5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Rantai Pasok
Rantai pasok adalah rangkaian yang terkait dari proses dalam perusahaan dan lintas perusahaan lain yang menghasilkan produk atau jasa yang memuaskan konsumen. Lebih jauh rantai pasok adalah jejaring aliran produk, jasa, keuangan, dan atau informasi yang mengaitkan pemasok dan konsumen (Krajewski et al. 2010). Sedangkan manajemen rantai pasok adalah seperangkat keputusan dan kegiatan yang digunakan untuk mengintegrasikan pemasok, produsen, gudang, pengangkut, pengecer, dan konsumen yang efisien, sehingga produk atau jasa dapat didistribusikan dengan jumlah yang tepat, ke lokasi yang tepat, dan waktu yang tepat. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan biaya dengan tingkat pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Tujuan manajemen rantai pasok ini adalah untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Li 2007; Levi et al. 2000). Sementara itu, menurut Vorst (2006), manajemen rantai pasok merupakan perencanaan yang terintegrasi, koordinasi, dan pengawasan seluruh proses dan kegiatan bisnis dalam rantai pasok yang memberikan nilai kepuasan yang tinggi kepada konsumen dengan biaya yang minimum. Namun demikian, tetap memuaskan keinginan pemangku kepentingan lainnya dalam rantai pasok tersebut. Lazzarini (2000) menurut Vorst (2006) menggambarkan jaringan agroindustri secara vertikal (Gambar 2.1) sehingga merupakan aliran produk disetiap tingkatan rantai pasok dalam konteks jaringan rantai pasok pertanian menyeluruh. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah titik dalam lapisan jaringan rantai pasok ini. Agroindustri menjadi pusat rantai pertanian yang berperan penting dalam meningkatkan nilai tambah produk pertanian di pasar. Selain itu agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
6
Distributor lainnya
Pemangku Kepentingan
Konsumen
Agroindustri
Petani/Pemasok
Gambar 2.1 Jaringan Rantai Pasok Vertikal (Lazzarini 2000)
Untuk produk pertanian, rantai pasok merujuk kepada kegiatan seluruh rantai pasok, yaitu mulai produksi di kebun, pengolahan, distribusi, hingga kegiatan mengecer ke konsumen (Chen 2004). Berbeda dengan sistem manufaktur, manajemen rantai pasok untuk produk pertanian memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) produk pertanian bersifat mudah rusak, 2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, 3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, 4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994 dalam Marimin et al. 2010). Pembentukkan rantai pasok produk pertanian didorong oleh keinginan untuk meningkatkan daya saing. Menurut Chen (2004), terdapat tiga hal yang menjadi market drivers pembentukkan rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) keamanan pangan dan jaminan kualitas produk, dari mulai produksi sampai ke konsumen, 2) inovasi produk dan diferensiasi, 3) minimalisasi biaya untuk mengurangi biaya logistik yang mencakup berbagai transaksi, pengiriman, penggudangan, dan biaya pengiriman. Menurut Vorst (2006) yang mengadaptasi Lambert dan Cooper (2000) terdapat empat elemen yang dapat digunakan untuk menjelaskan, menganalisis, dan membentuk rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) struktur jaringan yang membatasi jaringan rantai pasok dan menjelaskan pelaku utama rantai pasok,
7
aturan dan penyusunan kelembagaan yang mengatur jaringan tersebut, 2) rantai proses bisnis, yang terukur dalam kegiatan bisnis yang terencana untuk memproduksi output yang spesifik (produk fisik, jasa, dan informasi) bagi konsumen atau pasar tertentu, 3) manajemen jaringan dan rantai pasok yang menunjukkan koordinasi dan struktur manajemen dalam jaringan yang memfasilitasi pelaksanaan proses oleh para pelaku rantai pasok dan penggunaan sumber daya rantai pasok, 4) sumber daya rantai pasok yang digunakan untuk memproduksi produk dan menyalurkannya ke konsumen. Frame work rantai pasok produk pertanian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Frame work untuk pembentukkan rantai pasok produk pertanian (Vorst 2006, adaptasi Lambert dan Cooper 2000)
Setiap elemen dalam frame work rantai pasok produk pertanian secara langsung berkaitan dengan tujuan rantai pasok produk pertanian tersebut. Tiga proposisi nilai yang menjadi tujuan rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) diferensiasi jaringan dan segmentasi pasar, dimana target diferensiasi rantai pasok sesuai dengan permintaan spesifik dari konsumen, 2) kualitas yang terintegrasi,
8
dimana target ini sesuai dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk yang aman dan ramah lingkungan, 3) optimasi jaringan, yang dilakukan untuk mengurangi biaya melalui efisiensi rantai pasok dengan pasokan informasi yang rasional (Vorst 2006). Tujuan dari rantai pasok yang akan diwujudkan harus dapat diukur melalui output yang dihasilkan, yaitu kinerja rantai pasok. Menurut Vorst (2006) kinerja rantai pasok didefinisikan sebagai tingkat rantai pasok dalam memenuhi keinginan pengguna akhir dan pemangku kepentingan dengan memperhatikan indikator kinerja setiap saat. Sedangkan indikator kinerja adalah operasionalisasi karakteristik proses yang membandingkan kinerja sistem dengan target nilai. Contoh indikator kinerja logistik untuk rantai pasok produk pertanian disajikan pada Tabel 2.1. Dalam rantai pasok produk pertanian, bagian untuk petani dari pengeluaran konsumen kemungkinan kecil karena penyalahgunaan kekuatan pasar oleh industri pengolahan dan distributor. Industri pengolahan dapat mengambil nilai tambah yang besar baik dari harga pembelian yang lebih rendah atau harga konsumen yang lebih tinggi ataupun keduanya (Bunte 2006). Oleh karena itu diperlukan teori kesejahteraan (welfare theory) yang dapat digunakan untuk menilai industri dan kinerja rantai pasok. Kesejahteraan dalam kinerja rantai pasok terletak pada dua elemen, yaitu: 1) efisiensi (profit) dan 2) keadilan (pemangku kepentingan). Efisiensi merujuk pada penciptaan nilai tambah, sedangkan keadilan merujuk pada pembagian nilai tambah untuk semua pemangku kepentingan (Bunte 2006).
