NILAI TITIK POTONG/ CUT-OFF POINT LINGKAR PINGGANG DAN INDEKS MASA TUBUH ORANG INDONESIA UNTUK MEMPREDIKSI DIABETES MELLITUS DENGAN RASIO KEMUNGKINAN POSITIF TERBAIK (ANALISIS RISKESDAS 2013) Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
Oleh : DWI RAMADHANI PUSPITASARI 1111101000119
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2015 M
i
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT GIZI Skripsi, Desember 2015 Dwi Ramadhani Puspitasari, NIM: 1111101000119 Nilai Titik Potong/ Cut-Off Point Lingkar Pinggang Dan Indeks Masa Tubuh Orang Indonesia Untuk Memprediksi Diabetes Mellitus Dengan Rasio Kemungkinan Positif Terbaik (Analisis Riskesdas 2013) (xlvii+77, 6 tabel, 4 gambar, 3 lampiran) ABSTRAK Jumlah penderita Diabetes Melitus (DM) terus meningkat di Indonesia. Penderita DM dapat dikurangi dengan pengendalian terhadap Lingkar Pinggang (LP) dan Indeks Masa Tubuh (IMT). Diketahui bahwa IMT ≥27 kg/m2, LP >90 cm pada laki-laki serta LP >80 cm pada perempuan dapat memprediksi kejadian DM. Sementara, belum ada penilaian performa titik potong LP dan IMT tersebut dengan menggunakan Rasio Kemungkinan Positif (RKP). Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai titik potong LP dan IMT orang Indonesia yang memiliki nilai RKP terbaik untuk memprediksi DM. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang yang memakai data Riskesdas 2013 dengan jumlah sampel sebanyak 27.321 orang dan terdiri dari responden ≥15 tahun. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kasus DM. Sementara, variabel indepennya adalah jenis kelamin, usia berisiko, kebiasaan merokok, asupan makan berisiko, dan aktivitas fisik berisiko dan status gizi. Didapatkan bahwa IMT ≥27 kg/m2 pda kelompok laki-laki dan perempuan memiliki RKP 1,5 untuk memprediksi DM. Sementara itu, LP >90 cm untuk lakilaki memiliki RKP sebesar 2,2 untuk memprediksi DM dan LP >80 cm untuk perempuan memiliki RKP sebesar 1,4 untuk memprediksi DM. Penelitian ini juga menunjukkan nilai RKP IMT dan LP pada titik potong tersebut meningkat pada kelompok yang merokok. Penelitian membuktikan nilai titik potong IMT ≥28 kg/m2 , LP > 93 cm untuk laki-laki dan LP >80 cm untuk perempuan merupakan titik potong yang memiliki nilai RKP paling tinggi diantara yang lainnya. Kata Kunci: DM, RKP, Titik-Potong, IMT, LP Daftar Bacaan: 115 (1994-2015)
iii
SYARIF HIDAYATULLAH ISLAMIC STATE UNIVERSITY FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH DEPARTMENT NUTRITION Undergraduated Thesis, Desember 2015 Dwi Ramadhani Puspitasari, NIM: 1111101000119 Cut-Off Point Waist Circumference and Body Mass Index Indonesian People to Predict Diabetes Mellitus With The Best Likelihood Ratio Positive (Analysis of Riskesdas 2013) (xlvii+77, 6 tables, 4 pictures, 3 appendices) ABSTRACT The number of Diabetes Mellitus (DM) in Indonesia is increased continously. That number can be decrease by controlling Waist Circumference (WC) and Body Mass Index (BMI). BMI ≥27 kg/m2 for men and woman, WC >90 cm for men and WC >80 cm for woman can be use to predict DM to Indonesian people. But, there is no study about those cut off points WC and BMI perform test with Likelihood Ratio Positive (LR+). So, this study was done to test performance of those cut off points with LR(+) for predict DM. This thesis used a cross sectional design study that using data of Riskesdas 2013 with 27321 samples above 15 years old. The dependent variables for this research were the case of DM, while independent variables for this reseach were sex, age risk, smoking habit, food intake risk, physical activity risk and nutritional status. This study showed that man or woman who have IMT ≥27kg/m2 had LR(+) 1,5 to predict DM. Man with WC >90 had LR(+) 2.2 to predict DM. Moreover woman >80 cm had LR(+) 1.4 to predict DM. Point of LR(+) has increase when the indicator of test was modified with smoking habit. This this show that cut-off point BMI ≥28 kg/m2, WC >93 cm in man and WC >90 cm in woman had the best point of LR(+) than the others. Keywords: DM, LR positive, Cut-off, BMI, WC References: 115 (1994-2015)
iv
iv
v
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Dwi Ramadhani Puspitasari
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir
: Tangerang/ 13 Maret 1993
Alamat
: Perumahan Taman Jaya Blok D7/ No. 07, Cipondoh Makmur, Tangerang
No. Telepon
: 085695994915
Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan: 2011-sekarang
: Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulla Jakarta
2008-2011
: SMA Islamic Village, Karawaci
2005-2008
: SMP Negeri 1 Kota Tangerang
1999-2005
: SDS Kartini
1998-1999
: TK. Al-Hidayah dan TK. Karunia Ibu, Tangerang
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal skripsi yag berjudul ―Nilai Titik Potong/cut-off point Lingkar Pinggang dan Indeks Masa Tubuh Orang Indonesia Untuk Memprediksi Diabetes Mellitus Dengan Rasio Kemungkinan Positif Terbaik”. Penyusunan proposal skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat membuat skripsi guna mendapatkan gelar sarjana kesehatan masyarakat. Akhir kata, ucapan terima kasihpun penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes,Ph.D, selaku ketua program studi Kesehatan Masyarakat.
3. Ir. Febrianti, M.Si, selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan arahan, bantuan dan kesedian waktu untuk membimbing penyelesaian skripsi ini.
4. Dr. M. Farid Hamzens, M.Si, selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan saran dan bimbingannya, sehingga skripsi ini lebih mudah dimengerti oleh seluruh pihak.
5. Dewi Utami Iriani, M.Kes. Ph.D, selaku pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan bantuan dalam proses penyelesaian skripsi ini.
viii
6. Orang tua dan seluruh anggota keluarga besar (Mas Tomi, Kak Ticia dan Dylan) yang telah memberikan dukungan baik moril, doa dan materil kepada penulis sehingga penyelesaian penulisan laporan ini terasa menjadi lebih mudah dan menyenangkan.
7. Teman-teman gizi 2011 dan kesehatan masyarakat 2011 UIN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Keluarga ―de Tekwan‖ memberikan
dukungan
dan
waktu
yang
yang selalu
menyenagkan
sehingga
penyelesaian skripsi ini menjadi hal yang tidak terlupakan.
8. Ifri, Della, Tari dan Okky selaku teman tanpa jarak yang selalu mendukung keberhasilan dengan ucapan dan doa kepada penulis dalam penyelesain skripsi ini meskipun tidak selalu ada waktu untuk bertemu. 9. Puput, Aqma, Ajeng, Lidya, Efri, Tanza selaku teman tanpa ―spasi‖ yang selalu memberikan bantuan dan doa untuk keberhasilan kami bersama saat ini dan yang akan datang.
10. Aline, April, Dea, Fina, Hesti, Anjar selaku teman yang selalu memberikan inspirasi dan kemauan penulis untuk menjadi pribadi yang lebih baik pada setiap hal.
Tangerang, Desember 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan ............................................................................................................ i Abstrak .............................................................................................................................. ii Abstract ............................................................................................................................ iii Lembar Persetujuan Pembimbing .................................................................................... iv Lembar Persetujuan Penguji ............................................................................................. v Daftar Riwayat Hidup ...................................................................................................... vi Kata Pengantar ................................................................................................................ vii Daftar Isi .......................................................................................................................... ix Daftar Tabel .................................................................................................................... xii Daftar Gambar ............................................................................................................... xiii Daftar Singkatan ............................................................................................................ xiv Bab I Pendahuluan ......................................................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah............................................................................................................... 5 C. Pertanyaan Penelitian.......................................................................................................... 5 D. Tujuan ................................................................................................................................. 6 1.
Tujuan Umum ............................................................................................................... 6
2.
Tujuan Khusus .............................................................................................................. 6
E. Manfaat Penelitian .............................................................................................................. 7 1.
Program Studi Kesehatan Masyarakat .......................................................................... 7
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia ........................................................................ 7 3. Peneliti Lain ........................................................................................................................ 8 F. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................................................. 8
Bab II Tinjauan Pustaka .................................................................................................9 A. Diabetes Mellitus ................................................................................................................ 9 1.
Klasifikasi Diabetes Mellitus ........................................................................................ 9
2.
Patofisiologi Diabetes Mellitus ..................................................................................... 11
3.
Gejala Diabetes Mellitus ............................................................................................... 15
4.
Diagnosis Diabetes Mellitus ......................................................................................... 16
5.
Dampak Diabetes Mellitus ............................................................................................ 18
x
C. Status Gizi........................................................................................................................... 20 1.
Obesitas ......................................................................................................................... 20
2.
Obesitas Sentral............................................................................................................. 24
D. Asal Mula Penetapan Titik Potong Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang di Indonesia ............................................................................................................................. 30 E. Tes Diagnostik .................................................................................................................... 31 1.
Rasio kemungkinan Positif Titik Potong ...................................................................... 32
2.
Langkah Penentuan Kekuatan Titik Potong .................................................................. 32
F. Faktor Risiko Lain Penyebab Diabetes Mellitus ................................................................ 33 1.
Riwayat Keluarga atau Keturunan ................................................................................ 33
2.
Usia ............................................................................................................................... 34
3.
Ras................................................................................................................................. 36
4.
Jenis Kelamin ................................................................................................................ 36
5.
Asupan Makan .............................................................................................................. 37
6.
Merokok ........................................................................................................................ 39
7.
Konsumsi Alkohol ........................................................................................................ 39
8.
Aktivitas Fisik ............................................................................................................... 40
G. Kerangka Teori ................................................................................................................... 41
Bab III Kerangka Konsep, Definisi Operasional dan Hipotesis................................ 42 A. Kerangka Konsep ................................................................................................................ 42 B. Definisi Operasional............................................................................................................ 43
Bab IVMetodologi Penelitian........................................................................................ 45 A. Desain Penelitian ................................................................................................................ 45 B. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................................................. 45 C. Populasi dan Sampel ........................................................................................................... 45 1. Populasi ............................................................................................................................. 45 2. Sampel .............................................................................................................................. 45 D. Pengumpulan Data .............................................................................................................. 49 E. Pengolahan Data .................................................................................................................. 51 F. Analisis Data........................................................................................................................ 54
Bab V Hasil ..................................................................................................................... 56 Bab VI Pembahasan ...................................................................................................... 60 A. Keterbatasan Penelitian ...................................................................................................... 60
xi
B. Rasio Kemungkinan Positif Cut off Point Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang Dengan Diabetes Melitus.................................................................................... 60 C. Rasio Kemungkinan Positif Titik Potong/Cut-off Point Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang Dengan Diabetes Melitus Berdasarkan Faktor Risiko .......................... 65
Bab VII Simpulan dan Saran ....................................................................................... 67 A. Simpulan ............................................................................................................................. 67 B. Saran ................................................................................................................................... 68
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 69
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Gejala Diabetes Mellitus dan Penyebabnya ...............................................15 Tabel 2.2 Gejala Penyakit Berdasarkan Tipe-Tipe Diabetes Mellitus ......................15 Tabel 3.1 Definisi Operasional ..................................................................................43 Tabel 5.1 Kasus Diabetes Mellitus Menurut Titik Potong/Cut Off Point Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang yang Lama .......................................56 Tabel 5.2 Hasil Rasio Kemungkinan Positif Titik Potong/Cut Off Point Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang yang Lama Dengan Faktor Risiko ...57 Tabel 5.3 Hasil Uji Coba Rasio Kemungkinan Positif Pada Nilai Titik Potong/Cut Off Point Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang ...............................58
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Proses Pemeriksaan Gula Darah Riskesdas 2013 .....................................19 Bagan 2.2 Kerangka Teori .........................................................................................41 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ......................................................................................42 Bagan 4.1Alur Pengambilan Sampel .........................................................................47
xiv
DAFTAR SINGKATAN
ADA
American Diabetes Association
AUC
Area Under Curve
BPS
Badan Pusat Statistik
CDC
Centers of Disease Control
DM
Diabetes Mellitus
GDPT
Gula Darah Puasa Terganggu
GDS
Gula Darah Sewaktu
GD2PP
Gula Darah 2 Jam Paska Pembebanan
HbA1c
Hemoglobin A1C atau Hemoglobin terglikasi
HLA
Human Leukocyte Antigen
IDAI
Ikatan Dokter Anak Indonesia
IDF
International Diabetes Federation
IMT
Indeks Masa Tubuh
Kemenkes
Kementrian Kesehatan
LADA
Latent Autoimmune Diabetes in Adults
LP
Lingkar Pinggang
MOH
Ministry Of Health(Malaysia)
NSW
New South Wales
PEDF
Pigment Epithelium Derived Control
Perkeni
Perkumpulan Endrokinologi Indonesia
RBP 4
Retinol Binding Protein 4
Riskesdas 2013 Riset Kesehatan Dasar 2013
xv
RKP
Rasio Kemungkinan Positif
TGT
Toleransi Glukosa Terganggu
TNF α
Tumor Neucrosis Factor-α
TTGO
Tes Toleransi Glukosa Oral
WGOC
Working Group Obesity in China
WHO
World Health Organization
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Diabetes merupakan salah satu masalah penyakit tidak menular yang menjadi penyebab kematian utama di dunia setelah penyakit jantung koroner pada tahun 2000-2012 (WHO, 2014a). Saat ini, terdapat 382 juta jiwa masyarakat di dunia yang sudah terdiagnosa Diabetes Melitus (DM). Sementara, jumlah penderita penyakit DM di Indonesia juga diperkirakan akan terus meningkat dari 8,5 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta jiwa pada tahun 2030 (Kemenkes, 2009). Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita DM terbanyak kedua di negara-negara Pasifik Barat setelah Jepang (IDF, 2013). Proporsi penderita DM berdasarkan Riskesdas 2013 hanya sebesar 6,9% atau sebanyak 49.849 jiwa (Kemenkes, 2013). Kejadian DM dapat diturunkan dengan pengendalian status gizi obesitas maupun obesitas sentral (Trisnawati dan Setyorogo, 2013; Wilson dkk, 2002; Hartono, 2006). Biasanya kejadian obesitas dapat diukur menggunakan penilaian status gizi berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT) (WHO, 2000). Sementara, obesitas sentral yang dikenal sebagai kelebihan distribusi lemak di bagian perut yang dapat diukur dengan menggunakan Lingkar Pinggang (LP) (Hartono, 2006).
1
2
Bukan hanya status gizi obesitas dan obesitas sentral yang dapat berdampak pada DM, tetapi terbukti bahwa semakin tua usia seseorang semakin besar kemungkinan mengalami kejadian DM (Sahai dkk, 2011). Faktor lainnya yang menjadi risiko DM adalah jenis kelamin, kebiasaan merokok, asupan makan berisiko, aktivitas fisik kurang, riwayat penyakit DM keluarga, ras dan konsumsi alkohol (Kemenkes, 2014). Mengingat bahwa obesitas dan obesitas sentral merupakan faktor risiko DM, maka sebagai upaya pengendalian DM ditetapkanlah nilai titik potong/cut-off point IMT yang dikatakan obesitas dan dapat meningkatkan risiko DM sebesar IMT ≥ 27 kg/m2 (Kemenkes, 2013). Sementara itu, nilai titik potong LP masyarakat Indonesia yang berisiko DM adalah > 80 cm untuk wanita dan >90 cm untuk pria (Kemenkes, 2013). Penetapan nilai titik potong IMT dan LP untuk Asia yang diadopsi Indonesia tersebut merupakan rujukan dari WHO dan hasil penelitian Jepang, Korea, India dan Cina (WHO, 2008; Kemenkes, 1994). Meskipun masih tergolong negara Asia, tetapi tiap-tiap negaranya memiliki perbedaan yang signifikan terkait penetapan titik potong IMT atau LP (Huxley, dkk., 2005). Deurenberg dkk (2003) membuktikan bahwa penduduk Hongkong, Indonesia, Singapura dan Thailand bagian kota memiliki IMT lebih rendah pada persentase lemak tubuh yang sama dengan orang Eropa. Sementara, penduduk Beijing dan Thailand bagian desa memiliki BMI yang sama persis dengan orang Kaukasia. Perbedaan etnis dikatakan berpengaruh terhadap penetapan cut-off point/titik potong IMT dan LP karena adanya komposisi lemak tubuh yang
3
berbeda (MOH, 2004). Seperti halnya, penduduk Kaukasia (Belanda dan Itali) dan Asia (Malaysia, Indonesia, Singapura, Cina) yang memiliki IMT yang sama kemungkinan memiliki besar tubuh yang berbeda akibat dari perbedaan otot dan lemak (Deurenberg dkk, 2002; Snidjer dkk, 2005). Hal tersebut dikarenakan Asia cenderung memiliki komposisi lemak lebih banyak daripada Kaukasia (Deurenberg, 2002; Snidjer dkk, 2005). Komposisi otot dan lemak itu dicurigai sebagai salah satu dampak dari perbedaan tingkat aktivitas fisik pada Kaukasia dan Asia (Deurenberg dkk, 2002). Mengingat hal tersebut, WHO tetap memberikan rekomendasi titik potong/cut-off point kepada negara-negara di dunia. Khususnya pada negara yang belum melakukan penelitian terkait penetapan cut-off point/titik potong sebagai pedoman pembuatan kebijakan pengendalian kejadian status gizi lebih yang dapat berdampak pada penyakit degeneratif (WHO, 2004). Saat ini, Malaysia sebagai negara yang berjarak dekat dengan Indonesia menetapkan titik potong/cut-off point IMT obesitas yang lebih besar dibanding Indonesia, yaitu sebesar 27,5 kg/m2. Selain itu, Malaysia juga menetapkan titik potong/cut-off point LP yang sedikit berbeda dengan Indonesia yaitu ≥ 90 cm pada laki-laki dan ≥ 80 cm pada perempuan (MOH, 2004). Bukan hanya Malaysia, WGOC juga menetapkan titik potong/cut-off point yang menyatakan kategori obesitas dengan IMT sebesar ≥ 28 kg/m2 (Chen dkk., 2006). Harahap dkk (2005) juga melakukan penentuan titik potong/ cut-off point IMT dalam mendeteksi penyakit degeneratif pada populasi Indonesia
4
dengan menggunakan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004 yang menyatakan bahwa cut-off point perlu diturunkan dari 25 kg/m2 menjadi 23 kg/m2. Selain itu, Triwinarto dkk (2012) juga menyatakan perlu dilakukan perubahan nilai cut-off point dari ≥90 cm pada laki-laki menjadi ≥80 cm, sementara pada perempuan dari ≥80 cm menjadi ≥81 cm untuk mendeteksi DM. Kedua penelitian tersebut menilai kekuatan performa cut-off point dan membuat cut-off point baru dengan melihat hasil Area Under Curve (AUC). Penilaian kekuatan titik potong/cut-off point IMT dan LP sebagai alat prediksi suatu penyakit bukan hanya dapat diketahui dengan AUC, melainkan dapat diketahui dengan nilai Rasio Kemungkinan Positif (RKP) tabel 2x2 (Gilbert, 2001). Penggunaan RKP tabel 2x2 dalam penentuan kekuatan titik potong/cut-off point IMT dan LP merupakan metode paling sederhana, namun terstandar (Dahlan, 2009). Jika hasil RKP > 10 maka uji tes diagnostik dikatakan baik, jika nilai 1 berarti nilai titik potong/cut-off point LP atau IMT tidak dapat mengindikasikan kejadian DM dengan baik (Grimes dan Schulz, 2005). Meskipun, sudah ada penelitian yang mengevaluasi performa dari cut-off point IMT dan LP seperti pada penelitian Twinarto dkk (2012) dan Harahap dkk (2005) namun tidak ada yang melihat performa kekuatan cutoff point IMT dan LP dalam mendeteksi DM dari hasil RKP. Sehingga hal tersebut membuat peneliti ingin mengetahui RKP
titik potong/cut-off
point IMT dan LP yang berlaku di Indonesia dengan menggunakan data Riskesdas 2013.
