayat Allah dalam kehidupan dan lingkungan di mana kita hidup dan berpijak termasuk apa yang ada pada diri sendiri (lahir dan batin) secara terus-menerus. Intinya, tidak ada kata berhenti untuk terus belajar dan mempelajari apapun yang ada dalam diri dan lingkungan kita. Sedangkan antologi puisi Pahlawan dan Tikus, bahwa dalam kehidupan ini kita akan dipertemukan dengan dua watak atau karakter manusia, baik dan buruk. Saya kira Anda paham tentang hal ini. Itu semua, muaranya kembali lagi pada pembaca atau penikmat puisi.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan terkait sikap penyair dalam hubungannya dengan tema, yakni tentang: (1) penegakan moral kemanusiaan, (2) keadilan dan kebenaran hidup, (3) kejujuran dalam pergaulan hidup, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Dengan demikian dapat pula dikatakan, bahwa pemikiran-pemikiran penyair juga merupakan sikap penyair dalam mendukung keberadaan beberapa tema atau gagasan yang terungkap dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, yang meliputi: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
e.
Struktur Bahasa dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Berdasarkan hasil analisis dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, struktur bahasa yang meliputi pilihan kata, kata konkret, pengimajian, gaya bahasa dan versivikasi dalam antologi puisi tersebut dipilih penyair untuk mewakili keberadaan sifat puisi tersebut dan sejalan jika dikaitkan dengan tema-tema yang ditampilkan. Pertama, dalam pemilihan kata oleh penyair menunjukkan sifat dan karakater dalam puisi untuk mewakili nada atau sikap ketidakpuasannya terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya dan mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu masyarakat. Selain itu, penyair juga mengajak kita merenungkan kehidupan dan kehadiran Tuhan dalam jiwa. Kedua, dalam penggunaan kata konkret dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, digunakan penyair untuk memperkuat pengimajian bahasa puisi agar dapat pula mewakili nada atau sikapnya dalam melihat kepincangan atau ketidakberesan kehidupan diri sendiri maupun suatu kelompok masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan kehadiran
Tuhan dalam jiwa. Ketiga, Gaya bahasa hiperbola, personifikasi, metafora, dan pleonasme banyak dijumpai dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus untuk mewakili nada atau sikap penyair yang satirik, kritis, impresionistik dan metafisikal dalam melihat kepincangan atau ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri maupun suatu kelompok masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan kehadiran Tuhan dalam jiwa. Keempat, tampilan versifikasi, baik berupa rima, ritme, dan metrum yang ditampilkan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus selain untuk menghasilkan pengaruh keindahan kata-kata yang ditampilkan, tetapi juga untuk memberikan gambaran kesungguhan penyair dalam melihat kepincangan dan ketidakberesan kehidupan baik diri sendiri, suatu kelompok maupun suatu masyarakat serta perenungan terhadap hidup dan kehadiran Tuhan dalam jiwa. Uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa A. Mustofa Bisri selain mengungkapkan katakata yang lugas dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus untuk menyampaikan tema-tema yang berhubungan dengan kritik terhadap kehidupan sosial, diri sendiri, dan kesadaran keagamaan. Selain itu, antara sikap penyair dan tema dalam puisi terkesan senada dan mendukung keberadaan larik-larik dan bait-bait puisinya yang berjenis deskriptif dan metafisikal dengan menggunakan kata konkret, pengimajian, gaya bahasa dan versifikasi. Hal tersebut juga membuktikan, bahwa selain ingin menyampaikan sikap secara lugas, kritis, dan satiris, penyair ternyata masih mempertimbangakan keindahan bahasanya. Sehingga terdapatnya beberapa kata humoris dalam beberapa larik puisinya dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus yang ikut memberi warna dan kesan, bahwa sikap kritis penyair terhadap kehidupan sosial dan pribadi juga terhadap kesadaran keagamaan sekalipun, penyair menyampaikannya dengan nada humor yang membuat pembaca tersenyum, meskipun berupa senyuman pahit.
f.
Sintesis dan Interpretasi. Berdasarkan analisis antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah wujud ciri khas dari puisi-puisi A. Mustofa Bisri (Gus Mus), antara lain terlihat pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan cukup wajar dan sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu sebenarnya terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive simplicity (kesederhanaan yang menipu). Ciri khas yang lain dari puisi-puisinya adalah penggunaan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes. Puisi-puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri bukanlah puisi yang bergulat dengan perambahan estetika yang sering berujung pada kegelapan makna, bukan puisi yang intens menggali kemurnian bunyi dan imaji kata seperti halnya mantera, bukan pula puisi yang luluh dalam suasana sehingga menghadirkan impresiimpresi ngungun dan samar. Akan tetapi, penyair berhasil memberikan sugesti kepada kita tentang betapa pentingnya kita untuk saling mengingatkan akan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, keadilan, kejujuran, introspeksi diri, dan kesadaran spiritual. Penyair terus mengingatkan kita agar tetap istiqomah ‘ajeg dan terus-menerus’ berjalan dalam koridor etika ilahiah, moral surgawi. Puisi-puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus sangat kritis, satiris, bahkan nylekit dan sinis tetapi humoris. Hal ini mengingatkan kita agar menyampaikan suara-suara Tuhan yang baik dan benar harus dengan jalan hasanah (kebaikan) dan kebenaran pula. Akhirnya, dapat disimpulkan berdasarkan deskripsi beberapa faktor yang dapat dijadikan kerangka berpikir meliputi: (1) tentang A. Mustofa Bisri dan karya-karyanya, (2)
gambaran umum tentang antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, (3) tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, (4) nada dan sikap penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, dan (5) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, dan (6) sintesis dan interpretasi, bahwa nada atau sikap penyair sangat relevan dengan keberadaan tema atau gagasan tentang corak kehidupan masyarakat dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Hubungan tersebut meliputi deskripsi tentang: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
2.