9
Tabel 2.1 Indikator Kinerja Logistik untuk Rantai Pasok Produk Pertanian Level Jaringan Rantai Pasok
Indikator Kinerja Ketersedian produk
Penjelasan Tersedianya produk dalam jaringan rantai pasok
Kualitas produk
Produk yang masih terjaga kualitasnya
Responsiveness
Siklus waktu order rantai pasok
Realibility pengiriman
Sesuai dengan waktu pengiriman yang terjamin
Total biaya rantai pasok
Jumlah seluruh biaya organisasi dalam rantai pasok
Organisasi
Level persediaan
Jumlah produk yang tersedia
Waktu proses
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan rantai proses bisnis
Responsiveness
Fleksibilitas organisasi
Realibility pengiriman
Persen order yang dikirim tepat waktu dan jumlah
Total biaya organisasi
Jumlah seluruh biaya proses dalam organisasi yang spesifik
Proses
Responsiveness
Fleksibilitas proses
Waktu proses
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses
Hasil proses
Hasil dari proses
Biaya proses
Biaya untuk melakukan proses
Sumber: Vorst (2006)
10
2.2 Studi Sistem
Perkembangan yang terjadi di dunia nyata memberikan konsekuensi logis terhadap peningkatan kompleksitas persoalan. Semakin kompleks sebuah persoalan di dunia nyata maka semakin dituntut suatu pola pikir yang integratif dalam penyelesaiannya sehingga diperoleh suatu solusi yang optimal. Persoalan dunia nyata dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang di dalamnya bisa terdiri dari beberapa sub sistem, sehingga persoalan dapat diselesaikan secara bertahap dengan sebuah metodologi yang sistematis yang dikenal dengan metodologi sistem. Menurut Eriyatno (2003) metodologi sistem mempunyai tujuan untuk mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Analisis dengan metodologi ini akan menghasilkan satu set alternatif dari kebutuhan yang telah diidentifikasi. Selanjutnya dikatakan bahwa metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yang meliputi ; (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Langkah ke-1 sampai ke6 tersebut selanjutnya disebut dengan Analisis Sistem. Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan obyek yang berkaitan di antara satu obyek dengan obyek yang lainnya dan antar atribut-atributnya serta keterkaitannya dengan lingkungan dengan membentuk suatu sinergi (Schoderbek 1985). Manetch and Park (1985) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Perbedaan definisi di atas terletak pada pernyataan bahwa di dalam sistem yang berinteraksi tidak murni obyeknya melainkan ada komponen intrinsik yang berinteraksi yaitu atribut yang relevan yang terdapat pada obyek tersebut. Pada sebuah organisasi dapat digambarkan kerangka sistem yang sekaligus menunjukkan posisi sistem yang terdiri dari komponen-komponen dengan lingkungannya yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.3.
11
Penggambaran skema tersebut dapat mempermudah dalam menentukan batasan sistem, identifikasi komponen dan analisisnya. Lingkungan merupakan elemen di luar sistem yang seringkali tidak dapat dikendalikan. Suatu obyek mungkin termasuk dalam sistem dan lingkungan. Eriyatno (2003) membagi komponen input menjadi input endogen (input yang terkendali) dan input eksogen (input yang tidak terkendali) serta mengklasifikasikan output ke dalam output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Identifikasi dan pendefinisian yang benar akan seluruh bagian dari sistem di dalam sebuah persoalan sistem akan sangat menentukan validasi dari hasil sebuah studi sistem. Parameter sistem harus ditentukan terlebih dahulu untuk dapat mengelola sistem tersebut sehingga mampu mencapai tujuan yang diinginkan, manajemen/pengelolaan sistem tersebut dalam kerangka sistem akan menentukan kinerja umpan balik.
Gambar 2.3 Organisasi, sumber daya dan lingkungannya (Schoderbek 1985)
2.3 Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem merupakan pendekatan terpadu yang memandang suatu persoalan
dengan
memperhatikan
interaksi
antara
obyek-obyek
yang
menggabungkan obyek-obyek tersebut sehingga membentuk keseluruhan
12
(Schoderbek 1985). Prinsip dasar dari pendekatan sistem adalah (1) Suatu sistem lebih besar daripada jumlah komponen sistem tersebut, (2) Bagian dari sistem yang dipelajari harus dapat diduga, (3) Meskipun tiap sub sistem berdiri sendiri, sub sistem ini merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, (4) Adanya pengorbanan suatu tujuan jika ingin meningkatkan tujuan lain, (5) Sistem yang kompleks harus dipecah ke dalam sub-sistem yang lebih kecil sehingga dapat dianalisis dan dimengerti sebelum digabungkan kembali, (6) Komponen sistem saling berinteraksi, perubahan pada suatu elemen akan mempengaruhi seluruh komponen dan (7) Semua sistem cenderung mencapai keseimbangan yang merupakan keseimbangan dari berbagai kekuatan dari luar sistem. Menurut Schoderbeck (1985) terdapat tiga fase utama dalam melakukan studi sistem yang menggunakan pendekatan sistem yaitu fase konseptualisasi, fase kuantifikasi dan fase komputerisasi. Pendekatan sistem merupakan multidisiplin ilmu, beberapa kompetensi yang diperlukan di antaranya adalah tersedianya (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) Kerja tim (multidisiplin), (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non – kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan aplikasi komputer (Eriyatno 2003).