5
B. Rumusan Masalah Kasus DM terus meningkat di Indonesia. Pengendalian kasus DM di Indonesia dapat ditangani dengan pengontrolan IMT dan LP. Sementara titik potong/cut-off point IMT dan LP di Indonesia bukan berdasarkan populasi Indonsia. Sehingga, terdapat kemungkinan adanya perbedaan titik potong/cut-off point IMT dan LP jika berdasarkan populasi orang Indonesia sebagai alat prediksi DM. Maka dari itu, penulis bermaksud untuk mengetahui RKP pada titik potong/cut-off point IMT dan LP yang berlaku di Indonesia dengan atau tanpa dibedakan oleh usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, asupan makan berisiko dan tingkat aktivitas fisik pada orang Indonesia. Serta, mengetahui titik potong IMT dan LP yang memiliki RKP terbesar berdasarkan data Riskesdas 2013 dalam memprediksi DM.
C. Pertanyaan Penelitian Adapun pertanyaan penelitian yang diharapkan dapat terjawab dalam penelitian ini adalah : a. Berapa RKP titik potong/cut-off point LP >90 cm pada laki-laki dan >80 cm pada perempuan terhadap kejadian DM? b. Berapa RKP titik potong/cut-off point IMT ≥27 kg/m2 terhadap kejadian DM? c. Berapa RKP titik potong/cut-off point LP 90 cm pada laki-laki dan >80 cm
pada perempuan yang dibedakan atas usia berisiko,
kebiasaan merokok, asupan makan berisiko, dan tingkat aktivitas
6
fisik berisiko berdasarkan data Riskesdas 2013 terhadap kejadian DM? d. Berapa RKP titik potong/cut-off point IMT ≥27 kg/m2 yang dibedakan atas jenis kelamin laki-laki, usia berisiko, kebiasaan merokok, asupan makan berisiko, dan tingkat aktivitas fisik berisiko berdasarkan data Riskesdas 2013 terhadap kejadian DM? e. Berapa nilai titik potong/cut-off point IMT dan LP yang memiliki nilai RKP paling besar dari uji pada berbagai titik potong IMT dan LP? D. Tujuan 1.
Tujuan Umum Didapatkannya titik potong/ cut off point LP dan IMT untuk memprediksi kejadian DM dengan Rasio Kemungkinan Positif (RKP) terbaik pada populasi orang Indonesia berdasarkan Riskesdas 2013.
2.
Tujuan Khusus a. Didapatkannya RKP titik potong/cut-off point LP >90 cm pada laki-laki dan >80 cm pada perempuan terhadap kejadian DM. b. Didapatkannya RKP titik potong/cut-off point IMT ≥27 kg/m2 terhadap kejadian DM. c. Didapatkannya RKP titik potong/cut-off point LP >90 cm pada laki-laki dan >80 cm pada perempuan yang dibedakan dari usia berisiko, kebiasaan merokok, asupan makan berisiko, dan tingkat
7
aktivitas fisik berisiko terhadap kejadian DM berdasarkan data Riskesdas 2013. d. Didapatkannya RKP titik potong/cut-off point IMT ≥27 kg/m2 yang dibedakan dari jenis kelamin laki-laki, usia berisiko, kebiasaan merokok, asupan makan berisiko, dan tingkat aktivitas fisik berisiko berdasarkan data Riskesdas 2013 terhadap kejadian DM. e. Didapatkannya nilai titik potong/cut-off point IMT dan LP yang memiliki nilai RKP paling besar. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang berjudul ―Nilai Titik potong/Cut-off Point Lingkar Pinggang dan Indeks Masa Tubuh Orang Indonesia Untuk Memprediksi Diabetes Mellitus Dengan Rasio Kemungkinan Positif Terbaik‖ diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Program Studi Kesehatan Masyarakat Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan refrensi karya tulis dibidang masyarakat, khususnya karya tulis pada bidang gizi. 2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Diharapkan
hasil
penelitian
ini
dapat
menjadi
bahan
pertimbangan kembali terkait penentuan titik potong LP dan IMT sebagai indikator kasus obesitas dan obesitas sentral yang berpengaruh terhadap kejadian DM untuk masyarakat Indonesia.
8
3. Peneliti Lain Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi refrensi bagi peneliti lainnya yang meneliti tentang penelitian serupa. F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang berjudul ―Nilai Titik Potong/Cut-off Point Lingkar Pinggang dan Indeks Masa Tubuh Orang Indonesia Untuk Prediksi Diabetes Mellitus Dengan Rasio Kemungkinan Positif Terbaik‖ akan dilakukan pada tahun 2015 dengan menggunakan hasil Riskesdas 2013 dengan sampel yang berusia ≥15 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional, menggunakan analisis tabel 2x2 untuk menentukan rasio kemungkinan positif titik potong/cut-off point LP dan IMT sebagai upaya memprediksi kejadian DM.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus Secara etiologi DM merupakan penyakit yang terjadi akibat adanya intoleransi glukosa (Misnadiarly, 2006). Selain itu, diabetes juga dikenal sebagai penyakit yang sistemis, kronis dan multifaktorial (Baradero dkk, 2009). Hal tersebut berarti bahwa DM merupakan penyakit yang mempengaruhi berbagai sistem dalam tubuh, dialami dalam jangka waktu yang lama, dan disebabkan oleh banyak faktor. ADA (2010) menyebutkan bahwa diabetes merupakan penyakit yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam darah yang disebabkan oleh sekresi insulin atau kerja insulin ataupun keduanya yang tidak berjalan normal (Perkeni, 2011). WHO (2015) menyebutkan bahwa diabetes merupakan penyakit yang disebabkan oleh keturunan atau kekurangan produksi insulin oleh kelenjar pankreas atau keduanya. 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus terbagi atas 2 tipe, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. Kedua jenis diabetes ini memiliki etiologi yang berbeda. DM tipe satu merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh penghancuran sel β akibat kurangnya produksi insulin.Sementara, diabetes tipe 2 terjadi akibat aktivitas insulin yang lemah dan
9
10
kegagalan sekresi insulin (Buzek, 2008). Berbeda dengan Buzek (2008) yang hanya membagi DM menjadi 2, ADA membagi masalah DM menjadi 4, seperti DM tipe 1, DM tipe 2, diabetes gestasional, DM dengan kondisi atau sindrom lainnya (Smeltzer dkk, 2010). Perkeni (2011) juga mengklasifikasikan DM bukan hanya DM tipe 1, DM tipe 2 dan diabetes gestasional saja. Melainkan, DM tipe lainnya
yang
disebabkan
oleh
berbagai
hal,
antara
lain:
ketidaknormalan genetik fungsi sel β, ketidak normalan genetik kerja insulin, adanya penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati/gangguan produksi hormon, konsumsi obat atau zat kimia, adanya infeksi, ketidaknormalan sistem imun, serta sindrom genetik lain. Bukan hanya itu, DM juga diklasifikasikan berdasarkan tahap intoleransi glukosa (Smeltzer dan Bare, 2000). Klasifikasi DM tersebut, antara lain: 1) Gangguan toleransi glukosa, dianggap sebagai tipe DM dengan kadar gula darah berada diantara yang dianggap sehat dan sakit. Hal tersebut ditandai dengan hasil uji toleransi glukosa oral antara 140 mg/dL dan 200 mg/dL. Kemudian Hasil gula darah puasa sebesar 110 mg/dL dan 126 mg/dL. 2) Gangguan toleransi glukosa terdahulu, tipe ini tidak mengalami gangguan
toleransi
glukosa,
namun
pernah
mengalami
hiperglikemia. 3) Gangguan toleransi glukosa potensial, tidak penah mengalami catatan gangguan toleransi glukosa. Namun, memiliki risiko
11
intoleransi glukosa akibat dari adanya faktor keturunan, pernah melahirkan bayi yang lebih dari 4 kg dan berasal dari ras tertentu.
2. Patofisiologi Diabetes Mellitus a. Diabetes Mellitus Tipe 1 Diabetes tipe ini disebabkan oleh sel beta pankreas. Penghancuran sel beta dapat terjadi akibat dari berbagai faktor, seperti genetis, imunologis dan lingkungan. Orang yang mengidap HLA memiliki kecenderungan untuk mengidap DM tipe 1 (Smeltzer dan Bare, 2000). Sementara itu, kerusakan sel beta pankreas yang terjadi pada DM tipe 1 bukan hanya terjadi karena autoimun, melainkan juga karena masalah idiopatik/tidak diketahui pasti, sehingga menyebabkan pankreas berkurang atau terhenti dalam memproduksi insulin (Pulungan dan Herqutanto, 2009). Kerusakan sel beta dapat berlangsung cepat atau lambat (WHO,1999). Kerusakan sel beta yang cepat biasanya terjadi pada anak, sementara pada dewasa ditemukan kerusakan sel beta yang berlangsung lambat karena dipengaruhi oleh LADA. Kerusakan sel ini dapat mengakibatkan terjadinya ketoasidosis yang menyebabkan meningkatknya kadar Gula Darah Puasa (GDP) yang lama-kelamaan berubah menjadi hiperglikemia kronis.
12
b. Diabetes Mellitus Tipe 2 Diabetes Mellitus tipe ini merupakan yang paling banyak terjadi dibandingkan dengan tipe DM lainnya dengan angka kejadian 90-95% dari seluruh kejadian diabetes (ADA, 2010; Kemenkes, 2005). DM tipe 2 juga dikenal sebagai suatu sindrom heterogen yang dicirikan dengan ketidaknormalan metabolisme karbohidrat dan lemak (Scheen, 2003). Pada mulanya, pendeteksi awal DM tipe 2 ditandai dengan jumlah insulin yang normal, namun tingkat glukosa darahnya tinggi. Kejadian tersebut menandakan bahwa, awal mula terjadinya DM tipe 2 akibat dari adanya resistensi insulin di dalam tubuh. Hal tersebut merupakan penanda bahwa sel-sel sasaran insulin gagal ataupun tidak mampu merespon insulin (Kemenkes, 2005). Bukan hanya adanya sekresi insulin atau resistensi insulin dalam tubuh ataupun keduanya, namun DM tipe 2 memiliki mekanisme patogenis yang khas, antara lain: Penolakan terus menerus pada fungsi sel beta pankreas yang menyebabkan berkurangnya glukagon
dan
sekresi
insulin
resistensi
atau berkurangnya
insulin
periferal
sekresi
menyebabkan
penurunan respon metabolis terhadap insulin (Boada dan Martinez-Moreno, 2013). Hal tersebut menunjukan bahwa, glukagon dan insulin berperan dalam memelihara homeostasis glukosa dalam keadaan normal dalam tubuh.
13
Gejala khas dari DM tipe 2 adalah hiperglikemia yang terjadi akibat dari berkurangnya reaksi intraseluler (Smeltzer dan Bare, 2000). Kemudian insulin tidak mampu membantu glukosa masuk ke dalam sel, sehingga terjadi peningkatan glukosa dalam darah. Peningkatan glukosa darah diakibatkan oleh 4 hal, yaitu: (1) Berkurangnya sekresi insulin pada pankreas, (2) Gangguan penyerapan makanan pada usus, (3) Meningkatkan produksi glukosa hepatik pada hati, dan (4) Menurunnya insulin pada otot yang menstimulasi meningkatknya glukosa. Produksi glukosa hepatik dan meningkatnya glukosa pada otot atau jaringan periferal, akibat dari adanya hiperinsulinemia yang berasal dari pencernaan karbohidrat yang meningkatkan konsentrasi plasma glukosa dan mendorong insulin untuk mengeluarkan sel β pankreas (Ramachandran dkk, 2012).
c. Diabetes Gestasional Diabetes gestasional adalah diabetes yang dialami hanya pada saat masa kehamilan (Smeltzer dan Bare, 2000). Insulin yang diproduksi lebih banyak saat hamil digunakan untuk mempertahankan metabolisme karbohidrat yang normal (Dewi, 2014). Namun, pada penderita diabetes gestasional, tubuh ibu tidak mampu memproduksi insulin lebih banyak.
14
Kondisi tubuh ibu tidak sensitif untuk memproduksi insulin selama kehamilan merupakan akibat dari adanya perubahan sekresi hormon plasenta (Smeltzer dan Bare, 2000). Hormon plasenta ini bertugas untuk mempertahankan kadar gula darah yang masuk ke janin dengan memperlambat kerja hormon insulin pada ibu. Ketika hormon insulin ibu tidak bisa menyeimbangkan jumlah insulin dengan kadar gula darah, maka terjadilah penumpukan glukosa dalam darah (Mianoki dkk., 2013). Sementara itu, bukan hanya hormon plasenta yang dapat mempengaruhi insulin, tetapi esterogen, progesteron dan kortisol juga mempengaruhi glukosa dalam darah (Curtis, 1999). Hormon kortisol tidak mempengaruhi kadar glukosa dalam darah atau insulin secara langsung. Namun, hormon ini hanya menstimulasi terjadinya lipolisis. Selain hormon kortisol, hormon progesteron juga berperan dalam terjadinya diabetes gestasional. Hormon ini dapat mengurangi kemampuan hormon insulin untuk mengurangi produksi glukosa (Dewi, 2014). Hormon lainnya yang mempengaruhi adanya kejadian diabetes kehamilan adalah hormon prolaktin. Hormon ini memiliki sifat yang bertolak belakang dengan insulin. Ketika insulin bertugas untuk mengurangi kadar gula dalam darah, namun prolaktin bertugas meningkatkan kadar gula darah (Dewi, 2014).
15
3. Gejala Diabetes Mellitus Gejala klasik penyakit DM adalah pasien mengalami polidipsi, poliuri dan polifagi (Anies, 2006). Tiap gejala merupakan dampak dari berbagai penyebab, seperti yang dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 2.1 Gejala Diabetes Mellitus dan Penyebabnya Gejala Sering buang air kecil atau poliuri Selalu merasa haus
Selalu merasa cepat lelah
Rasa lelah, pusing, keringat dingin dan sulit berkonsentrasi
Gatal Mudah sakit/ terinfeksi
Penglihatan buram
Penyebab Tingginya kadar gula darah yang harus dikeluarkan lewat ginjal. Seringnya buang air kecil, sehingga membuat tubuh merasa terus kekurangan cairan. Kurangnya glukosa yang masuk kedalam jaringan atau sel. Kadar gula darah yang tinggi tidak bisa masuk kedalam sel karena insulin tidak dapat bekerja dengan semestinya. Menurunnya kadar gula dalam darah. Namun, setelah mengonsumsi gula akan merangkang peningkatan produksi insulin oleh pankreas sehingga dapat menyebabkan hipoglikemik atau kadar gula darah rendah. Kurangnya cairan dalam tubuh, sehingga membuat kulit mengering. Meningkatnya kadar gula dalam darah menyebabkan penurunan fungsi sel darah putih yang mempengaruhi tubuh untuk lebih mudah terinfeksi penyakit. Kurangnya atau adanya perubahan cairan pada mata.
Sumber: Mahendra dkk, 2008
Namun, Anies (2006) menyebutkan diabetes memiliki gejala masing-masing berdasarkan klasfikasinya. Hal tersebut diuraikan seperti tabel berikut: Tabel 2.2 Gejala Penyakit Berdasarkan Tipe-Tipe Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus Tipe 1 Berat badan turun. Penglihatan kabur. Meningkatnya kadar gula dalam darah.
