.
ANHAR ANSYORY
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN Penulis: ANHAR ANSYORY
Penyunting: Arief Budiman Ch. Tata Letak & Disain Sampul:
[email protected] gambar sampul: alquran-alkarim.webs.com Penerbit: LEMBAGA PENGEMBANGAN STUDI ISLAM UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA Jalan Kapas no. 9, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta 55165 Cetakan ke-1, November 2012
ISBN: 978-602-99214-5-8
ANHARANSYORY
Muqaddimah Al-Qur'an petunjuk hidup yang bersifat holistik, komprehensif, luas dan mendalam berfungsi mendasari dan menuntun berbagai dimensi kehidupan manusia menuju keridhaan Allah SWT. Kebenaran Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup bersifat mutlak dan dinamis, karena isinya ada ayatayat Al-Qur'an yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat, sesuai dengan QS. Ali 'Imran/3: 7 yang artinya, "Dialah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Di antara isinya ayat-ayat yang muhkamat ( ) dan ada yang lain ayat-ayat yang mutasyabihat ( )". Yang dimaksud dengan muhkamat antara lain adalah kuat, kokoh, indah dan tidak mengandung kelemahan, ini berdasarkan QS. Hud/11: 1. Muhkamat antara lain berarti "kesamaan ayat-ayatnya dari segi keindahan, sastra bahasa, serta fungsinya sebagai petunjuk" ini berdasarkan QS. Az-Zumar/39: 23. Tetapi yang dimaksud dalam QS. Ali 'Imran/3: 7 bukanlah persamaan dari segi tersebut. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat mutasyabihat ( ) ialah ayat yang mengandung v
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
beberapa arti yang semuanya bisa benar. (M.Quraish Shihab Ketua Tim, Ensiklopedia Al-Qur'an, jilid. 2, Lentera Hati, Jakarta 2007, hlm. 669-670). Sehubungan dengan itu, di sinilah letak urgensinya Ulumul Qur'an. Karena Ulumul Qur'an berisi berbagai disiplin ilmu antar lain, sejarah turunnya Al-Qur'an, hikmah turunnya Al-Qur'an secara bertahap, perbedaan Al-Qur'an dan Hadits Qudsi, Surat-surat dan Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, asbab al-Nuzul, i'jaz al-Qur'an, metode tafsir dan lain-lain. Dengan demikian Ulumul Qur'an merupakan seperangkat ilmu yang sangat membantu untuk memahami Al-Qur'an. Buku Pengantar Ulumul Qur'an ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi penulis berharap, setelah membaca buku ini pembaca mendapat gambaran global bahwa dalam upaya memahami Al-Qur'an secara luas dan mendalam dibutuhkan berbagai disiplin ilmu yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Ulumul Qur'an. Akhirnya, sangat diharapkan buku ini bermanfaat bagi semua yang membacanya. Amiin. Yogyakarta, November 2012 vi
ANHARANSYORY
Isi Buku Bab I Pendahuluan .................................................... 1 1. Pengertian Ulumul Qur’an................................................. 1 2. Pengertian Wahyu ............................................................ 3 3. Beberapa Pengertian Wahyu ............................................. 3 4. Pengertian Al-Qur’an ...................................................... 8 4.1. Kata Qur’an dan Berbagai Bentuknya ............................ 8 4.2. Asal-usul Makna dan Kata-kata Qur’an ......................... 9 5. Nama-nama Lain Al-Qur'an ............................................ 11 6. Cara Wahyu Diturunkan kepada Malaikat ........................ 14 7. Cara Wahyu Diturunkan kepada Muhammad SAW .......... 17
Bab II Sejarah Singkat Turunnya Al-Qur’an ........... 21 1. Jangka Waktu Turunnya Al-Qur'an .................................. 21 2. Ayat-Ayat Yang Pertama dan Terakhir Turun .................... 22 3. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Bertahap .......... 25 4. Perbedaan antara Al-Qur’an dengan Hadits Qudsi ........... 27 5. Ayat-Ayat Makkiyah dan Ayat-ayat Madaniyah ................ 28 6. Keistimewaan Surat-surat Makkiyah ............................... 30 7. Ciri-Ciri surat Madaniyyah.............................................. 30 8.Keistimewaan Surat Madaniyah ....................................... 31
Bab III Sejarah Singkat Pengumpulan Al-Qur’an ... 33 1. Pengumpulan Al-Qur’an pada Zaman Rasulullah............... 34 2. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar ............... 38 3. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Utsman ibn Affan ...... 41 vii
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Bab IV Asbab al-Nuzul .............................................. 47 1. Pengertian Asbab al-Nuzul.............................................. 47 2. Fungsi Memahami Asbab al-Nuzul .................................. 49 3. Cara-cara Mengetahui Asbab al-Nuzul ............................ 53 4. Jenis-jenis Asbab al-Nuzul .............................................. 54
Bab V I’jaz Al-Qur’an ............................................... 69 1. Kemukjizatan Al-Qur'an ................................................. 69 1.1. Syarat-Syarat Mukjizat ................................................ 70 1.2. Beberapa Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an .................... 71 1.3. Macam-Macam Mukjizat ............................................ 72 2. Gaya Bahasa Al-Qur’an ................................................. 73 2.1. Uslub-Uslub Al-Qur’an ............................................... 74 2.2. Keistimewaan Uslub Al-Qur’an.................................... 75 2.3. Ayat-Ayat Sebagai Contoh Keistimewaan dan Keindahan Uslub Al-Qur’an .......................................................... 76 3. Hakikat Kemukjizatan Al-Qur’an .................................... 77 4. I’jaz Ilmi dan Pembuktian Ilmiah ...................................... 78 Bab VI Tafsir dan Metode Tafsir.................................... 85 1. Pengertian Tafsir ............................................................ 85 2. Metode-Metode Tafsir ................................................... 91 2.1. Tafsir Tahlili ............................................................... 91 2.2. Tafsir Ijmali................................................................ 97 2.3. Tafsir Muqaran ........................................................... 98 2.4. Tafsir Maudhu’i........................................................... 99 Daftar Pustaka................................................................. 103
viii
Bab I Pendahuluan 1. Pengertian Ulumul Qur’an Secara Etimologis, kata ‘Ulum ( ‘Ilmu (
) jamak dari kata
) berarti paham dan menguasai (
).
Menurut Al-Asfahani dan Al-Anbari, ‘ilm adalah idrakusysyai’ bi haqiqati (
) berarti mengetahui
hakikat sesuatu. Ulumul Qur’an, kata majemuk yang terdiri atas dua kata, yaitu: ulum (jamak dari kata ilm, ilmu) yang berarti ilmu-ilmu; dan al-Qur’an, kitab suci umat Islam1. Secara Terminologis, dikemukakan pendapat para mufassir antara lain: 1.1. Menurut As-Suyuthi:
“Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an, dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna-maknanya baik yang
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
berhubungan dengan lafadz-lafadznya dan maknanya, maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya dan sebagainya". 1.2. Menurut Az-Zurqany:
“Ulumul Qur’an adalah pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an alKarim, dari segi turunnya, urutan-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tafsirnya, mu’jizatnya, nasih dan mansukhnya, dan bantahan terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap Al-Qur’an dan sebagainya". 2 Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan ‘Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang AlQur’an dari segi turunnya, asbabun-nuzulnya, penulisannya, pengumpulannya, bacaannya, makna-maknanya, tafsirnya, mu’jizatnya, hukum-hukumnya, nasih dan mansukhnya, 2
ANHARANSYORY
bantahan-bantahan terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadap Al-Qur’an, dan lain sebagainya. 2. Pengertian Wahyu Kata wahy (
) dalam bahasa Indonesia disebut
dengan wahyu dalam bentuk mashdar (infinitive). Menurut Al-Ashfahani, dalam mufradat Gharib al-Qur’an, makna awal dari kata ( (
) adalah “isyarat yang cepat” ), wahyu memiliki dua ciri
utama, yakni “samar dan cepat” (
), maka
secara etimologis kata wahyu sering diartikan sebagai: “permakluman secara samar, cepat dan terbatas hanya kepada orang yang diinginkan, tanpa diketahui oleh orang lain”.
3
3. Beberapa Pengertian Wahyu Secara Etimologis wahyu berarti: 3.1.Pemberitahuan secara tersembunyi, cepat dan terbatas hanya kepada orang yang diinginkan, tanpa diketahui oleh orang lain. 3.2.Ilham yang bersifat naluriah atau bawaan dasar manusia (
), seperti wahyu kepada ibu Nabi Musa: 3
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men jadikannya (salah seorang) dari para Rasul”. (QS. Al-Qashshas/28: 7). 3.3.Ilham yang bersifat instingtif pada hewan, seperti wahyu kepada lebah:
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia” (QS. An-Nahl/16: 68). 4
ANHARANSYORY
3.4. Isyarat yang cepat dalam bentuk sandi/lambang/simbul sebagai suatu permakluman , seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur’an:
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”. (Maryam/19:11). 3.4.Bisikan dan tipudaya syetan untuk menjadikan yang buruk kelihatan baik dan indah kepda diri manusia:
“Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (AlAn’am/6: 121). 5
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
3.6.Apa yang disampaikan Allah kepada para Malaikat-Nya berupa suatu perintah yang harus dikerjakan.4
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka”. (Al-Anfal/8:12). Secara Terminologis Apabila wahyu ditinjau secara terminologis, terdapat beberapa pengertian antara lain: a. Wahyu adalah suatu pemberitahuan secara cepat dan tersembunyi dari Allah SWT kepada para Rasul, baik melalui perantara maupun tidak. 6
ANHARANSYORY
b. Wahyu adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada para Nabi-Nya. c. Wahyu adalah “pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakininya bahwa pengetahuan itu datang dari Allah SWT, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara maupun tanpa perantaraan".