2.4 Sumber Karbohidrat Ubi Kayu di Indonesia
Sumber karbohidrat yang penting di Indonesia adalah padi, jagung, sagu, ubi kayu dan ubi jalar. Padi dan jagung sudah sangat penting sehingga telah banyak mendapat perhatian dan penanganan pemerintah dan masyarakat. Walau belum tersebar luas, sagu sudah mulai dibudidayakan di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau Daratan. Sedangkan singkong, walau penting belum mendapat perhatian dan penanganan yang cukup, telah dibudidayakan (dengan siklus 1 tahun) dan melibatkan petani. Ubi kayu bisa ditanam kapan dan di mana saja, tidak memerlukan tanah yang “baik”, dan tidak se-sensitif padi. Tanaman ubi kayu termasuk dalam famili Euphorbiaceae, dengan spesies Manihot esculenta dan Manihot utilisima. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada ketinggian 0 – 1000 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 1000 –
13
1500 mm/tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan sekitar 24 – 29oC, pada suhu yang lebih tinggi dari 29oC produksi akan menurun sedangkan pada suhu yang lebih rendah dari 10oC pertumbuhan akan terhenti (Kay 1973).
Tanaman ubi
kayu tidak memerlukan tanah dengan persyaratan khusus, tanaman ini dapat tumbuh di tanah yang subur maupun di tanah yang kering Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (2011), produksi yang optimal akan dapat dicapai apabila tanaman mendapat sinar matahari yang cukup, tekstur tanah agak halus/sedang, rata-rata temperatur sekitar 24 – 29oC, dengan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun, dan lama bulan kering 3,5-5 bulan. Kriteria kesesuaian lahan ubi kayu secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Dengan bentuk umbi, maka hampir tidak ada kontribusinya terhadap struktur dan kandungan unsur hara tanah, karena akar/umbi tanaman dicabut. Dengan demikian kelestarian perkebunan ubi kayu memerlukan upaya khusus untuk menjaga kelestarian lahan dengan memberikan kembali unsur hara tanah berupa pupuk organik di samping pupuk buatan. Sisa tanaman sebaiknya dicacah untuk dimasukkan kembali ke dalam tanah. Mengingat nilai produksi dan kemudahan di dalam budidayanya, pola usaha ubi kayu sering tidak menghasilkan pendapatan yang berarti bagi petani, apalagi jika ditanam bukan merupakan usaha pokok. Bagi petani yang tidak memiliki modal usaha yang cukup, dengan hanya bermodalkan tenaga untuk mengolah tanah, petani sudah dapat
menanam
ubi
kayu
karena
bibitnya mudah didapat dan murah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanaman ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak memerlukan persyaratan tanah tertentu. Ubi kayu mengandung sejumlah zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Kandungan kimia tepung ubi kayu disajikan pada Tabel 2.2. Kandungan terbesar tepung ubi kayu adalah air sebesar 62,8 persen, dan karbohidrat sebesar 34,7 persen, sedangkan kandungan lemak dan protein relatif kecil yaitu 0,3 dan 1,2 persen.