Diabetes Mellitus Tipe 2 Mudah lelah dan mudah sakit. Penglihatan kabur. Luka sulit sembuh. Kaki terasa kebas, geli atau terbakar. Impotensi pada laki-laki. Gangguan syaraf tepi yang menyebabkan kesemutan.
16
Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes Mellitus Tipe 2 Gatal-gatal terutaam pada area ketiak, alat kelamin dan payudara. Gangguan jamur pada reproduksi wanita. Biasanya berat badan meningkat.
Sumber: Anies, 2006
4. Diagnosis Diabetes Mellitus Terdapat beberapa kriteria dalam mendiagnosis kejadian DM. Salah satu caranya adalah dengan melihat gejala-gejala diabetes seperti yang telah dibahas sebelumnya, serta dengan memeriksa kadar gula dalam darah. Apabila hasil kadar gula darah sewaktu lebih dari sama dengan 200 mg/ dL, maka orang tersebut dikatakan mengalami diabetes (Smeltzer dan Bare, 2000). Selain itu, apabila gula darah puasa diukur dengan catatan tidak makan selama 8 jam mendapatkan hasil gula darah lebih dari atau sama dengan 126 mg/dL maka orang tersebut dikatakan juga mengalami diabetes (ADA, 2014). Selain dengan menggunakan gula darah, cara mendiagnosis kejadian
diabetes
juga
dapat
menggunakan
tes
HbA1c
(glukohemoglobin). Apabila hasil tes dibawah 5,7% maka dikatakan normal. Kemudian, seseorang dikatakan mengalami pre diabetes apabila hasil tes tersebut antara 5,7%-6,4%. Apabila hasil tes yang didapatkan lebih dari 6,5% maka orang tersebut dapat positif diabetes (CDC, 2011). HbA1c merupakan cara diagnosis yang paling baru diantara metode diagnosis lainnya (ADA, 2014). Keuntungan dari metode ini dibandingkan dengan yang lainnya antara lain tidak perlu puasa, lebih
17
stabil dan tidak dipengaruhi oleh stres dan penyakit (ADA, 2014). Namun, tes ini juga masih memiliki kelemahan diantaranya tidak semua negara dapat menggunakan tes ini (ADA, 2014). Cara diagnosis ketiga adalah dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Diagnosis ini dilakukan dengan cara pengambilan glukosa darah setelah 8 jam puasa dan diambil kembali 2 jam setelah diberikan minuman kaya glukosa (CDC, 2011). Apabila hasilnya kurang dari 140 mg/dL maka orang tersebut tergolong memiliki gula darah normal (CDC, 2011). Dikatakan mengalami TGT apabila hasil pengukuran gula darah 140- 199 mg/dL (CDC, 2011). Apabila hasil gula darahnya lebih dari sama dengan 200 mg/dL maka dikatakan diabetes (CDC, 2011). Seseorang dengan hasil pemeriksaan gula darah puasa ≥ 126 mg/dL tidak perlu dilakukan pemeriksaan TTGO (ADA, 2005). Selain menggunakan sampel darah, sampel urin pun juga dapat digunakan untuk memeriksa glukosa. Namun, pemeriksaan diabetes dengan urin banyak kekurangannya, diantaranya: 1)
Glukosa yang ada didalam urin tidak dapat mewakili glukosa dalam darah.
2)
Ambang glukosa pada ginjal mulai dari 180 mg/dL hingga 200 mg/dL, jauh dari target tingkat glukosa darah.
3)
Tidak bisa mendeteksi hipoglikemia.
4)
Mudah dipengaruhi oleh asupan obat (seperti: aspirin, vitamin c, dan beberapa antibiotik).
18
Sementara itu, penentuan metode pengambilan data gula darah Riskesdas 2013 yang dilakukan memperhitungkan kelemahan yang mungkin terjadi di lapangan saat pemeriksaan gula darah Riskesdas 2013. Sehingga, pengukuran gula darah dilakukan dengan membagi responden menjadi 2 kelompok terlebih dahulu, yaitu kelompok responden yang berpuasa (tidak makan, merokok atau mengonsumsi apapun selama 8-10 jam) dan kelompok responden yang tidak puasa dengan bagan sebagai berikut:
Puasa
Tidak Puasa
Pemeriksaan GDP
Pemeriksaan GDS
Terdeteksi: 1. GDPT, jika 100-125mg/dL 2. DM, jika ≥ 126 mg/dL
Pemeriksaan TTGO
Terdeteksi: DM, jika ≥200 mg/dL
Terdeteksi: 1. TGT, jika 144-199 mg/dL 2. DM, jika ≥200 mg/dl meskipun GDP <126 mg/dL
Bagan 2.1 Proses Pemeriksaan Gula Darah Riskesdas 2013 5. Dampak Diabetes Mellitus Efek penyakit diabetes ada yang bersifat akut maupun kronis (Mahendra, 2008). Ketoasidosis, koma non-ketosis hipersemolar, dan
19
hiperglikemia merupakan dampak akut dari kejadian DM. Sementara, dampak kronis berupa hiperglikemia kronis yang menyebabkan kejadian mikrovaskular dan makrovaskular yang dapat menimbulkan kerusakan penglihatan, kebutaan, sakit ginjal, gangguan syaraf, amputasi, penyakit jantung dan stroke (Loghmani, 2005). Komplikasi makrovaskular biasanya terjadi akibat perubahan pembuluh darah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal, keras dan terhambat karena adanya penumpukan plak, sehingga darah tidak dapat mengalir dengan lancar (Smeltzer dan Bare, 2000). Komplikasi ini dapat terjadi akibat pengaruh kadar insulin didalam tubuh yang tinggi (Permana, 2009). Komplikasi mikrovaskular yang terjadi akibat tingginya kadar insulin adalah gangguan syaraf. Kadar insulin yang tinggi dan dalam waktu yang lama mengakibatkan dinding pembuluh darah kapiler menjadi lemah dan rusak atau biasa disebut dengan neuropatik diabetes (Ndraha, 2014). Komplikasi ini banyak terjadi pada penderita DM sebanyak 60-70% dari seluruh penderita (Baradero dkk, 2009). Selain itu, disebutkan juga bahwa kejadian neuropatik diabetes yang paling sering terjadi adalah neuropatik perifer dan autonomik yang biasanya ditandai dengan kejadian keram pada bagian kaki atau tangan. Gangguan pada saraf tersebut juga dapat mempengaruhi gangguan pada ginjal atau dikenal dengan istilah nefropati (Ndraha, 2014). Terdapat 25% pasien yang mengidap DM mengalami komplikasi ini. Komplikasi DM terhadap ginjal timbul karena gula darah yang
20
meningkat dan menyebabkan meningkatnya kinerja ginjal, akhirnya membuat ginjal tidak mampu menyaring protein agar tidak keluar lewat urin (Smeltzer dan Bare, 2000). Pada kenyataanya komplikasi akibat penyakit diabetes bukan hanya gangguan pada saraf saja, tetapi diabetes juga dapat menyebabkan kerusakan pada mata. Tingginya kadar gula darah pada mata dapat menyebabkan retinopati, katarak, perubahan lensa, kelumpuhan otot mata, serta glaukoma (Smeltzer dan Bare, 2000; Ndraha, 2014). Komplikasi ini juga banyak dijumpai oleh penderita diabetes sebanyak 90% dari penderita yang tidak mengontrol kadar gula darah. C. Status Gizi 1. Obesitas a. Indeks Masa Tubuh Sebagai Indikator Obesitas Obesitas merupakan ketidaknormalan atau penumpukan lemak yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2006). Selain itu, terdapat risiko
terjadinya
penyakit
yang
berhubungan
dengan
obesitas/peningkatan IMT secara terus menerus (WHO, 2010). Penelitian Wilson dan kolega (2002) membuktikan pada populasi di Amerika bahwa IMT yang lebih dari sama dengan 30 kg/m2 berisiko 1, 85 kali mengalami DM. Sementara, risikonya menjadi lebih kecil pada status gizi lebih. Penelitian di Indonesia juga menunjukan adanya peningkatan jumlah penderita DM bila status gizi semakin mengarah pada status gizi obesitas (Harahap dkk, 2005).
21
Setiap negara menetapkan IMT yang berbeda-beda untuk mengkategorikan status gizi. Indonesia menetapkan IMT bagi orang Indonesia lebih kecil daripada orang Amerika atau ras lainnya dalam mengkategorikan kejadian obesitas (Kemenkes, 2003). IMT yang dikatakan gemuk tingkat ringan atau dikenal dengan istilah overweight apabila nilai IMT 25,1-26,9 kg/m2. Sementara, individu yang mengalami gemuk berat/ obesitas jika memiliki nilai IMT sebesar ≥27 kg/m2 (Kemenkes, 2013). Hasil penetapan nilai IMT oleh Kemenkes didapatkan berdasarkan rekomendasi dari WHO yang berasal dari beberapa studi populasi Asia lain yang dikaitkan dengan angka kesakitan dan kematian (Cheong dkk., 2011). Namun, hasil penelitian lain menyatakan bahwa nilai titik potong IMT yang berisiko terhadap kejadian DM berbeda dengan yang direkomendasikan WHO (Chiu dkk., 2011). Pada populasi Cina nilai titik potong IMT yang berisiko terhadap kejadian hiperglikemia, dislipidemia dan hipertensi adalah 25kg/m2 (Matsuzawa dkk., 2002). Sementara, Malaysia menetapkan nilai titik potong/cut-off point obesitas yang berisiko terhadap kardiovaskular dan DM sebesar 27,5 kg/m2 (MOH, 2004). Hasil studi tersebut membuktikan bahwa setiap etnis memiliki nilai titik potong IMT tersendiri yang mempengaruhi kejadian DM.
22
b. Bukti Epidemiologi Obesitas yang Berkaitan dengan Diabetes Mellitus Populasi di Amerika membuktikan bahwa proporsi orang yang obesitas lebih banyak pada kelompok penderita gangguan glukosa dibandingkan dengan kelompok orang dengan gula darah normal dengan perbandingan proporsi sebesar 54,1% banding 23, 6% (Mohan dkk, 2003). Selain itu, hasil penelitian lainnya menambahkan bahwa obesitas erat kaitannya dengan DM pada usia dewasa
dengan
prevalensi
38,1%
yang
mengalami
DM
(Ghergherechi dan Tabrizi, 2010). Hasil studi kohort di Amerika juga menyatakan bahwa orang yang obesitas memiliki kemungkinan 2,27 kali lebih besar mengalami DM pada laki-laki dan kemungkinan 2,08 kali lebih besar mengalami DM pada perempuan dibandingkan laki-laki dan perempuan yang tidak obesitas (Natalie, dkk., 2013). c. Mekanisme Obesitas Penyebab Diabetes Mellitus Status gizi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan kesehatan
tubuh
seseorang
berkat
asupan
makanan
yang
dikonsumsinya. Status gizi seseorang dapat dikatakan normal, namun dapat pula dikatakan berlebih atau kurang akibat asupan yang tidak sesuai dengan kebutuhannya (Sutomo dan Anggraini, 2010). Pada dasarnya kejadian obesitas mampu berdampak pada kejadian diabetes akibat dari gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berkembang menjadi hiperglikemia (Nugroho, 2006). Setelah makan, konsentrasi asam lemak dalam
23
tubuh akan meningkat dan akan ditranportasi kedalam sel β. Peningkatan asetil KoA didalam sitosil bekerja sesuai kondisi hiperglikemia didalam tubuh. Peningkatan yang terjadi dalam jangka pendek (2-6 jam) akan meningkatkan sekresi insulin dan sebaliknya. Namun, peningkatan yang terjadi dalam jangka panjang (≥48 jam) akan menyebabkan gangguan respon sel β terhadap glukosa. Peningkatan kadar asetil KoA kronis dapat mengurangi masa sel β maupun kematian pada sel β yang berdampak pada berkurangnya produksi insulin dalam tubuh (Dewi, 2007). Sel β merupakan bagian dari pulau Langerhans yang berfungsi untuk mensekresi insulin (Merentek, 2006). Pada umumnya DM terjadi akibat dari resistensi insulin atau sensitivitas insulin yang menurun. Insulin berfungsi memudahkan glukosa masuk kedalam sel untuk diubah menjadi glikogen. Ketika insulin berkurang atau sel-sel target insulin tidak mampu mengenali glukosa, maka pemasukan glukosa dalam sel juga terhambat. Sehingga, meningkatlah kadar gula dalam darah. Pada individu yang mengalami obesitas, mulanya tubuh kurang sensitif terhadap insulin. Hal tersebut mendorong pankreas atau sel β untuk memproduksi insulin lebih banyak. Selain itu, lemak dalam tubuh akan mengeluarkan protein Protein Epithelium Derived Factor (PEDF). Pigmen ini ada didalam aliran darah yang masuk ke otot dan hati yang dapat menghambat sel organ-organ tersebut untuk mengenali insulin. Ketika semakin banyak lemak yang ada dalam
24
tubuh, maka akan semakin banyak PEDF yang terbentuk. Akhirnya, semakin berat kerja pankreas untuk menghasilkan insulin yang berisiko menurunkan fungsi pankreas (Akin dkk, 2012). 2. Obesitas Sentral a. Lingkar Pinggang Sebagai Indikator Obesitas Sentral Obesitas sentral merupakan distribusi penumpukan lemak yang terjadi di daerah abdominal viseral (Leimbergh dan Chon, 1999). Hasil analisis Riskesdas 2007 menyebutkan bahwa dari 89.584 jiwa orang Indonesia di atas 15 tahun memiliki IMT kurus atau dibawah 18,5 kg/m2. Tetapi, 1.251 jiwa diantaranya memiliki LP dengan kategori obesitas sentral. Hasil analisisnya menunjukan terdapat hubungan positif antara IMT dan LP terhadap kejadian DM. Berdasarkan hal tersebut terbukti bahwa IMT saja
tidak cukup
menggambarkan hubungan lemak dan diabetes, karena banyaknya orang yang mengalami obesitas sentral dengan IMT normal atau rendah (Soetiarto dkk, 2010). Obesitas sentral yang disebabkan oleh distribusi lemak pada perut yang berlebihan turut berpengaruh terhadap kejadian DM (Soetiarto dkk, 2010). DECODA (2008) juga menyebutkan bahwa indikator LP lebih berpengaruh terhadap kejadian DM daripada indikator IMT. Namun, hubungannya dipengaruhi juga oleh variabel umur. Orang yang berusia dibawah 50 tahun sangat cocok untuk dilakukan pengukuran LP dibandingkan IMT. Tetapi, LP tidak dapat
25
dijadikan sebagai indikator pengukuran risiko kejadian DM pada orang yang berusia diatas 50 tahun. Meskipun sudah banyak penelitian terkait hubungan LP dengan risiko kejadian diabetes. Namun, hingga saat ini masih belum diketahui penyebab pasti terjadinya maldistribusi total lemak tubuh yang menyebabkan peningkatan lemak intra abdominal (Eckel, 2003). Namun, Sizer dkk (2012) menyatakan ada 4 hal yang menyebabkan perbedaan distribusi lemak tubuh pada tiap individu, yaitu kejadian menopause, merokok, alkohol dan aktivitas fisik (Sizer dkk, 2012). WHO menentukan besar LP yang lebih dari 90 cm pada lakilaki dan lebih dari 80 cm pada perempuan berpengaruh terhadap kejadian diabetes pada populasi di Asia (WHO, 2000). Hasil pengukuran yang menjadi nilai titik potong obesitas sentral didapat berdasarkan LP yang diambil dari bawah tulang rusuk dan tulang panggul. Batas nilai titik potong yang ditetapkan di Indonesia saat ini sesuai dengan rekomendasi WHO (Bantas dkk, 2013). Meskipun WHO menetapkan nilai titik potong LP disamakan pada seluruh populasi di Asia, namun penelitian di Jepang telah merekomendasikan penetapan LP yang dapat mengukur obesitas sentral berdasarkan jumlah asam lemak viseral yang dihubungkan dengan penyakit degeneratif ≥85 cm bagi pria dan ≥90 cm bagi wanita (Matsuzawa dkk., 2007). Selain Jepang, penelitian di
26
Malaysia juga menetapkan titik potong lingkar pinggang sebesar ≥94 cm untuk laki-laki dan ≥ 80 cm untuk wanita (Kee dkk, 2011) b. Bukti Epidemiologi Obesitas Sentral yang Berkaitan dengan Diabetes Mellitus Hasil analisis Riskesdas 2007 menyebutkan bahwa dari 89. 584 jiwa orang Indonesia di atas 15 tahun memiliki IMT kurus atau dibawah 18,5 kg/m2. Tetapi, 1.251 jiwa diantaranya memiliki lingkar pinggang dengan kategori obesitas sentral. Berdasarkan hal tersebut terbukti bahwa IMT saja tidak cukup merepresentasikan hubungan lemak dan diabetes karena banyaknya orang yang mengalami obesitas sentral dengan IMT normal atau rendah (Soetiarto dkk, 2010). Freemantle dkk (2008) menyebutkan bahwa orang yang memiliki LP berlebih dan tergolong obesitas sentral di Inggris berisiko 2,14 kali lebih berisiko terkena DM dibandingkan dengan yang tidak mengalami obesitas sentral. c. Mekanisme Obesitas Sentral Penyebab Diabetes Mellitus Risiko DM meningkat pada individu yang mengalami obesitas sentral daripada obesitas total (Bergman dkk, 2007). Lemak yang ada pada perut akan terlepas menjadi asam lemak bebas dengan metabolisme yang sangat cepat. Asam lemak bebas tersebut menghambat kemampuan hati dalam mengikat dan mengeluarkan insulin. Sedangkan, peningkatan asam lemak bebas menghambat sel otot dalam pengambilan glukosa dan meningkatkan kejadian pengeluaran glukosa pada hati. Jadi, pada orang yang obesitas
27
sentral, selain mengalami hiperinsulinemia juga mengalami kadar gula yang tinggi dalam darah. Selain itu, baik orang yang mengalami obesitas maupun obesitas sentral pasti akan mengalami peningkatan produksi asam lemak bebas yang biasanya disimpan didalam jaringan adiposa (Dandona dkk., 2004). Hal yang membedakan obesitas dan obesitas sentral adalah perbedaan jaringan adiposa yang ada pada perut. Pada obesitas sentral terdapat jaringan adiposa viseral dan adiposa subkutan yang terdiri dari lemak (Ibrahim, 2010). Lemak yang ada pada tubuh akan diubah menjadi asam lemak. Mekanisme perubahan lemak menjadi asam lemak pada perut dimulai di jaringan adiposa subkutan. Asam lemak bebas dalam jumlah normal ditubuh akan bergabung dengan gliserol menjadi trigiserida di adiposit dalam jaringan adiposa subkutan (Freedland, 2004). Namun, saat asam lemak sudah terlalu banyak dan jaringan subkutan tidak mampu membentuk adiposit baru, maka masa jaringan viseral adiposa akan bertambah (Bjorntrop, 2001). Hal tersebut menjadi perhatian mengingat jaringan adiposa viseral dipercaya dapat menghasilkan asam lemak bebas lebih banyak dibandingkan dengan jaringan adiposa subkutan (Ibrahim, 2010). Jaringan adiposa pada obesitas maupun obesitas sentral menghasilkan hormon adipokin yang terdiri dari TNF-α, leptin, resistin, interleukin-6 dan adiponektin (Merentek, 2006). Selain itu,