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. (As-Syura/42: 51). d. Wahyu adalah sebutan bagi sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada Nabi-Nabi-Nya. 7
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
e. Menurut As-Sayyid Rasyid Ridla: “Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nabi-Nya, ialah suatu ilmu yang dikhususkan untuk mereka dengan tidak mereka usahakan dan dengan tidak mereka pelajari. Dia suatu pengetahuan yang mereka peroleh pada diri mereka dengan tidak lebih dahulu berfikir-fikir dan dengan tidak berijtihad, yang disertai oleh suatu pengetahuan halus yang timbul sendirinya, bahwa yang menuangkan ke dalam jiwa mereka itu, ialah Allah Yang Maha Kuasa.5 Dari lima pengertian wahyu tersebut dapat disimpulkan bahwa: "Wahyu Allah adalah pengetahuan yang diberikan kepada para Nabi-Nabi-Nya dengan cara cepat dan tersembunyi, dengan isyarat, kata-kata, baik langsung maupun tidak langsung (melalui Malaikat Jibril)." 4. Pengertian Al-Qur’an 4.1. Kata Qur’an dan Berbagai Bentuknya Kata Al-Qur’an (
) dan kata lain yang seasal
dengan kata tersebut di dalam Al-Qur’an di sebut 77 kali, tersebar di dalam berbagai surah, baik Makkiyah maupun 8
ANHARANSYORY
Madaniyah. Kata Al-Qur’an di dalam bentuk ma’rifah (
), menggunakan alif dan lam ( ) disebut 57 kali, antara
lain di dalam QS Al-Baqarah/2: 185, QS Al-Isra’/17: 9, QS. Al-Furqan/25: 30, dan QS. Al-Insan/76: 23. Di dalam bentuk nakirah (
), tanpa alif dan lam disebut 19 kali, di
antaranya di dalam QS. Yunus/10:15, QS. Al-Hijr/15: 91, dan QS. Al-Jinn/71: 1. Adapun dalam bentuk kata kerja (fi’il), baik bentuk lampau, sekarang maupun bentuk perintah disebut 17 kali, antara lain disebut di dalam QS.An-Nahl/16: 98, QS. AlIsra’/17: 106, dan QS. Al-’Alaq/96: 1.6 4.2. Asal Usul Makna dan Kata Al-Qur’an Para Ulama berbeda pendapat mengenai asal kata, dan makna kata Al-Qur'an: a. Menurut Al-Farra’: kata Al-Qur’an berasal dari kata qarina (
) di dalam bentuk kata kerja lampau,
qarinah (
) dalam bentuk kata benda tunggal, dan
qara’in (
) bentuk jamaknya. Dengan demikian,
karena antara satu ayat dengan ayat yang lain terdapat hubungan yang erat. Dengan demikian jelaslah bahwa nun ( ) yang terdapat pada kata Al-Qur’an bukanlah nun 9
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
tambahan melainkan nun asli dari kata qarina itu. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Al-Asy’ari yang mengatakan bahwa kata Al-Qur’an berasal dari kata qarina, yang berarti “menghimpun”, dan “mengumpulkan sesuatu dengan yang lain”. Dinamakan demikian karena surah-surah, dan ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an dihimpun di dalamnya, serta sebagian dari ayat-yang lain. b. Menurut Az-Zajjaj: “Kata Al-Qur’an yang setimbang dengan kata al-fu’lan ( mahmuz (
) adalah salah satu fi’l
) = kata kerja yang salah satu
hurufnya adalah hamzah), yang berasal dari kata qara’a ( ) yang berarti “menghimpun”, dan “mengumpulkan”.7 Secara Etimologis: Qur’an berakar dari kata qara’a (
). Menurut para ahli bahasa, kata qara’a dapat diartikan:
“Mengumpulkan, menghimpun, dan dapat juga diartikan membaca, walaupun diartikan menbaca, sebenarnya masih dalam batas pengertian menghimpun, karena dalam membaca kita harus menghimpun (menggabungkan) huruf-huruf dan kata-kata ke dalam huruf-huruf dan katakata yang lain sehingga mempunyai satu susunan kata yang teratur dan dapat dibaca serta difahami."8 10
ANHARANSYORY
Al-Qur’an juga berarti bacaan atau yang dibaca. AlQur’an adalah bentuk mashdar yang diartikan dengan isim maf’ul, yaitu: maqru = yang dibaca”. Secara Terminologis: Al-Qur’an ialah kalam yang menjadi mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafazh dan maknanya dengan perantaraan malaikat Jibril AS yang tertulis di dalam mushhaf yang disampaikan secara mutawatir, mulai dengan QS. Al-Fatihah (1) diakhiri dengan QS An-Nas (114).9 5. Nama-nama Lain Al-Qur’an Nama Al-Qur'an didasarkan pada ayat-ayat sebagai berikut:
“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS. Al-Isra/17: 9).
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan AlQuran sebagai petunjuk bagi manusia” (QS. AlBaqarah/2: 185). 11
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Adapun nama-nama lain dari Al-Qur'an, seperti: AlKitab, Al-Furqan, Az-Zikr, An-Nur, dan seterusnya. 5.1. Kitab
“Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kamu sebuah Kitab yang di dalamnya terdapat sebabsebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya”. (QS. Al-Anbiya’/21: 10). 5.2. Furqan
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan AlFurqaan (Al-Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS. Al-Furqan/25: 1). 5.3. Zikr
“ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan az-Zikr (Al-Quran), dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr/15: 9). 12
ANHARANSYORY
5.4. Tanzil
“Dan sesungguhnya Al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan Semesta Alam” (QS, Tanzil/26: 9). 5.5. Nur (Cahaya)
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (AlQuran)”. (QS. An-Nisa’/4: 174). 6. Cara Wahyu Diturunkan kepada Malaikat Wahyu (Qur’an) diturunkan langsung oleh Allah ke Lauh al-Mahfudz. Lauh Mahfuz berarti papan yang terjaga. Penyebutan ini hanya sekali dijumpai dalam Al-Qur’an:
13
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfudz.” (QS. Al-Buruj/85: 21-22). Kebanyakan Ulama cenderung memahami bahwa Lauh al-Mahfudz itu sesuatu yang berada di alam gaib; padanya terdapat segenap rancangan atau ketentuan-ketentuan Allah bagi segenap ciptaan-Nya. Adapun tentang cara Allah menurunkan Wahyu (Qur’an) kepada Malaikat, ada tiga pendapat: 6.1. Malaikat Jibril menerima wahyu secara pendengaran dari Allah dengan lafadznya yang khusus. Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus kepada Malaikat Jibril di Baitul Izzah yang berada di langit dunia pada malam lailatul qadar:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: 14
ANHARANSYORY
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. AlBaqarah/2: 30).
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman” (QS. Al-Anfal/8: 12).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (AlQuran) pada malam kemuliaan” (QS. Al-Qadar/97:1).
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah 15
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
yang memberi peringatan”. (QS. Ad-Dukhan/44: 3).
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran”. (QS. Al-Baqarah/2: 185).
“Telah dipisahkan Al-Qur’an dari Az-Zikr, lalu diletakkan di Baitul ‘Izzah di langit dunia; kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW”.10 6.2. Jibril menghafalnya dari lauhul mahfuz. 6.3. Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad SAW. Dari tiga pendapat tersebut, pendapat yang pertama itulah yang benar dan yang dijadikan pengangan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.11
16
ANHARANSYORY
7. Cara Wahyu Diturunkan kepada Muhammad SAW Wahyu (Al-Qur’an) diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan berbagai cara: 7.1. Dengan bermimpi.
“Dari Aisyah RA dia berkata: Sesungguhnya yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar diwaktu tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari” ( Muttafaqun ‘Alaih). 7.2. Datang dari belakang tabir atau hijab dengan mendengar kata-kata:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir “. (QS. Asy-Syura/42: 51). 17
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
7.3. Datang suara seperti gerincingan lonceng, Nabi merasakan sangat berat apabila datang dengan cara tersebut:
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada Firman-Nya bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin”. (HR Bukhari). Ada hadits diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah mengenai hal itu. Dan jawab Nabi:
“Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku” 7.4. Dengan menghembuskan ke dalam jiwa Nabi perkataan yang dimaksud, sebagaimana sabda Nabi SAW:
18
ANHARANSYORY
“Ruh Qudus telah menghembuskan ke dalam hatiku bahwa seseorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan carilah rezeki dengan jalan yang baik” (HR. Abu Nu’aim dengan sanad yang shahih).12 7.5. Jibril mendatangi Nabi menyerupai seorang laki-laki yang sangat tampan, ini terkait dengan Hadis Nabi yang berisi dialog Nabi dengan Malaikat Jibril tentang iman. 7.6. Jibril memperlihatkan dirinya dengan rupa yang asli yang mempunyai 600 sayap kepada Nabi Muhammad SAW.
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.” (QS. An-Najm/53: 13-14).
19
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
7.7. Wahyu turun kepada Nabi bagaikan suara lebah. Diberitakan oleh Umar, bahwa apabila Rasulullah menerima wahyu, didengarlah di sisinya suara sebagai suara lebah.13
Catatan akhir: 1 2
3 4
5
6 7 8 9 10 11 12 13
Quraish Shihab, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hlm.39. Siti Amanah, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, IAIN Walisongo Semarang, 1986, hlm. 96-97. M. Quraisy Shihab, Ensiklopedia Al-Qur'an, hlm. 1052-1053 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Lentera Antar Nusa, Jakarta, 1994. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, Mei 1997. Al-Mausu’atul Qur’aniyah. h.784. Al-Mausu’atul Qur’aniyah. h.785. Ibid, hlm. 785. Ibid. Jilid. 3, hlm. 785. Manna' Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, h. 42. Ibid, hlm. 42. Ibid, hlm. 44-50. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, hlm. 20-21.
20
Bab II Sejarah Singkat Turunnya Al-Qur’an
1. Jangka Waktu Turunnya Al-Qur'an Al-Qur’an diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad pada malam Isnain, tanggal 17 Ramadhan bersamaan dengan tanggal, 6 Agustus 610 M. Lama turunnya Al-Qur’an, menurut pendapat Al-Khudlary dalam Tarikh Tasyri’, menetapkan bahwa lama tempo Nuzul Qur’an dari permulaannya sehingga penghabisannya, 22 tahun 2 bulan 22 hari, yakni dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari milad Nabi, hingga 9 Dzulhijjah hari haji Akbar tahun ke 10 dari hijrah, atau tahun 63 dari milad Nabi Muhammad SAW.1 Adapun jumlah ayat, terdapat perbedaan pendapat para Ulama’ maupun mufassir. Muhammad ‘Abd al-‘Azhim azZarqani dalam kitabnya Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum alQur’an menyebutkan bahwa para penghitung jumlah ayatayat al-Qur’an sepakat pada angka 6200, tetapi berbeda pada puluhan dan satuannya. Menurut hitungan Ulama Madinah 6217 ayat, demikian pendapat Nafi’.
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Menurut Ulama Madinah 6214 ayat, demikian pendapat Abi Syaibah dan 6210 ayat menurut Abu Ja’far. Menurut hitungan Ulama Makkah 6220 ayat. Menurut Ulama Kuffah 6236 ayat, demikian pendapat Hamzah azZiyat. Ulama Basrah ada yang berpendapat 6204 ayat atau 6205 ayat dan ada juga yang berpendapat 6219 ayat, sebagaimana dikatakan oleh Qatadah. Menurut ulama Syam 6226 ayat, sebagaimana dikatakan oleh Yahya ibn al-Harits ads-Dzumari. Berdasarkan rujukan tersebut di atas, tidak ada satupun yang sampai angka 6300, apalagi 6666 ayat, sebagaimana yang populer diketahui oleh sebagian masyarakat baik dari kalangan awam maupun ustadz. Bahkan, ditegaskan oleh Prof. DR. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. bahwa, dalam literatur yang dipercaya, terutama yang berbahasa Arab karya para ulama Ulumul Qur’an, tidak ada seorangpun yang menyebutkan angka tersebut.2 2. Ayat-Ayat Yang Pertama dan Terakhir Turun Al-Qur’an diturunkan pada dua tempat, yaitu di Makkah dan di Madinah. Adapun ayat-ayat yang pertama turun adalah 5 ayat dari Surat Al-‘Alaq: 22
ANHARANSYORY
“1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan; 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah; 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam; 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahui.” (QS. Al-‘Alaq/96: 1-5). Ada yang berpendapat bahwa yang turun pertama adalah Ya ayyuhal muddassir dan ada juga yang berpendapat yang turun pertama adalah Surat Al-Fathihah, tetapi yang terkuat adalah lima ayat dari Surat al-‘Alaq. Az-Zarkasyi menyebutkan dalam kitabnya al-Burhan, hadits Aisyah yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun adalah Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq.3 Adapun ayat yang terakhir turun adalah ayat berikut.