14
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Ubi Kayu Setiap 100 gram Komposisi
Nilai
Satuan
Energi
146,0
Kkal
Protein
1,2
Gram
Lemak
0,3
Gram
Karbohidrat
34,7
Gram
Kalsium
33
Miligram
Fosfor
40
Miligram
Besi
0,7
Miligram
Vitamin B1
0,06
Miligram
Vitamin A
0,0
SI
Vitamin C
30
Miligram
62,8
Gram
Air
Sumber : Kementerian Pertanian (2011)
Indonesia pada kurun waktu 1961-2005 merupakan net eksportir ubi kayu dan produk olahannya, namun mengimpor pula pati ubi kayu mulai tahun 1989 karena lambatnya laju produksi dalam negeri. Pada Tahun 2008 Volume ekspor ubi kayu sebanyak 166.685 ton dan volume impor 158.100 ton. Nilai ekspor pada Tahun 2008 senilai US$ 35.871.000 sementara nilai impornya lebih tinggi yaitu US$ 57.948.000 (Pusdatin Deptan 2010). Komoditi ubi kayu, walau diekspor dan secara makro memberikan kontribusi pendapatan devisa dan mendukung industri domestik sebagai bahan baku, relatif tidak memberikan motivasi kepada petani untuk meningkatkan produksinya. Harga ubi kayu di tingkat petani hanya meningkat dari Rp. 161 /kg pada periode 1990-1999 menjadi Rp. 514 /kg pada periode 2000-2005. Keadaan tersebut dapat juga dilihat dari index pendapatan per unit biaya produksi (R/C) yang menurun sebesar -2.4 % pada periode 1980-1999 (Darwanto 2007). Indonesia merupakan negara pengekspor ubi kayu dan beberapa produk olahannya seperti gaplek, tepung tapioka dan tepung cassava (FAO 2006). Hal ini dimungkinkan karena iklim
yang sesuai dan teknologi yang dibutuhkan tidak
terlalu sulit, sehingga tingkat produksi ubi kayu dapat ditingkatkan. Produksi ubi
15
kayu atau singkong di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 22.028.502 ton dengan luas tanam 1.174.819 Hektare, meningkat sebesar 1,25 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya di mana pada tahun 2008 produksi singkong tercatat 21.756.991 ton dengan luas tanam 1.204.933 Hektare. Jumlah produksi dan luas tanam ubi kayu Indonesia Tahun 2000 - 2009 disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Luas lahan dan Produksi Serta Produktivitas Tanaman Ubi Kayu di Indonesia Tahun 2000 – 2009 Tahun
Luas Panen
Produktivitas
Produksi (Ton)
(Ha)
(Ton/Ha)
2000
1.284.040
12,5
16.089.020
2001
1.317.912
12,9
17.054.648
2002
1.276.533
13,2
16.913.104
2003
1.244.543
14,9
18.523.810
2004
1.255.805
15,5
19.424.707
2005
1.213.460
15,9
19.321.183
2006
1.227.459
16,3
19.986.640
2007
1.201.481
16,64
19.988.058
2008
1.204.933
18,06
21.756.991
2009
1.174.819
18,75
22.028.502
Sumber: BPS 2010 dan Deptan.go.id 2010
Produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2010 mencapai 23 juta ton. Provinsi Lampung memberikan kontribusi terbesar dengan produksi mencapai 8,3 juta ton, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah dengan produksi mencapai 3,9 juta ton, dan Provinsi Jawa Timur sebesar 2,9 juta ton. Produksi ubi kayu menurut provinsi di Indonesia Tahun 2010 disajikan pada Tabel 2.4. Peta persebaran produksi ubi kayu menurut provinsi pada tahun 2010 disajikan pada Gambar 2.4.
16
Tabel 2.4 Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi di Indonesia Tahun 2010 Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Papua Maluku Utara Papua Barat Total Sumber : Kementerian Pertanian (2011)
Produksi (Ton) 45.580 1.004.111 181.145 75.002 40.343 161.613 46.311 8.294.070 22.860 8.668 267 2.117.976 3.936.525 1.037.610 2.957.884 115.464 161.459 76.420 1.101.104 193.662 80.175 102.697 113.824 88.425 76.737 487.165 224.610 6.288 50.560 130.958 35.178 107.884 10.947 23.093.522
Dalam beberapa hari setelah dipanen, ubi kayu akan rusak atau busuk sehingga perlu diolah secepat mungkin. Proses kerusakan yang cepat ini menyebabkan masalah dalam pemasaran maupun penggunaan dan pemanfaatan ubi kayu, serta menghasilkan susut yang relatif besar (Barret dan Damardjati
17
1984). Kerusakan yang biasa terdapat pada ubi kayu adalah timbulnya warna hitam yang disebabkan oleh aktifitas enzim polifenolase (Syarief dan Irawati 1988).
18
Gambar 2.4 Peta Sebaran Produksi Ubi Kayu Indonesia Tahun 2010
19
Ubi kayu diambil umbinya dan pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri. Sebagai bahan pangan ubi kayu atau singkong dapat dikonsumsi langsung dalam berbagai jenis makanan seperti ubi kayu rebus, goreng, keripik dan sebagainya. Sebagai bahan baku industri ubi kayu biasanya diolah sebagai produk antara (intermediate product) dalam bentuk tepung gaplek, tapioka dan tepung ubi kayu. Pohon Industri ubi kayu dapat dilihat pada Gambar 2.5. Tepung ubi kayu atau singkong dibuat dengan mengeringkan singkong baik sesudah perajangan maupun dengan pemarutan, dan kemudian ditepungkan. Tepung ubi kayu sebagai bahan baku industri dapat diolah menjadi berbagai produk antara lain tepung tapioka, glukosa, fruktosa, sorbitol, dekstrin, alkohol dan sebagainya. Sorbitol dibuat dari tapioka cair berwarna putih bening seperti gel yang digunakan antara lain pada industri permen/kembang gula dan minuman instan, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan pemanis pasta gigi, kosmetik dan cat minyak (Hafsah 2003). Dekstrin antara lain digunakan pada industri tekstil, kertas perekat plywood dan industri kimia. Selain itu tepung ubi kayu atau tepung kasava sudah sejak puluhan tahun lalu telah dimanfaatkan di kabupaten Boyolali sebagai bahan baku pembuatan mie-kuning untuk memasok kebutuhan penjual bakso di daerah tersebut (Darwanto 2007). Tepung tapioka mengandung sejumlah zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Kandungan kimia tepung tapioka disajikan pada Tabel 2.5. Kandungan terbesar tepung tapioka adalah karbohidrat sebesar 88,2 persen, sedangkan kandungan lemak dan protein relatif kecil yaitu 0,5 dan 1,1 persen. Tepung tapioka juga mengandung kalsium dan fosfor yang tinggi yaitu masing-masing 84,0 dan 125,0 mg/100 gram bahan. Hal ini menunjukkan bahwa selain sebagai sumber karbohidrat, tepung tapioka juga dapat memberikan asupan kedua jenis mineral tersebut (Direktorat Gizi, Depkes 1979).