28
RBP4 juga merupakan adipokin baru yang menyebabkan terjadinya DM berasosiasi dengan obesitas (Dewi, 2007). Merentek (2006) juga menjelaskan bahwa TNF-α dapat meningkatkan lipogenesis didalam hati, menurunkan aktivitas lipoprotein lipase, dan menyebabkan gangguan ambilan glukosa yang dirangsang insulin pada jaringan. Ditemukan hubungan yang signifikan antara TNF-α dan resistensi insulin dengan hasil nilai uji spearman sebesar 0,522 (Swaroop dkk, 2012). Selain TNF-α, leptin juga merupakan hasil dari hormon adipokin yang berperan dalam pengaturan nafsu makan dan pengeluaran energi (Poretsky, 2010). Kerja dari hormon ini melalui hipotalamus. Tingkat leptin berkorelasi positif dengan masa lemak tubuh (Merentek, 2006). Pada kondisi normal, penyimpanan lemak didalam jaringan adiposa sedikit, maka leptin akan mengirimkan sinyal ke hipotalamus untuk meningkatkan nafsu makan. Sebaliknya, jika penyimpanan lemak di jaringan adiposa tinggi, maka leptin akan mengirimkan sinyal ke hipotalamus untuk menurunkan nafsu makan. Sementara, pada tubuh yang mengalami kelebihan berat badan, hormon ini tidak mampu mengirimkan sinyal dengan semestinya ke hipotalamus (Indra, 2006). Hubungan antara leptin dan diabetes adalah kadar leptin yang rendah akan menyebabkan kadar insulin dalam darah tinggi yang bersifat akut (Masuo dkk, 2005). Sementara, konsentrasi leptin
29
meningkat ketika terjadi hiperinsulinemia kronis dan resistensi insulin (Masuo dkk, 2005). Resistin juga merupakan bagian dari hormon adipokin yang berkorelasi positif dengan jumlah lemak dalam tubuh terutama lemak perut (Berger, 2001; Cherneva dkk, 2013). Resistin dikatakan dapat menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia (Ragwala dkk, 2004). Tingginya resistin kronis dalam tubuh dapat menyebabkan hiperglikemia puasa dan intoleransi glukosa (Rangwala dkk, 2004). Cherneva dkk (2013) juga menyebutkan semakin tinggi resistin dalam tubuh, maka semakin besar kemungkinan terjadinya diabetes. Hormon lainnya adalah interleukin-6. Interleukin-6 juga berhubungan positif dengan nilai IMT. Hormon ini dianggap sebagai hormon yang berperan dalam meningkatkan keparahan dalam komplikasi pada penderita DM tipe 1, namun hingga saat ini pernyataan tersebut masih belum jelas kebenarannya (Kristiansen dan Mandrup-Poulsen, 2005). Meskipun demikian, Wegner dkk (2013) membuktikan bahwa adanya korelasi
positif antara
konsentrasi interleukin-6 dengan plasma glukosa darah puasa. Selain itu, jika hormon ini dihambat maka akan meningkatkan sensitivitas insulin tubuh (Schultz dkk, 2010). Hormon ini juga diyakini sebagai penyebab dari terjadinya patogenesis kejadian resisitensi insulin pada diabetes tipe 2 (Schultz dkk, 2010). Liu dkk (2007) menyebutkan bahwa adiponektin merupakan hormon yang dapat dipengaruhi oleh asupan energi. Keduanya
30
memiliki hubungan korelasi yang negatif. Adiponektin berpengaruh terhadap resistensi insulin didalam tubuh. Ketika kalori berlebih didalam tubuh, AdipoR2 (Reseptor adiponektin pada hati dan otot) akan memancing tubuh untuk mengalami resistensi insulin sedang. Kemudian keadaan tersebut akan meningkatkan risiko kejadian DM tipe 2. Ghoshal dan Bhattacharyya (2015) juga mengatakan bahwa adiponektin dalam jumlah normal bertugas untuk 2 hal, yaitu meningkatkan oksidasi asam lemak dan meningkatkan sensitivitas insulin. Ketika kadar adiponektin kurang, maka tubuh akan menglami penurunan oksidasi asam lemak yang menyebabkan meningkatnya risiko obesitas. Saat tubuh sudah mengalami obesitas, maka konsentrasi asam lemak dalam darah meningkat. Kemudian, timbul sinyal rusaknya insulin yang menyebabkan menurunnya absorbsi dan metabolisme glukosa pada otot dan hati. Hal tersebut menyebabkan resistensi insulin yang menyebabkan meningkatnya insulin pada darah. Akhirnya adiponektin menyebabkan DM tipe 2.
D. Asal Mula Penetapan Titik Potong Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang di Indonesia Penentuan titik potong IMT di Indonesia didapatkan berdasarkan ketetapan WHO. Pada mulanya, ditentukan hasil batas ambang kategori normal pada wanita jika IMT nya 18,7-23,8 kg/m2. Sementara, ambang batas bagi pria dengan kategori normal jika IMT nya 20,1-25 kg/m2 (Kemenkes, 1994). Namun, akhirnya WHO menetapkan kategori kurus
31
tingkat berat menggunakan ambang batas pria dan kategori gemuk tingkat berat menggunakan ambang batas wanita. Tetapi, nilai batas ambang titik potong di Indonesia berbeda dengan ketetapan WHO, namun disamakan dengan populasi Cina dan Taiwan (Harahap dkk, 2005). Hingga hasil Riskesdas 2013, dilakukan perubahan terhadap kategori status gizi berdasarkan IMT kelompok dewasa yang dikelompokan dari 5 kelompok, berubah menjadi 4 kelompok dengan sedikit perubahan pada nilai ambang batasnya (Kemenkes, 2013). Selain itu, penetapan LP dan IMT orang Indonesia disamakan dengan populasi penduduk India (WHO, 2008).
E. Tes Diagnostik Tes Diagnostik adalah suatu uji yang dilakukan dengan tujuan menegakkan diagnosis penyakit atau menyingkirkan penyakit, sebagai alat skrining, mengindikasi komplikasi penyakit serta studi epidemiologi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). Tes ini dilakukan dengan dasar cara diagnostik penyakit yang baru bersifat lebih nyaman dan aman untuk pasien, lebih mudah dilakukan dan lebih murah (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). Tujuan-tujuan tersebut dapat terwujud dengan hasil uji diagnostik berupa nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga dan ROC (Receiver Operator Curve). Berdasarkan hasil analisis uji diagnostik yang cenderung stabil, mudah dan memiliki standar pasti. Maka dalam penelitian ini digunakanlah hasil analisis diagnostik berupa RKP.
32
1.
Rasio kemungkinan Positif Titik Potong Hasil rasio kemungkinan positif merupakan salah satu parameter kekuatan uji diagnostik yang tidak dipengaruhi prevalensi. Dahlan (2009) menyatakan uji diagnostik dilakukan dengan tujuan mendapatkan nilai diagnostik yang lebih tepat dari yang sudah ada. Selain itu, rasio kemungkinan dimanfaatkan untuk melihat kemungkinan seseorang dengan hasil tes positif benar-benar mengidap penyakit dengan melihat perbandingan antara hasil positif pada kelompok positif dan hasil positif pada kelompok negatif (Dahlan, 2009).
2. Langkah Penentuan Kekuatan Titik Potong Titik potong adalah nilai antara batas normal dan abnormal (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). Perhitungan kekuatan nilai titik potong/cut-off point dapat dilihat dari nilai rasio kemungkinan yang membuktikan baik atau tidaknya hasil diagnostik. Nilai hasil uji ini mulai dari 0 sampai bilangan tak terhingga. Hasil diagnostik dikatakan baik apabila nilai rasio kemungkinan positif >10. Nilai rasio kemungkinan positif didapatkan dengan rumus a : (a+c)/b : (b+d) atau sensitivitas: (1-spesifisitas). Selain itu, Grimes dan Schulz (2005) menyatakan bahwa nilai rasio kemungkinan positif memiliki makna yang berbeda pada setiap tingkatan
hasilnya.
Nilai
1
menggambarkan
tidak
adanya
33
kemungkinan hasil tes dalam memprediksi penyakit, karena tidak dapat membedakan antara yang memiliki penyakit dan tidak. Singkatnya, nilai 1 didapatkan karena persentase antara yang sakit dan tidak sakit sama besar. Jika nilai RKP 1,0 keatas menandakan bahwa hasil uji tersebut memiliki efek pada penyakit, meskipun sangat kecil. Sementara, nilai RKP 2-5 menggambarkan hasil uji yang memiliki efek kecil terhadap penyakit. Jika, nilai 5-10 maka hasil uji memiliki kecenderungan tingkat sedang terhadap penyakit. Terakhir, jika nilai >10 maka uji tersebut memiliki kecenderungan sangat besar terhadap kejadian penyakit. Sehingga, dapat disimpulkan semakin besar nilai RKP makan semakin baik cut-off point/titik potong tes tersebut dalam melihat penyakit.
F. Faktor Risiko Lain Penyebab Diabetes Mellitus Penyakit DM bukan hanya menjadi faktor penyebab timbulnya berbagai penyakit, tetapi penyakit ini juga timbul akibat dari berbagai faktor. Faktor-faktor yang berisiko menyebabkan DM adalah keturunan, usia, ras, jenis kelamin, asupan makan, konsumsi makan berisiko, merokok, konsumsi alkohol dan aktifitas fisik (Spollet, 2006; Smeltzer dan Bare, 2000; Budiarto dan Anggraini, 2001). Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Riwayat Keluarga atau Keturunan Diabetes merupakan penyakit metabolik yang disebabkan oleh gen, perilaku dan lingkungan (Buzek, 2008). Meskipun
34
dahulunya, DM tipe 2 dikenal sebagai penyakit yang bukan disebabkan oleh keturunan, tetapi tidak untuk saat ini. Dewasa ini, banyak penelitian yang membuktikan bahwa seseorang yang memiliki riwayat keluarga diabetes berisiko 3 kali lebih besar mengalami DM tipe 2 dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga diabetes (WHO, 2005). Pada beberapa studi menunjukan bahwa ayah lebih besar kemungkinan untuk menurunkan DM tipe 1 pada anaknya daripada ibu yang mengalami diabetes. Studi menunjukan bahwa ayah yang mengalami DM tipe 1 berisiko menurunkan penyakit pada anaknya sebesar 2-4 kali (Hirschorn, 2003). Berbeda dengan DM tipe 1, ibu yang mengalami diabetes saat kehamilan berisiko lebih tinggi menyebabkan keturunannya mengalami DM tipe 2 dibandingkan dengan bapak (Simeoni dan Barker, 2009). Selain itu, ibu yang mengalami DM pada usia kurang dari 50 tahun berisiko 9,3 kali menurunkan diabetes melitus tipe 2 pada keturunannya. Sementara, ayah hanya berisiko menurunkan DM tipe 2 sebesar 5,3 kali (Meigs dkk, 2000). 2. Usia Usia merupakan salah satu faktor risiko yang berperan dalam perkembangan kejadian DM (Ekpenyong dkk, 2012). Semakin meningkatnya usia maka semakin meningkat prevalensi kejadian diabetes (Tripathy dkk, 2012). Kejadian DM tipe 1 lebih banyak terjadi pada anak-anak, namun tidak menutup kemungkinan DM tipe 1
35
juga dapat terjadi pada usia remaja (Olroyd dkk, 2005). Sementara itu, kejadian DM tipe 2 lebih sering didiagnosis pada usia lebih dari 40 tahun. Akan tetapi, adanya faktor perubahan demografis saat ini membuat diabetes tipe 2 juga sering didiangnosis pada kalangan remaja (Singh dkk, 2004). Penelitian lain juga menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian diabetes. Studi yang dilakukan di Arab Saudi pada masyarakatnya dengan rentan usia 30-70 tahun membuktikan bahwa, semakin tua usia seseorang, maka semakin besar kemungkinan untuk terkena diabetes. Penelitian tersebut menunjukkan penderita diabetes pada kelompok usia 30-39 tahun sebanyak 24,2 %, sementara untuk kelompok usia 40-49 tahun sebesar 38%,
pada
kelompok usia 50-59 tahun sebesar 49,5%, dan pada kelompok usia 60-70 tahun sebesar 50,3% (Al-Nouzha dkk, 2004). Bukan hanya itu, pada penelitian di Nigeria dan Tanzania pada kelompok usia 18-60 diketahui bahwa semakin tua usia seseorang maka berisiko 2 kali lebih besar untuk terkena penyakit diabetes. Berdasarkan penelitian yang sama juga ditunjukan bahwa rata-rata usia yang mengalami DM sekitar usia 50 tahun pada wanita maupun pria (Ekpenyong, 2012). Selain itu, penelitian terhadap pasien di rumah sakit pusat jantung Singapura membuktikan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan kejadian diabetes terhadap kematian, dengan risiko 1,44 lebih tinggi dialami oleh wanita yang berusia 22-59 tahun daripada laki-laki pada usia yang sama (Gao dkk, 2015).
36
Bukan hanya jenis kelamin yang mempengaruhi hubungan antara usia dengan diabetes. Namun, ternyata kondisi negara juga mempengaruhi kejadian penyakit ini. Pada negara maju biasanya penderita penyakit diabetes dimulai saat usia diatas 65 tahun. Sementara penderita diabetes di negara berkembang sudah ada pada usia 45-65 tahun (Tripathy dkk., 2012). 3. Ras DM tipe 1 sering dialami oleh ras Amerika, namun sedikit terjadi pada populasi Asia (Longhmani, 2005). Sedangkan, DM tipe 2 dialami oleh ras Afrika-Amerika, Hispanik, asli Amerika dan ras Asia / Kepulauan Pasifik (Longhmani, 2005). Angka kasus baru (per 100.000 per tahun) pada populasi yang berusia 15-19 tahun sebesar 49,4 kasus pada ras asli Amerika, 22,7 kasus pada ras Asia/ Kepulauan Pasifik, sebesar 19,4 kasus pada ras Afrika Amerika, 17 kasus pada ras Hispanik dan 5,6 kasus baru pada ras Amerika yang berkulit putih. Orang Asia adalah ras yang rentan dengan kejadian diabetes, termasuk ras pada orang Indonesia (Oktaviana dan Budiantara, 2011). Ras berhubungan dengan diabetes karena adanya gen yang berisiko tinggi terhadap obesitas ketika terpapar kehidupan modern (Ramachandran dkk, 2012). 4. Jenis Kelamin DM tipe 1 dan DM tipe 2 juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Terdapat hasil uji yang menyatakan bahwa diabetes tipe 1
37
lebih banyak dialami oleh laki-laki. Hasil yang konstan menunjukan bahwa laki-laki juga lebih banyak mengalami DM tipe 2 dari pada perempuan dengan rasio 3:2 (Galle dan Gillespie, 2002). Hasil gula darah puasa pada populasi Cina dan Jepang menunjukan bahwa banyak laki-laki yang mengalami diabetes dibanding perempuan. Namun, berbeda dengan populasi di India yang menyatakan bahwa diabetes lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan lakilaki (DECODA, 2003). Hirschorn (2003) menyatakan bahwa memang sedikit hasil studi yang menyebutkan bahwa gen menyebabkan penyakit pada kelompok wanita. Faktor gen yang lebih mempengaruhi kejadian penyakit pada pria, termasuk kejadian penyakit diabetes. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa wanita lebih sedikit yang terkena diabetes sekalipun pada kelompok lansia. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya hormon esterogen yang mampu melindungi tubuh dalam perkembangan DM tipe 2 pada wanita. Selain itu, esterogen juga membuat tubuh
lebih sensitif terhadap insulin dan membantu
homeostasis glukosa (Verma dkk, 2006). 5. Asupan Makan Hingga saat ini, baik lingkungan atau genetik yang menjadi penyebab kejadian diabetes masih menjadi perdebatan (Mohan, 2004). Namun, model asupan makan yang diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya DM akan dijelaskan sebagai berikut:
38
a. Konsumsi Makanan/Minuman manis Konsumsi makanan/ makanan tinggi gula berhubungan dengan meningkatnya risiko DM. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa hubungan konsumsi makanan/minuman tinnggi gula tidak dapat langsung menjadi penyebab DM, karena asupan gula berpengaruh terhadap kejadian obesitas terlebih dahulu (Basu dkk., 2013). Meskipun bukan menjadi faktor penyebab langsung kejadian
DM,
namun
suatu
penelitian
menyatakan
makanan/minuman manis yang dikonsumsi lebih dari sama dengan 1 kali lebih berisiko 2 kali lebih besar menyebabkan DM dibandingkan dengan yang mengonsumsi 1 kali dalam sebulan (Schultze dkk., 2004). b. Konsumsi Makanan Berlemak Jumlah kualitas lemak yang dimakan mempengaruhi toleransi glukosa dan sensitivitas insulin (Steyn dkk, 2004). Toleransi glukosa akibat asupan lemak didasari oleh beberapa mekanisme, diantaranya penurunan pengikatan insulin terhadap reseptor, transportasi glukosa terganggu, menurunkan proporsi glikogen sintase dan akumulasi penyimpanan trigliserida dalam otot (Steyn dkk, 2004). Percobaan yang dilakukan terhadap tikus yang diberikan makanan tinggi lemak (58% dari energi), membuktikan bahwa terdapat peningkatan glukosa darah sebanyak 1 mmol/l dalam satu minggu dan diikuti dengan peningkatan insulin (Winzell dan Ahre´n, 2004).