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, 23
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Ma’idah/5: 3). Ayat tersebut adalah bagian dari ayat 3 dalam Surat alMa’idah, turun di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Setelah Nabi membacakan ayat tersebut di depan para shahabatnya, nampaklah raut muka Abu Bakar ash-Shiddiq kelihatan sedih. Kemudian Umar bin Khattab bertanya kepada Abu Bakar, "Ya Abu Bakar, mengapa raut muka anda kelihatan sedih setelah ayat tersebut (Al-Ma’idah ayat 3) dibacakan Nabi ?" Jawab Abu Bakar, "Perhatikan ayat tersebut hai Umar. Karena tugas Nabi adalah membawa pesan ajaran Islam, kalau Islam telah sempurna, berarti tugas Nabi sudah selesai, aku khawatir kalau Nabi meninggalkan kita". Kehawatiran Abu Bakar ada benarnya. Ada yang menyatakan bahwa setelah tiga bulan ayat tersebut turun, Nabi meninggal dunia dan ada juga yang menyatakan kurang lebih tiga bulan setelah ayat tersebut turun Nabi Muhammad SAW wafat.
24
ANHARANSYORY
3. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Bertahap 3.1. Untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW atas hinaan dan hujatan kafir Quraisy yang menentang, sebagaimana Firman Allah:
“Sesungguhnya kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. (QS Al-An’am/6:33)
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul telah bersabar". (QS. Al-Ahqaf/46: 35). 3.2. Tantangan dan Mukjizat, Nabi sering mendapatkan pertanyaan yang memojokkan Nabi seperti pertanyaan tentang hal-hal ghaib, Nabi merasa terbantu. 25
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya." (QS Al-Furqan/25: 33). 3.3. Mempermudah penghapalan dan pengamalannya, sekiranya Al-Qur’an diturunkan sekaligus, akan lebih sukar dalam penghapala, pemahaman dan pengamalannya. 3.4. Untuk menerapkan hukum secara bertahap sesuai dengan kondisi dan situasi pada saat itu. 3.5. Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an bukan rekayasa Nabi Muhammad, meskipun rangkaian ayat-ayatnya turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari (lebih kurang 23 tahun).
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan AlQuran? kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS An-Nisa’/4: 82). 26
ANHARANSYORY
4. Perbedaan antara Al-Qur’an dengan Hadits Qudsi 4.1. Lafaz, dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, sedangkan hadits qudsi hanya maknanya yang berasal dari Allah SWT; 4.2. Al-Qur’an mengandung mukjizat, sedangkan hadits tidak. 4.3. AL-Qur’an tidak boleh dibaca atau bahkan disentuh oleh orang-orang yang berhadas, sedangkan hadits qudsi boleh dipegang dan dibaca oleh orang-orang berhadas. 4.4. Periwayatan Al-Qur’an tidak boleh hanya dengan maknanya saja, sedangkan hadits qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya saja. 4.5. Al-Qur’an harus dibaca di waktu shalat, sedangkan hadits qudsi tidak boleh dibaca di waktu shalat. 4.6. Semua ayat Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir, sedangkan hadits qudsi tidak semua diriwayatkan secara mutawatir, tetapi maknanya berasal dari Allah Swt.4 4.7. Al-Qur’an adalah wahyu yang besar, dibuktikan dengan turunnya malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam keadaan sadar. Sedangkan hadits Qudsi biasanya 27
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
lewat ilham dan mimpi, yang kadar turunnya kadang merupakan wahyu yang besar dan ringan. 4.8. Al-Qur’an disebut kumpulan ayat dan surat, sedangkan hadits qudsi tidak disepakati adanya ayat dan surat. 4.9. Al-Qur’an mengkafirkan orang yang membantah apa yang ada padanya. Sedangkan hadits qudsi tidak membuat kafir orang yang membantahnya, kecuali yang mutawatir.5 5. Ayat-Ayat Makkiyah dan Ayat-ayat Madaniyah Para ulama berbeda pendapat mengenai yang dimaksud dengan makkiyah dan madaniyah, serta mengenai mengapa sebuah surat dan ayat disebut demikian. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah itu makiyah atau madaniyah paling tidak harus dilihat dari dua pandangan, yaitu: pandangan adanya dhawabith dan Mumayyizat, seperti pada surat-surat madaniyah. Yang dimaksud dengan dhawabith adalah karakterkarakter lafal . Sedangkan, mumayyizat adalah karakterkarakter gaya bahasa, makna-makna dan tujuan surat-surat makkiyah dan madaniyah.
28
ANHARANSYORY
Diantara dhawabith atau kekhususan yang terdapat pada surat-surat makkiyah adalah: 5.1. Setiap surat yang didalamnya terdapat kalimat “kalla” adalah makkiyah. Kalimat “kalla” disebut 33 kali dalam 15 surat. Hikmah “kalla” yang demikian itu untuk menahan dan melarang orang yang sombong dan keras kepala. Demikian itu cocok digunakan untuk berbicara kepada kaum musyrikin di Makkah. 5.2. Setiap surat yang didalamnya terdapat ayat-ayat sajdah, adalah makkiyah. Ada 14 surat, antara lain yakni al-A’raf, ar-Ra’d, an-Nahl, al-Isra’, Maryam, dan al-Hajj. 5.3. Setiap surat yang dimulai dengan qasam atau sumpah ada 15 surat, antara lain: ash-Shaffat, adz-Dzariyat, athThuur, an-Najm, al-Mursalat, al-Buruj, ath-Thariq, alFajr, al-Adiyat, dan al-Ashr. 5.4. Setiap surat yang dibuka dengan huruf huruf hijaiyyah, seperti “alif-lam-mim” dan “haa-mim” dan lain-lain. 5.5. Setiap surat yang memuat “Ya ayyuhan-naas”, serta tidak memuat “Ya ayyuhal-ladzina amanu”, kecuali pada surat al-Hajj, yang diakhir surat memuatnya, namun ia tetap makkiyah. 29
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
6. Keistimewaan Surat-Surat Makkiyah Diantara keistimewaan-keistimewaan surat Makkiyah, dapat dikemukakan: 6.1. Pembekalan aqidah Islam dalam jiwa memalui ajakan beribadah kepada Allah Yang Esa, beriman kepada risalah Muhammad SAW dan kepada hari Akhir. 6.2. Penetapan dasar-dasar ibadah dan muammalah dan etika keutamaan-keutamaan umum. 6.3. Perhatian terhadap rincian kisah-kisah para Nabi dan ummat-ummat terdahulu, menjelaskan tentang ajakan para Nabi yang berupa aqidah dan sikap-sikap ummat mereka terhadap azab-azab yang di bumi. 6.4. Surat-surat dan ayat-ayat yang dibarengi dengan kuatnya pilihan diksi dan peristiwa (yang dihadirkan kiamat).6 7. Ciri-Ciri Surat Madaniyah Adapun ciri-ciri surat Madaniyah antara lain adalah: 7.1. Setiap surat yang didalamnya terdapat kalimat “Ya ayyuhalladzina amanu” dan tidak terdapat kalimat “ya ayyuhannas”. Suyuthi berkata: “Dari Alqamah, dari Abdullah bin Mas’ud: “Ya ayyuhal-ladzina amanu” diturunkan di Madinah. Sedangkan yang memuat 30
ANHARANSYORY
“ya ayyuhan-nas” diturunkan di Makkah". 7.2. Setiap surat yang didalamnya menyinggung mengenai orang-orang munafiq. Makki bin Abu Thalib Alqaisy berkata: “Setiap surat yang didalamnya disebut mengenai orang-orang munafiq adalah madaniyyah”. Yang lain menambahkan, pengecualian, yakni pada surat al-Ankabut. 7.3. Setiap surat yang memuat batasan hukuman atau penjelasan mengenai kewajiban. Urwah bin Az-Zubair berkata, “Ayat-ayat yang mengandung hukuman (hadd) atau kewajiban (faridhah), sesungguhnya diturunkan di Madinah”.7 8. Keistimewaan Surat Madaniyah Adapun keistimewaan yang terdapat pada surat Madaniyyah, antara lain adalah: 8.1. Al-Qur’an berbicara kepada masyarakat Islam Madinah, pada umumnya berisi tentang penetapan hukum-hukum syariah, ibadah dan muamalah, sanksi-sanksi, kewajibankewajiban, hukum jihad, dan lain-lain. 8.2. Didalam masyarakat Madinah tumbuh sekelompok orang munafiq, lalu Al-Qur’an membicarakan sifat-sifat 31
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
mereka dan menguak rahasia mereka. Al-Qur’an menjelaskan bahaya mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin serta membeberkan media-media, tipuantipuan, serta strategi mereka untuk memperdaya kaum Muslimin. 8.3. Diantara orang-orang Islam di Madinah, hiduplah sekelompok ahli kitab bangsa Yahudi. Mereka selalu melakukan perbuatan licik, memperdaya Islam dan pemeluknya. Maka Al-Qur’an di Madinah membeberkan rahasia-rahasia mereka dan membatalkan keyakinankeyakinan mereka. 8.4. Pada umumnya, ayat-ayat dan surat-suratnya panjang dan untuk menggambarkan luasnya aqidah dan hukum-hukum Islam.8 Catatan akhir: 1
2 3
4 5
6 7 8
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, Mei 1997, hlm. 51. Yunahar Ilyas, hlm. 2-3. Manna’ Khalil al-Qattan, hlm. 92. Ibid, hlm. 26-27 Dr. Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Penerjemah: Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Qur‘an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press, 1997, hlm. 44. Ibid, hlm. 171-173. Ibid, hlm 74-75. Ibid, hlm. 176.