20
Tabel 2.5 Komposisi kimia tepung tapioka setiap 100 gram Komposisi
Nilai
Satuan
Energi
363.0
Kkal
Protein
1.1
Gram
Lemak
0.5
Gram
Karbohidrat
88.2
Gram
Kalsium
84.0
Miligram
Fosfor
125.0
Miligram
Besi
1.0
Miligram
Vitamin B1
0.0
Miligram
Vitamin A
0.0
SI
Vitamin C
0.0
Miligram
Niacin
9.1
Gram
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)
21
UBI KAYU
Gambar 2.5 Pohon Industri Ubi Kayu. (Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 2007)
22
2.5 Status dan Variasi Penyediaan Sumber Karbohidrat
Sebagaimana telah disebutkan di atas, Indonesia memiliki aneka ragam sumber karbohidrat dan yang utama adalah beras, jagung dan ubi kayu. Produksi padi pada Tahun 2009 sebanyak 64.329.329 ton atau 37.954.304 ton setara beras. Produksi padi tahun 2009 mengalami peningkatan 6,64% dibanding Tahun 2008 sebanyak 60.325.925 ton (setara beras 35.592.296 ton).
Peningkatan produksi
padi
lahan dan peningkatan
disebabkan
oleh
adanya
peningkatan
luas
produktivitas tanaman. Secara lebih rinci data luas panen dan produksi padi sejak tahun 2000 sampai tahun 2009 disajikan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman padi di Indonesia tahun 2000 – 2009
Sumber BPS 2010
Berdasarkan data di atas, selama kurun waktu Tahun 2000 sampai Tahun 2009 terjadi kenaikan peningkatan luas panen tanaman padi sebesar 9% atau rata-rata 1% per tahun. Pada kurun waktu yang sama permintaan (konsumsi ) beras juga meningkat dari 23.897.878 ton pada tahun 2000 menjadi 32.057.945,3 ton pada tahun 2009 atau meningkat sebesar 24% atau rata-rata 2,7% per tahun.
23
Peningkatan laju permintaan (konsumsi) beras selain disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, juga adanya peningkatan tingkat konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia dari 116,5 kg/kapita pada tahun 2000 menjadi 139,0 kg per kapita pada tahun 2009.
Pada Tabel 2.7 disajikan data jumlah penduduk
Indonesia dan tingkat konsumsi per kapita berbagai tanaman penghasil karbohidrat.
Tabel 2.7 Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita bahan makanan penghasil karbohidrat di Indonesia Tahun 2000 – 2009
Tahun Penduduk
tingkat
tingkat
tingkat
tingkat
(X 1000
konsumsi
konsumsi
konsumsi
konsumsi
jiwa)*
beras
Ubi kayu
Jagung
Ubi jalar
(Kg/kapita) (Kg/kapita) (Kg/kapita) (Kg/kapita) 2000
205,132.0
116.5
13.40
3.40
3,0
2001
207,927.5
116.6
13.40
3.40
3,0
2002
210,736.3
115.5
12.80
3.40
2.8
2003
213,550.5
115.5
11.96
3.30
2.8
2004
216,381.6
107,0
12,00
3.20
3.3
2005
219,204.7
138.81
15,00
3.30
4,0
2006
222,051.3
135,0
13.83
3.44
3.4
2007
224,904.9
139.15
13.62
5.50
2.6
2008
227,779.1
139,0
14.19
3.60
2,9
2009
230,632.7
139,0
14.22
3.60
3,0
Sumber: Susenas 2000, 2003, 2006, BPS 2009, Deptan go.id (2010) Selama kurun waktu 2000 – 2009 berdasarkan data BPS (2010) seperti disajaikan pada Tabel 2.3 produksi ubi kayu juga mengalami peningkatan yaitu dari 16.089.020 ton pada Tahun 2000 menjadi 22.028.502 ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi ternyata bukan disebabkan oleh meningkatnya luas panen ubi kayu, tetapi karena meningkatnya produktivitas per ha. Selama kurun waktu 2000-2009 luas panen tanaman ubi kayu mengalami penurunan 8,5% atau terjadi
24
rata-rata penurunan luas panen 0,9% per tahun. Padahal permintaan (konsumsi) ubi kayu selama periode 2000 – 2009 terjadi peningkatan yaitu dari 2.748.768,8 ton tahun 2000 menjadi 3.279.597,0 to tahun 2009 yang meningkat 19,3% atau terjadi rata-rata kenaikan permintaan ubi kayu 2,1% per tahun. Peningkatan permitaan ubi kayu lebih disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, yaitu bila diperhatikan tingkat konsumsi ubi kayu perkapita sejak tahun 2000 sampai 2009 hanya mengalami peningkatan 0,7% per tahun sedangkan laju peningkatan penduduk mencapai 1,4% per tahun. Produksi jagung selama tahun 2000 – 2009 mengalami peningkatan yang cukup tinggi (82%) yaitu dari 9.676.899 ton tahun 2000 menjadi 17.592.309 ton tahun 2009 atau rata-rata menigkat 9% per tahun. Peningkatan ini terjadi karena adanya peningkatan luas areal rata-rata 2,1% per tahun yang meningkat dari 3.500.318 ha tahun 2000 menjadi 4.156.706 ha pada tahun 2009. Produktivitas tanaman jagung juga mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu dari 2,77 ton/ha tahun 2000 menjadi 4,29 ton per ha pada tahun 2009. Secara rinci luas areal panen dan produksi jagung sejak tahun 2000 sampai 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.8.