39
Data menyebutkan bahwa peningkatan lemak terutama lemak jenuh banyak berasal dari konsumsi daging yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap peningkatan berat badan (Adeghate dkk, 2006). Suatu hasil penelitian menyebutkan asupan daging olahan sebanyak 52 g/hari juga berhubungan positif dengan kejadian DM (Steinbrecher dkk , 2010). 6. Merokok Merokok juga dapat mempengaruhi kejadian penyakit DM. Orang yang merokok berisiko 30%-40% lebih besar mengalami DM daripada yang tidak merokok (CDC, 2014). Rokok menyebabkan diabetes akibat dari zat pada rokok yang dapat meningkatkan konsentrasi hormon kortisol yang berfungsi untuk meningkatkan kadar gula darah dalam tubuh (CDC, 2014). Willi dkk (2007) juga menyebutkan mantan perokok atau yang tidak pernah merokok, perokok aktif atau perokok pasif memiliki risiko terhadap kejadian diabetes mellitus tipe 2. Tetapi tingkat risikonya lebih kecil daripada yang menggunakan rokok. 7. Konsumsi Alkohol Mekanisme alkohol dapat menyebabkan adanya diabetes karena
kinerjanya
yang
mengambat
glukoneogenesis
dan
glukogenolisis. Konsumsi 48 g alkohol atau setara dengan 4 gelas alkohol mampu menurunkan glukoneogenesis hepatik. Namun, apabila konsumsi alkohol disertai dengan makanan, maka akan menyebabkan peningkatan glukosa darah (Van de Wiel, 2004). Selain
40
itu, ditemukan juga bahwa orang yang mengonsumsi alkohol lebih dari 21 kali/minggu, maka berisiko 1,5 kali mengalami DM jika dibandingkan dengan orang yang mengonsumsi alkohol ≤ 1 kali (Kao dkk, 2001). 8. Aktivitas Fisik Salah satu faktor gaya hidup yang mampu menyebabkan meningkatnya risiko DM adalah aktivitas fisik (Hu dkk., 2001). Pada penelitian tersebut juga menyebutkan risiko yang rendah terhadap kejadian diabetes jika melakukan aktivitas fisik berat atau sedang minimal satu setengah jam per hari. Hu dkk (2001) juga menyebutkan bahwa aktivitas fisik minimal dilakukan setengah jam per hari masih berisiko satu kali menyebabkan diabetes daripada yang tidak melakukan aktivitas fisik, semakin lama waktu beraktivitas maka semakin kecil resiko terkena diabetes maupun. Aktivitas fisik bukan hanya berhubungan dengan olah raga tapi juga dihubungkan tentang gaya hidup santai/ sedentary. Hu dkk (2003) menyebutkan bahwa kegiatan lama duduk selama satu minggu dapat mempengaruhi kejadian DM tipe 2. Hasilnya menunjukan bahwa jika mengabiskan waktu duduk selama 0-1 jam masih memiliki risiko 1 kali untuk terkena DM tipe 2. Semakin lama seseorang menghabiskan waktu untuk duduk maka risiko nya akan semakin besar. Orang yang menghabiskan lebih dari 40 jam/minggu untuk duduk berisiko 1,98 kali terkena diabetes mellitus. Aktivitas fisik
41
yang dikatakan dapat mencegah kejadian penyakit tidak menular jika dilakukan 30 menit dalam 3-5 kali seminggu (Kemenkes, 2012).
G. Kerangka Teori Obesitas merupakan suatu keadaan penumpukan jumlah lemak yang berlebih didalam tubuh (James dan Linton, 2009). Obesitas yang diukur menggunakan IMT dan obesitas sentral yang diukur menggunakan LP berpotensi menyebabkan penyakit degeneratif (WHO, 2000). Selain itu, obesitas dan obesitas sentral merupakan faktor penyebab DM (Astrup dan Finer, 2000). Sementara, DM juga dipengaruhi oleh faktor yang dapat dimodifikasi (merokok, konsumsi alkohol, asupan makan, serta aktivitas fisik kurang) dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dan ras) (Kemenkes, 2014). Berdasarkan gabungan teoriteori tersebut maka didapatkan kerangka teori sebagai berikut: Faktor yang dapat dimodifikasi: 1. IMT 2. LP 3. 4. 5. 6.
Merokok Konsumsi Alkohol Asupan Makan Aktivitas Fisik
Diabetes Mellitus
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi: 1. 2. 3. 4.
Usia Jenis Kelamin Riwayat Keluarga Ras
Sumber : Adaptasi Astrup dan Finer (2000), WHO (2000) dan Kemenkes (2014) Bagan 2.2 Kerangka Teori
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep Faktor yang dapat dimodifikasi: 1. IMT 2. LP 3. 4. 5. 6.
Merokok Konsumsi Alkohol Asupan Makan Aktivitas Fisik
Diabetes Mellitus
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi:
1. 2. 3. 4.
Usia Jenis Kelamin Riwayat Keluarga Ras
Ket: Analisis RKP dilakukan pada IMT terhadap Diabetes Mellitus dan LP terhadap Diabetes Mellitus dengan atau tanpa menyertakan faktor risiko lain.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Seluruh variabel yang ada pada kerangka teori diteliti kecuali riwayat keluarga, ras dan konsumsi alkohol. Mengingat bahwa riwayat keluarga dan konsumsi alkohol tidak diteliti dalam Riskesdas 2013. Selain itu, variabel ras tidak dilteliti karena seluruh sampel Riskesdas 2013 adalah orang Indonesia.
42
43
B. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No.
Variabel
1.
Diabetes Mellitus
1.
Indeks Masa Tubuh
2.
Lingkar Pinggang
3.
Merokok
Definisi Operasional
Alat Ukur
Variabel Dependen Penyakit yang ditandai dengan kadar Form BM 04 dan gula darah puasa atau gula darah 2 jam kuesioner B14 setelah pembebanan dengan 4 gejala khas DM (Riskesdas, 2013) Variabel Independen Hasil pengukuran dari berat badan dalam Kuesioner kilogram dibagi tinggi badan kuadrat Riskesdas dalam senti meter RKD13.IND No (Riskesdas, 2013) K01 dan K02 Hasil pengukuran dari melingkari Kuesioner pinggang dengan penentuan titik tengah Riskesdas antara tulang rusuk paling bawah dan RKD13.IND No. pangkal paha K04 (Riskesdas, 2013) Kegiatan merokok responden hingga saat Kuesioner pengambilan data (1 bulan terakhir) Riskesdas (Riskesdas, 2013) RKD13.IND No G08
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Melihat hasil GDP dan 1= DM GD2PP (Gula Darah 2 2=Tidak DM Jam Paska Pembebanan)
Ordinal
Melihat hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan dalam kuesioner Melihat hasil pengukuran lingkar pinggang dalam kuesioner
1=Berisiko 2=Tidak berisiko
Ordinal
1=Berisiko 2=Tidak berisiko
Ordinal
Melihat wawancara kuesioner
hasil 1=Merokok pada 2=Tidak merokok
Nominal
44
No.
Variabel
4.
Asupan makan
5.
Aktivitas Fisik
6.
Usia
7.
Jenis Kelamin
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Frekuensi asupan makanan/minuman manis (minuman soda, minuman buah kemasan, kopi/teh, dan kue manis) dan makanan berlemak. (Riskesdas, 2013) Kegiatan menggerakkan badan yang dilakukan terus menerus dalam satu waktu. (Riskesdas, 2013)
Kuesioner Riskesdas RKD13.IND G27-G28
Melihat hasil wawancara pada No. kuesioner
1= Berisiko 2=Tidak berisiko
Kuesioner Riskesdas RKD13.IND G16-G22
Melihat hasil wawancara pada No. kuesioner
1=Berisiko 2=Tidak berisiko
Lama hidup responden hingga saat pengambilan data Riskesdas 2013 dalam satuan tahun. Perbedaan seks yang didapatkan sejak lahir dan dibedakan antara laki-laki dan perempuan
Kuesioner RKD13.RT B4K7 Kuesioner RKD13.RT B4K4
Melihat hasil wawancara pada kuesioner Melihat hasil wawancara pada kuesioner
Skala Ukur Ordinal
Ordinal
1=>44 tahun Ordinal 2=15-44 tahun 1=Laki-laki 2=Perempuan
Nominal
C. Hipotesis Penelitian 1. Titik potong IMT yang baik bagi orang Indonesia untuk memprediksi DM adalah >23 kg/m2. 2. Titik Potong LP dengan RKP terbaik bagi orang Indonesia dan berjenis kelamin perempuan untuk memprediksi DM adalah ≥ 80cm. 3. Titik Potong LP dengan RKP terbaik bagi orang Indonesia dan berjenis kelamin laki-laki untuk memprediksi DM adalah ≥ 81 cm.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah potong lintang dengan uji diagnostik. Dilakukan uji potong lintang karena data variabel dependen dan independen didapatkan dalam satu waktu. Sementara, uji diagnostik penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keakuratan nilai titik potong IMT dan LP yang telah ditetapkan di Indonesia yang pada akhirnya digunakan untuk keperluan prediksi kejadian DM. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan data hasil Riskesdas 2013 yang dikumpulkan pada bulan Mei-Juni 2013 yang dilaksanakan diseluruh Indonesia. Sementara, uji diagnostik ini dilakukan pada Juni-November 2015. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Keseluruhan populasi yang ada dalam penelitian ini adalah seluruh anggota rumah tangga di Indonesia yang diambil sampel darah dan dilakukan pemeriksaan glukosa sebanyak 49.931 jiwa. 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi yang berusia 15 tahun keatas. Penetapan sampel dengan usia mulai dari 15 tahun karena hasil Riskesdas 2013 menyatakan bahwa penyandang DM di Indonesia dimulai
45
46
dari usia 15 tahun. Tahapan pengambilan sampel yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Sampel Blok Sensus Blok sensus dipilih oleh Badan Pusat Statistik dengan target sebanyak 12.000. Namun, sebanyak 11.986 blok sensus yang berhasil dikunjungi. 2) Sampel Rumah Tangga Adapun jumlah rumah tangga yang terpilih sebanyak 294.959 dari 300.000 rumah tangga yang ditargetkan dari 11.986 blok sensus yang berhasil dikunjungi. 3) Sampel Anggota Rumah Tangga Jumlah sampel anggota rumah tangga sebanyak 1.027.739 dari 1.105.593 rumah tangga yang ditargetkan. Terdapat 77.830 anggota rumah tangga yang tidak berhasil dikumpulkan informasinya karena tidak ada dilokasi saat pengumpulan data. Beberapa anggota rumah tangga kemudian terpilih untuk mengikuti tes pengecekan gula darah sesuai dengan yang telah ditetapkan BPS. Sementara itu, alur pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut:
47
Populasi Awal (usia 15 tahun keatas dan dilakukan pemeriksaan gula darah): 38.136 Jiwa
Eksklusi Hamil: 498 Jiwa Populasi dengan eksklusi penduduk yang hamil : 37.638 Jiwa
Eksklusi Diet: 443 Jiwa Populasi dengan eksklusi penduduk yang hamil dan diet : 37.195 Jiwa
Eksklusi Obat: 222 Jiwa
Populasi dengan eksklusi penduduk yang hamil, diet dan mengonsumsi obat :
36.973 Jiwa
Eksklusi Injeksi Insulin: Populasi sudah dieksklusi penduduk yang hamil, diet,
3 Jiwa
mengonsumsi obat antidiabetik dan melakukan injeksi insulin :
36.970 Jiwa
Eksklusi missing LP dan IMT: Populasi dengan eksklusi penduduk yang hamil, diet dan mengonsumsi obat :
1037 Jiwa
35.933 Jiwa
Eksklusi GDS: Populasi yang melakukan pengecekan gula darah lengkap (GDP dan GD2PP) :
27.321 Jiwa
Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel
8612 Jiwa
48
Kriteria Inklusi pada sampel, diantaranya: a) Usia mulai dari 15 tahun. b) Melakukan pengambilan spesimen darah. c) Dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Kriteria Eksklusi pada sampel, adalah : a) Responden yang sedang hamil. Hal tersebut dieksklusikan karena responden yang hamil dapat berpengaruh terhadap besar LP responden maupun IMT, tapi besar IMT dan LP tersebut bukan disebabkan karena adanya penumpukan lemak, melainkan karena adanya janin. b) Melakukan pengendalian diabetes dengan diet. Hal tersebut dikarenakan orang yang melakukan diet biasanya berusaha mengurangi asupan makan dengan mengendalikan asupan zat gizi diantaranya lemak dan karbohidrat. Ketika sudah melakukan diet biasanya kondisi obesitas atau obesitas sentral dalam tubuh dapat dikendalikan. Sehingga, hal tersebut dapat berpengaruh terhadap IMT maupun LP. c) Melakukan pengendalian diabetes dengan mengonsumsi obat anti diabetik. Hal tersebut dikarenakan obat anti diabetik berpengaruh terhadap kadar gula darah seperti halnya melakukan injeksi insulin. d) Melakukan pengendalian diabetes dengan injeksi insulin. Hal tersebut dikarenakan injeksi insulin dapat mempengaruhi kadar gula dalam darah. Padahal, berdasarkan kepentingan penelitian ini diperlukan gula darah yang tidak dikendalikan.
49
e) Responden yang tidak mempunyai data LP dan IMT. Hal tersebut dikarenakan variabel LP dan IMT merupakan variabel utama dalam penelitian ini. f) Responden yang tidak melakukan pengecekan darah lengkap. Hal tersebut dikarenakan penelitian ini ingin mengukur kekuatan IMT dan LP dalam memprediksi DM. Sehingga, harus dilakukan pengukuran pada responden yang sama. Sementara, responden yang dianalisis tidak akan sama ketika memasukan reponden yang melakukan GDS. Karena individu yang melakukan GDS tidak melakukan pemeriksaan GDP dan GD2PP. D. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sekunder hasil Riskesdas 2013. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis guna
mengevaluasi nilai titik potong/cut-off point IMT dan LP orang Indonesia terhadap kejadian DM. Data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan data yang telah dikumpulkan dalam Riskesdas 2013. Data individu tersebut berupa jenis kelamin dan usia. Selain data tersebut, diperlukan pula data diantaranya : 1. Diabetes Mellitus Diabetes mellitus merupakan variabel dependen dalam penelitian ini. Data terkait DM dapat dilihat dari kuesioner Riskesdas RKD13.IND pada kolom B, nomor B12, B13, dan B14. Pada kuesioner tersebut menanyakan tentang responden yang mengidap DM yang pernah didiagnosis sebelumnya atau berdasarkan gejala klinis. Selain itu, juga
50
diperlukan hasil klinis pengukuran spesimen darah dengan keterangan yang diperoleh dari kolom O.01 dan dilakukan analisis kadar gula darah terhadap spesimen tersebut. 2. Indeks Masa Tubuh Indeks Masa Tubuh merupakan variabel independen dalam penelitian ini. Data untuk variabel ini didapat dari kuesioner Riskesdas RKD13.IND pada kolom K, nomor K01 dan K02. Pada kolom K01 menyatakan berat badan dan pada kolom K02 menyatakan tinggi badan. 3. Lingkar Pinggang Lingkar pingang merupakan variabel independen dalam penelitian ini. Informasi terkait variabel ini didapat dari kuesioner Riskesdas RKD13.IND pada kolom K, nomor K04 yang memberikan informasi terkait besaran LP pada responden. 4. Kebiasaan Merokok Informasi terkait variabel ini dalam kuesioner Riskesdas terdapat pada RKD13.IND G08A dan G08B. Pertanyaan pada kuesioner yang digunakan adalah banyaknya frekuensi merokok setiap harinya. 5. Aktivitas fisik Informasi
terkait
variabel
ini
terdapat
dalam
kuesioner
RKD13.IND mulai dari G16 sampai G21. Pertanyaan pada kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe aktivitas fisik yang dilakukan dan lamanya dalam satu minggu.
51
6. Asupan Makan Informasi
terkait
variabel
ini
terdapat
dalam
Kuesioner
RKD13.IND mulai dari G27 hingga G28. Pertanyaan pada kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe makanan yang sering dikonsumsi dan frekuensi konsumsinya dalam satu minggu.
E. Pengolahan Data Setelah data dikumpulkan, dilakukanlah pengolahan data dengan tahapan sebagai berikut : 1) Filter Tahapan ini merupakan tahapan penyaringan data guna mengetahui data yang penting untuk keperluan penelitian dari semua informasi yang didapatkan dari kuesioner Riskesdas 2013. Variabel yang diambil dari kuesioner Riskesdas 2013 adalah variabel hasil gula darah, hasil pengukuran LP, hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan, usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, makanan berisiko, keterangan kehamilan, penyakit DM dan keterangan mengendalikan kadar gula darah. 2) Cleaning Tahapan pembersihan guna mengetahui responden yang memiliki data kurang lengkap. Setelah itu dapat ditentukan sampel yang digunakan dalam penelitian. Pada data sekunder yang didapatkan, ditemukan data missing pada variabel IMT dan LP.
