Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Vol. 1 No. 1, Maret 2011 ANALISIS APLIKASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA YOGYAKARTA ANALYZE THE STANDARD OF PHARMACY PRACTICE APPLICATION IN PHARMACY COMMUNITY AT YOGYAKARTA CITY Kuswardani Dwi Atmini¹, Ibnu Gholib Gandjar¹, Achmad Purnomo¹ ¹ Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ABSTRAK Dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah diantaranya menyediakan sarana‐sarana pelayanan kesehatan salah satunya adalah apotek. Sebagai upaya agar apo‐ teker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian secara profesional maka dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek kota Yogyakarta. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa standar pelayanan kefarmasian di apotek kota Yogya‐ karta belum terlaksana dengan baik. Diperoleh skor total standar pelayanan kefarmasian di apotek kota Yogyakarta, menurut masing‐masing responden sebagai berikut menurut apoteker 21% (baik), 79% (cukup); menurut karyawan 21% (baik), 75% (cukup), 4% (kurang); sedangkan menurut pasien 38% (baik), 42% (cukup), 20% (kurang). Adapun faktor yang menghambat pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian diantaranya program pendidikan, seminar atau bentuk lain yang sangat jarang dilakukan sehingga peluang mengembangkan diri sangat terbatas serta kurangnya kegiatan sosialisasi dan lemahnya fungsi kontrol oleh instansi yang berwenang, sehingga perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala oleh pihak‐pihak yang terkait. Kata Kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Apotek, Apoteker, Karyawan, Pasien ABSTRACT In increasing social health services there are a lot of effort that have been done by the government such as provid‐ ing facilities of health services such as pharmacy. As an effort to make phamacist can give a profesional pharmacy practice based on the decision of Health Minister Republic of Indonesia No.27/Menkes/SK/IX/2004 about the Standard of Pharmacy Practice in pharmacy community the goal is to find out the figure of Standards of Pharmacy Practice implementation in pharmacy community at Yogyakarta City. The results of the research generally showed that the standards of pharmacy practice in Yogyakarta has not been implemented well. Total score for the standards pharmacy practice based on pharmacists respondent 21% (good), 79% (enough); employees respondent 21% (good), 75% (enough), 4% (bad) and patients respondent 38% (good), 42% (enough), 20% (bad). The inhibiting factors towards the implementation standards of pharmacy practice such as edu‐ cation programme, seminar or another thing that rarely held that make the opportunity for self development very limit, the socialization are rare and control function from institution that have authority are weak so monitoring and evaluation should do periodicaly. Keywords : Standards of Pharmacy Practice, Pharmacy, Pharmacist, Employees, Patients
PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hak azasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk didalamnya mendapat‐ kan makanan, pakaian, perumahan, dan pelaya‐ nan kesehatan serta pelayanan sosial lain yang diperlukan (Anonim, 2004b). Dalam rangka peningkatan pelayanan kese‐ hatan masyarakat berbagai upaya telah dilaku‐ kan oleh pemerintah diantaranya menyediakan sarana‐sarana pelayanan kesehatan salah satunya adalah apotek. Apotek adalah tempat tertentu untuk melakukan pekerjaan kefarma‐ sian, penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004a).
Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, pemerintah telah memberla‐ kukan suatu standar pelayanan kefarmasian di apotek dengan dikeluarkannya Kepmenkes No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Tujuan diber‐ lakukannya standar tersebut adalah sebagai pe‐ doman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pe‐ layanan yang tidak profesional dan untuk melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian (Hartini, 2008). Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku dalam berinteraksi dengan pasien dengan pemberian informasi yang lengkap mengenai cara pe‐ makaian dan penggunaan, efek samping hingga 49
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Vol. 1 No. 1, Maret 2011 monitoring penggunaan obat untuk meningkat‐ kan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu apo‐ teker dalam menjalankan profesinya harus se‐ suai dengan standar pelayanan kefarmasian di apotek untuk menjamin mutu pelayanan ke‐ farmasian kepada masyarakat (Anonim, 2004a). Dilatarbelakangi oleh deregulasi di bidang perizinan sesuai Kepmenkes No.1332/Menkes/ SK/X/2002 tentang perubahan atas Permenkes No.922/Menkes/Per/X/1993 tentang ketentuan dan tata cara pemberian ijin Apotek, menurut data dari DinKes kota Yogyakarta hingga bulan Juni 2009 sudah tercatat 120 apotek yang berdiri di kota Yogyakarta. Seiring dengan berdirinya beberapa perguruan tinggi Farmasi di DIY den‐ gan meluluskan apoteker‐apoteker dalam jum‐ lah yang cukup banyak memberikan dampak jumlah apoteker yang terus meningkat khusus‐ nya di kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta meru‐ pakan icon bagi seluruh masyarakat DIY, se‐ hingga sebagai cermin/pilot project terhadap proyek yang dilakukan oleh pemerintah khusus‐ nya Dinas Kesehatan dan organisasi profesi (IAI) di kota Yogyakarta. Berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan kota dan IAI, apotek di kota Yogyakarta belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian dengan baik sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menganalisa aplikasi Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek kota Yogyakarta sesuai dengan Kepmenkes No.1027/Menkes/SK/IX/2004 serta faktor‐faktor yang menghambat pelak‐ sanaannya. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di apotek di kota Yogya‐ karta secara cluster sampling yang terdiri dari subpopulasi yang heterogen menggunakan ran‐ cangan penelitian deskriptif dengan metode cross ‐sectional, yaitu dengan mengumpulkan data se‐ cara lengkap dengan menggunakan kuesioner dan wawancara secara langsung kepada Apote‐ ker, karyawan di apotek dan pasien yang mene‐ bus resep di apotek dalam satu kurun waktu (Februari‐April 2010). Bahan penelitian adalah Apoteker yang praktek profesi di apotek sampel, karyawan yang bekerja di apotek sampel dan pasien yang menebus resep di apotek sampel serta bersedia mengisi kuesioner. 1. Apoteker, kriteria inklusi yang digunakan adalah apoteker yang berkedudukan sebagai APA (Apoteker Pengelola Apotek), namun jika berhalangan dikarenakan oleh sesuatu hal maka
dapat diwakilkan kepada Aping (Apoteker Pen‐ damping). 2. Karyawan, kriteria inklusi yang digunakan adalah tenaga teknis kefarmasian (Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apote‐ ker), kecuali apotek yang tidak mempunyai tenaga teknis kefarmasian namun sudah bekerja di apotek lebih dari 1 tahun dan ditunjuk oleh Apoteker setempat. 3. Pasien, kriteria inklusi yang digunakan adalah pasien langganan atau pasien yang menebus resep di apotek minimum 2 kali. Menurut data dari Dinkes kota Yogyakarta bulan Juni 2009 jumlah apotek di kota Yogya‐ karta sebanyak 120 apotek sehingga penarikan sampel yang dilakukan dengan cara random sam‐ pling sebesar 20% dari jumlah populasi (Sevilla, et al, 2006) , dan diperoleh jumlah apotek sampel sebanyak 24 apotek. Tabel 1. Persentase Distribusi Apotek Sampel berdasarkan Kecamatan Kecamatan Mantrijeron
Populasi
Sampel
14
3
Kraton
4
1
Mergangsan
4
1
Umbulharjo
24
5
4
1
15
3
Danurejan
5
1
Pakualaman
5
1
Gondomanan
7
1
Ngampilan
4
1
Wirobrajan
9
2
Gedongtengen
7
1
10
2
8
1
120
24
Kotagede Gondokusuman
Jetis Tegalrejo Jumlah
Untuk menentukan responden apoteker dan karyawan sebagai sampel digunakan teknik ran‐ dom sampling, sedangkan responden pasien menggunakan purposive sampling di 24 apotek sampel. Jumlah Apoteker dan karyawan diperoleh dari 24 apotek sampel, masing‐masing apotek diwakili oleh satu (1) apoteker dan satu (1) karyawan.