Nilai Religius dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai religius yang tercermin dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri adalah nilai religius yang dibatasi pada religius sebagai pengalaman batin dan kesadaran seseorang (penyair) untuk selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Perwujudannya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan sang Maha Pencipta dalam pemikiran, ucapan, dan perbuatan. Sealanjutnya akan terealisasi dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial. Adapun puisi yang kuat mengemban nilai-nilai religius berdasarkan pengertian di atas, dalam antalogi puisi Tadarus tampak pada puisi-puisi yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”, ”Tadarus”, ”Buah Mata”, ”Di Pelataran-Mu Nan Lapang”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Tanpa Jarak”, ”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, dan ”Doa”. Sedangkan dalam antologi puisi Pahlawan dan Tikus, puisi-puisi yang sangat kuat mengemban nilai-nilai religius akan tampak pada beberapa puisi yang berjudul ”Ibu”, ”Kurban”, ”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub Asy-Syadzili”, dan ”Doa Akasyah”.
Hasil analisis terhadap nilai religius di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri merupakan gambaran sikap penyair dalam kehidupan sehari-hari yang selalu berharap curahan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Sebab hanya dengan pancaran Cahaya Tuhan dalam diri, maka penyair akan memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan Cahaya Tuhan dalam segala situasi dan kondisi.
3.
Nilai-nilai Pendidikan dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Berdasarkan hasil analisis dalam upaya penggalian nilai-nilai pendidikan pada larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri akan berhubungan dengan berbagai macam kemungkinan pengembangan yang sangat luas. Agar tidak terlalu luas, maka peneliti menganalisis seperti halnya saat menentukan gagasan atau tema puisi, yakni dengan mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan yang ada dalam larik-larik puisi yang mendeskripsikan hubungan: (1) manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan kematian, dan (5) manusia dengan ketuhanan. Adapun masing-masing hubungan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan diri sendiri, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Pesona”, ”Nasihat-Nasihat”, ”Nurani”, ”Puisi Islam”, ”Nasihat Ramadlan buat A. Mustofa Bisri”, dan ”Ya Rasulullah”. Secara garis besar, nilai-nilai pendidikan yang dikandung puisi-puisi di atas memberikan kesadaran bahwa kita benar-benar berada dalam segala keterbatasan dan
kekurangan. Baik dalam menghadapi keinginan sendiri maupun untuk kepentingan ibadah, kita selalu lebih mementingkan diri sendiri daripada urusan atau kepentingan di luar kita. Misalnya hubungan dengan sesama, lebih-lebih hubungan ibadah kepada Tuhan. Dalam urusan beragama misalnya, kita mengakui bahwa apa pun yang ada dalam diri kita sudah berlabel agama yang kita yakini. Tapi apa benar menurut Tuhan, bahwa kita sudah benar-benar beragama atau sekedar simbol agama yang menempel pada fisik kita saja? Kita mengakui dan beribadah kepada Tuhan. Tapi apa benar, ibadah kita benar-benar ingin mencari ridla-Nya? Atau hanya sekedar rutinitas tak bermakna, sehingga dalam ibadah kita hanya ingat diri kita saja dan hanya menghitung-hitung ibadah yang telah kita lakukan. Banyaknya nasihat bijak dalam bentuk apapun yang kita dengar, bukan jaminan kita menjadi manusia yang bijak. Justru sebaliknya, kita tak pernah sekalipun melaksanakan nasihat bijak itu atau bahkah sama sekali kita tak akan bergeming dengan berbagai bentuk nasihat bijak tersebut. Kita lebih egois dengan urusan diri sendiri. Sedangkan untuk hubungan dengan sesama dan dengan Tuhan adalah urusan yang kesekian. Inilah nilai pendidikan paling berharga bagi kita, untuk selalu menempatkan keseimbangan kewajiban kita sebagai umat beragama sekaligus makhluk sosial. 2) Hubungan Manusia dengan Orang Lain Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan orang lain, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Mantan Rakyat”, ”Kubaca Berita”, ”Bosnia”, ”Reinkarnasi”, ”Makin Canggih Saja”, dan ”Saling”. Secara garis besar puisi-puisi di atas menunjukkan nilai-nilai pendidikan pada kita, bahwa nilai-nilai hubungan kemanusiaan kita sudah mulai luntur bahkan lambat laun mulai terkikis dalam kehidupan. Banyak di antara kita yang belum menyadari hakikat hubungan kemanusiaan. Apalagi kalau sudah diembel-embeli jabatan atau pangkat yang melekat pada
diri kita, seakan-akan jabatan atau pangkat itu merupakan sekat terhadap rasa kemanusiaan kita dengan sesama. Peperangan dan saling membunuh demi sebuah kebanggaan ras atau suku demi gengsi menjadi tradisi daripada harus membina kerukunan dan kasih sayang dengan sesama. Kita lebih banyak menyibukkan diri untuk mempropagandakan label-label atau simbolsimbol prestise yang kita sandang daripada harus bersusah payah menyuarakan kebaikan dan kebenaran hidup antarsesama. Kita lakukan apapun demi keuntungan kita sendiri, meskipun yang lain merasakan kesengsaraan dari perilaku kita. Kita lebih senang menebar virus kebencian dan perpecahan dengan sesama di segala bidang kehidupan dan pekerjaan daripada membina kerukunan dan kedamaian di antara sesama. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa sudah seharusnya kita bisa menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dalam segala bidang kehidupan tanpa harus memandang terhadap perbedaan ras, suku, golongan, maupun agama. 3) Hubungan Manusia dengan Kehidupan Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan kehidupan, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Ratsaa”, ”Khalifah Allah, di manakah Kau?”, ”Selamat Idul Fitri”, ”Kepada Penyair”, ”Surabaya”, dan ”Di Negeri Amplop”. Secara garis besar puisi-puisi di atas menunjukkan nilai-nilai pendidikan pada kita, bahwa dalam hal hidup dan kehidupan kita masih banyak yang belum bisa kita lakukan sesuai dengan aturan dan norma kebaikan yang berlaku. Kita masih sibuk dengan urusan sendiri, yang belum jelas kebaikannya. Di mana pun posisi dan jabatan kita, belum dapat menempatkan diri sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang kita miliki. Kita masih terlalu banyak menjadikan segala sesuatu di luar kita (baik manusia, hewan,