52
3) Recoding Melakukan perubahan data dengan mengkodekan ulang dari yang ada sebelumnya. Adapun variabel yang dilakukan koding ulang dari data set adalah: a. DM, yang sebelumnya berupa data numerik (hasil pengukuran gula darah) dan kategorik (gejala diabetes) digabungkan yang kemudian diubah menjadi 2. Kategori dengan kode ―1‖ yang berarti DM jika gula darah puasa ≥126 mg/dL dengan keseluruhan gejala khas DM atau kadar gula darah dua jam setelah pembebanan ≥200 mg/dL dengan atau tanpa gejala. Sementara, kode ―2‖ yang berarti tidak DM jika gula darah puasa < 126 mg/dL dengan keseluruhan gejala khas DM atau kadar 2 jam setelah pembebanan < 200 mg/dL dengan atau tanpa gejala (Riskesdas, 2013). b. IMT, yang berasal dari hasil perhitungan antara berat badan per tinggi badan dalam meter kuadrat dan berupa data numerik. Kemudian dikategorikan menjadi dua kelompok dengan kode ―1‖ untuk IMT ≥27 kg/m2 dan kode ―2‖ untuk IMT < 27 kg/m2. c. LP, yang sebelumnya berupa data numerik, diubah menjadi kategorik dengan kode ―1‖ untuk LP >80 cm untuk wanita dan >90 cm untuk pria. Sementara, kode ―2‖ untuk LP ≤ 80 cm untuk wanita dan ≤ 90 cm untuk pria. d. Asupan makan, yang sebelumnya berupa data kategorik dengan banyak kategori disederhanakan menjadi 2 kategori, yaitu kode ―1‖ untuk lebih dari 1 kali mengonsumsi makanan/minuman manis dan
53
makanan berlemak. Sementara, kode ―2‖ untuk tidak mengonsumsi lebih dari 1 kali makanan/minuman manis maupun makanan berlemak dalam seminggu. Pengelompokkan kategori tersebut berdasarkan IDAI (2014). e. Kebiasaan merokok, yang sebelumnya berupa data kategorik dengan banyak kategori disederhanakan menjadi 2 kategori, yaitu kode ―1‖ untuk merokok (sering, jarang merokok dan tidak pernah merokok lagi) dan kode ―2‖ untuk tidak merokok (tidak pernah merokok). f. Aktivitas fisik, yang sebelumnya dipisahkan antara aktivitas fisik sedang dan berat, dipenelitian ini kategori tersebut digabungkan. Tetapi yang dibedakan dalam pengkodean ulang adalah lama beraktivitasnya. Kode ―1‖ jika dilakukan <150 menit/minggu untuk aktivitas sedang atau berat. Sementara, kode ―2‖ untuk kategori > 150 menit/minggu untuk aktivitas sedang atau berat. Pengkategorian tersebut dibuat berdasarkan Riskesdas (2013). g. Usia, yang sebelumnya berupa data numerik diubah menjadi 2 kategori. Kategori dengan kode ―1‖ untuk usia >44tahun. Sementara, kode ―2‖ untuk usia 15-44 tahun. Penentuan kategori tersebut berdasarkan tingkat risiko menurut hasil penelitian Tripathy dkk (2012) bahwa risiko DM meningkat setelah usia 44 tahun. Selain itu, batas kelompok tersebut sesuai dengan batas usia pralansia yang mulai dari 45 tahun menurut kemenkes.
54
h. Jenis Kelamin, sebelumnya berupa data kategorik, dikategorikan kembali dengan kode ―1‖ untuk laki-laki dan kode ―2‖ untuk perempuan. F. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji diagnostik menggunakan tabel 2x2. Hasil penelitian analisis tersebut dapat terlihat nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan negatif. Namun, hasil akhir yang digunakan dalam penelitian ini adalah RKP saja. Hal tersebut dikarenakan hasil setiap level RKP dapat merepresentasikan hasil peningkatan kecenderungan kejadian penyakit. Selain itu, RKP memiliki keunggulan dibandingkan dengan hasil uji diagnostik lainnya, yaitu sedikitnya pengaruh dari prevalensi penyakit sehingga nilai lebih stabil. Serta, nilai RKP mencakup semua komponen pada tabel 2x2 (Gilbert, 2001). Pada penelitian ini dilakukan analisis satu per satu yang disesuaikan dengan faktor risiko lain yang menyebabkan DM. Misal, pada penelitian ini faktor lain penyebab DM adalah jenis kelamin, maka contoh analisis yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Analisis tabel 2X2 berdasarkan jenis kelamin wanita Baku emas
DM
Tidak DM
a c
b d
Antropometri
LP > 80 cm LP ≤ 80 cm
55
2) Analisis tabel 2X2 berdasarkan jenis kelamin laki-laki Baku emas
DM
Tidak DM
a c
b d
Antropometri
LP > 90 cm LP ≤ 90 cm
Berdasarkan tiap-tiap tabel akan dilihat hasil rasio kemungkinan positif yang didapatkan dari (
atau sensitivitas : (1-spesifisitas). Misalkan
hasil dari tabel 2x2 DM yang berdasarkan jenis kelamin wanita didapatkan rasio kemungkinan positif sebesar 13, maka makna dari nilai tersebut adalah responden perempuan dengan penyakit DM 13 kali lebih mungkin memiliki LP > 80 cm daripada perempuan yang tidak DM. Selain itu, RKP dikatakan baik jika nilainya diatas 10, sementara dikatakan buruk jika nilainya 1 (Dahlan, 2009: Grimes dan Schulz, 2005). Nilai 1 didapatkan karena persentase antara yang sakit dan tidak sakit sama besar. Jika nilai RKP 1,0 keatas menandakan bahwa hasil uji tersebut memiliki efek pada penyakit, meskipun sangat kecil. Sementara, nilai RKP 2-5 menggambarkan hasil uji yang memiliki efek kecil terhadap penyakit. Jika, nilai 5-10 maka hasil uji memiliki kecenderungan tingkat sedang terhadap penyakit. Terakhir, jika nilai >10 maka uji tersebut memiliki kecenderungan sangat besar terhadap kejadian penyakit (Grimes dan Schulz, 2005).
BAB V HASIL
A. Perhitungan Rasio Kemungkinan Positif Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang Terhadap Kejadian Diabetes Mellitus Perhitungan analisis RKP antara DM dan obesitas dengan menggunakan cut-off point IMT lama (≥27kg/m2) serta obesitas sentral dengan menggunakan cut-off point LP lama (>90 cm untuk laki-laki dan >80 cm untuk perempuan) dapat dilihat dengan tabel berikut: Tabel 5.1 Kasus Diabetes Mellitus Menurut Titik Potong/Cut Off Point Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang yang Lama Objek Laki-laki dan Perempuan 2 IMT ≥27kg/m Laki-laki LP > 90 cm Perempuan LP > 80 cm
Ya (+) Tidak (-) Ya (+) Tidak (-)
Frekuensi Diabetes Mellitus Ya (+) (%) Tidak(-) (%) 533 25 16 3956 1625 138 543
Ya (+)
803 674
Tidak (-)
75 20 80
21207 960 9375
84 9 81
5 95
5980 8848
40 60
RKP 1,5 2,2 1,4
Tabel 5.1 menunjukkan hasil RKP pada tes IMT ≥27kg/m2 dan kejadian DM sebesar 1,5. Hal tersebut membuktikan responden yang positif DM 1,5 kali lebih mungkin memiliki IMT positif ≥27kg/m2 daripada yang tidak DM. Selain itu, tabel diatas juga menunjukkan hasil RKP pada titik potong/cut off point LP lama yang didapatkan hanya sebesar 2,2 dan 1,4 pada laki-laki dan perempuan. Hal ini menandakan responden yang positif DM 2,2 kali lebih mungkin memiliki LP positif > 90 cm daripada yang tidak DM pada kelompok laki-laki. Sementara, responden yang positif DM memiliki
56
57
kemungkinan 1,4 kali lebih mungkin memiliki LP >80 cm daripada yang tidak DM pada responden perempuan. Nilai RKP akan memiliki kemungkinan peningkatan apabila dilakukan modifikasi pada indikator tes kejadian DM. Modifikasi tes tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan faktor risiko. Hal tersebut dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 5.2 Hasil Rasio Kemungkinan Positif Titik Potong/Cut Off Point Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang yang Lama Dengan Faktor Risiko Faktor Risiko Merokok Asupan Makan Berisiko Aktivitas Fisik Berisiko Usia > 44 tahun Jenis Kelamin Laki-laki
Hasil Analisis RKP IMT RKP LP1 RKP LP2 2,3 2,5 1,5 1,6 2,3 1,3 1,3 1,7 1,3 1,3 1,8 1,4 1,9 -
* (1) laki-laki; (2) perempuan; (-) tidak dilakukan analisis
Tabel 5.2 menggambarkan bahwa nilai RKP meningkat apabila tes yang dipakai
tidak menggunakan indikator antropometri
saja, melainkan
memodifikasikannya menggunakan faktor risiko. Berdasarkan tabel diatas terbukti bahwa pada titik potong/cut off point IMT lama, LP lama pada lakilaki dan perempuan dengan faktor risiko merokok memiliki nilai RKP terbesar diantara faktor risko lainnya, yaitu 2,3;2,5;1,5. Hal tersebut menandakan bahwa orang yang positif DM 2,3 kali lebih mungkin memiliki IMT ≥27kg/m2 daripada yang tidak DM pada kelompok laki-laki atau perempuan yang merokok. Sementara, orang yang positif DM 2,5 kali lebih mungkin memiliki LP > 90 cm daripada yang tidak DM pada kelompok laki-laki yang merokok. Selain itu, orang yang positif DM 1,5 kali lebih mungkin memiliki LP > 80 cm daripada yang tidak DM pada kelompok perempuan yang merokok.
58
Sementara itu, nilai RKP yang konsisten menurun dan terkecil diantara faktor lainnya adalah aktivitas fisik berisiko dengan nilai RKP IMT, LP pada laki-laki dan LP pada perempuan yaitu 1,3;1,7;1,3. Hal tersebut menandakan orang yang positif DM 1,3 kali lebih mungkin memiliki IMT ≥27kg/m2 daripada yang tidak DM pada kelompok laki-laki dengan aktivitas fisik berisiko. Sedangkan, pada kelompok laki-laki dengan aktivitas fisik berisiko yang positif DM 1,6 kali lebih mungkin memiliki LP >90 cm daripada yang tidak DM. Selain itu, pada kelompok perempuan dengan aktivitas fisik berisiko dan positif DM 1,3 kali lebih mungkin memiliki LP >80 cm daripada yang tidak DM. Tabel 5.3 Hasil Uji Coba Rasio Kemungkinan Positif Pada Nilai Titik Potong/ Cut Off Point Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang Titik Potong/cut-off point Pada Laki-laki dan Perempuan ≥20 kg/m2 ≥23 kg/m2 ≥25 kg/m2 ≥26 kg/m2 ≥27 kg/m2 ≥28 kg/m2 Pada Laki-laki >80 cm >88 cm >90 cm >91 cm >92 cm >93 cm Pada Perempuan >70 cm >75 cm >78cm >80 cm >82cm >83 cm >84 cm >85 cm > 90 cm
RKP DM 1,0 1,2 1.4 1.4 1.5 1.6 1.4 1,8 2.2 2.3 2,1 2,5 1.1 1,2 1,3 1,4 1.4 1,4 1,4 1,5 1.6
Selain melakukan modifikasi pada tes indikator prediksi DM, juga dilakukan uji terhadap berbagai titik potong untuk mendapat nilai RKP
59
terbaik sesuai tabel 5.3. Didapati nilai RKP terbesar pada uji coba cut-off point IMT didapatkan nilai ≥ 28 kg/m2 dengan RKP sebesar 1,6. Sementara, RKP terkecil ada pada cut-off point ≥20 kg/m2 dengan RKP sebesar 1,0. Hal ini menandakan responden yang positif DM 1,6 kali lebih mungkin memiliki IMT positif ≥ 28 kg/m2 daripada yang tidak DM pada kelompok laki-laki maupun perempuan. Sementara, responden yang positif DM hanya 1 kali lebih mungkin memiliki IMT positif ≥20 kg/m2 daripada yang tidak DM pada kelompok laki-laki maupun perempuan. Tabel 5.2 juga menyatakan bahwa nilai RKP terbesar pada uji coba cut-off point LP didapatkan nilai >93 cm sebesar 2,5, sementara yang terkecil ada pada cut-off point >94 cm untuk laki-laki sebesar 1,3. Hal ini menandakan bahwa responden laki-laki yang positif DM 2,5 kali lebih mungkin memiliki LP >93 cm daripada yang tidak DM. Selain itu, responden laki-laki yang positif DM 1,3 kali lebih mungkin memiliki LP >94 cm daripada yang tidak DM. Tabel tersebut juga membuktikan bahwa RKP terbesar pada perempuan ada pada cut-off point LP > 90 cm sebesar 1,6. Selain itu, RKP terkecil ada pada cut-off point > 70 cm sebesar 1,1. Hal ini menandakan bahwa responden perempuan yang positif DM 1,6 kali lebih mungkin memiliki LP > 90 cm daripada yang tidak DM. Sementara, responden perempuan yang positif DM 1,1 kali lebih mungkin memiliki LP > 70 cm daripada yang tidak DM
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian Analisis yang digunakan dalam penelitian ini hanya dapat digunakan untuk melihat seberapa baik cut-off point/nilai titik potong dalam memprediksi kejadian DM. Sehingga, peneliti tidak dapat memberikan cut-off point yang tepat ketika peneliti mendapatkan hasil bahwa cut-off point yang ada saat ini belum kuat untuk memprediksi DM. Meskipun demikian, peneliti melakukan uji coba penentuan titik potong dengan menggunakan RKP, namun secara teoritis RKP tidak dapat digunakan untuk menentukan titik potong/cut-off point dengan baik. Model analisis yang dapat digunakan untuk menentukan nilai titik potong/cut-off point adalah dengan menggunakan prosedur ROC (Receiver Operating Characteristic) (Dahlan, 2009). B. Rasio Kemungkinan Positif Cut off Point Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang Dengan Diabetes Melitus Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa hasil titik potong IMT lama memiliki RKP sebesar 1,5. Hal tersebut berarti bahwa orang yang positif DM 1,5 kali lebih mungkin memiliki IMT ≥27kg/m2 daripada yang tidak DM. Berdasarkan standar kategori RKP menurut Grimes dan Schulz (2005) diketahui jika RKP >1 maka bermakna sangat kecil untuk memprediksi adanya penyakit. Sehingga, berdasarkan hasil penelitian ini,
60
61
didapatkan bahwa kemungkinan sangat kecil untuk memprediksi DM dengan cut-off point IMT yang lama. Hasil RKP didapatkan dari pembagian antara sensitivitas dan 1spesifisitas. Nilai RKP yang sangat kecil pada penelitian ini berasal dari nilai sensitivitas yang cenderung lebih kecil daripada nilai spesifisitas. Terbukti, milai RKP IMT yang lama pada penelitian ini sebesar 1,5, memiliki sensitivitas sebesar 0,246 dan spesifisitas sebesar 0,842. Kemaknaan yang sama didapati dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cheong dkk (2012) pada populasi Malaysia, Cina dan India didapati hasil RKP pada IMT populasi tersebut sebesar 1,59. Sementara, penelitian lain mendapatkan nilai RKP yang lebih besar daripada hasil RKP titik potong IMT pada penelitian ini. Penelitian tersebut menyatakan bahwa pada cut-off point obesitas (dengan IMT ≥28 kg/m2) untuk laki-laki didapatkan nilai RKP kasus DM sebesar 2,2. Sementara pada jenis kelamin perempuan pun didapati nilai RKP 2,0 untuk DM (Bei-fan dkk., 2002). Padahal, nilai RKP diatas 1 dan ≥2 memiliki kemaknaan yang berbeda. Jika nilai RKP diatas satu menunjukkan kemaknaan yang sangat kecil sebagai alat prediksi penyakit, nilai RKP ≥2 memiliki kemaknaan yang kecil sebagai alat prediksi penyakit (Grimes dan Schulz, 2005). Bukan hanya pada IMT, pada penelitian ini juga didapati nilai RKP yang lama (>90 cm pada laki-laki dan > 80 cm pada perempuan) juga menunjukan adanya kemungkinan memprediksi penyakit DM. Pada responden laki-laki didapatkan nilai RKP sebesar 2,2 dan sebesar 1,4 untuk responden perempuan. Hal tersebut menunjukkan laki-laki yang
62
mengalami DM 2,2 kali lebih mungkin memiliki LP > 90 cm daripada yang tidak DM. Sementara itu, perempuan yang mengalami DM 1,4 kali lebih mungkin memiliki LP > 80 cm daripada yang tidak DM. Jadi, kemaknaannya
adalah
meskipun
kemungkinannya
sangat
kecil
kemungkinan prediksi DM pada perempuan dengan cut off point LP yang lama, namun kemungkinan kecil dapat prediksi DM pada laki-laki dengan cut off point LP yang lama. Hal tersebut sesuai dengan nilai RKP 2-5 menggambarkan kemungkinan kecil untuk memprediksi DM Grimes dan Schulz (2005). Meskipun nilai RKP dengan antropometri LP menunjukkan peningkatan kemampuan prediksi DM, namun RKP yang didapat bukan merupakan nilai RKP yang tergolong baik berdasarkan standar, tapi tergolong nilai RKP baik jika dibandingkan dengan RKP IMT. Berdasatrkan statistik, kecilnya nilai RKP dipengaruhi oleh nilai spesifisitas yang cenderung lebih tinggi dari nilai sensitivitas. juga Selain IMT, LP juga menjadi pembahasan pada penelitian ini. Meskipun IMT dan LP merupakan antropometri yang dapat digunakan untuk memprediksi penyakit karena bertambahnya IMT dan LP menjadi penyebab peningkatan asam lemak pada tubuh yang berdampak pada tubuh yang resisten terhadap insulin dan dapat berujung DM (Kang dan Kim, 2012). Sehingga, peningkatan RKP karena penggunaan antropometri yang berbeda perlu menjadi pertimbangan sebagai upaya program pengendalian obesitas untuk memprediksi penyakit DM yang efisien dan efektif.