50
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Vol. 1 No. 1, Maret 2011 Untuk menentukan jumlah pasien sebagai responden, menggunakan rumus Slovin sebagai berikut : n=
N 1 + Ne²
n = ukuran sampel N= ukuran populasi / jumlah rata‐rata resep per bulan e = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaranketidaktelitian karena ke‐ salahanpengambilan sampel populasi) (Sevilla, et al, 2006) n=
4000
2. Karyawan Responden karyawan (table III) dari hasil penelitian sebagian besar lulusan SMF/SAA ber‐ jenis kelamin perempuan yang berusia kurang dari 30 tahun dengan masa kerja di apotek kurang dari 5 tahun, hal ini menggambarkan kondisi apotek yang masih mengunakan asisten Apoteker (AA) perempuan muda dan baru lulus untuk membantu kinerja apoteker di apotek. Tabel III. Profil Responden (Karyawan) Jenis Jenis
Kategori Kategori
Jenis Jenis Kelamin Kelamin Usia Usia
Laki‐laki Laki‐laki Perempuan Perempuan
1 + {4000 x (0,05²)
≥51 tahun ≥51 tahun Pendidikan SMF / SAA SMF / SAA Pendidikan SMA SMA D3 D3 S1 S1 Masa Kerja ≤5 tahun Masa Kerja ≤5 tahun
4000
n=
1 + 10
n=
364
6—10 tahun 6—10 tahun 11—15 tahun 11—15 tahun ≥16 tahun ≥16 tahun
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden dan Apotek Sampel 1. Apoteker
Usia
Masa kerja
Kategori Laki‐laki Perempuan
Frek 5 19
≤30 tahun
11
46
31—40 tahun 41—50 tahun ≥51 tahun
9 1 3
38 4 12
≤5 tahun
11
46
6—10 tahun
10 1 2
42 4 8
11—15 tahun ≥16 tahun
% % 13 13 87 87 50 50
7 7 3 3
29 29 13 13
2 2 11 11 2 2 9 9 2 2
8 8 46 46 8 8 38 38 8 8
12 12 10 10 ‐ ‐ 2 2
50 50 42 42 ‐ ‐ 8 8
3. Pasien
Tabel II. Profil Responden (Apoteker) Jenis Jenis Ke‐ lamin
≤30 tahun ≤30 tahun 31—40 tahun 31—40 tahun 41—50 tahun 41—50 tahun
Frek Frek 3 3 21 21 12 12
% 21 79
Status Apoteker
Merangkap Tidak Merangkap
2 22
8 92
Posisi di apotek
APA Aping
20 4
83 17
Responden apoteker dari hasil penelitian se‐ bagian besar berjenis kelamin perempuan yang berusia kurang dari 30 tahun dengan masa kerja di apotek kurang dari 5 tahun, hal ini menggam‐ barkan kondisi Apoteker yang bekerja di apotek pada umumnya adalah apoteker muda yang baru saja lulus yang sebagian besar tidak merangkap bekerja di tempat lain dengan posisi APA (Apoteker Pengelola Apotek) di apotek kota Yogyakarta.