maupun tumbuhan) adalah pemuas keinginan kita, sehingga apapun langkah kita (benar atau salah) adalah benar menurut kita. Asalkan semua keinginan kita terpenuhi. Kita masih belum melihat kezaliman dan kemungkaran di sekitar kita yang memperdaya nurani, karena memang kita tidak mampu untuk meninggalkan sifat buruk itu dalam diri kita. Kita masih banyak mencari kepuasan diri dalam setiap waktu dan kesempatan, sehingga dengan jalan apapun (benar atau salah) asalkan keinginan kita terpenuhi, tetap kita pandang sebagai hal yang paling benar. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa sudah seharusnya kita menghentikan segala bentuk praktik kezaliman dan kemungkaran dalam setiap sudut kehidupan. Kita kembalikan semua praktik kehidupan pada nurani kita. Hanya dengan menempatkan nurani, kita bisa hidup perdampingan dengan siapapun (baik dengan sesama maupun lingkungan), sehingga nantinya akan tercipta harmoni yang indah dalam kehidupan kita. 4) Hubungan Manusia dengan Kematian Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan kematian, di antaranya tampak dalam beberapa puisi yang berjudul ”Kubaca Berita”, ”Sujud”, ”Surabaya”, dan ”Dua Surat dari Surabaya”. Secara garis besar puisi-puisi di atas menunjukkan nilai-nilai pendidikan pada kita, bahwa kematian akan menjemput kita tanpa kita sadari kapan datangnya. Kematian adalah misteri Tuhan, disamping kehidupan dan perjodohan. Kematian akan dihadapkan pada kita dengan berbagai ragam datangnya. Kebanyakan kita belum siap untuk menerima atau menghadapi kematian. Akan tetapi, ada juga yang benar-benar sudah siap menghadapinya. Semua tergantung kita, bagaimana kita menyikapinya. Jika kematian itu adalah sesuatu yang menakutkan, tentunya kita berharap agar kematian jangan bersandar pada diri kita terlebih dahulu. Sebaliknya, jika kita menyadari
bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak perlu ditakuti. Apapun yang terjadi pada diri kita, kita hadapi dengan sikap berani dan lapang dada. Kematian dalam pandangan para pahlawan perjuangan yang membela kebenaran dan hati nurani berbeda dengan pandangan kita (generasi saat ini). Mereka menganggap kematian adalah sesuatu yang indah, sebab mereka yakin kematian mereka bukanlah hal yang sia-sia. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa kita semestinya tidak takut menghadapi kematian. Sebab kematian pasti akan datang pada diri kita di mana dan kapan pun kita berada. Yang terpenting, sudahkah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu? Oleh karena itu, dalam setiap langkah kehidupan, kita harus bersandarkan pada nilai-nilai kebenaran Tuhan dan hati nurani. Sehingga kapanpun kematian menghampiri, kita berharap tidak ada alasan penyesalan untuk menghadapinya. Kita sudah benar-benar siap menghadapinya. 5) Hubungan Manusia dengan Ketuhanan Larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan, di antaranya tampak dalam beberapa puisi dalam antologi puisi Tadarus yang berjudul ”Titik-Titik Hujan”, ”Buah Mata”, ”Wanita Cantik di Multazam”, ”Berlapis-lapis Cahaya Menghadang”, ”Doa”, dan ”Ibu”. Secara garis besar puisi-puisi di atas menunjukkan nilai-nilai pendidikan pada kita, bahwa manusia dengan segala ketidakberdayaan hanya mampu berharap dan memohon kepada Tuhan, pemilik segala sifat kesempurnaan. Selanjutnya dengan segala upaya dan usahanya untuk selalu mendekat pada Tuhan untuk selalu mendapat curahan rahmat-Nya. Konsekuensinya, setelah mendapat rahmat Tuhan, manusia akan lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan. Dalam kehidupan sehari-harinya akan selalu diliputi dengan
’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Karena pancaran ’Cahaya’ Tuhan telah melingkupi dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Sedangkan dalam antalogi puisi Pahlawan dan Tikus yang kuat mengemban nilai-nilai pendidikan yang mendeskripsikan hubungan manusia dengan ketuhanan ada dalam beberapa puisi yang berjudul ”Kurban”, ”Nazar Ibu di Karbala”, ”Hizib Nashar Wali Quthub AsySyadzili”, dan ”Doa Akasyah”. Secara garis besar puisi-puisi di atas menunjukkan nilai-nilai pendidikan, bahwa dengan segala kesadarannya manusia harus mengakui keberadaannya di dunia tidak lepas dari peran kasih sayang seorang ibu (orang tua). Apa pun posisi dan jabatan kita, tanpa kasih sayang ibu kita tidak kan mampu meraihnya. Sebab suara hati seorang Ibu (orang tua) sangat dekat dengan suara Tuhan. Kerelaan dan murka ibu (orang tua) kita adalah kerelaan dan murka Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita berharap dan memohon kepada Tuhan untuk memberi kasih sayang-Nya pada ibu (orang tua) kita. Selanjutnya dalam puisi-puisi di atas, kita ditunjukkan pengorbanan seorang ibu untuk mengharapkan curahan cinta-Nya, meskipun segala musibah menerpanya. Dengan segala ketidakberdayaannya hanya mampu berharap dan memohon kepada Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya untuk selalu mendekat pada Tuhan untuk selalu mendapat curahan rahmat-Nya. Berikutnya, dalam puisi-puisi di atas, kita ditunjukkan sebuah kesadaran, bahwa semua yang ada dan bergerak dalam tubuh tiada lain adalah berkat kehendak-Nya semata, sehingga cukup hanya Tuhan yang menjadi sandaran harapan kita. Karena hanya dengan rahmat dan pertolongan Tuhan, kita akan lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan Cahaya Tuhan. Hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia lain, kehidupan, kematian,