32
Bab III Sejarah Singkat Pengumpulan Al-Qur’an
Pengumpulan Al-Qur’an pada garis besarnya dibagi dalam tiga bagian. Pertama, pada zaman Nabi Muhammad SAW. Kedua pada zaman Abu Bakar Shiddiq dan ketiga, pada zaman Usman bin Affan. Autentisitas atau keaslian Al-Qur’an akan tetap terjaga dari berbagai upaya pikiran dan politik manusia-manusia kotor dari zaman ke zaman yang ingin merubah, memalsukan bahkan melenyapkan Al-Qur’an dari muka bumi ini, karena sudah menjadi janji dan jaminan Allah SWT yang akan tetap menjaga autentisitas Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr/15: 9). Allah menjamin autentisitas Al-Qur’an paling tidak dilatarbelakangi oleh dua faktor. Pertama, karena Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk hidup bagi manusia selama dunia
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
ini belum fana. Kedua, selalu ada upaya manusia dari zaman ke zaman untuk memalsukan bahkan memusnahkan. 1. Pengumpulan Al-Qur’an pada Zaman Rasulullah Sejak pertama turunnya Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW dimudahkan untuk langsung menghafal dan membaca ayat-ayat yang diwahyukan oleh Allah kepada beliau, walaupun dikenal bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang ummy. Namun, menurut Prof. DR. H.Yunahar Ilyas, Lc; M.Ag., seorang guru besar dalam bidang Ulumul Qur’an, menyatakan bahwa Allah SWT menganugerahkan kepada Nabi keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapapun, yaitu kemampuan otomatis membaca, menghafal dan memahami Al-Qur’an, sebagaimana Firman Allah SWT:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) AlQuran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 34
ANHARANSYORY
Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS. Al-Qiyamah/75: 16-19). Demikianlah cara pertama Allah memelihara Al-Qur’an, dengan memudahkan Nabi membaca dan menghafalnya, setelah itu Nabi membaca dan menerangkannya kepada para sahabatnya. Disamping itu secara khusus Nabi mendiktekan ayat-ayat yang turun itu kepada para penulis wahyu yang beliau tunjuk sendiri, kemudian para penulis wahyu menulisnya pada tulang-tulang, pelapah kurma, batu tipis, permukaan batu besar, papan-papan, kulit binatang, pelana-pelana dan juga dihafal oleh para hafizh muslimin. Para sahabat berlomba-lomba menghafal ayat-ayat yang diturunkan. Mereka saling membantu dan berbagi hafalan. Sehingga jumlah mereka yang hafal Al-Qur’an sangat banyak. Diantaranya, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, ‘Ali, Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Salim Maula bin Hudzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Amru ibnu ‘Ash, Abdullah bin Amru, , Mu’awiyah, Ibnu Zubair, Abdullah Ibnu Sa’id, Aisyah, Hafsah, Ummu Salamah (dari Muhajirin), Ubay ibn Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, Anas bin Malik, Abu Zaid dan lain-lain (dari kaum Anshar). 35
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Sebagai gambaran banyaknya jumlah penghafal Qur’an, dapat dilihat pada jumlah para penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam beberapa peristiwa. Al-Qurtubi menyebutkan: “Telah gugur pada hari Yamamah 70 orang qurra’ dan dalam peristiwa sumur Ma’unah pada zaman Rasulullah sejumlah itu juga.1 Sebelum wafat, Nabi telah mencocokkan Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada beliau dengan Qur’an yang dihafal para hafizh, surat-demi surat, ayat demi ayat. Maka Al-Qur’an yang dihafal para hafizh itu merupakan duplikat Al-Qur’an yang dihafal Rasul.2 Di samping jaminan dengan penghafalan tersebut, setiap tahun Malaikat Jibril datang menderaskan ayat-ayat yang sudah turun kepada Nabi, dan pada tahun terakhir Malaikat Jibril datang dua kali. Sebagimana disebutkan di atas Nabi bukan sekedar mendiktikan para sahabat, setelah itu sahabat pada menulisnya, tetapi sekalisgus memberikan petunjuk letak ayat itu di mana, sesuadah ayat mana, pada surat mana, atau dengan kata lain Nabi sudah memberikan petunjuk tentang tertib al-ayah wa as-suwar. Ibnu Abbas mengatakan: “Jika satu surat diturunkan kepada Rasulullah SAW, beliau memanggil sebagian 36
ANHARANSYORY
penulis wahyu, kemudian memerintahkan: “Letakkan surat ini pada tempat ini, begini-begini” (HR. Thirmidzi). Adapun para penulis wahyu yang masyhur antara lain: Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn Khatab, Usman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah ibn Abi Syufyan, Zaidibn Tsabit, Ubayya ibn Ka’ab, Khalid ibn Walid, dan Tsabit ibn Qais. Sekalipun ayat-ayat yang diturunkan dituliskan oleh para para penulis wahyu, tetapi yang menjadi acuan utama dalam transfer Al-Qur’an dari Rasul kepada sesama umat Islam bukanlah tulisan itu, tetapi hafalan atau periwayatan secara lisan. Mengapa pada zaman Nabi Muhammad SAW AlQur’an tidak dihimpun dalam satu mushaf? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Az-Zarqani mengemukakan beberapa beberapa alasan: a). Umat Islam belum membutuhkannya karena para qurra’ banyak, hafalan lebih diutamakan daripada tulisan, alat tulis-menulis sangat terbatas, dan yang lebih penting lagi, Rasul masih hidup sebagai rujukan utama. b). Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun, dan masih mungkin ada ayat-ayat yang akan di-shakh oleh Allah SWT. c). Susunan ayat-ayat dan suratsurat Al-Qur’an tidaklah berdasarkan kronologis turunnya.3 37
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
2. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar AshShiddiq Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq pengumpulan AlQur’an dalam sebuah mushaf dilatarbelakangi oleh adanya kehawatiran Umar ibn Khathab, mengingat bahwa dalam perang Yamamah yang terjadi pada tahun 12 Hijrah telah mengakibatkan gugurnya 70 (tujuh puluh) qari’, lama-lama biasa habis para sahabat yang hafal Al-Qur’an. Demi terpeliharanya Al-Qur’an dan kelangsungan masa depan Islam pada masa-masa yang akan datang. Oleh sebab itulah Umar bin Khatab mengusulkan kepada Abu Bakar sebagai Khalifah, untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Semula Abu Bakar keberatan karena khawatir termasuk perbuatan bid’ah, sebab Rasul SAW tidak pernah memerintahkan seperti itu. Tetapi dengan berdialog bersama Abu Bakar, Umar berhasil meyakinkan Abu Bakar bahwa usaha pengumpulan Al-Qur’an seperti yang diusulkannya itu hanyalah meneruskan apa yang telah dirintis oleh Rasulullah SAW sendiri, karena beliau telah memerintahkan kepada para penulis wahyu menuliskan semua ayat yang turun. Kata Umar, kita hanya mengumpulkan kembali tulisan-tulisan yang berserakan itu, untuk kemudian membendelnya jadi satu 38
ANHARANSYORY
sehingga terpelihara keutuhan dan keasliannya. Setelah Abu Bakar sepakat dengan usul Umar ibn Khattab, kemudian Abu Bakar memilih orang yang paling tepat untuk melaksanakan tugas suci tersebut adalah Zaid ibn Tsabit, dan Umar juga menyetujui pilihan Abu Bakar, karena Zaid ibn Tsabit: 2.1.Termasuk barisan huffazh Al-Qur’an dan sekaligus salah seorang penulis wahyu yang ditunjuk Nabi SAW, apalagi dia menyaksikan tahap-tahap akhir Al-Qur’an diturunkan kepada Rasul SAW. 2.2. Terkenal cerdas, sangat wara’ , amanah dan istiqamah. Seperti halnya Abu Bakar, semula Zaid juga ragu-ragu menerima tugas tersebut, tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar, akhirnya dia bersedia melaksanakannya di bawah bimbingan Abu Bakar, Umar dan para sahabat senior lainnya. Dalam melaksanakan tugas, Zaid mengikuti metode yang digariskan oleh Abu Bakar dan Umar, yaitu mengumpulkan Al-Qur’an dengan tingkat akurasi yang tinggi dan hatihati. Sumbernya tidak cukup hanya hafalan dan catatan yang dibuat oleh Zaid sendiri, tetapi harus bersumber dari dua sumber sekaligus, pertama: Catatan-catatan yang pernah yang dibuat di zaman Rasul, kedua: hafalan para sahabat dan setiap sumber harus dikuatkan oleh dua orang saksi yang dipercaya. 39
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Setelah Zaid ibn Tsabit dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, tersusunlah sebuah mushaf yang dikumpulkan dengan tingkat akurasi yang tinggi dari sumber yang mutawatir dan diterima secara ijma’ oleh umat Islam waktu itu. Ayat-ayat yang sudah di-nasakh tidak lagi dituliskan. Ayat-ayat yang sudah disusun sesuai dengan urutannya berdasarkan petunjuk Rasul SAW. Tetapi surat demi surat belum lagi tersusun sebagaimana mestinya. Ini menurut AzZarqani dalam Manaahil al-‘Irfan, yang dikutip oleh Prof.DR. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.4 Az-Zarqani berbeda dengan Manna’ Khalil al-Qattan. Menurut al-Qattan, dalam mushaf Abu Bakar sudah tersusun ayat-ayat dan surah-surah dan ditulis dengan sangat hati-hati. Dengan demikian, Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan cara yang sangat teliti, walaupun selain itu ada juga mushafmushaf pribadi pribadi pada sebagian sahabat, seperti Mushaf Ali, Mushaf Ubai dan Mushaf Ibn Mas’ud. Sehingga Ali berkata: “Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar, semoga Allah melimfahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar, dialah orang pertama yang mengumpulkan kitab Allah SWT.”5 40
ANHARANSYORY
Demikianlah pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf pada zaman Abu Bakar, setelah itu mushaf disimpan oleh Abu Bakar, setelah Abu Bakar wafat, mushaf tersebut diserahkan kepad Hafsah untuk menyimpannya, Hafsah adalah seorang istri Rasulullah saw dan anak Umar ibn Khatab Khalifah kedua setelah Abu Bakar. 3. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Utsman ibn Affan Fokus dan latarbelakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman ibn Affan berbeda dengan fokus dan latarbelakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, pengumpulan pada masa Abu Bakar difokuskan pada pemindahan semua tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang, tembikar dan pelapah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf dan dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran bahwa AlQur’an akan hilang lenyap seiring dengan banyaknya para penghapal Qur’an yang gugur di medan perang. Sedangkan pengumpulan pada masa Khalifah Utsman difokuskan pada penyamaan dialek, mushaf ditulis dengan satu huruf (dialek), agar orang bersatu dalam satu qiraat. Adapun pengumpulan pada masa Utsman dilatarbelakangi 41
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
oleh banyaknya perbedaan hal qiraat (dalam cara membaca Qur’an), sehingga mereka bebas membacanya menurut logat mereka masing-masing dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan.6 Perbedaan tersebut terjadi di saat Khilafah Islamiyah semakin meluas ke utara dan Afrika utara. Umat Islam di masing-masing propinsi waktu itu mengikuti qiraah sahabat yang berbeda-beda. Misalnya umat Islam di Syam Mengikuti qiraah Ubayya ibn Ka’ab, umat Islam di Kufah mengikuti qiraah Abdullah ibn Mas’ud dan wilayah lain mengikuti qiraah Abu Musa Al-Asy’ari. Perbedaan qiro'ah seperti itu menjadi masalah bagi sebagian umat Islam. Perbedaan pendapat yang terjadi tentang qiraah antara umat Islam dari Irak dengan umat Islam dari Syam waktu perang Armenia dilaporkan oleh Hudzaifah ibn al-Yaman kepada Khalifah Utsman. Kalau tidak segera diatasi, dikhawatirkan pada masa yang akan datang akan menimbulkan fitnah dan malapetaka besar bagi umat Islam. Ternyata memang Utsman khawatir, kehawatiran ‘Utsman dapat dibaca jelas dalam pidatonya waktu itu: “Anda semua yang dekat denganku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih berbeda lagi”. (HR Abu Daud). 42
ANHARANSYORY
Utsman segera mengambil langkah antisipatif dengan membentuk sebuah tim penulisan kembali Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan acuan utama mushaf Abu Bakar. Utsman meminjam mushaf yang disimpan Hafsah, selanjutnya menyerahkannya kepad Tim yang terdiri dari empat orang sahabat terbaik dan terpercaya untuk melaksanakan tugas suci tersebut. Ketua tim Zaid ibn Tsabit, anggota Abdullah ibn Zubair, Sa’ad ibn Ash dan Abdurrahman ibn Harits ibn Hisyam. Tiga anggota berasal dari suku Quraisy, berbeda dengan Zaid yang dari Madinah. Komposisi tiga orang dari Quraisy itu diperlukan dalam memenangkan logat atau dialek Quraisy apabila terjadi perbedaan pendapat antara anggota tim dengan Zaid. Utsman memang memberi petunjuk seperti itu, apabila terjadi perbedaan pendapat dengan Zaid, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam logat mereka dan tim tetap bekerja di bawah arahan Utsman. Sistem penulisan inilah kemudian dikenal dengan sebutan ar-Rasmul-Usmani.7 Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy itu:
43
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
“Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Quraisy.” Dengan usahanya tersebut Utsman ibn Affan telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Al-Qur’an dari penambahan dan penyimpangan. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dibuat dan yang dikirimkan ke berbagai daerah: 3.1. Ada yang mengatakan jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirim ke Makah, Syam, Basrah, Kufah, Yaman, Bahrain dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan: “Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: "Telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirim ke Makah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah dan sebuah ditahan di Madinah.” 3.2. Ada yang mengatakan jumlahnya ada empat buah, masingmasing dikirim ke Irak, Syam, Mesir, dan mushaf Imam, atau dikirim ke Kufah, Basrah, Syam dan mushaf Imam. Ada juga yang berpendapat bahwa Utsman menulis empat buah salinan, dan ia kirimkan ke setiap daerah masing44
ANHARANSYORY
masing satu buah: ke Kufah, Basrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri. 3.3. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang mashur.8 3.4. Ibrahim Al-Ibyariy dalam kitabnya berjudul Tarikhul Qur’an (alih bahasa Saad Abdul Wahid), menegaskan bahwa yang dibuat Usman enam buah mushaf, dikirimkan ke Makkah, Syria, Bahrain, Bashrah, Kufah dan yang satu disimpan di Madinah. Kemudian Utsman memerintahkan agar semua mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsman dimusnahkan.9
Catatan akhir: 1
2
3 4 5 6 7 8 9
Yunahar Ilyas, Al-Qur’an Al-Karim, Sejarah Pengumpulan dan Metodologi Penafsiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ulumul Qur’an pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 18 November 2008, hlm. 5-6. Ibrahim Al-Ibyariy, Penerjemah Saad Abdul Wahid, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta Utara, Januari 1995, hlm. 69-70. Yunahar Ilyas, hlm. 9. Ibid, hlm. 11 Al-Qattan, hlm. 191-192. Ibid, hlm.196-197. Yunahar, hlm. 11-12. Al-Qattan, hlm. 199. Ibrahim Albyariy, Sejarah Al-Qur’an, hlm. 73.