25
Tabel 2.8 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman jagung di Indonesia tahun 2000 – 2009
Sumber: BPS 2010
Dibandingkan tanaman-tanaman sumber karbohidrat, tepung tapioka memiliki kandungan karbohidrat paling tinggi. Berdasarkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, kandungan karbohidrat yang terdapat beras, tepung terigu, dan tepung tapioka dalam setiap 100 gram berturut-turut adalah 78,9 gram, 77,3 gram dan 88,2 gram. Disamping itu tepung tapioka juga memiliki kandungan kalsium paling tinggi yaitu mencapai 84 miligram, sedangkan pada beras dan terigu beruturut-turut hanya 6 dan 16 miligram. Komposisi kimia beras giling, tepung terigu dan tepung tapioka disajikan pada Tabel 2.9
26
Tabel 2.9 Komposisi Kimia Beras Giling, Terigu dan Tapioka setiap 100 gram
Komposisi
Satuan
Beras Giling
Terigu
Tapioka
Energi
Kal
360.0
365
363.0
Protein
Gram
6,8
8,9
1.1
Lemak
Gram
0,7
1,3
0.5
Karbohidrat
Gram
78,9
77,3
88.2
Kalsium
Miligram
6
16
84.0
Fosfor
Miligram
140
106
125.0
Besi
Miligram
0,8
1,2
1.0
Vitamin B1
Miligram
0,26
0,12
0.0
Vitamin C
Miligram
0.12
0,12
0.0
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)
2.6 Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu
Secara garis besar rantai pasok ubi kayu terdiri dari: (1) petani yang membudidayakan dan menghasilkan ubi kayu, (2) pengumpul, (3) industri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka, (4) Distributor, (5) Konsumen.
2.6.1 Petani
Hingga kini rata-rata hasil ubi kayu nasional masih tergolong rendah, yaitu sekitar 17,6 ton per Hektare. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 ton/ha (Subandi et al. 2005). Dari segi teknis produksi, penyebab penting atas rendahnya tingkat hasil ubi kayu di tingkat petani adalah terbatasnya penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan kurangnya penggunaan pupuk. Untuk meningkatkan produktivitas ubi kayu petani harus dilakukan beberapa hal yaitu pemilihan varietas unggul berdaya hasil tinggi, pengaturan jarak tanam yang sesuai, pemupukan yang efektif, sistem tanam yang produktif, serta pengaturan waktu tanam dan panen yang tepat.
27
Varitas unggul untuk produksi ubi kayu sebagai bahan industri tapioka dan pellet/gaplek pada umumnya memiliki ciri produktivitas tinggi, rasa umbi pahit dan kandungan patinya tinggi. Beberapa varitas ini yang sudah banyak dikembangkan adalah varitas nasional Aldira II, Aldira IV dan varitas Kasetsart 50 dari Thailand. Kasetsart 50 pada uji coba di Umas Jaya, Lampung, mampu memberikan hasil sampai 38,9 ton/ha, sedangkan Malang-1 dan Ardira-4 pada pengujian yang sama menghasilkan berturut-turut 41,7 ton/ha dan 36,9 ton/ha (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2008)
2.6.2 Pengumpul Petani yang mempunyai luas lahan 1 – 2 ha biasanya menjual produksi ubi kayu tidak langsung kepada pabrik tapioka, tetapi melalui pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena lokasi lahan petani yang terpencar jauh dari pabrik pengolahan ubi kayu, sehingga memerlukan biaya tambahan transportasi. Para pengumpul ini dengan kendaraan truk mengambil hasil panen petani untuk dibawa ke pabrik dan ditimbang untuk menentukan beratnya. Banyak masalah dalam penentuan berat timbangan ini, yang sering tidak memuaskan dan dapat merugikan petani. Sementara pihak pengumpul atau perantara itu sendiri sangat mengupayakan keuntungan dari peranannya itu. Kejadian yang sangat merugikan petani adalah kalau dalam kondisi yang serba tidak kecukupan, petani terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan meminta uang terlebih dahulu sebelum panen dari para pengumpul atau para perantara ini. Dalam keadaan seperti ini, pada saat panen petani bisa jatuh berada pada posisi yang lemah dalam hal penentuan harga dan berat timbangan hasil panennya yang sering kali sangat merugikan petani ubi kayu, ditambah juga dengan penentuan refraksinya yang tidak transparan. Perhitungan/patokan pengumpul atau agen yang berlaku adalah sebagai berikut : Harga beli lokal (dari Petani) + Transport + Ongkos Muat dan Bongkar + % refraksi + fee agen atau keuntungan pengumpul = Harga Pabrik Contoh: (Rp 770 – Rp 775) + Rp 80 + Rp 10 + (% refraksi x Rp 5 / % refraksi) + Rp 10 (fee Agen).
28
Pengumpul
akan
mencari
keuntungan
setinggi
mungkin.
Sering
memainkan % refraksi, timbangan atau sistem Botongan di Kebun dengan Petani. Biasanya Agen / Pengumpul menjaring petani-petani yang menjual volume yang tanggung 500 kg – 5 ton.