dan ketuhanan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, menegaskan bahwa dalam kehidupan kita menyadari terhadap kelemahan dan kekurangan diri. Oleh karena itu, kita selalu berharap bantuan orang lain, kita bersikap baik dalam kehidupan, kita akan mempersiapkan diri menghadapi kematian, dan berharap selalu akan curahan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan membentuk kesadaran untuk meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Sebab hanya dengan pancaran ’Cahaya’ Tuhan dalam diri, maka kita akan memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan dalam segala situasi dan kondisi. Inilah nilai-nilai pendidikan berharga yang diemban larik-larik puisi untuk menyuarakan kesadaran berketuhanan. Akhirnya, dari uraian pembahasan tentang nilai-nilai pendidikan yang ada dalam dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang tercermin pada larik-larik puisi dalam dua antologi puisi tersebut, merupakan nilai pendidikan yang merefleksikan hubungan: (1) manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan kematian, dan (5) manusia dengan ketuhanan.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan Simpulan yang dapat diuraikan dari hasil analisis dan pembahasan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Kritik Sosial dalam Hubungannya dengan Sikap Penyair dan Tema dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan gagasan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, ada beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka berpikir untuk mendapatkan hasil analisis dan pembahasan berupa deskripsi hubungan tersebut, antara lain deskrpsi tentang: (a)
A. Mustofa Bisri dan beberapa karyanya, (b) antologi puisi Tadarus dan Pahlawan
dan Tikus, (c) tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (d) sikap penyair dalam hubungannya dengan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (e) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (f) simpulan berupa sintesis dan interpretasi. Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka didapatkan hasil analisis dan pembahasan berupa deskripsi tentang kritik sosial dalam hubungannya dengan sikap penyair dan gagasan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, sebagai berikut. Pertama, A. Mustofa Bisri yang lebih dikenal dengan nama panggilan Gus Mus adalah representasi dari seorang kiai yang mangku (memiliki) pesantren, juga sebagai budayawan, sastrawan, perupa yang aktif menyuarakan kritik-kritik sosial lewat karya-karyanya baik karya terjemahan, esai, prosa, maupun puisi-puisinya. Puisi-puisi Gus Mus tergolong puisi religius dan kental dengan kritik-kritik sosial. Kedua, gambaran umum dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus banyak dijumpai puisi-puisi yang bersifat puisi deskriptif dan metafisikal. Sifat puisi yang muncul tersebut dalam dua antologi puisi tersebut, tidak lain adalah untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan penyair berupa kritk terhadap diri sendiri (penyair) dan kehidupan sosial masyarakat serta kesadaran keagamaan penyair. Ketiga, terkait dengan gambaran umum tentang antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, maka tema atau gagasan yang terdapat dalam dua antologi puisi tersebut, antara lain tentang: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusiaan, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual. Keempat, senada dengan wujud tampilan tema dalam antalogi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus tersebut juga mengungkapkan nada atau sikap tidak puas penyair terhadap suatu keadaan dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan sebaliknya. Oleh karena itu, dua antologi puisi tersebut banyak mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan diri sendiri dan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan diri sendiri dan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat tersebut. Selain itu, dalam dua antologi puisi tesebut juga mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan menghadirkan Tuhan dengan segala sifat kesempurnaanNya di dalam jiwa. Kelima, A. Mustofa Bisri selain mengungkapkan kata-kata yang lugas dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus untuk menyampaikan tema-tema yang berhubungan dengan corak kehidupan sosial dan religius, tampaknya penyair juga ingin memadukan sifat-sifat yang ada dalam puisinya yang deskriptif dan metafisikal dengan menggunakan kata konkret, pengimajian, gaya bahasa dan versifikasi yang senada. Hal ini membuktikan, bahwa selain ingin menyampaikan nada atau sikap penyair secara lugas, kritis, dan satiris, tetapi masih mempertimbangakan keindahan bahasanya. Bahkan tidak sedikit nada bahasa humoris juga tampak dalam beberapa larik puisinya dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Keenam, dapat disimpulkan berdasarkan deskripsi beberapa faktor yang dapat dijadikan kerangka berpikir meliputi: (1) tentang A. Mustofa Bisri dan karya-karyanya, (2) gambaran
umum tentang antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (3) tema-tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (4) sikap penyair dalam hubungannya dengan tema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (5) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (6) sintesis dan interpretasi. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa nada atau sikap penyair terdapat relevansi dengan tema atau gagasan tentang kritik terhadap kehidupan sosial, diri sendiri, dan kesadaran keagamaan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Relevansi tersebut tercermin dalam beberapa tema antara lain: (1) kritik terhadap dekadensi moral kemanusian, (2) kritik terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup, (3) kritik terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan, (4) koreksi dan introspeksi diri, dan (5) kesadaran spiritual.
2.