Responden pasien dari hasil penelitian se‐ bagian besar berjenis kelamin perempuan yang berusia kurang dari 30tahun dengan pendidikan terakhir S1 dan bekerja sebagai karyawan, hal ini menggambarkan kondisi pasien yang kebanya‐ kan perempuan dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, sehingga lebih selektif dan kritis dalam pemilihan hal‐hal yang berhubungan dengan kesehatan. Tabel IV. Profil Responden (Pasien) Jenis Jenis Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Kategori Frek Kategori Frek Laki‐laki Laki‐laki 150 150 Perempuan Perempuan 215 215 ≤30 tahun ≤30 tahun 175 175 31—40 tahun 31—40 tahun 76 76 Usia Usia 41—50 tahun 41—50 tahun 61 61 ≥51 tahun ≥51 tahun 53 53 SMP SMP 22 22 SMA SMA 127 127 D1 D1 5 5 D3 D3 18 18 Pendidikan Pendidikan S1 S1 165 165 S2 S2 16 16 S3 S3 ‐ ‐ Lain‐lain Lain‐lain 12 12 Pelajar Pelajar 10 10 Mahasiswa Mahasiswa 45 45 PNS PNS 45 45 Pekerjaan Pekerjaan Karyawan Karyawan 98 98 Wiraswasta Wiraswasta 86 86 Lain‐lain Lain‐lain 81 81
% % 41 41 59 59 48 48 21 21 17 17 14 14 6 6 35 35 1 1 5 5 45 45 5 5 ‐ ‐ 3 3 3 3 12 12 12 12 27 27 24 24 22 22
51
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Vol. 1 No. 1, Maret 2011 Tabel V. Profil Apotek
Pearson, dengan ketentuan uji validitas sebagai berikut : Status Apotek Swasta 24 100 Nilai rtabel pada derajat bebas (db) = n‐2 atau Negeri ‐ ‐ 24‐2=22 dengan derajat kepercayaan 95% pada PSA 18 75 nilai N = 24, menunjukkan nilai sebesar 0,404. Kepemilikan PSA + APA 5 21 Hasil uji validitas dilakukan terhadap 17 butir apotek 1 4 APA perta nyaan diperoleh data bahwa 1 butir per‐ 2 8 ≤1 tahun tanyaan tidak valid yaitu pertanyaan nomor 4. Lama berdiri 1—5 tahun 6 25 8 33 6—10 tahun Pada analisis reliabilitas digunakan rumus Cron‐ 8 33 ≥10 tahun bach’s Alpha. Pada analisis menggunakan SPSS 9 38 ≤100 for window release 17 menghasilkan nilai alpha Lembar resep 8 33 101—500 Cronbach sebesar: 0,897. Dapat disimpulkan per bulan 501—1000 4 17 bahwa kuesioner memiliki tingkat reliabilitas 3 12 ≥10001 yang baik. Tidak ada 10 42 Dokter 1 3 12 3. Pasien praktek 2 2 8 Uji validitas dengan responden pasien meng‐ 9 38 ≥3 gunakan rumus Product Moment Correlation 4. Apotek Pearson, dengan ketentuan uji validitas sebagai Apotek di kota Yogyakarta (tabel V) sebagian berikut : besar adalah apotek swasta yang berdiri lebih Nilai r tabel pada derajat bebas (db) = n‐2 atau dari 6 tahun dengan PSA sebagai pemiliknya. 30‐2=28 dengan derajat kepercayaan 95% pada Namun sebagian besar apotek di kota Yogya‐ nilai N = 30, menunjukkan nilai sebesar 0,361. karta tidak memiliki kerja sama dengan dokter Hasil uji validitas dilakukan terhadap 15 butir praktek sehingga jumlah lembar resep per bu‐ pertanyaan diperoleh data bahwa 2 butir pertan‐ lannya kurang dari 100 lembar per bulan. Hal ini yaan tidak valid yaitu pertanyaan nomer 1 dan dikarenakan tidak adanya aturan atau undang‐ 15. Pada analisis reliabilitas digunakan rumus undang yang mengatur jarak yang diperbo‐ Cronbach’s Alpha. Pada analisis menggunakan lehkan berdirinya antar apotek dan keterbatasan SPSS for window release 17 diperoleh hasil nilai modal yang dibutuhkan untuk mengadakan alpha hitung sebesar 0,894. Yang dapat disim‐ kerja sama dengan dokter praktek. pulkan bahwa kuesioner memiliki tingkat reli‐ abilitas yang baik. B. Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Apoteker C. Perolehan Skor tiap Indikator Uji validitas dengan responden apoteker Dengan melakukan uji komparasi skor setiap menggunakan rumus Product Moment Correlation indikator (SDM, sarana dan prasarana, Pearson, dengan ketentuan uji validitas sebagai pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan berikut : kesehatan, administrasipelayanan dan evaluasi Nilai r tabel pada derajat bebas (db) = n‐2 atau mutu)pada masing‐masing kelompok responden 24‐2=22 dengan derajat kepercayaan 95% pada dan akan diketahui skor mana yang paling nilai N = 24, menunjukkan nilai sebesar 0,404. tinggi. Metode statistik yang digunakan adalah Hasil uji validitas dilakukan terhadap 25 butir uji Kruskal‐Wallis, karena karakteristik dari data perta nyaan diperoleh data bahwa 5 butirpertan‐ yang ada bersifat ordinal dan diambil dari sam‐ yaan tidak valid (4,5,6,14 dan 16). Pada analisis pel yang berasal lebih dari dua kelompok. reliabilitas digunakan rumus Cronbach’s Alpha. Pada analisis menggunakan SPSS for window 1. Apoteker release 17 menghasilkan nilai alpha Cronbach Indikator evaluasi mutu menduduki pering‐ sebesar 0,879. Dapat disimpulkan bahwa kat ke‐6 (tabel VI), berarti sebagian besar apotek kuesioner memiliki tingkat reliabilitas yang baik. tidak terlalu memperhatikan tentang evaluasi mutu apotek. Protap untuk proses‐proses yang 2. Karyawan dilakukan di apotek dilakukan secara spontan Uji validitas dengan responden karyawan tanpa ada evaluasi yang dilakukan secara ber‐ menggunakan rumus Product Moment Correlation kala terhadap semua komponen kegiatan yang Jenis
Kategori
Frek
%
52
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Vol. 1 No. 1, Maret 2011 Tabel VI. Perolehan skor tiap indikator (apoteker) Indikator SDM Sarana dan prasarana Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan Administrasi Pelayanan Evaluasi mutu Rata‐rata
Mean Rank 219,19 213,83
Peringkat
Skor
4 5
71,9 70,8
353,08
1
286,42 279,15 161,50
2 3 6
Tabel VII. Perolehan skor tiap indikator (Karyawan) Peringkat
Skor
1 3
86,4 73,9
95,8
SDM Sarana dan prasarana Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
Mean Rank 265,33 204,33 233,75
2
80,2
83,9 82,6 59,2 77,36
Administrasi Pelayanan Evaluasi mutu Rata‐rata
142,67 183,93 197,29
6 5 4
63,5 70 73,9 74,65
dilakukan. Sehingga tidak ada dasar perbaikan pelayanan kefarmasian selanjutnya. Dan se‐ bagian apotek memiliki protap namun hanya disimpan di book keeper. Sebagian besar apotek di kota Yogyakarta tidak memiliki protap secara tertulis namun dilakukan diantaranya penge lolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, pelayanan resep, konsel‐ ing, dan promosi edukasi sedangan protap Home Care belum dilakukan baik tertulis maupun pe‐ laksanaan di lapangan hal ini dikarenakan keter‐ batasan sumber daya manusia dalam hal ini apo‐ teker untuk terjun langsung memberikan pelaya‐ nan kefarmasian kepada pasien yang dilakukan di rumah khususnya untuk kelompok lanjut usia dan pasien penyakit kronis, hal ini dikarenakan keadaan fisik pasien yang tidak memungkinkan untuk datang ke apotek untuk mendapatkan pelayanan kefarmasian secara optimal. Adapun manfaat adanya protap adalah untuk memasti‐ kan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat, adanya pembagian tugas dan wewe‐ nang, memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja di apo‐ tek, sebagai alat untuk melatih staf baru dan membantu proses audit. 2. Karyawan Berdasarkan hasil penelitian uji komparasi responden karyawan terhadap keenam indikator dapat dilihat bahwa indikator SDM menduduki peringkat pertama, dengan ditunjukkan nilai mean rank tertinggi. Hal ini berarti indicator SDM menurut karyawan menjadi hal yang sangat diperhatikan untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian, diantaranya kehadiran apoteker. 3. Pasien Berdasarkan hasil penelitian uji komparasi