63
Penelitian Chen dkk (2006) IMT dan LP memiliki kekuatan yang besar dalam mendiagnosis obesitas. Berdasarkan nilai AUC didapatkan IMT terhadap persentase lemak tubuh sebesar 0,812. Sementara, AUC LP terhadap persentase lemak tubuh sebesar 0,826. Tetapi, AUC indeks IMT dengan truncal fat sebesar 0,784, dan AUC indeks LP dengan truncal fat sebesar 0,818. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa LP memeiliki kemampuan prediksi obesitas yang berdampak pada penyakit lebih baik daripada IMT. Nilai RKP dalam penelitian ini sejalan dengan Misra dkk (2006) terhadap 2050 responden di India utara yang membuktikan bahwa terdapat kemungkinan kecil obesitas sentral menyebabkan DM dengan nilai RKP 4,5 untuk laki-laki dan 4,9 untuk perempuan pada LP >90 cm dan >80 cm. Selain itu, RKP yang lebih besar pada laki-laki daripada wanita sejalan dengan penelitian Triwinarto, dkk (2012) dengan menggunakan data Riskesdas 2007 yang menyatakan bahwa RKP LP pada laki-laki (0,84) lebih besar daripada wanita (0,76). Hasil RKP penelitian tersebut sama dengan titik potong/cut-off point LP pada penelitian ini yaitu 2,2 pada laki-laki dan 1,4 pada perempuan untuk melihat kejadian DM. Kecilnya hasil RKP pada IMT yang lama disebabkan oleh
nilai
sensitivitas lebih kecil daripada nilai spesifisitas. Mengingat perhitungan RKP yang pasti dipengaruhi oleh hasil sensitivitas dan spesifisitas, maka dalam usaha peningkatan nilai RKP tersebut perlu dilakukan penggeseran cut-off point untuk merubah sensitivitas dan spesivisitas (Faust, 2011). Hal yang perlu dilakukan dalam kasus ini adalah meningkatkan nilai benar
64
positif/true positive sehingga dapat meningkatkan sensitivitas dan menurunkan spesifisitas. Selain itu, pada perhitungan tabel 2x2 juga tidak dapat dilakukan perubahan angka pada jumlah kasus DM, tetapi hanya dapat dilakukan perubahan pada indikator skriningnya. Berdasarkan masih rendahnya nilai RKP yang didapatkan IMT dan LP lama dalam memprediksi DM, maka peneliti melakukan uji coba terhadap nilai cut-off IMT atau LP untuk mengetahui nilai RKP yang tergolong baik. Sehingga, lebih baik untuk dilakukan peninjauan kembali terkait penetapan titik potong/cut-off point seperti yang telah dicantumkan pada bab sebelumnya. Pada hasil uji coba titik potong/cut-off point didapatkan IMT baru dengan titik potong ≥28kg/m2 yang memiliki nilai RKP sebesar 1,6 adalah titik potong terbaik diantara yang lainnya untuk kelompok perempuan maupun laki-laki. Sementara, titik potong LP paling baik ada pada titik potong > 93 cm, yaitu sebesar 2,5. Serta, pada perempuan didapatkan nilai RKP terbaik ada pada titik potong > 90 cm dengan RKP 1,6. Mengingat bahwa cut-off point dikatakan baik dalam memprediksi penyakit jika nilai RKP > 10 (Dahlan, 2009). Sehingga diperlukan indikator dari metode penilaian status gizi yang lain atau indikator yang dimodifikasi yang dapat merubah nilai sensitivitas (Dahlan, 2009). Meskipun sudah dilakukan perubahan terhadap nilai cut off point, tetapi nilai RKP pada IMT cenderung lebih kecil daripada LP dalam memprediksi DM. Selain itu, Nyamdorj (2008) juga menyatakan bahwa IMT lebih rendah hubungannya dibandingkan rasio antara lingkar perut
65
dengan tinggi badan dalam memprediksi kejadian diabetes. Hal tersebut kemungkinan
disebabkan
oleh
penanganan
obesitas
sentral
atau
pengendalian LP lebih berpengaruh terhadap DM daripada pengendalian IMT (Nyamdorj, 2008). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Qioa dan Nyamdorj (2010) yang menyatakan bahwa IMT memiliki nilai ketepatan paling kecil sebagai alat prediksi DM dengan menggunakan analisis kurva AUC (67% pada laki-laki dan 69% pada wanita) jika dibandingkan dengan rasio lingkar perut dan lingkar panggul (72,1% pada laki-laki dan 74% pada wanita) serta rasio antara lingkar perut dengan tinggi badan (72,6% pada laki-laki dan 75% pada wanita). Selain itu, penelitian Wang dan Hoy (2004) yang menggunakan analisis regresi logistik dan kurva AUC dari metode ROC menunjukkan LP adalah indikator antropometri terbaik jika dibandingkan dengan indikator antropometri lainnya. C. Rasio Kemungkinan Positif Titik Potong/Cut-off Point Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Pinggang Dengan Diabetes Melitus Berdasarkan Faktor Risiko Hasil RKP penelitian sebelumnya cenderung lebih tinggi daripada hasil pada penelitian ini. Hal tersebut dicurigai karena penentuan RKP titik potong/cut-off point obesitas sentral pada penelitian sebelumnya bukan hanya melihat kejadian DM saja, tetapi diakumulasikan dengan semua penyakit faktor risiko kardiovaskular (DM, hiperkoleterol, hipertensi, hipertrigliseridemia dan rendahnya HDL). Nilai RKP pada cut off point IMT dan LP yang lama meningkat saat dianalisis pada kelompok yang memiliki kebiasaan merokok. Nilai
66
RKP terbesar pada faktor merokok diperkirakan karena orang yang merokok cenderung mengalami obesitas dengan risiko 1,4-2,8 daripada yang tidak merokok (Chiolero dkk., 2007). Belum jelas alasan rokok dapat menyebabkan peningkatan berat badan hingga obesitas, tetapi ada yang mengatakan bahwa obesitas yang terjadi pada kelompok perokok karena adanya kebiasaan kurang aktivitas fisik, sering makan makanan berisiko dan sering mengonsumsi alkohol (Chiolero dkk., 2008). Berdasarkan tabel uji coba cut-off point IMT dan LP terbukti bahwa nilai RKP meningkat jika dibandingkan dengan yang tidak melibatkan faktor risiko lain tersebut diketahui bahwa nilai RKP terbesar ada pada kelompok merokok baik pada laki-laki atau perempuan. Nilai RKP tersebut juga paling besar diantara kelompok risiko lainnya. Hal ini membuktikan bahwa faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian DM adalah merokok. Merokok menjadi faktor risiko yang paling berperan dalam memprediksi adanya DM, karena pengaruh konsentrasi kortisol tinggi pada perokok dibandingkan yang tidak merokok. Kortisol tersebut yang membuat masa dari lemak pada tubuh terus meningkat (Chiolero dkk, 2008).
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1. Rasio Kemungkinan Positif (RKP) IMT (≥27 kg/m2) untuk memprediksi DM sebesar 1,5. Hal tersebut bermakna IMT tersebut memiliki kemampuan sangat kecil dalam memprediksi DM. 2. Rasio Kemungkinan Positif (RKP) LP (>90 cm) untuk memprediksi DM sebesar 2,2 pada kelompok laki-laki. Sementara RKP LP (>80 cm) untuk memprediksi DM sebesar 1,4 pada kelompok perempuan. Hal tersebut bermakna LP >90 cm dan > 80 cm memiliki kemampuan kecil dan sangat kecil dalam mendeteksi DM. 3. Rasio Kemungkinan Positif (RKP) IMT (≥27 kg/m2) untuk memprediksi DM pada kelompok merokok, asupan makan berisiko, aktivitas fisik berisiko, usia >44 tahun, dan pada laki-laki adalah 2,3; 1,6; 1,3; 1,3; 1,9. Hal tersebut bermakna IMT ≥27 kg/m2 dengan faktor risiko memiliki kemampuan kecil dan sangat kecil dalam memprediksi DM. 4. Rasio Kemungkinan Positif (RKP) LP (>90 cm) untuk memprediksi DM pada kelompok laki-laki yang merokok, asupan makan berisiko, aktivitas fisik berisiko, usia >44 tahun adalah 2,5; 1,7; 2,3; 1,8. Hal tersebut bermakna LP >90 cm dengan faktor risiko memiliki kemampuan kecil dan sangat kecil dalam memprediksi DM. 5. Sementara, RKP LP (>80 cm) untuk memprediksi DM pada kelompok perempuan yang merokok, asupan makan berisiko, aktivitas fisik berisiko, usia >44 tahun adalah 1,8; 1,1; 1,3; 1,2. Hal tersebut bermakna LP >80 cm dengan faktor risiko memiliki kemampuan kecil dan sangat kecil dalam memprediksi DM. 6. Indeks Masa Tubuh (IMT) yang memiliki RKP paling besar adalah ≥28 kg/m2 dengan nilai 1,6. Sementara RKP paling besar didapatkan pada LP >93 cm pada laki-laki dengan nilai 2,5. Sementara, nilai RKP
67
68
LP paling besar pada kelompok perempuan pada titik potong >90 cm dengan nilai 1,6. B. Saran 1. Bagi peneliti: a. Melakukan validasi atas rekomendasi titik potong yang sesuai pada hasil penelitian ini dengan melakukan studi kohort. b. Melakukan uji dengan memodifikasi indikator skrining melalui analisis AUC dengan prosedur ROC atau multivariat berjenjang. 2. Bagi Kemenkes RI: a. Menetapkan titik potong IMT menjadi ≥28 kg/m2 untuk kelompok laki-laki maupun perempuan. b. Menetapkan titik potong LP menjadi > 93 cm untuk kelompok lakilaki dan > 90 cm pada perempuan.
DAFTAR PUSTAKA ADA. 2014. Standard of Medical Care of Diabetes-2014. Diabetes Care Volume 37, Supplement 1. Halaman 514-580 . 2005. American Diabetes Asociation Recommendation. Diakses dari https://www.amc.edu.pathology_labservices/addenda/addenda_documents/A mericandiabetesassociationrecommendations2.pdf . 2010. Diagnosis And Classification Of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Volume 33, Supplement 1 Adeghate E, dkk. 2006. An update on the etiology and epidemiology of DM. Ann N Y Acad Sci 1084, 1–29 Al-nouzha, Mansour M, dkk. 2004. Diabetes Mellitus in Saudi Arabia. Saudi Med J : Vol. 25 (11): 1603-1610 Anies. 2006. Waspada Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Elex Media Komputindo Arif, Muhammad., dkk. 2012. Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Kadar Gula Darah Puasa Pada Pegawai Sekretariat Daerah Provinsi Riau. JOM, Vol.1, No.2 Astrup, A dan N., Finer. 2000. Redefining Type 2 diabetes: ‗Diabesity‘ or ‗Obesity Dependent DM‘?.obesity reviews Vol. 1, No. 57–59 Bantas, Krisnawaty., dkk. 2013. Ukuran LP Optimal untuk Identifikasi Sindrom Metabolik pada Populasi Perkotaan di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 6 Baradero, Mary., dkk. 2009. Klien Gangguan Endokrin : seri Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC Berger, Abi. 2001. Resistin: a new hormone that links obesity with type 2 diabetes. Bmj Vol. 322, No.27 Bjorntrop P. 2001. Do stress reactions cause abdominal comorbidities.Obes Rev Volume 2 Halaman 73–86
obesity
and
Boada, C.A Carrera dan J.M. Martinez-Moreno. 2013. Pathophysiology of Diabetes Mellitus Type 2 : Beyond The Duo ―Insulin Resistence-Secretion Deficit‖. Nutr Hosp; 28 (Supl. 2): 78-87
69
70
Budiarto, Eko dan Dewi Aggraini. Pengantar Epidemiologi : Edisi 2. Jakarta: EGC Buzek, Bonnie B. 2008. ―Knowledge, Attitudes, and Perception About Risk Of Type 2 Diabetes of Parents and Children With Family History of Type 2 Diabetes” CDC. 2011. What Are The Symptoms of Type 2 Diabetes?. Diakses pada http://www.cdc.gov/diabetes/prevention/pdf/posthandout_session14.pdf .2014. Smoking and Diabetes. http://www.cdc.gov/tobacco/data_statistics/sgr/50thanniversary/pdfs/fs_smoking_diabetes_508.pdf
Diakses
pada
Cherneva, Radostina Vlaeva, dkk. 2013. Resistin - The Link Between Adipose Tissue Dysfunction And Insulin Resistance In Patients With Obstructive Sleep Apnea. Journal of Diabetes & Metabolic Disorders, 12:5 Cheong, Kee Chee, dkk. 2012. Optimal BMI cut-off values for predicting diabetes, hypertension and hypercholesterolaemia in a multi-ethnic population. Public Health Nutrition: 16(3), 453–459. doi:10.1017/S1368980012002911 Chen, Chen-Mei dan Mei Chang Yeh. 2013. The Prevalence and Determinants of Impaired Fasting Glucose in The Population of Taiwan. BMC Public Health Vol. 13 Chiu, Maria., dkk. 2011. Deriving Ethnic-Specific BMI Cut off Points for Assessing Diabetes Risk. Diabetes Care 34:1741–1748 Chiolero, Arnaud, dkk. 2007. Association of cigarettes daily smoked with obesity in a general European adult population. Obes Res Volume 15(5):1311–1318 Curtis, Glade. 1999. Kehamilan: apa yang dihadapi minggu per minggu Jakarta: ARC Dahlan, M., Sopiyudin. 2009. Penelitian Diagnostik: Seri Evidence Based Medicine 5. Jakarta Salemba: Medika Dandona, Paresh., dkk. 2004. Inflammation: the link between insulin resistance, obesity and diabetes. Trends In Immunology Vol.25 No.1 DECODA grup. 2003. Age- and Sex-Specific Prevalence of Diabetes and Impaired Glucose Regulation in 11 Asian Cohorts. Diabetes Care 26:1770–1780
71
. 2008. BMI Compared With Central Obesity Indicators in Relation to Diabetes and Hypertension in Asians. Obesity (2008) 16, 1622–1635. doi:10.1038/oby.2008.73 Deurenberg, P., dkk. 2002. Asians are different from Caucasians and from each other in their body mass index/body fat per cent relationship. obesity reviews (2002) 3, 141–146 Deurenberg-Yap, Mabel dan Paul Deurenberg. 2003. Is a Re-evaluation of WHO Body Mass Index Cut-off Values Needed? The Case of Asians in Singapore. Nutrion Reviews Vol.61 No. 5. doi: 10.131/nr.2003.may.S80–S87 Dewi, Mira. 2007. Resistensi Insulin Terkait Obesitas: Mekanisme Endokrin Dan Intrinsik Sel. Jurnal Gizi dan Pangan, Vol. 2(2) Hal. 49 – 54 Dewi, Rifka Kumala. 2014. Diabetes Bukan Untuk Ditakuti. Jakarta: FMedia Eckel, Robert H. 2003. Obesity : Mechanism and Clinical Management. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins Ekpenyong, Chris dkk. 2012. Gender And Age Specific Prevalence And Associated Risk Factors Of Type 2 DM In Uyo Metropolis, South Eastern Nigeria. Diabetalogia Croatica : halaman 17-28 Faust, David. 2011. Coping With Pshychiatric And Phsychological Testimony: Sixth Edition. Oxford University Press: New York Freedland ES. 2004. Role of critical visceral adipose tissue threshold in metabolic syndrome: implications for controlling dietary carbohydrates: a review. Nutr Metab Vol. 1 Nomor 12 Freemantle, N., dkk. 2008. How strong is the association between abdominal obesity and the incidence of type 2 diabetes?. Int J Clin Pract, Vol. 62, 9 Hal. 1391– 1396 Galle E.A.M dan K.M. Gillespie. Review: Diabetes and Gender. Diabeteologia Vol. 44, Hal. 3-15 Ghergherechi, Robabeh dan Ali Tabrizi. 2010. Prevalence of impaired glucose tolerance and insulin resistance among obese children and adolescents. Therapeutics and Clinical Risk Management 2010:6 345–349
72
Ghoshal, Kakali dan Maitree Bhattacharyya.Adiponectin: Probe Of The Molecular Paradigm Associating Diabetes And Obesity. World J Diabetes 15; 6(1): 151166 Gilbert, Ruth. 2001. Assessing diagnostic and screening tests: Part 1 Concepts. WJM Vol. 174 Grimes, David A. dan Kenneth F Schulz. 2005. Epidemiology 3: Refining clinical diagnosis with likelihood ratios. Lancet Vol. 365, Hal. 1500–1505 Harahap, Heryudarini., dkk. 2005. Penggunaan Berbagai Cut-Off Indeks Massa Tubuh Sebagai Indikator Obesitas Terkait Penyakit Degeneratif Di Indonesia. Gizi Indon 31: halaman 1-12 Hartono, Andry. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. EGC: Jakarta Hirschorn, Joel N. 2003. Genetic epidemiology of type 1 diabetes. Pediatric Diabetes: 4: 87—100 Hu, Frank B., dkk. 2001. Diet, Lifestyle, And The Risk Of Type 2 Diabetes Mellitus in Woman. The New England Journal of Medicine, Vol 345, No. 11 Hu, Frank B., dkk. 2003. Television Watching and Other Sedentary Behaviors in Relation to Risk Obesity and Type 2 Diabetes Mellitus in Woman. JAMA Vol. 289 No. 14 IDF. 2001. Diabetes and Cardiovascular Disease: Time to Act. Brussels: IDF . 2013. Global Diabetes Scorecard: Tracking Progress for Action. Brussels: IDF James, Larry C dan Jhon C. Linton. 2009. Handbook of Obesity Intervention for Lifespan. Springer: New York Kang, Hye Min dan Dong-Jun Kim. 2012. Body Mass Index and Waist Circumference According to Glucose Tolerance Status in Korea: The 2005 Korean Health and Nutrition Examination Survey. J Korean Med Sci 2012; 27: 518-524. http://dx.doi.org/10.3346/jkms.2012.27.5.518 Kao, W.H. Linda, dkk. 2001. Alcohol Consumption and the Risk of Type 2 DM. American Journal of Epidemiology Vol. 154, No. 8
73