Nilai Religius dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa nilai religius yang diemban antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri adalah nilai religius yang dibatasi pada religius sebagai pengalaman batin dan kesadaran seseorang (penyair) untuk selalu berhubungan dengan Sang Maha Pencipta dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penyair selalu berharap curahan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Sebab hanya dengan pancaran ’Cahaya’ Tuhan dalam diri, maka penyair akan memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan dalam segala situasi dan kondisi. Perwujudannya dengan menciptakan hubungan yang harmoni dengan Sang Maha Pencipta dalam pemikiran, ucapan, dan perbuatan. Selanjutnya akan terealisasi dalam keseimbangan ritual ibadah, baik ibadah personal (pribadi) maupun ibadah sosial dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Nilai Pendidikan dalam Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam upaya penggalian nilai-nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, maka didapatkan simpulan bahwa nilai-nilai pendidikan yang ada dalam larik-larik puisi dalam dua antologi puisi tersebut, yakni berupa nilai pendididikan yang berhubungan tentang: (1) manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan kematian, dan (5) manusia dengan ketuhanan. Simpulan paparan masing-masing sebagai berikut. Pertama, nilai pendidikan yang menunjukkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah memberikan kesadaran bahwa kita benar-benar berada dalam segala keterbatasan dan kekurangan. Baik dalam mengahadapi keinginan sendiri maupun untuk kepentingan ibadah ritual dan ibadah sosial, kita selalu lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan di luar kita. Misalnya hubungan dengan sesama, apalagi untuk urusan hubungan dengan Tuhan. Dalam urusan beragama misalnya, kita mengakui bahwa apapun yang ada dalam diri kita sudah berlabel agama yang kita yakini. Tapi apa benar menurut Tuhan, bahwa kita sudah benarbenar beragama atau sekedar simbol agama yang menempel pada fisik kita saja? Kita mengakui dan beribadah kepad Tuhan. Tapi apa benar, ibadah kita benar-benar ingin mencari ridla-Nya? Atau hanya sekedar rutinitas tak bermakna, sehingga dalam ibadah kita hanya ingat bahwa diri kita saja dan menghitung-hitung ibadah yang telah kita lakukan. Banyaknya nasihat tentang kebajikan dalam bentuk apapun yang kita dengar, bukan jaminan kita menjadi manusia yang bijak. Justru sebaliknya, kita tak pernah sekalipun melaksanakan nasihat bijak itu atau bahkah sama sekali kita tak akan bergeming dengan berbagai bentuk nasihat bijak tersebut. Kita lebih egois dengan urusan diri sendiri. Sedangkan untuk urusan dengan sesama dan Tuhan adalah urusan yang dapat ditunda atau bahkan dikesampingkan. Inilah nilai pendidikan paling berharga bagi kita, untuk selalu menempatkan keseimbangan kewajiban kita sebagai umat beragama sekaligus makhluk sosial.
Kedua, nilai pendidikan yang menunjukkan hubungan manusia dengan orang lain dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah nilai-nilai hubungan kemanusiaan kita sudah mulai luntur bahkan lambat laun mulai terkikis dalam kehidupan. Banyak di antara kita yang belum menyadari hakikat hubungan kemanusiaan. Apalagi kalau sudah diembel-embeli jabatan atau pangkat yang melekat pada diri kita, seakan-akan jabatan atau pangkat itu yang membatasi kemanusiaan kita dengan sesama. Peperangan dan saling membunuh demi sebuah kebanggaan ras atau suku demi gengsi menjadi tradisi daripada harus membina kerukunan dan kasih sayang dengan sesama. Kita lebih banyak menyibukkan diri untuk mempropagandakan label-label atau simbol-simbol prestise yang kita sandang daripada harus bersusah payah menyuarakan kebaikan dan kebenaran hidup antarsesama. Kita lakukan apa pun demi keuntungan kita sendiri, meskipun yang lain merasakan kesengsaraan dari perilaku kita. Kita lebih senang menebar virus kebencian dan perpecahan dengan sesama di segala bidang kehidupan dan pekerjaan daripada membina kerukunan dan kedamaian di antara sesama. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa sudah seharusnya kita bisa menempatkan nilai-nilai kemanusiaan dalam segala bidang kehidupan tanpa harus memandang perbedaan ras, suku, golongan, maupun agama. Ketiga, nilai pendidikan yang menunjukkan hubungan manusia dengan kehidupan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah dalam hal hidup dan kehidupan kita masih banyak yang belum bisa kita lakukan sesuai dengan aturan dan norma kebaikan yang berlaku. Kita masih sibuk dengan urusan sendiri, yang belum jelas kebaikannya. Di mana pun posisi dan jabatan kita, belum dapat menempatkan diri sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang kita miliki. Kita masih terlalu banyak menjadikan segala sesuatu di luar kita (baik manusia, hewan, maupun tumbuhan) adalah pemuas keinginan kita, sehingga apa pun langkah kita (benar atau salah) adalah benar menurut kita. Asalkan semua keinginan kita terpenuhi. Kita masih belum
melihat kezaliman dan kemungkaran di sekitar kita yang memperdaya nurani, karena memang kita tidak mampu atau bahkan enggan untuk meninggalkan sifat buruk itu dalam diri kita. Kita masih banyak mencari kepuasan diri dalam setiap waktu dan kesempatan, sehingga dengan jalan apapun (benar atau salah) asalkan keinginan kita terpenuhi, tetap kita pandang sebagai hal yang paling benar. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi di atas, bahwa sudah seharusnya kita menghentikan segala bentuk praktik kezaliman dan kemungkaran dalam setiap sudut kehidupan. Kita kembalikan semua praktik kehidupan pada nurani kita. Hanya dengan menempatkan nurani, kita bisa hidup perdampingan dengan siapapun ( baik dengan sesama maupun lingkungan), sehingga nantinya akan tercipta harmoni yang indah dalam kehidupan kita. Keempat, nilai pendidikan yang menunjukkan hubungan manusia dengan kematian dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah kematian akan menjemput kita tanpa kita sadari kapan datangnya. Kematian adalah misteri Tuhan, disamping kehidupan dan perjodohan. Kematian akan dihadapkan pada kita dengan berbagai ragam peristiwa. Ada kalanya kita belum siap untuk menerima atau menghadapinya. Akan tetapi, ada yang sudah siap menghadapinya. Semua tergantung kita, bagaimana kita menyikapinya. Jika kematian itu adalah sesuatu yang menakutkan, tentunya kita berharap agar kematian ditunda pada diri kita terlebih dahulu. Sebaliknya, jika kita menyadari bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak perlu ditakuti. Apapun yang terjadi pada diri kita, kita hadapi dengan sikap berani dan lapang dada. Seperti sikap para pahlawan perjuangan yang membela kebenaran dan hati nurani dengan tanpa pamrih. Mereka menganggap kematian adalah sesuatu yang indah, sebab mereka yakin kematian mereka bukanlah hal yang sia-sia. Nilai-nilai pendidikan inilah yang diemban pada larik-larik puisi dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, bahwa kita semestinya tidak takut menghadapi kematian. Sebab kematian pasti akan datang pada diri kita di mana dan kapan pun kita berada. Yang