45
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
quranflash.com adalah salah satu Al-Qur'an versi digital yang dapat dibaca/diakses melalui jaringan internet.
PERCETAKAN ALQURAN TERBESAR MUJAMMA’ MALIK FAHD adalah percetakan Alquran terbesar di dunia yang berada di Madinah. Percetakan ini (Mei, 2000) telah menghasilkan lebih dari 90 edisi dan 165 juta eksemplar, dan sejauh ini mendistribusikan lebih dari 142 juta eksemplar (sejak 1985 M) bagi umat Islam di seluruh dunia. Mujamma’ ini juga menerbitkan 55 terjemahan Alquran kedalam 39 bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Website: http://www.qurancomplex.org E-mail:
[email protected]
46
Bab IV Asbab al-Nuzul
Ayat-ayat dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan pada dua bagian, apabila dilihat dari aspek sebab turunnya. Sekelompok ayat diturunkan tanpa dengan suatu sebab-sebab secara khusus. Sekelompok ayat-ayat lainnya diturunkan atau disangkutpautkan dengan suatu sebab khusus. Kelompok yang terakhir ini tidak banyak jumlahnya, tetapi mempunyai pembahasan khusus di dalam ‘Ulum al-Qur’an. Pembahasan asbab al-nuzul meliputi antara lain: pengertian sabab nuzul, fungsi memahami asbab al-nuzul, cara mengetahui asbab al-Nuzul, jenis-jenis sabab nuzul, dan kaidah-kaidah sabab nuzul yang fokus pada hubungan antara riwayat dan bentuk redaksi yang digunakan ayat-ayat ber-sabab nuzul.1
1. Pengertian Asbab al-Nuzul Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk hidup manusia
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
dalam menghadapi situasi dan berbagai dimensi permasalah. Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan dalam waktu dan keadaan yang berbeda-beda. Kata asbab jamak dari sabab berarti alasan-alasan atau sebab-sebab. Asbab al-nuzul berarti pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat. Menurut al-Zarqani, asbab al-nuzul adalah “suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat". Pendapat yang hampir sama dikemukakan Shubhi al-Shalih: “Sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.”2 Dengan demikian unsur-unsur yang tidak boleh diabaikan dalam analisa asbab al-nuzul, yaitu adanya suatu kasus atau peristiwa, adanya pelaku peristiwa, adanya tempat peristiwa, dan adanya waktu peristiwa. Kualitas peristiwa, pelaku, tempat dan waktu perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu pada kasus lain di tempat dan waktu yang berbeda.3
48
ANHARANSYORY
2. Fungsi Memahami Asbab al-Nuzul Adapun fungsi memahami asbab al-nuzul antara lain: 2.1. Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama. Jika dianalisa secara cermat, proses penetapan hukum berlangsung secara manusiawi, seperti penghapusan minuman keras, misalnya ayat-ayat al-Qur’an turun dalam empat kali tahapan, yaitu: Pertama:
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan...” (QS. An-Nahl/16: 67).
49
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Kedua:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS. Al-Baqarah/2: 219). Ketiga:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa’/4: 43) Keempat:
50
ANHARANSYORY
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah/5: 90). 2.2. Mengetahui asbab al-nuzul membantu memberikan kejelasan terhadap beberapa ayat. Misalnya Urwah bin Zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardhu sa’i antara Shafa dan Marwah. Firman Allah: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 158). Urwah ibn Zubair kesulitan memahami “tidak ada dosa” (
) di dalam ayat ini. Ia lalu menanyakan
kepada Aisyah perihal ayat tersebut, lalu Aisyah menjelaskan bahwa peniadaan dosa di situ bukan 51
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
peniadaan hukum fardhu. Peniadaan di situ dimaksudkan sebagai penolakan terhadap keyakinan yang telah mengakar di hati kaum muslimin ketika itu, bahwa melakukan sa’i di antara Shafa dan Marwah termasuk perbuatan jahiliyah. Keyakinan tersebut didasarkan atas pandangan bahwa pada masa pra-Islam di bukit Shafa terdapat sebuah patung yang disebut Isaaf dan di bukit Marwah ada sebuah patung yang disebut Na’ilah. Jika melakukan sa’i di antara dua bukit itu orang-orang jahiliyah sebelumnya mengusap kedua patung tersebut. Ketika Islam lahir, patung-patung tersebut dihancurkan, dan sebagian umat Islam enggan melakukan sa’i di tempat itu, maka turunlah ayat ini (QS. AlBaqarah/2: 158). 2.3. Pengetahuan asbab al-nuzul dapat mengkhususkan (takhsis) hukum terbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah “sabab khusus”. Sebagai contoh, turunnya ayat-ayat Zhihar pada permulaan surah alMujadalah, yaitu dalam kasus Aus ibn al-Shamit yang menzhihar istrinya, Khaulah binti Hakam ibn Tsa’labah. Hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat ini khusus 52
ANHARANSYORY
bagi keduanya dan tidak berlaku bagi orang lain. 2.4. Yang paling penting ialah, asbab al-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu diperankan. Maksud yang sesungguhnya suatu ayat dapat difahami melalui pengenalan asbab al-nuzul. 3. Cara-cara Mengetahui Asbab al-Nuzul Asbab al-Nuzul diketahui melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan kepadanya dapat dipegang atau diterima. Riwayat yang dapat dipegang ialah riwayatriwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan para ahli hadits. Secara khusus dari riwayat asbab al-nuzul ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkannya (yaitu pada saat wahyu itu diturunkan). Riwayat yang berasal dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabatnya, dianggap lemah (dha’if). Sebab itu, seseorang tidak dapat begitu saja menerima pendapat seorang penulis. Karena itu kita harus mempunyai 53
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
pengetahuan tentang siapa yang meriwayatkan peristiwa tersebut, dan apakah waktu itu ia memang sunguh-sungguh menyaksikan dan kemudian siap yang menyampaikannya kepada kita.4
4. Jenis-jenis Asbab al-Nuzul Mengenai jenis-jenis asbab al-nuzul dapat dikatagorikan kedalam beberapa bentuk sebagai berikut: 4.1. Sebagai tanggapan atas suatu peristiwa umum. Bentuk sebab turunnya ayat sebagai tanggapan terhadap suatu peristiwa, misalnya riwayat Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah pernah ke Al-Bathha, dan ketika turun dari gunung beliau berseru: “Wahai para sahabat, berkumpullah”. Ketika melihat orang-orang Quraiys yang juga ikut mengelilingi, maka beliaupun bersabda: “Apakah engkau akan percaya, apabila aku katakan bahwa musuh tengah mengancam dari balik punggung gunung, dan mereka bersiap-siap menyerang, entah di pagi hari ataupun di petang hari”. Mereka menjawab: “Ya, kami percaya karena kami belum pernah mendapatkan engkau berdusta.” Maka, 54
ANHARANSYORY
Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya aku memberi peringatan kepada kalian tentang siksa yang sangat pedih.” Lalu Rasulullah mengajak mereka beriman kepada Allah. Maka berkatalah pamannya sendiri yang bernama Abu Lahab, “Celaka engkau wahai Muhammad, apakah hanya untuk urusan ini kamu mengumpulkan kami?5 Maka Allah kemudian menurunkan Surat al-Lahab sebagai jawaban:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab. Dan sesungguhnya Dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut...” (QS. Al-Lahab/111: 1-5). 55
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
4.2. Sebagai tanggapan atas peristiwa khusus. Contoh sebab turunnya ayat sebagai tanggapan atas suatu peristiwa khusus ialah turunnya surah Al-Baqarah ayat 158, sebagaimana telah diuraikan terdahulu. 4.3. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan kepada Nabi. Asbab al-nuzul lainnya ada dalam bentuk pertanyaan kepada Rasulullah, seperti turunnya Firman Allah:
"Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. 56
ANHARANSYORY
Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisa’/4: 11). Ayat tersebut turun untuk memberi jawaban secara tuntas terhadap pertanyaan Jabir kepada Nabi, sebagaimana diriwayatkan Jabir: “Rasulullah datang bersama Abu Bakar, berjalan kaki mengunjungiku (kerena sakit) di perkampungan Bani Salamah. Rasulullah menemukanku dalam keadaan tidak sadar, sehingga beliau meminta agar disediakan air, kemudian berwudhu, dan memercikkan sebagian kepada tubuhku. Lalu aku sadar, dan berkata:”Ya Rasulullah ! Apakah yang Allah diperintahkan bagiku berkenaan dengan harta benda milikku ?” Maka turunlah ayat di atas sebagai jawaban.6 4.4. Sebagai jawaban dari pertanyaan Nabi Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bertanya kepada kepada Malaikat Jibril, “Apa yang menghalangi kehadiranmu, sehingga lebih jarang muncul ketimbang masa-masa sebelumnya ?” Maka turunlah ayat di bawah ini sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi kepada Malaikat Jibril: 57
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
“Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (QS. Maryam/19: 64). 4.5. Sebagai tanggapan atas pertanyaan yang bersifat umum. Kadang para sahabat mengajukan pertanyaan yang bersifat umum kepada Nabi. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas bahwa di kalangan Yahudi, apabila wanita mereka sedang haid, mereka tidak makan bersama wanita tersebut, atau juga tidak tinggal serumah. Para sahabat yang mengetahui masalah itu kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka turunlah ayat di bawah ini sebagai jawaban atas pertanyaan sahabat:
58
ANHARANSYORY
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah/2: 222). 4.6. Sebagai tanggapan terhadap orang-orang tertentu Adakalanya ayat-ayat Al-Qur’an turun untuk menanggapi keadaan tertentu atau orang-orang tertentu, seperti turunnya ayat di bawah ini: 59
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban.” (QS. Al-Baqarah/2: 196). Ka’b ibn Ujarah meriwayatkan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan pelaksanaan haji dan umrah. Jika ada seseorang yang merasa sakit atau ada gangguan di kepalanya. Ka’b ibn Ujarah sendiri merasakan ada masalah dengan kutu-kutu yang banyak di kepalanya, lalu ia sampaikan kepada Nabi, dan Nabi menjawab: 60
ANHARANSYORY
“Cukurlah rambutmu dan gantikanlah dengan berpuasa tiga hari, atau menyembelih hewan qurban atau memberi makan untuk enam orang miskin, untuk masing-masing orang miskin satu sha’". Contoh lain:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah/75: 16-18). Menurut riwayat ibn Abbas, ayat ini turun ketika Malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi. Nabi nampak menggerak-gerakkan lidah dan bibirnya, hal ini tampak amat berat baginya dan gerakan tersebut merupakan petunjuk bahwa wahyu bahwa wahyu sedang turun.7 61
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
4.7. Beberapa sebab tapi satu wahyu Terkadang wahyu turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab, misalnya turunnya QS. Al-Ikhlas/ 112: 1-4.