Indikator
Tabel VII. Perolehan skor tiap indikator (Pasien) Indikator Indikator
Mean Mean Rank Rank
Peringkat Peringkat
Skor Skor
Sarana dan Sarana dan prasarana prasarana Pengelolaan Pengelolaan sediaan farmasi sediaan farmasi dan perbekalan dan perbekalan kesehatan kesehatan
2888,46 2888,46
2 2
85,8 85,8
3267,58 3267,58
1 1
91,8 91,8
Pelayanan Pelayanan Rata‐rata Rata‐rata
2244,81 2244,81
3 3
72,4 72,4 83,33 83,33
responden pasien hanya terdapat tiga indikator, yaitu sarana dan prasarana, pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan serta pelaya‐ nan sedangkan SDM dan evaluasi mutu di termi‐ nate hal ini disebabkan tidak valid dan reliable nya kuesioner seputar SDM dan evaluasi mutu. Keberadaan apoteker di apotek bukan men‐ jadi prioritas utama bagi pasien, hal ini ditunjuk‐ kan dengan tidak valid dan reliabelnya kue‐ sioner tentang keberadaan apoteker di apotek. Hal ini menunjukkan peranan apoteker dalam pelayanan kefarmasian di apotek tidak optimal karena hampir semua pasien mengatakan tidak mengetahui keberadaan apoteker, seharusnya peranan apoteker ditunjukkan dengan kehadiran apoteker selama apotek buka dengan identitas khusus, misal seragam warna khusus atau name tack sehingga eksistensi apoteker dikenal oleh masyarakat dalam melaksanakan pekerjaan dan pelayanan kefarmasian di apotek.Informasi yang didapatkan oleh sebagian besar pasien baru se‐ batas cara dan aturan pakai obat. Hal ini berarti pelayanan apotek kota Yogyakarta belum berori‐ entasi sepenuhnya pada pasien. Padahal menu‐ rut standar pelayanan farmasi komunitas, semua informasi tersebut di atas seharusnya diberikan oleh apotek dan merupakan hak konsumen (pasien). 53
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Vol. 1 No. 1, Maret 2011 Informasi yang didapatkan oleh sebagian besar pasien baru sebatas cara dan aturan pakai obat. Hal ini berarti pelayanan apotek kota Yogya‐ karta belum berorientasi sepenuhnya pada pasien. Padahal menurut standar pelayanan farmasi komunitas, semua informasi tersebut di atas seharusnya diberikan oleh apotek dan me‐ rupakan hak konsumen (pasien). Informasi yang lengkap dan jelas akan mengurangi risiko ter‐ jadinya medication error. Meskipun pasien belum memperoleh jenis informasi yang lengkap sesuai standar, pasien tetap mempunyai persepsi yang baik. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien belum mengetahui atau memahami adanya stan‐ dar pelayanan farmasi komunitas sehingga mereka belum peduli terhadap jenis pelayanan yang diberikan apotek. D. Skor Total Pelayanan Kefarmasian di Apotek Perolehan skor total pelayanan kefarmasian di apotek secara keseluruhan diperoleh dengan menjumlahkan nilai setiap indikator pada masing‐masing responden, kemudian dihitung persentase jumlah responden yang memenuhi standar dengan nilai baik (B) bila skor lebih be‐ sar atau sama dengan 81, persentase yang me‐ menuhi standar dengan nilai cukup (C) bila skor mencapai 61‐81 dan persentase yang memenuhi standar dengan nilai kurang (K) bila skor kurang dari atau sama dengan 61. Perolehan skor total untuk masing‐masing responden dapat dilihat pada tabel VI, VII dan VIII. Secara keseluruhan apotek di kota Yogyakarta belum melaksanakan standar pelayanan ke‐ farmasian dengan baik. Tabel VI. Skor total Apoteker Nilai Frek % Kategori ≥81 81—61 ≤61 Jumlah