terpenting, sudahkah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu? Oleh karena itu, dalam setiap langkah kehidupan, kita harus bersandarkan pada nilai-nilai kebenaran Tuhan dan hati nurani. Sehingga kapanpun kematian menghampiri, kita berharap tidak ada alasan penyesalan untuk menghadapinya. Kita sudah benar-benar siap menghadapinya. Kelima, nilai pendidikan yang menunujukkan hubungan manusia dengan ketuhanan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus adalah manusia dengan segala ketidakberdayaan hanya mampu berharap dan memohon kepada Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Selanjutnya dengan segala upaya dan usahanya untuk selalu mendekat pada Tuhan untuk selalu mendapat curahan rahmat-Nya. Konsekuensinya, setelah mendapat rahmat Tuhan, manusia akan lebih mudah untuk menggerakkan hati, pikiran, dan perbuatan sejalan dengan tuntunan ’Cahaya’ Tuhan. Dalam kehidupannya sehari-hari akan selalu diliputi dengan ’Cahaya’ Tuhan, sehingga akan meminimalkan bahkan menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Tuhan. Karena pancaran ’Cahaya’ Tuhan telah melingkupi diri dalam segala situasi dan kondisi.
B. Implikasi Berpijak pada simpulan terhadap hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka implikasi yang layak dikemukakan dari penelitian ini untuk peningkatan dan pengembangan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia pada umumnya dan pengajaran apresiasi puisi pada khususnya. Ada tiga hal yang dapat dijadikan tumpuan implikasi dari penelitian ini dalam pengajaran apresiasi puisi, utamanya terhadap (1) tinjauan sosiologi sastra, (2) nilai religius, dan (3) nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri. Pertama, tinjauan sosiologi sastra terhadap karya antologi puisi akan berimplikasi terhadap pengajaran apresiasi puisi di sekolah, baik implikasi secara kognitif dan afektif maupun implikasi secara teoritis dan praktis dalam pengkajian terhadap hubungan antara nada atau sikap penyair dengan gagasan atau tema dalam antologi puisi itu sendiri. Terkait dengan kajian sosiologi terhadap
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, maka implikasinya terhadap pengajaran apresiasi puisi baik implikasi secara kognitif dan afektif maupun implikasi secara teoritis dan praktis adalah pemerolehan deskripsi tentang hubungan antara nada atau sikap penyair dengan gagasan atau tema tentang kritik terhadap kehidupan sosial dalam dua antologi puisi tersebut yang mencakup beberapa hal, yakni: (1) tentang A. Mustofa Bisri dan karyakaryanya, (2) gambaran umum tentang antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (3) tematema dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, (4) nada dan sikap penyair dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (5) struktur bahasa dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan (6) sintesis dan interpretasi terhadap antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Kedua, meskipun mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia bukan mata pelajaran agama, sudah selayaknya dan sepantasnya dalam pengajarannya diintegrasikan dengan pemahaman terhadap nilai-nilai religius. Salah satunya dalam pengajaran apresiasi sastra, khususnya pengajaran apresiasi puisi. Dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, keberadaan nilai religius sangat kuat sekali. Pemaparan nilai religiusnya tidak semata-mata merupakan deskripsi ibadah ritual yang bersifat individu, tetapi lebih mengarah pada aplikasi nilai religius dalam tataran kehidupan sosial. Oleh karena itu, implikasi terhadap hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini terkait erat dengan pengajaran apresiasi sastra, khusunya terhadap penggalian nilai-nilai religius dalam puisi sangat layak mendapat perhatian utama guna menambah pemahaman siswa terhadap nilai-nilai religius, untuk selanjutnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, salah satu tujuan utama penyelenggaraan pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan adalam penyampaiaan dan pemahaman terhadap nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Sebagai salah satu mata pelajaran, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia juga memegang peranan penting dalam penyampaian nilai pendidikan. Misalnya pada pengajaran apresiasi sastra, khususnya pengajaran apresiasi puisi. Di dalamnya akan banyak kita temukan nilai pendidikan. Terkait dengan
antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus karya A. Mustofa Bisri, nilai-nilai pendidikan yang dipaparkan melalui larik-larik puisinya sangat kental, yakni adanya keterkaitan nilai pendidikan yang berhubungan dengan (1) manusia dengan dirinya sendiri, (2) manusia dengan orang lain, (3) manusia dengan kehidupan, (4) manusia dengan kematian, maupun (5) manusia dengan ketuhanan. Implikasi terkait dengan penelitian ini, bahwa pengajaran apresiasi puisi juga merupakan hal yang tidak bisa dianggap sepele. Sebab di dalamnya banyak terdeskripsi beragam nilai, salah satunya nilai pendidikan. Dengan pemahaman terhadap nilai pendidikan ini, diharapkan pengajaran apresiasi sastra khususnya puisi akan menjadi pembelajaran yang lebih bermakna dan bermanfaat bagi siswa, sebagai pembelajaran tentang diri sendiri, orang lain, kehidupan, kematian, dan ketuhanan.