2.6.3 Industri Pengolahan Ubi Kayu
Pengolahan ubi kayu menjadi produk antara (intermediate product) merupakan salah satu cara pengawetan ubi kayu yang berkadar air tinggi. Selain itu, pengolahan ubi kayu menjadi produk antara berguna, yaitu menjadikan ubi kayu sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi tepung merupakan salah satu proses pengolahan ubi kayu menjadi produk antara yang dianjurkan karena produk antara yang dihasilkan lebih tahan lama disimpan, mudah dicampur dengan bahan lain, dapat diperkaya zat gizi (difortifikasi), mudah dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Darwis et al. 2009). Pada strategi penyediaan karbohidrat dari ubi kayu ini, tanaman ubi kayu akan diolah menjadi tepung tapioka. Tapioka merupakan pati ubi kayu. Proses pengolahan tapioka terdiri dari penggilingan (pada industri skala kecil perlu dilakukan pengupasan kulit ubi kayu), pengepresan, pemisahan ampas (onggok), pengendapan pati, pengambilan dan pengeringan pati.
Pada industri besar
pengendapan pati dilakukan dengan proses sentrifugasi dan pengeringannya dilakukan dengan menggunakan oven sehingga dapat dihasilkan rendemen dan mutu tinggi. Pada prinsipnya pembuatan tepung tapioka adalah mengambil granulagranula pati dari dalam selnya dan selanjutnya dipisahkan dari komponenkomponen lain sehingga diperoleh pati dalam keadaan murni. Secara ringkas proses pembuatan tepung tapioka dalam skala industri dapat dilihat pada Gambar 2.6. Proses produksi tepung tapioka dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
29
1.
Singkong segar (maksimal 2 hari setelah panen) dimasukkan ke dalam mesin pengupas kulit.
2.
Singkong yang telah dikupas dibersihkan dalam mesin pembersih untuk memisahkan dari kotoran-kotoran yang melekat. Tujuan pencucian yaitu untuk menghilangkan kotoran yang menempel selama pengupasan, dan lendir yang ada di lapisan permukaan umbi, dan mengurangi kandungan HCN
3.
Singkong yang telah bersih diparut atau dihancurkan dengan mesin penghancur.
4.
Hasil pemarutan dicampur dengan air dan diaduk dalam sebuah mesin pengaduk.
5.
Hasil adukan diperas untuk memisahkan pati dengan ampasnya.
6.
Pati yang bercampur air diendapkan untuk memisahkan cairan pati yang kental dan berat dengan cairan yang ringan atau air limbah.
7.
Cairan pati kental dan berat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tangki pati dan ditambahkan sulfur (belerang) agar hasil produksinya bersih dari kotoran.
8.
Dari tangki pati cairan tersebut selanjutnya dikeringkan menjadi tepung. Hasil pengeringan ini masih berupa gumpalan tepung kasar, yang kemudian diayak untuk mendapatkan tepung tapioka yang halus sebagai produk jadi.
9.
Pada tahap yang paling akhir, tepung tapioka dimasukkan ke dalam karung plastik dan diangkut dengan mesin khusus dan selanjutnya disimpan dalam gudang sebelum di jual.
Dalam proses produksi tersebut dihasilkan tiga jenis limbah, yaitu : 1. Kulit singkong, limbah ini tidak memiliki nilai ekonomi akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk bahan kompos oleh penduduk yang ada di sekitarnya. 2. Ampas singkong (onggok), merupakan ampas basah hasil pemisahan dengan pati. Ampas dapat digunakan untuk pakan ternak dan pabrik asam sitrat. 3. Air limbah cair, yang harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang karena mengandung sianida yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan.
30
Gambar 2.6 Diagram Alir Proses Produksi Tepung Tapioka (Sriroth 1999)
Di Indonesia, singkong telah dapat diolah lebih lanjut menjadi gaplek, sawut, tepung tapioka, tepung singkong dan yang terbaru adalah tepung mocaf. Pada saat penelitian dilakukan processing tapioka sudah mapan, sedangkan mocaf yang memerlukan luas lahan lebih kecil masih dalam taraf experiment. Namun strategi penyediaan karbohidrat dalam disertasi bisa dipakai untuk produk olahan lain.