Kee, C.C., dkk. 2011. Sensitivity and Specificity of Waist Circumference As A Single Screening Tool for Identification of Overweight and Obesity among Malaysian Adults. Med J Malaysia Vol 66 No 5 Kemenkes.1994. Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Kemenkes .2003. Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Kemenkes . 2005. Pharamaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Diakses dari https://www.google.co.id/search?q=Departemen+Kesehatan.+2005.+Pharmac eutical+Care+untuk+Penyakit+Diabetes+Mellitus.&rlz=2C1CHMO_idID053 7ID0537&oq=Departemen+Kesehatan.+2005.+Pharmaceutical+Care+untuk+ Penyakit+Diabetes+Mellitus.&aqs=chrome..69i57.2971j0j4&sourceid=chrom e&es_sm=122&ie=UTF-8 . 2009. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Mellitus Di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang. Diakses pada http://www.depkes.go.id/article/view/414/tahun2030-prevalensi-diabetes-mellitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-orang.html . 2012. Strategi Nasional Penerapan Pola Konsumsi Makan dan Aktivitas Fisik Untuk Mencegah Penyakit Menular. Jakarta: Kemenkes . 2014. Waspada Diabetes Eat Well Live Well: Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Kemenkes Liu, Yanfang dkk. 2007. Deficiency of Adiponectin Receptor 2 Reduces Diet Induced Insulin Resistance but Promotes Type 2 Diabetes. Endocrinology, 148(2):683– 692 Loghmani, Emily. 2005. Guidelines for Adolescent Nutrition Service: Diabetes Melitis; Type 1 and Type 2. Diakses pada http://www.epi.umn.edu/let/pubs/adol_book.shtm Mahendra, dkk. 2008. Care Your Self: DM. Jakarta: Penebar Plus Masuo, Kazuko, dkk. 2005. Acute Hyperinsulinemia Reduces Plasma Leptin Levels in Insulin-Sensitive Japanese Men. AJH 18:235–243 Matsuzawa, Yuji., dkk. 2002. New Criteria for ‗Obesity Disease‘ in Japan. Circulation Journal 2002; 66: 987 –992
74
Meigs, James B. dkk. 2000. Parental Transmission of Type 2 Diabetes The Framingham Offspring Study Diabetes Vol 49 Halaman 2201-2207 Merentek, Enrico. 2006. Resistensi Insulin Pada Diabetes Mellitus Tipe 2. Cermin Dunia Kedokteran No. 150 Halaman 38-41 Mianoki, Adika dkk. 2013. Majalah Kesehatan Muslim: Diabetes Mellitus. Yogyakarta: Pustaka Muslim Misnadiarly. 2006. DM: Gangren, Ulcer, Infeksi. Menegenal Gejala, Menanggulangi dan Mencegah Komplikasi. Jakarta: Pustaka Populer Obor Misra, A., dkk. 2006. Waist circumference cutoff and action levels for Asian Indians for identification of abdominal obesity. International Journal of Obesity Vol. 30, Hal. 106–111 MOH. 2004. Clinical Practice Guidelines on Management of Obesity. Diakses pada http://www.moh.gov.my/attachments/3932.pdf Mohan V, Shanthirani CS, Deepa R. 2003. Glucose intolerance (diabetes and IGT) in a selected south Indian population with special reference to family history, obesity and lifestyle factors - The Chennai Urban Population Study (CUPS 14). J Assoc Physicians India 51; 771-777 Natalie, The S., dkk. 2013. Timing and Duration of Obesity in Relation to Diabetes. DIABETES CARE, Vol. 36 Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Mellitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Medicinus Vol. 27, No.2 Nyamdorj, R. 2008. BMI Compared With Central Obesity Indicators in Relation to Diabetes and Hypertension in Asians. Obesity 16, 1622–1635. doi:10.1038/oby.2008.73 Oktaviana, Dhina dan I Nyoman Budiantara. 2011. Regresi Spline Birespon Untuk Memodelkan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus. Diakses pada http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-19523-1307100068-Paper.pdf Perkeni.2011. Konsesnsus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: Perkeni Permana, Hikmat. 2009. Komplikasi Kronik Dan Penyakit Penyerta Pada Diabetesi. Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran
75
Pulungan, Aman dan Herqutanto. 2009. Diabetes Mellitus Tipe 1: ―Penyakit Baru‖ yang akan Makin Akrabdengan Kita. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 59, Nomor: 10 Poretsky, Lenoid. 2010. Principles Of Diabetes Mellitus: Second Edition. New York: Springer Ramachandran, Ambady. 2012. Trends In Prevalence In Asian Countries. World Journal Diabetes 3(6): halaman 110-117 Rangwala, Shamina M, dkk. 2004. Abnormal Glucose Homeostasis due to Chronic Hyperinsulinemia. Diabetes, volume 53:1937–1941 Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Kemenkes Sahai, Shweta., dkk. 2011. Impaired Fasting Glucose: A Study of Its Prevalence Documented at Tertiary Care Centre of Central India and its Association with Atropometric Variables. JIACM Volume 12(3): 187-92 Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Sagung Seto: Jakarta Scheen, A.J. 2003.Pathophysiology Of Type 2 Diabetes. Acta Clinica Belgica, Volume 58. Isu 6 Schultz, Olaf dkk.2010. Effects of Inhibition of Interleukin-6 Signalling on Insulin Sensitivity and Lipoprotein (A) Levels in Human Subjects with Rheumatoid Diseases. Plus One, Volume 5 Isu 12 Simeoni, Umberto dan David J. Barker. 2009. Offspring of diabetic pregnancy: Longterm outcomes. Seminars in Fetal & Neonatal Medicine 14 (2009) 119–124 Sizer, Frances Sienkiewicz dkk. 2012. Nutrition: Concept and Controversies, Second Canadian Edition. Toronto: Nelson education Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2000. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 9th edition. Philadelphia: Lipicott Smeltzer, Suzanne C O‘Connell, dkk. 2010. Brunner & Suddarth's Textbook of Medical-surgical Nursing, Volume 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Company
76
Snidjer, MB., dkk. 2006. What aspects of body fat are particularly hazardous and how do we measure them?. International Journal of Epidemiology 2006;35:83–92. doi:10.1093/ije/dyi253 Soetiarto, Farida., dkk. 2010. Hubungan DM Dengan Obesitas Berdasarkan Indeks Massa Tubuh Dan LP Data Riskesdas 2007. Bul. Penel. Kesehatan Vol 38 No. 1: Hal.36-42 Steinbrecher, A., dkk. 2010. Meat consumption and risk of type 2 diabetes: the Multiethnic Cohort. Public Health Nutrition. Vol. 14(4) Hal. 568–574 Steyn, N.P., dkk. 2004. Diet, Nutrition And The Prevention Of Type 2 Diabetes. Public Health Nutrition: 7(1A), 147–165 Sutomo, Budi dan Dwi Yanti Anggraini.2010. Menu Sehat Alami Untuk Batita dan Balita. Tangerang: Agromedia Swaroop, Jatla Jyothi, dkk. 2012. Association of TNF-α with insulin resistance in type 2 DM. Indian J Med Res 135, Hal. 127-130 Tripathy, B.B dkk. 2012. RSSDI Textbook of DM. Daryaganj: Jaypee Brother Medical Publisher Trisnawati, Shara Kurnia dan Soedijono Setyorogo.2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1); Jan 2013. Triwinarto, Agus. dkk. 2012. Cut-Off Point Indeks Massa Tubuh (Imt) Dan Lingkar Perut Sebagai Indikator Risiko Diabetes Dan Hipertensi Pada Orang Dewasa Di Indonesia (Cut-Off Point Body Mass Index (Bmi) And Abdominal Circumference As Indicators Of Diabetes And Hypertension Risks Among The Indonesian Adults). Penel Gizi Makan 2012, 35(2): 119-135 Van De Wiel, Albert. 2004. DM and Alcohol. Diabetes/Metabolism Research and Reviews Review Article Diabetes Metab Res Rev ; 20: 263–267 Wegner, Malgorzata, dkk. 2013. Association Between IL-6 Concentration and Diabetes-Related Variables in DM1 Patients with and without Microvascular Complications. Inflammation, Vol. 36, No. 3 WHO. 1999. Definition, Diagnosis And Classification Of DM And Its Complications. Geneva: WHO
77
. 2000. The Asia-Pacifics Perspective : Redefining Obesity and Its Treatment. Australia: Health Communication Australia . 2003. Screening for Type 2 Diabetes. Geneva: WHO . 2005. Genetics and Diabetes. http://www.who.int/genomics/about/Diabetis-fin.pdf . 2014a. Top 10 Causes of Death. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/
Diakses
Diakses
pada
pada
. 2014b. Non- communicable Disease Country Profile. Diakses dari http://www.who.int/nmh/countries/idn_en.pdf . 2010. Nutrition Landscape Information System: Country Profile Indicators Interpretation Guide. Geneva: WHO . 2015. Diabetes. Diakses pada www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ Willi, Carole. 2007. Active Smoking and the Risk of Type 2 Diabetes: A Systematic Review and Meta-analysis. JAMA Vol. 298 No. 22 Wilson PW, D‘Agostino RB, Sullivan L, Parise H, Kannel WB. Overweight and obesity as determinants of cardiovascular risk: the Framingham experience. Arch Intern Med. 2002; 162: 1867-72 Winzel, Maria So¨ rhede dan Bo Ahre´n. 2004. The High-Fat Diet–Fed Mouse: A Model for Studying Mechanisms and Treatment ofImpaired Glucose Tolerance and Type 2 Diabetes.Diabetes, Vol. 53, Supplemen 3
LAMPIRAN
xv
xvi
A. Surat Permohonan Data
xvii
B. Kuesioner Riskesdas
xviii
xix
xx
xxi
xxii
xxiii
xxiv
xxv
xxvi
xxvii
xxviii
xxix
xxx
xxxi
xxxii
xxxiii
xxxiv
xxxv
xxxvi
xxxvii
xxxviii
C. Hasil Analisis Rasio Kemungkinan Positif Hasil analisis responden imt ≥ 27 kg/m2 Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori IMT
tdm
Total
1
533
3956
4489
2
1625 2158
21207 25163
22832 27321
Total
Hasil analisis responden LP >90 cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori lingkar pinggang
tdk dm
Total
1
138
960
1098
2
543 681
9375 10335
9918 11016
Total
Hasil analisis responden LP > 80 cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori lingkar pinggang
tdk dm
Total
1
803
5980
6783
2
674 1477
8848 14828
9522 16305
Total
Hasil analisis responden imt ≥ 27 kg/m2 dengan faktor risiko merokok Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori IMT Total
berisiko tdk berisiko
tdk dm
Total
78
563
641
384 462
6653 7216
7037 7678
xxxix
Hasil analisis responden imt ≥ 27 kg/m2 dengan faktor asupan makan berisiko Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori IMT
berisiko tdk berisiko
Total
tdk dm
Total
460
3518
3978
1390 1850
18400 21918
19790 23768
Hasil analisis responden imt ≥ 27 kg/m2 dengan faktor aktivitas fisik berisiko Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori IMT
berisiko tdk berisiko
Total
tdk dm
Total
60
395
455
232 292
2234 2629
2466 2921
Hasil analisis responden imt ≥ 27 kg/m2 dengan usia >44 tahun Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori IMT
berisiko tdk berisiko
Total
tdk dm
Total
305
1672
1977
1130 1435
9135 10807
10265 12242
Hasil analisis responden imt ≥ 27 kg/m2 yang berjenis kelamin laki-laki Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori IMT Total
tdk dm
Total
berisiko
107
872
979
tdk berisiko
574 681
9463 10335
10037 11016
xl
Hasil analisis responden LP laki-laki ≥ 90 kg/m2 dengan faktor risiko merokok Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori lingkar pinggang
tdk dm
Total
1
78
522
600
2
342 420
6294 6816
6636 7236
Total
Hasil analisis responden LP laki-laki ≥ 90 kg/m2 dengan faktor asupan makan berisiko Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori lingkar pinggang
tdk dm
Total
1
125
851
976
2
460 585
8211 9062
8671 9647
Total
Hasil analisis responden LP laki-laki ≥ 90 kg/m2 dengan faktor aktivitas fisik berisiko Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori lingkar pinggang Total
tdk dm
Total
1
24
129
153
2
94 118
950 1079
1044 1197
xli
Hasil analisis responden LP laki-laki ≥ 90 kg/m2 dengan usia > 44 tahun Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori lingkar pinggang
tdk dm
Total
1
101
513
614
2
437 538
4316 4829
4753 5367
Total
Hasil analisis responden perempuan LP > 80 cm dengan faktor risiko merokok Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori lingkar pinggang
tdk dm
Total
1
27
170
197
2
15 42
230 400
245 442
Total
Hasil analisis responden perempuan LP > 80 cm dengan faktor asupan makan berisiko Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori lingkar pinggang
tdk dm
Total
1
701
5266
5967
2
564 1265
7590 12856
8154 14121
Total
Hasil analisis responden perempuan LP > 80 cm dengan faktor aktivitas fisik berisiko Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori lingkar pinggang Total
tdk dm
Total
1
77
582
659
2
97 174
968 1550
1065 1724
xlii
Hasil analisis responden perempuan LP > 80 cm dengan usia >44 tahun Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm kategori lingkar pinggang
tdk dm
Total
1
496
2677
3173
2
401 897
3301 5978
3702 6875
Total
Hasil analisis ujicoba IMT ≥20 kg/m2 Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
imt >20 1
1707
18474
20181
2
451 2158
6663 25137
7114 27295
Total
Hasil analisis ujicoba IMT ≥23 kg/m2 Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
imt >23 1
1173
10708
11881
2
984 2157
14439 25147
15423 27304
Total
Hasil analisis ujicoba IMT ≥25 kg/m2 Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
imt > 25 1
837
6761
7598
2
1319 2156
18379 25140
19698 27296
Total
xliii
Hasil analisis ujicoba IMT ≥26 kg/m2 Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
imt >26 1
676
5297
5973
2
1481 2157
19857 25154
21338 27311
Total
Hasil analisis ujicoba IMT ≥27 kg/m2 Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
imt >27 1
531
3949
4480
2
1625 2156
21207 25156
22832 27312
Total
Hasil analisis ujicoba IMT ≥28 kg/m2 Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
imt >28 1
408
2922
3330
2
1750 2158
22234 25156
23984 27314
Total
Hasil analisis ujicoba laki-laki dengan LP >80cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp > 80 1
302
3103
3405
2
379 681
7232 10335
7611 11016
Total
xliv
Hasil analisis ujicoba laki-laki dengan LP >88cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp >88 1
170
1307
1477
2
511 681
9028 10335
9539 11016
Total
Hasil analisis ujicoba laki-laki dengan LP >90cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp >90 1
138
960
1098
2
543 681
9375 10335
9918 11016
Total
Hasil analisis ujicoba laki-laki dengan LP >91cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp >91 1
122
830
952
2
559 681
9505 10335
10064 11016
Total
Hasil analisis ujicoba laki-laki dengan LP >92cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp >92 1
113
729
842
2
568 681
9606 10335
10174 11016
Total
xlv
Hasil analisis ujicoba laki-laki dengan LP >93cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp >93 1
104
638
742
2
577 681
9697 10335
10274 11016
Total
Hasil analisis ujicoba perempuan dengan LP >70cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp >70 1
1211
10880
12091
2
266 1477
3948 14828
4214 16305
Total
Hasil analisis ujicoba perempuan dengan LP >75cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp >75 1
1041
8550
9591
2
436 1477
6278 14828
6714 16305
Total
Hasil analisis ujicoba perempuan dengan LP >78cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp > 78 1
910
7102
8012
2
567 1477
7726 14828
8293 16305
Total
xlvi
Hasil analisis ujicoba perempuan dengan LP >80cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp > 80 1
803
5980
6783
2
674 1477
8848 14828
9522 16305
Total
Hasil analisis ujicoba perempuan dengan LP >82cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp > 82 1
723
5055
5778
2
754 1477
9773 14828
10527 16305
Total
Hasil analisis ujicoba perempuan dengan LP >83cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp > 83 1
672
4685
5357
2
805 1477
10143 14828
10948 16305
Total
Hasil analisis ujicoba perempuan dengan LP >84cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp > 84 1
627
4317
4944
2
850 1477
10511 14828
11361 16305
Total
xlvii
Hasil analisis ujicoba perempuan dengan LP >85cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp > 85 1
587
3915
4502
2
890 1477
10913 14828
11803 16305
Total
Hasil analisis ujicoba perempuan dengan LP >90cm Count kondisi dm gabungan antara variabel 71 dan 72 dm
tdk dm
Total
lp > 90 1
188
1191
1379
2
1289 1477
13637 14828
14926 16305
Total