C. Saran Dari keseluruhan uraian penelitaian ini, maka dapat dipaparkan beberapa saran, khususnya bagi peserta didik, tenaga pendidik, lembaga kependidikan, dan peneliti lain, sebagai berikut. Pertama, bagi peserta didik hendaknya lebih banyak untuk meningkatkan kemampuan dan pemahaman terhadap apresiasi puisi. Sebab ada banyak manfaat yang bisa didapatkan terkait dengan dengan kegiatan apresiasi ini, antara lain (1) pemahaman terhadap berbagai bentuk kajian sastra khususnya puisi, (2) pemahaman terhadap nilai religius, dan (3) pemahaman terhadap nilai pendidikan. Semuanya itu untuk mendapatkan pemahaman unsur lahir dan unsur batin puisi secara lebih mendalam dan proporsional. Kedua, bagi pendidik selalu berusaha membuat pengajaran apresiasi sastra khususnya puisi menjadi pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Hal ini disebabkan karena di balik rumitnya kerja apresiasi puisi, maka para tenaga pendidik berusaha semaksimal mungkin untuk terus berupaya menjadikan dan membuat inovasi baru terhadap pengajaran apresiasi sastra khusunya puisi, sehingga nantinya pengajaran apresiasi puisi tidak menjadi pengajaran yang
monoton dan membosankan. Melainkan menjadi pengajaran yang menarik dan memberikan nilai dan manfaat secara langsung pada siswa yang berimplikasi terhadap kehidupannya. Ketiga, bagi lembaga pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional) untuk tetap memberikan porsi yang seimbang antara pengajaran bahasa (tata bentuk bahasa) dengan pengajaran apresiasi sastra (puisi, prosa, dan drama) dalam rangka penyusunan silabus pembelaran bahasa dan sastra Indonesia. Selain itu, juga tetap terus berupaya mengadakan forum pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pendidik khusunya guru pengampu mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia baik berupa workshop, seminar, maupun revitalisasi tentang kebahasaan dan kesastraan baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional dalam rangka pembinaan secara terus-menerus guna peningkatan profesionalisme guru dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Keempat, bagi para peneliti dan peminat penelitian di bidang pengkajian karya sastra (puisi, prosa, dan drama) dapat terus melakukan penelitian dan pengkajian terhadap karya sastra. Mengingat begitu luasnya wilayah kajian terhadap karya sastra, maka memungkinkan akan muncul beragam kajian. Khususnya terhadap hasil karya A. Mustofa Bisri, baik berupa antologi puisi maupun cerpen yang tidak hanya dapat ditinjau dari sudut pandang sosiologi sastra, nilai religius, dan nilai pendidikan. Melainkan beragam sudut pandang dan tinjauan guna penelitian lanjutan terhadap karya-karya A. Mustofa Bisri, baik berupa antologi puisi maupun cerpen.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi W. M. 1987. Rumi, Sufi, dan Penyair. Bandung: Pustaka. Abdul Munir Mulkan. 2009. Islam dalam Pesona Seni: Gus Mus yang Kukenal. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang. Abrams, M. H. 1971. A Glossary of Literary Term. New York: Holt, Rinehart and
Wiston.
___________. 1979. The Mirror and The Lamp. New York: Oxford University Press. Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan Jakarta: Rineka Cipta. Acep Zamzam Noer. 2009. Gus Mus. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). LKIS Printing Cemerlang.
Yogyakarta: PT.
A. Mustofa Bisri. 1991. Ohoi: Kumpulan Puisi Balsem. Jakarta: Pustaka Firdaus. ___________. 1993. Tadarus, Antologi Puisi. Yogyakarta: Prima Pustaka. ___________. Tanpa Tahun. Rubaiyat Angin & Rumput, Antologi Puisi. Jakarta: PT Marta Multi Media & Majalah Humor. ___________. 1995. Pahlawan dan Tikus. Jakarta: Pustaka Firdaus.
___________. 1996. Pesan Islam Sehari-hari; Ritus Dzikir dan Gempita Ummat. Risalah Gusti.
Surabaya :
___________. 2008. Mencari Bening Mata Air. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Aminuddin. 1982. Pendekatan Analitis dalam Mengapresiasi Puisi. Imam Syafi’i dan Suparno (Ed.). PBJJ-BI IKIP Malang, Malang: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pengembangan Pendidikan Diploma Kependidikan. ___________. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. C. V. Sinar Baru: Bandung. Aning Ayu Kusumawati. 2009. Menangkap Visi Religiusitas dalam Puisi-puisi A. Mustofa Bisri. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang. Altenbend, Lynn dan Leslie Lewis. 1969. Introduction to Literature: Poem. Maacmillan Company Ltd.