5
21
Baik
19 ‐
79 ‐
Cukup Kurang
24
100
Tabel VII. Skor total Karyawan Nilai Frek % Kategori ≥81 81—61 ≤61 Jumlah
5
21
Baik
18 1
75 4
Cukup Kurang
24
100
Tabel VIII. Skor total Pasien Nilai Frek % Kategori ≥81 81—61 ≤61 Jumlah
54
140
38
Baik
151 74
42 20
Cukup Kurang
365
100
Kewajiban apoteker untuk memberikan pe‐ layanan kefarmasian yang meliputi antara lain pemberian informasi obat, konsultasi obat, edu‐ kasi swamedikasi, monitoring penggunaan obat dan lain‐lain belum sepenuhnya dilakukan di apotek kota Yogyakarta. Standar ini belum dilak‐ sanakan sepenuhnya oleh apotek serta belum dikenal atau tersosialisasi kepada konsumen apotek. Adapun kendala dalam rangka meningkatkan pelayanan kefarmasian diantaranya, pemaha‐ man terhadap pelayanan kefarmasian belum komprehensif, apoteker kurang percaya diri dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, kurang memadainya sarana informasi untuk meningkatkan pelayanan ke‐ farmasian. Sehingga diperlukan sinergisme se‐ mua pemangku kepentingan dalam hal ini pe‐ merintah sebagai penentu kebijakan, perguruan tinggi, organisasi profesi (IAI) dalam mengha‐ dapi era pasar bebas, globalisasi teknologi untuk membentuk apoteker yang profesional dalam rangka meningkatkan pelayanan kefarmasian yang berkualitas. Program pendidikan, seminar atau bentuk lain sangat jarang dilakukan sehingga peluang mengembangkan diri sangat terbatas. Mungkin untuk kedepannya dibentuk kelompokkelompok ilmiah kecil di cabang‐cabang IAI sesuai bidang profesinya untuk melaksanakan pendidikan farmasi berkelanjutan (continuing education) agar dapat meng up date ilmunya sesuai perkemban‐ gan iptek dan pelayanan farmasi. Sehingga Apo‐ teker lebih percaya diri dan siap dalam mem‐ berikan pelayanan kefarmasian kepada masyara‐ kat. Fakta di lapangan, masih banyak apotek yang tidak memenuhi persyaratan umumnya per‐ syaratan hanya dipenuhi sebagai formalitas yang harus dipenuhi saat mengurus perizinan dan setelah izin dikeluarkan persyaratan itu diabai‐ kan. Hal ini menunjukkan kurangnya kegiatan sosialisasi dan lemahnya fungsi control oleh in‐ stansi yang berwenang sehingga perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala. KESIMPULAN 1. Berdasarkan skor total dari masing‐masing responden (apoteker, karyawan dan pasien), apotek di kota Yogyakarta belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian dengan baik. Skor total Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek kota Yogyakarta, menurut masing‐
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Vol. 1 No. 1, Maret 2011 masing responden sebagai berikut : menurut apoteker 21% (baik), 79% (cukup); menurut karyawan 21% (baik), 75% (cukup), 4% (kurang); sedangkan menurut pasien 38% (baik), 42% (cukup), 20% (kurang). 2. Faktor penghambat dalam rangka meningkat‐ kan pelayanan kefarmasian diantaranya, pro‐ gram pendidikan, seminar atau bentuk lain yang sangat jarang dilakukan dan kurangnya kegiatan sosialisasi dan lemahnya fungsi kontrol oleh instansi yang berwenang.
DAFTAR PUSTAKA Anonim , 2004a , Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Anonim , 2004b , Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027/Menkes / SK / IX /2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta Hartini, Y. S. , 2008 , Sebuah Potret Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Majalah Medisina, Edisi 4/Vol II/April‐Juni 2008 halaman 37‐40, PT ISFI Penerbitan, Ja‐ karta
55