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” Ayat-ayat di atas turun sebagai tanggapan terhadap orang-orang musyrik Mekah sebelum hijrah, dan terhadap kaum ahli kitab yang ditemui di Madinah sesudah hijrah.
62
ANHARANSYORY
Contoh lain, ialah turunnya QS. At-Taubah/9: 113.
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” Ayat di atas turun untuk menanggapi peristiwa wafatnya paman Nabi SAW Abu Thalib. Nabi mendoakan pamannya hingga Allah akan melarang hal tersebut. Dalam kisah yang lain, suatu saat para sahabat khususnya Umar ibn al-Khathab menjumpai Rasulullah menitikkan air mata ketika berziarah kubur. Rasul menerangkan bahwa beliau sedang menziarahi makam ibunya, dan memohon kepada Allah agar diperkenankan menziarahinya, dan memohonkan ampunan bagi ibundanya. Sebab itu ayat tersebut diturunkan.8 63
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
4.8. Beberapa wahyu tetapi satu sebab Ada lagi beberapa ayat yang diturunkan untuk menanggapi satu peristiwa, misalnya ayat-ayat diturunkan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah, yaitu mengapa hanya lelaki saja yang disebut dalam al-Qur’an, yang diberi ganjaran. Menurut alHakim dan Tarmizi, pertanyaan itu menyebabkan turunnya tiga ayat di bawah ini.9
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku 64
ANHARANSYORY
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisiNya pahala yang baik.” (QS. Ali Imran/3:195).
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi 65
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (QS. An-Nisa’/4: 32).
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, lakilaki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan 66
ANHARANSYORY
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab/33: 35).
Catatan akhir: 1
2 3 4 5
6 7 8 9
Quraish Shihab (Ketua Tim), Sejarah dan ‘Ulumul-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 77. Ibid, hlm. 78. Ibid, hlm. 78. Ibid, hlm. 79-81. Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Penerjemah Samson Rahman, Akbar Jakarta, 2003, hlm. 87. M.Quraish Shihab (Ketua Tim), hlm. 84. Ibid, hlm. 87. Ibid, hlm. 88. Ibid, hlm. 89.
67
Mukjizat Al-Qur’an bersifat universal dan abadi, yakni berlaku untuk semua umat manusia sampai akhir zaman.
Bab V I’jaz Al-Qur’an
1. Kemukjizatan Al-Qur'an I'jaz (kemukjizatan) Al-Qur’an merupakan subsistem dari ‘Ulumul Qur’an yang harus difahami untuk memperkaya pemahaman terhadap Al-Qur’an. Pembahasan tentang kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain mencakup pengertian mukjizat, syarat-syarat mukjizat, aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an dan i’jaz ilmi. Secara etimologis, mukjizat artinya melemahkan. Adapun secara terminologis, mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulan. Mukjizat para Nabi dan Rasul biasanya berkaitan dengan mengatasi atau melawan nilai-nilai yang dianggap tinggi oleh umatnya pada zamannya. Misalnya, zaman Musa adalah zaman keunggulan tukang-tukang sihir, maka mukjizat
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
utamanya adalah untuk mengalahkan tukang-tukang sihir tersebut. (QS.7: 103-126, 26: 30-51, 20: 57-73). Zaman Nabi Muhammad adalah zaman keemasan kesusastraan Arab, maka mukjizat utamanya adalah AlQur’an, kitab suci yang ayat-ayatnya mengandung nilai sastra yang amat tinggi, sehingga tidak ada seorang manusiapun yang dapat membuat serupa dengan Al-Qur’an (QS. 2: 23, QS. 17: 88). Semua mukjizat para Nabi dan Rasul terdahulu dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya hanya diperlihatkan pada umat tertentu dan pada masa tertentu. Sedangkan mukjizat Al-Qur’an bersifat universal dan abadi, yakni berlaku untuk semua umat manusia sampai akhir zaman.1 1.1. Syarat-Syarat Mukjizat Menurut para mufassir paling tidak ada lima syarat mukjizat. Lima syarat tersebut adalah: a. Mukjizat harus berupa sesuatu yang tidak disanggupi oleh selain Allah SWT. b. Tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam. Penulis sendiri tidak sependapat dengan dua kata terakhir, karena menurut penulis tidak ada hu70
ANHARANSYORY
kum alam, tetapi alam seharusnya tunduk kepada hukum Allah. Menurut penulis, yang tepat adalah “berlawanan dengan sunnatullah”. c. Mukjizat harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh seorang yang mengaku membawa risalah Allah SWT sebagai bukti atas kebenaran pengakuannya. d. Terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat tersebut. e. Tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut. Apabila lima sayarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidaklah disebut mukjizat dan bukan pula sebagi dalil dari kebenaran seseorang yang mengakunya. 1.2. Beberapa Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad memiliki aspek-aspek kemukjizatan sebagai berikut: a. Susunan bahasa yang indah, berbeda dengan setiap susunan bahasa yang ada dalam bahasa orang-orang Arab. b. Adanya uslub-uslub yang aneh yang berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab. 71
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
c. Sifat agung (luarbiasa) yang tidak mungkin bagi seorang makhluk untuk mendatangkan/membuat hal yang seperti itu. d. Bentuk undang-undang yang detail lagi sempurna yang melebihi setiap undang-undang buatan manusia. e. Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu. f. Tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya. g. Menepati janji dan ancaman yang dikhabarkan Al-Qur’an. h. Adanya ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. i.
Memenuhi segala kebutuhan manusia.
j.
Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuh. Demikianlah aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an,
seyogyanya dapat dipahami oleh setiap orang Islam agar dapat mengambil manfaat yang terkandung di dalamnya. 1.3. Macam-Macam Mukjizat Mukjizat pada garis besarnya dapat tibagi dua yaitu: a. Mukjizat “Hissi”, ialah mukjizat yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba 72
ANHARANSYORY
oleh tangan, dirasa oleh lidah, yang lebih tegas dapat dicapai oleh panca indragaja. Mukjizat ini sengaja ditunjukkan atau diperlihatkan kepada manusia biasa, yakni mereka yang tidak biasa menggunakan kecerdasan fikirannya, yang tidak cakap pandangan mata hatinya dan yang rendah budi dan perasaannya. b. Mukjizat “Ma’nawi”, ialah mukjizat yang tidak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca indra, tetapi harus dicapai dengan kekuatan aqli dengan kecerdasan fikiran. Karena orang tidak akan mungkin mengenal mukjizat ini melainkan orang yang berfikir sehat, bermata hati yang nyalang, berbudi luhur, dan yang suka mempergunakan kecerdasan fikirannya dengan jernih serta jujur.2 2. Gaya Bahasa Al-Qur’an Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan Arab, karena adanya susunan yang indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui mereka dalam bahasa Arab. Bahasa dan kalimat-kalimat Al-Qur’an adalah kalimat, yang berbeda sekali dengan kalimat-kalimat di luar Al-Qur’an. Ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang 73
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
dapat dirasakan sehingga di dalamnya dapat dirasakan ruh dinamika.3 2.1. Uslub-Uslub Al-Qur’an Uslub-uslub al-Qur’an sangat indah dan menakjubkan, benar-benar membuat orang-orang Arab maupun luar Arab kagum dan terpesona. Kehalusan bahasa, keanehan yang menakjubkan dalam ekspresi, ciri-ciri khas balaghah baik yang abstrak maupun yang kongkrit, dapat mengungkapkan rahasia keindahan dan kekudusan al-Qur’an. Nabi pernah menantang orang-orang kafir untuk bertanding melawan al-Qur’an. Ternyata mereka tidak mampu dan kebingungan. Jago-jago retorika Arab menjadi bungkam seribu bahasa. Perhatikan Firman Allah SWT:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang AlQuran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami 74
ANHARANSYORY
(Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal AlQuran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. AlBaqarah/2: 23).
2.2. Keistimewaan Uslub Al-Qur’an Uslub Al-Qur’an yang menakjubkan mempunyai beberapa keistimewaan antara lain: a. Kelembutan Al-Qur’an secara lafdziyah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasanya. b. Keserasian Al-Qur’an baik untuk awam maupun kaum cendekiawan dalam arti bahwa semua dapat merasakan keagungan dan keindahan Al-Qur’an. c. Sesuai dengan akal dan perasaan, Al-Qur’an memberikan doktrin pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran dan keindahan sekaligus. d. Keindahan sajian Al-Qur’an serta susunan bahasanya, seolah-olah merupakan suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan serta perhatian. e. Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya, dalam arti bahwa satu 75
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
makna diungkapkan dalam beberapa lafadz dan susunan yang bermacam-macam yang semuanya indah dan halus. f. Al-Qur’an mencakup dan memenuhi persyaratan antara bentuk global (ijmal) dan bentuk yang terperinci (tafshil). g. Dapat dimengerti sekaligus dengan melihat segi yang tersurat (yang dikemukakan).4 5.2.3. Ayat-Ayat Sebagai Contoh Keistimewaan dan Keindahan Uslub Al-Qur’an
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram. Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat.” (QS. Al-Qiyamah/75: 22-25). Lafadz elok berseri-seri (nadhirah) menerangkan keadaan orang-orang yang bahagia dengan lukisan raut muka yang segar dan bahagia. Sedangkan lafadz suram (basirah) 76
ANHARANSYORY
melukiskan raut wajah orang-orang yang dilanda kesedihan dan ketakutan yang amat dahsat. Pada saat anda mendengar bisikan huruf sin berulangulang, maka anda merasakan istilah di dalam keringanan bunyi suaranya. Cobalah renungkan Firman Allah:
“Sungguh, aku bersumpah dengan bintang-bintang.Yang beredar dan terbenam. Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya. Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.” (QS. At-Takwir/81: 15-18).