Toronto, Ontario:
Atar Semi. 1982. Kritik Sastra. Penerbit Angkasa: Bandung. Awang H. Saleh. 1980. Sastra dan Sosiologi dalam Penulisan Kreatif. (Kumpulan Esai Ceramah). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Barry, Gerald Sir. 1965. The Art, Man’s Creative Imagination. Doubleday & Company Inc. Garden City: NewYork. Barsstone, Willis. 1993. The Poetics of Translation: History, Theory, Practice. New Haven and London. Yale University Press. Bertens K. 1997. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Boulton, Marjorie. 1979. The Anatomy of the Poetry. London: Routledge & Kegan
Paul.
Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu ke Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory. Oxford: Basil Backwell. Elizabeth, Torn Burn (ed.). 1973. Sosiologi of Literature & Drama. Harmondsworth: Penguin Books.
Escarpit, Robert. 2008. Sosiologi Sastra. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ida Sundari Husen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Goenawan Muhamad. 2009. Gus Mus, Teks, dan Manusia. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang. Grace, William J. 1965. Response to Literature. New York: Mc. Graw Hill Inc. H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan UNS Press.
Terapannya. Surakarta:
Hamdy Salad. 2009. Satu Rumah Seribu Pintu. Labibah Zain & Lathifah Khuluq Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.
(eds.).
Harrow, Susan. “The Modern Language Review: is the official quarterly journal of the Modern Humanities Research Association”. The Autobiographical and the Realin Appollinaire. October 2002, Vol. 97, Part 4, p. 821-824. Maney Publishing for the Modern Humanities Research Association. Herman J. Waluyo. 1992. Apresiasi dan Pengkajian Sastra. Surakarta: UNS Press. ____________. 2008. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press. Hook, J. N. 1965. The Teaching of High School English. New York: The Ronald Presss
Company.
Hudson, W.H. 1985. An Introduction to The Study of Literature. London: Routledge & Paul. Ida Nurul Chasanah. 2005. Ekspresi Sosial dalam Sajak-sajak KH. Mustofa Bisri. Pustaka Logung.
Kegan
Yogyakarta:
Ignas Kleden. 1981. Kesusastraan Indonesia Tidak Harus Menjadi Cermin Keadaan Masyarakat (dalam Tifa Budaya). Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leprenas). Ilmu
Sastra. 2009. Sosiologi Sastra. http://www.sebuahcatatansastra.blogspot. com/2009/02/sosiologi-sastra.html, diunduh tanggal 16 April 2010.
Jamal D. Rahman. “Kakilangit, Sisipan Majalah Sastra Horison”. Puisi-puisi A. Mustofa Bisri: Kesadaran Sosial-Keagamaan Ulama-Penyair. November 2004, No. 95, hal. 11-12. Jakarta: Yayasan Indonesia.
____________. 2009. A. Mustofa Bisri, Seorang Ulama-Penyair. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang. James, William. 1958. The Varietis of Religious Experience. New York: The American Library of Worl Literature, Inc. Johnson, John. “The Modern Language Review: is the official quarterly journal of the Modern Humanities Research Association”. The Problem of Theory in The Poetics of Andrea Zanzotto. Januari 2000, Vol. 95, Part 1, p. 92-106. Maney Publishing for the Modern Humanities Research Association. Kaswardi. 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Gramedia Widya
Sarana.
Kennedy, X. J. 1971. An Introduction to Poetry. Boston: Little Brown and Company. Komunitas Mata Air. 2006. A. Mustofa Bisri, Kiai, Penyair, dan Pelukis. http:// gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=1162, diunduh tanggal 25 Mei 2010. Krippendorff, Klaus. 1993. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi.Terjemahan Farid Wajidi. Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers. Labibah Zain & Lathifah Khuluq (eds.). 2009. Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu. Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang. Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia. Max Scheler. 2001. Filsafat Nilai. Jakarta: Angkasa. Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nani Tuloli. 2000. Kajian Sastra. Gorontalo: BMT Nurul Janah Nyoman Kutha Ratna. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http://openlibrary.org/books/OL3773662M/Paradigma_Sosiologi_ sastra, diunduh tanggal 20 Mei 2009. Olsen, Stein Haugom. 1978. The Structure of Literary Understanding. London: Cambridge University Press.
Rabindranath Tagore. 2002. Agama Manusia (Terjemahan dari judul asli The Religion of Man). Yogyakarta: Bentang Budaya. Rachmat Djoko Pradopo. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. _____________. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Reeves, James. 1978. Understandig Poetry. London: Heyneman Educational Books. Richards, I. A. 1976. Practical Criticism: A Study of Literary Judgement. London: Routledge & Keagan Paul. Sansom, Clive. 1960. The Word of Poetry. London: Phoenic House. Sapardi Djoko Damono. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud. Sastra Santri. 2009. Sosiologi Sastra. http://www.sastrasantri.wordpress.com/ 2009/01/sosiologisastra.html, diunduh tanggal 20 April 2010. S. Effendi. 1973. Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende Flores: Nusa Indah. S. Wisni Septiarti. “Jurnal Ilmiah Visi: Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal”. Aktualisasi Nilai dalam Konteks Pendidikan Luar Sekolah yang Berbasis pada Kearifan Lokal. No. 2 - 2000, Vol. 1, hal. 56-61. Depdiknas Dirjen PMPTK Dirdik PTKPNF bekerjasama dengan FIP UNJ. Soerjono Soemargono. 1986. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Soelaeman. 1988. Suatu Telaah Tentang Manusia Religi Pendidikan. Jakarta: Depsikbud. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suminto A. Suyuti. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media. Sutardji Calzoum Bachri. 1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Swingewood. 1977. The Myth of Mass Culture. London: Macmillan. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Umar Junus. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. _____________. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia. Wellek, Rene, and Austin Warren, 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia. Y. B. Mangunwijaya. 1982. Sastra dan Riligiositas. Jakarta: Sinar Harapan Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.