31
2.7 Perkembangan Industri Tepung Terigu
Di Indonesia, selain industri tepung berbasis karbohidrat Indonesia juga terdapat industri tepung berbasis gandum atau tepung terigu yang gandum tersebut dipenuhi melalui impor. Indonesia sebelumnya langsung mengimpor dalam bentuk tepung terigu. Industri tepung terigu di Indonesia dimulai dari pendirian perusahaan penggilingan terigu pertama, yaitu PT. Bogasari Flour Mills pada Tahun 1971. Pendirian perusahaan penggilingan ini disebabkan oleh sering terjadinya penurunan kualitas tepung terigu impor yang tiba di pelabuhan Indonesia, seperti berkutu dan bau apek sebagai akibat waktu perjalanan yang cukup lama. Selain itu, pendirian perusahaan penggilingan juga disebabkan semakin meningkatnya konsumsi pangan berbasis tepung terigu (Visidata Riset Indonesia 2003). Sampai tahun 1995 PT. Bogasari Flour Mills hanya bertindak sebagai pelaksana penggilingan. Bahan baku gandum dan hasil penggilingan tepung terigu dimiliki Badan Urusan Logistik (Bulog). PT. Bogasari Flour Mills hanya menerima fee untuk penggilingan gandum tersebut. Bulog melakukan pembelian bahan baku, pengapalan bahan baku ke Indonesia, dan pemasaran dan distribusi tepung terigu yang dihasilkan PT. Bogasari Flour Mills (Visidata Riset Indonesia 2003). Pemerintah Indonesia kemudian secara bertahap melakukan deregulasi tata niaga gandum dan terigu. Pada tahun 1995 pemerintah mencabut larangan investasi terhadap tepung terigu. Monopoli Bulog atas impor gandum dan terigu dihapus pada tahun 1997. Deregulasi Juni 1998 menghentikan monopoli Bulog terhadap suplai tepung terigu, harga domestik, dan distribusi tepung terigu. Sejak itu setiap perusahaan dapat mengimpor gandum sendiri, melakukan pemasaran, dan menetapkan harga (Visidata Riset Indonesia 2003). Pada tahun 2010 terdapat 14 penggilingan tepung terigu yang telah beroperasi pada total kapasitas produksi 7.894.000 ton/tahun. Di Indonesia tepung terigu digunakan untuk bahan baku industri mi, biskuit, dan roti. Selain digunakan sebagai bahan baku industri pangan, tepung terigu juga sebagai bahan baku industri plywood. Pada tahun 2002 Kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
32
tercatat sebagai kelompok pemakai terbesar dari total kebutuhan tepung terigu dalam negeri, yaitu sebesar 58,86%. Penggunaan ini diikuti oleh kelompok industri besar dan modern yang meliputi industri mi instan, mi kering, mi basah, biskuit, snack, roti dan industri plywood, yaitu sebesar 34,37%. Sedangkan untuk industri rumah tangga sebesar 3,54% dan pemakaian rumah tangga sebesar 3,23% (Visidata Riset Indonesia 2003). Penggunaan tepung terigu untuk berbagai industri tahun 1998-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Penggunaan Tepung Terigu untuk Berbagai Industri Tahun 1998-2002 Industri Pemakai
Jumlah (Ton) 1998
1999
2000
2001
2001
Industri Besar dan Modern Mi Instan
584.791
638.750
715.006
754.638
807.642
Mi Kering
64.560
74.723
85.398
93.741
104.389
Mi Basah
2.971
3.178
3.321
3.478
3.662
Biskuit dan
99.096
107.901
118.762
131.901
144.109
Roti
21.258
23.513
27.122
32.585
37.690
Plywood
4.729
3.685
4.036
2.768
2.472
777.405
851.750
953.645
1.019.111
1.099.964
Snack
Sub Total
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) 600.504
597.082
728.017
740.457
743.868
Biskuit dan Snack
286.535
323.419
356.425
318.361
354.355
Roti
637.084
634.399
811.436
729.726
785.520
1.554.900
1.895.878
1.788.544
1.883.743
78.411
88.924
122.512
102.031
113.220
71.060
68.598
91.884
93.028
103.516
149.471
157.522
214.396
195.059
216.736
2.450.999
2.564.172
3.063.919
3.002.714
3.200.443
Mi basah dan Kering
Sub Total 1.524.123 Industri Rumah Tangga Rumah Tangga Sub Total Total
Sumber: Visidata Riset Indonesia 2003
33
Tingkat konsumsi tepung terigu di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1998. Pada tahun 1992 tingkat konsumsi tepung terigu hanya sebesar 9,9 kg/kapita kemudian meningkat mencapai 15,4 kg/kapita pada tahun 1997. Pada tahun 1998 terjadi penurunan tingkat konsumsi tepung terigu sebesar 20,8% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2002 tingkat konsumsi tepung terigu mencapai 14,8 kg/kapita atau mengalami peningkatan sebesar 8,8% dari tahun sebelumnya (Aptindo 2003). Tingkat konsumsi tepung terigu dan pertumbuhannya tahun 1992-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Tingkat Konsumsi Tepung Terigu dan Pertumbuhannya Tahun 1992-2002 Tahun
Tingkat Konsumsi
Pertumbuhan
(Kg/Kapita)
(%)
1992
9,9
-
1993
10,2
3,0
1994
12,5
22,5
1995
14,6
16,8
1996
14,8
1,4
1997
15,4
4,1
1998
12,2
-20,8
1999
10,9
-10,7
2000
12,9
18,3
2001
13,6
5,4
2002
14,8
8,8
Sumber: Aptindo 2003
Berdasarkan pengamatan terhadap salah satu pabrik tepung terigu yang berlokasi di Semarang didapatkan rantai pasok tepung terigu dari mulai pabrik (agroindustri)
sampai
ke
konsumen
akhir.
Pabrik
tepung
terigu
ini
mendistribusikan produknya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Tepung terigu sebagai produk dari pabrik didistribusikan ke industri besar dan
34
distributor. Selanjutnya, distributor memasok tepung terigu ke sub distributor, industri menengah, dan wholesaler. Wholesaler kemudian memasok tepung terigu ke industri kecil dan retailer. Industri rumah tangga dan konsumen akhir mendapat pasokan tepung terigu dari retailer. Rantai pasok tepung terigu dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Pabrik Tepung Terigu
Industri Besar
Sub Distributor
Distributor
Industri Menengah
Wholesaler
Industri Kecil
Retailer
Industri Rumah Tangga
Gambar 2.7 Jalur Distribusi Tepung Terigu
Konsumen Akhir