3. Hakikat Kemukjizatan Al-Qur’an Kemukjizatan Al-Qur’an pada hakikatnya pertumpu pada empat faktor: 3.1. Bahasa. Kehebatan dan ketinggian bahasa Al-Qur’an dari berbagai aspek yang menyangkut kebahasan tidak bisa ditandingi oleh selain Allah. 77
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
3.2. Isi atau kandungan Al-Qur’an. Al-Qur’an antara lain berisi tentang: a. Iman. b. Ibadah. c. Akhlaq. d. Muamalah sekaligus sebagai sumber pemikiran sains dan teknologi. 3.3. Sejarah. Sejarah secara holistik, sejarah kehidupan dunia dan akhirat, sejarah alam semesta (ayat-ayat kauniyah) dan secara khusus sejarah manusia, baik sejarah manusia yang istiqamah di jalan Allah maupun sejarah manusia yang menjalani hidup di jalan yang sesat (jalan yang dimurkai Allah SWT). 3.4. Petunjuk hidup manusia yang bersifat kekal, dalam artian tetap terjaga autetisitasnya dan kebenarannya yang bersifat absolut karena pemeliharannya dijamin oleh Allah SWT dan tetap berlaku sepanjang kehidupan manusia.
4. I’jaz Ilmi dan Pembuktian Ilmiah Yang dimaksud dengan i’jaz ilmi menurut S.Agil Husen Al-Munawar, guru besar dalam ‘Ulum Al-Qur’an, adalah isyarat-isyarat yang rumit terhadap sebagian ilmu pengetahuan alam telah disinggung Al-Qur’an sebelum 78
ANHARANSYORY
pengetahuan itu sendiri sanggup menemukannya. Al-Qur’an bukan buku psikologi, tentang eksak maupun fisika, tetapi kitab hidayah dan irsyad, kitab tasyri’ dan islah. Tetapi AlQur’an memberikan pembuktian ilmiah, yang dinukil dari kitab “Ruh al-Din al-Islami” oleh Ustadz Afif Thabarah sebagai berikut: 4.1. Kesatuan alam. Teori ilmu pengetahuan modern telah membuktikan bahwa adalah salah satu dari sekumpulan planet yang telah memisah darinya dan membeku sehingga cocok untuk dihuni oleh manusia. Teori ini didukung oleh adanya gunung merapi yang memuntahkan lahar panas. Teori ini tepat sekali dengan ayat:
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami 79
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’/21: 30) 4.2. Terjadinya perkawinan dalam tiap-tiap benda. Selama ini mungkin orang hanya berkeyakinan bahwa perkawinan itu hanya terjadi bagi manusia laki-laki dan wanita, hewan jantan dan betina. Kemudian datang ilmu pengetahuan modern dan menetapkan bahwa perkawinan itu terjadi pula pada tumbuh-tumbuhan dan benda-benda (mati). Sampai pada listrik sekalipun ada pasangan arus positif dan arus negatif. Demikian pula atom, terdapat proton dan netron, yang masing-masing diistilahkan sebagai berpasang-pasangan, laki-laki dan wanita.5 Penemuan ini sebenarnya telah didahului oleh Al-Qur’an dalam banyak ayat antara lain:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasangpasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. Adz-Dzariyat/51: 49). 80
ANHARANSYORY
4.3. Berkurangnya oksigen. Sejak manusia mampu menjelajahi ruang angkasa dengan pesawat, maka pengamatan dan penelitian para ilmuan telah sampai kepada kesimpulan bahwa di angkasa oksigen itu berkurang. Manakala seorang penerbang meluncur tinggi ke angkasa, dadanya terasa sesak dan sulit bernafas. Oleh karenanya para penerbang harus memakai “oksigen buatan” saat mereka terbang dalam ketinggian 30.000 kaki lebih.6 Penemuan ini sebenarnya telah disinggung oleh Al-Qur’an jauh sebelum manusia melakukan penerbangan, Allah berfirman:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya 81
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.” (QS. Al-An’am/6: 125). 4.4. Khasiat Madu Dari hasil penelitian laboratorium USA, bahwa dalam 100 gr madu terkandung zat glukosa 34%, fruktosa 1,9%, sukrosa 40%. Zat gula glukosa dan fruktosa ini langsung diserap oleh usus tanpa proses lagi. Teori modern tentang madu ini sesuai dengan ayat:
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buahbuahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orangorang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl/16: 69). 82
ANHARANSYORY
4.5. Asal Kejadian Kosmos Jean seorang ahli astronomi mengatakan bahwa alam ini pada mulanya adalah gas yang berserakan secara teratur di angkasa luas, sedangkan kabut-kabut atau kosmos-kosmos itu tercipta dari gas-gas tersebut yang memadat. Ayat di bawah ini memperkuat pendapat tersebut:
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. (QS. Fushshilat/41: 11). 4.6. Penyerbukan dengan Angin Ilmu pengetahuan modern menetapkan bahwa angin bisa memindahkan serbuk jantan pada serbuk betina pada pohon kurma, tin dan pohon-pohon lain yang berbuah.7 83
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Hal ini telah diinformasikan dalam Al-Qur’an:
“Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr/15: 22). Masih banyak lagi ayat-ayat tentang tumbuhtumbuhan, ayat-ayat tentang proses embriologi manusia.
Catatan akhir: 1
2 3 4 5 6 7
S.Agil Husin Al-Munawar, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, CV Toha Putra Semarang, 1994, hlm. 1. Ibid, hlm. 3. Ibid, hlm. 3. Ibid, hlm. 4-5. Ibid, hlm. 13-14. Ibid, hlm. 14. Ibid, hlm. 15-16.
84
Bab VI Tafsir dan Metode Tafsir
1. Pengertian Tafsir Sebelum membahas macam-macam metode tafsir, terlebih dahulu dibahas tentang pengertian tafsir. Kata tafsir berasal dari:
. Kata tafsir
(
) adalah bentuk masdar dari fassara-yufassiru
(
) yang mengandung pengertian “penjelasan” dan
“keterangan”. Kata tafsir (
) berarti menerangkan sesuatu
yang masih samar serta menyingkap sesuatu yang tertutup. 1.1. Pengertian Tafsir Secara Etimologis Secara etimologis, tafsir ( ) digunakan untuk menunjukkan maksud ‘menjelaskan’, ‘mengungkapkan’, dan ‘menerangkan’ sesuatu suatu masalah yang masih kabur, samar dan belum jelas. Di dalam al-Qur’an, kata tafsir disebut satu kali:
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya,” (QS. Al-Furqan/25: 33). Kata tafsir di dalam ayat tersebut berkaitan dengan AlQur’an yang membawa kebenaran dan penjelasan yang paling baik. Pemahaman terhadap makna Al-Qur’an, selain kata tafsir digunakan juga istilah lain, seperti ta’wil ( tabyin (
) dan
). Tabyin lebih dikhususkan pada fungsi Nabi
yang mendapat tugas menjelaskan maksud firman-firman Allah SWT.1 Istilah tersebut diisyaratkan dalam firman Allah SWT:
“ Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (QS. An-Nahl/16: 44).
86
ANHARANSYORY
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (AlQuran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. An-Nahl/16: 64). Al-Qur’an juga menggunakan istilah ta’wil, firman Allah:
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Diantara-(isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat. 87
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayatayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencaricari ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran/3: 7). 1.2. Pengertian Tafsir Secara Terminologis Adapun pengertian tafsir secara terminologis terdapat beberapa pendapat: a. Menurut Al-Kilbi:
“Tafsir adalah mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya, menjelaskan apa yang dikehendaki oleh nashnya atau isyarahnya atau khulashah”. 88
ANHARANSYORY
b. Menurut Az-Zarqani:
“Tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’anul Karim dari segi dhalalahnya kepada yang dikehendaki oleh Allah sekedar yang disanggupi manusia” c. Menurut Az-Zarkasyi
“Tafsir adalah memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menerangkan maknanya, mengeluarkan hukumhukumnya dan hikmah-hikmahnya”.2 Dari tiga pengertian terminologis tersebut dapat dirumuskan bahwa secara terminologis: “Tafsir adalah mengkaji, memahami, dan menjelaskan AlQur’an baik dari segi kedalaman makna, isi dan maksud yang dikehendaki oleh Allah SWT sebatas maksimal kemampuan manusia”. 89
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
SKEMA METODE-METODE TAFSIR
TAHLILI, terdiri dari: Tafsir bi al-Ma'tsur Tafsir bi al-Ra'yi Tafsir Shufi Tafsir Fiqhi Tafsir Falsafi Tafsir Ilmi Tafsir Adabi, contoh: Al-Manar
IJMALI, contohnya antara lain: Tafsir Jalalain (oleh Jalal al-Suyuthy & Jalal al-Mahally) Shafwah al-Bayan (oleh Syeikh Husnain Muhammad Mukhlut) Al-Qur'an al-Adzim (oleh Ust. Muhammad Farid Wajdy)
Metode Tafsir
MUQARAN Metode tafsir yang ditempuh para mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama’ tafsir terhadap ayat-ayat itu, dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masingmasing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an.
MAUDHU'I, contohnya antara lain karya: 1. Syeikh Mahmud Saltut (Min Huda Al-Qur’an) 2. Ust. Abbas Mahmud al-‘Aqdad (Al-Mar’ah Fil Qur’an) 3. Ust. Abu al-A’la al-Maududy (Arriba Fil Qur’an) 4. Ust. Muhammad Abu Zahrah (Al-Aqidah Fil Qur’an ) 5. DR. Ahmad Kamal Mahdy (Aayatul Qasam Fil Qur’an)
90
ANHARANSYORY
2. Metode-Metode Tafsir Selama ini diketahui ada empat macam metode tafsir yang cukup popular di kalangan para akademisi yang memperhatikan kajian tafsir, yaitu metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan metode Maudhu'i. 2.1. Tafsir Tahlili Tafsir Tahlili adalah mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu semua, ia merujuk kepada sebab-sebab turun ayat, hadis-hadis Rasulullah SAW dan diwayat dari para Shahabat dan Tabi’in. Metode Tahlili dipergunakan oleh kebanyakan ulama’ pada masa-masa dahulu. Akan tetapi di antara mereka ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), ada yang dengan singkat (ijaz), dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan (musawah). 91
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Para ulama’ membagi wujud tafsir al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam: a. Tafsir bi al-Ma’tsur Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap maksud ayat al-Qur’an yang lain. Termasuk dalam tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran alQur’an dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para Shahabat berdasarkan ijtihad mereka, dan penafsiran alQur’an dengan pendapat Tabi’in. Di antara kitab tafsir bi alma’tsur adalah kitab: Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibn Jarir al-Thabary. b. Tafsir bi al-Ra’yi Tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an berdasarkan pendapat atau akal. Para ulama’ menegaskan bahwa tafsir bi al-ra’yi ada yang diterima dan ada yang ditolak. Suatu penafsiran bi al-ra’yi dapat dilihat dari kualitas penafsirannya. Apabila ia memenuhi sejumlah persyaratan yang dikemukakan para ulama’ tafsir, maka diterimalah penafsirannya. Di antara kitab tafsir bi al-ra’yi adalah kitab: 92
ANHARANSYORY
Madarik at-Tanzil Wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan alUstadz Mahmud al-Nasafy.3 Syarat-Syarat Tafsir bi Al-Ra’yi Kewajiban yang harus ditaati oleh seorang mufassir yang berupaya mengomentari teks Al-Qur’an, harus berhatihati benar dalam menempuh manhaj, sebelum menggunakan ra’yu atau ijtihad, yang wajib ditaati: Pertama: Hendaknya ia mencari makna al-Qur’an dari redaksi al-Qur’an itu sendiri. Jika ia tidak menemukannya di dalam sunnah Rasulullah SAW, karena sunnah adalah pensyarah al-Qur’an. Jika ia tidak menemukannya di dalam di dalam sunnah, maka hendaknya ia mencari dari pendapatpendapat para shahabat. Karena ia lebih mengetahui situasi dan kondisi turunnya ayat al-Qur’an. Kedua: Apabila cara-cara di atas tidak dapat menafsirkan al-Qur’an dengan jelas atau tidak sesuai dengan konteks masa kini, maka mufassir hendaknya menempuh tahapan berikut: a). Mula-mula memperhatikan makna-makna lafadz yang tunggal, lalu ditinjaunya lafadz ini dari segi bahasa, sharaf, istiqaq dengan memperhatikan makna yang dipakai di masa al-Qur’an diturunkan. 93
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
b). Memperhatikan susunan-susunan kalimat dari segi i’raf dan balaghah dan meresapi keindahannya dengan kekuatan ilmu bayan. c). Mendahulukan makna haqiqi atas makna majazy. Janganlah menggunakan makna majazy, kecuali tidak menggunakan tidak ditemukan makna hakikinya. d). Memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qiro’at dan kebiasaan budaya orang sekeliling Nabi, dan sejauh mana tingkat intelektualnya dalam memahami al-Qur’an. e). Memperhatikan tradisi historis, yang berisi bagaimana tingkat intelektualnya dalam memahami al-Qur’an. f). Memperhatikan korelasi antar ayat. g). Memperhatikan apa yang dimaksudkan dari siyaqul kalam. h). Menyesuaikan tafsir dengan ilmu-ilmu yang telah positif benarnya, sementara ini ilmu-ilmu kimia, ilmu fisika, biologi dan kosmologi. i). Merenungkan makna yang dimaksud dan hukum-hukum yang diistimbatkan dalam batas-batas undang-undang bahasa, undang-undang syari’at, undang-undang logika dan umum. 94
ANHARANSYORY
j). Memelihara undang-undang tarjih diwaktu memerlukan tarjih. As-Suyuthy di dalam al-Itqan berkata: “Segala lafadz menerima makna dua atau lebih, makna itulah saatnya para ulama’ menjalankan ijtihadnya. Dan mereka harus memegang semata-mata pada ijtihad. Jika salah satu dari dua makna itu lebih jelas, wajiblah makna yang lebih jelas menjadi pegangan. Apabila kedua maknanya itu dipakai secara hakikat lughawy dan yang lainnya hakikat syar’i, maka wajiblah mengambil makna syar’i. Kecuali ada dalil bahwa makna yang dimaksud adalah makna menurut lughah.4 c. Tafsir Shufi Tafsir Shufi adalah penafsiran yang dilakukan oleh para shufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat difahami kecuali oleh orang-orang shufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasauf. Contoh kitab tafsir shufi adalah kitab: Tafsir al-Qur’an al‘Adzhim, karangan Imam al-Tustury.
95
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
d. Tafsir Fiqhi Tafsir Fiqhi adalah penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh (tokoh) suatu mazhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran mazhabnya. Tafsir Fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh karangan imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda. Contoh kitab tafsir fiqhi adalah kitab: Ahkam al-Qur’an karangan al-Jasshash. e. Tafsir Falsafi Tafsir falsafi adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat ketuhanan dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu kalam semantik (logika). Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab: Mafatih al-Ghaib yang dikarang oleh al-Fakhr al-Razi. f. Tafsir Ilmi Tafsir ilmi adalah penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. 96
ANHARANSYORY
Contoh kitab tafsir ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karangan al-’Allamah Wahid al-Din Khan. g. Tafsir Adabi Tafsir Adabi adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan segi balaghah al-Qur ’an dan kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaransasaran yang dituju oleh al-Qur’an, mungungkapkan hukumhukum alam, dan tantangan-tantangan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir Adabi merupakan tafsir corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasiarahasia al-Qur’an. Contoh kitab tafsir Adabi adalah adalah kitab tafsir al-Manar, karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. h. Tafsir Ijmali Tafsir Ijmali adalah penafsiran al-Qur’an dengan secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendakinya. 97
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Dengan metode ini, kadangkala pada ayat-ayat tertentu mufassir menunjukkan sebab turunnya ayat, peristiwa ayng dapat menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadits Rasulullah SAW atau pendapat ulama’ yang shaleh. Dengan cara demikian, dapatlah diperoleh pengetahuan yang sempurna dan sampailah kepada tujuannya dengan cara yang mudah, serta uraian yang singkat dan bagus. Contoh kitab-kitab tafsir ijmali adalah: a). Tafsir Jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally. b). Shafwah al-Bayan Lima’ani al-Qur’an, karya Syeikh Husnain Muhammad Mukhlut. c). Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, karya Ustadz Muhammad Farid Wajdy. i. Tafsir Muqaran Metode tafsir muqaran yaitu metode tafsir yang ditempuh oleh para mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama’ tafsir pada terhadap ayat-ayat itu, dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Ada yang corak penafsirannya 98
ANHARANSYORY
ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada di antara mereka yang menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni segi-segi i'rab, seperti Imam al-Zamakhsyary. Selain rumusan tersebut di atas, metode tafsir muqaran mempunyai pengertian dan lapangan yang luas, yaitu membandingkan antara ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah (kasus) atau membandingkan antara ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi yang tampaknya berbeda serta mengkompromikan dan menghilangkan dugaan adanya pertentangan antara hadit-hadits Rasulullah. j. Tafsir Maudhu’i Metode Tafsir Maudhu’i (tematik) yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah/tema serta mengarah kepada satu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai surat dalam al-Qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya. Kemudian mufassir menentukan ayat-ayat itu sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan (jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu, menguraikannya dengan 99
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
sempurna, menjelaskan makna dan tujuannya, mengkaji seluruh segi dan apa yang dapat diistimbatkan darinya, segi i'rab-nya, unsur-unsur balaghahnya, i’jaz-nya (kemukjizatannya) dan lain-lain, sehingga satu tema itu dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-Qur’an dan oleh karenanya, tidak diperlukan ayat-ayat lain.5 Ada cara lain dari tafsir maudhu’i, tetapi cara ini kurang penting bila dibandingkan dengan cara pertama di atas, yaitu penafsiran yang dilakukan seorang mufassir dengan cara keseluruhan, dari awal sampai akhir surat. Kemudian menjelaskan tujuan-tujuannya yang khusus dan umum dari surat itu, sehingga jelas surat itu merupakan suatu rantai kesatuan. Langkah-langkah Penerapan Metode Maudhu’i: a. Memilih tema. b. Menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berkaitan dengannya. c. Menentukan urutan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan asbab an-nuzul-nya. d. Menjelaskan munasabah (relevansi) antar ayat-ayat. e. Membuat sistematika kajian dalam kerangka yang sistematis dan lengkap dengan out line-nya yang 100
ANHARANSYORY
mencakup semua segi dan tema kajian. f. Mengemukakan hadits-hadits yang berkaitan dengan tema, lalu di-takhrij untuk diterangkan derajat haditshadits tersebut. Dikemukakan pula atsar dari Shahabat dan Tabi’in. g. Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bahasa) Arab dan syair-syair mereka yang berkaitan untuk menjelaskan lafadz-lafadz yang terdekat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema. h. Kajian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dilakukan secara maudhu’i terhadap segala segi kandungannya, yaitu lafadz ‘amm, khash, muqayyat, mutlak syarat, jawab, hukum-hukum fiqih, nasakh dan yang mansukh, jika ada unsur balaghah dan i’jaz, berusaha memadukan antara ayat-ayat itu dengan ayatayat lain yang diduga kontradektif dengannya atau dengan hadits-hadits yang tidak sejalan dengannya atau dengan teori-teori ilmiah. Menolak kesamaran-kesamaran yang dengan sengaja ditaburkan oleh lawan-lawan Islam, menyebutkan penjelasan berbagai qira’ah, menerangkan makna ayat-ayat terhadap kehidupan kemasyarakatan dan tidak menyimpang dari 101
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
sasaran yang dituju oleh tema kajian.6 Kitab-kitab tafsir dengan metode Maudhu’i antara lain: 1. Karya Syeikh Mahmud Saltut (
).
2. Karya Ustadz Abbas Mahmud al-‘Aqdad (
)
3. Karya Ustadz Abu al-A’la al-Maududy (
)
4. Karya Ustadz Muhammad Abu Zahrah (
)
5. Karya DR. Ahmad Kamal Mahdy (
)
Catatan akhir: 1
2
3 4 5 6
M. Quraish Shihab (Pimpinan Tim Redaksi), Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata, Lentera Hati, Jakarta, 2007, hlm. 975-976. Siti Amanah, Pengantar Tafsir/Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, IAIN Walisongo, Semarang, 1986, hlm. 2-3. S. Agil Husin Al-Munawar, hlm. 36. Ibid, hlm. 48-49. Ibid, hlm. 39. Ibid, hlm. 39-40.
102
ANHARANSYORY
Daftar Pustaka
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Penerjemah Samson Rahman, AKBAR Jakarta, 2003. Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Penerjemah: Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Qur‘an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press, 1997. M. Quraish Shihab (Ketua Tim), Sejarah dan ‘UlumulQur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999. M. Quraish Shihab (Pimpinan Tim Redaksi), Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata, Lentera Hati, Jakarta, 2007 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Lentera Antar Nusa, Jakarta, 1994. Said Agil Husin Al-Munawwar, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, CV Toha Putra Semarang, 1994. Siti Amanah, Pengantar Tafsir/Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, IAIN Walisongo Semarang, 1986. 103
PENGANTAR ULUMUL QUR'AN
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, Mei 1997. Yunahar Ilyas, Al-Qur'an Al-Karim: Sejarah Pengumpulan & Metodologi Penafsiran, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ulumul Qur'an, UMY, 2008
104